Translate

Rabu, 10 Agustus 2011

Membawa pulang pelarian koruptor. Makna penemuan Nazaruddin di bulan Ramadhan 2011

Membawa pulang pelarian koruptor. Makna penemuan Nazaruddin di bulan Ramadhan 2011.
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)

Menjadi pelarian sekalipun di dunia modern adalah penyiksaan. Pelarian berbeda dengan peziarah. Peziarah adalah tindakan yang dipilih dengan ketakwalan menyusuri perjalanan diri menuju jalan yang diharapkan dikenali sebagai jalan Sang Pencipta. Suatu jalan kehidupan yang mengalirkan air kehidupan kepada mereka yang berdahaga.

Pelarian adalah narapidana yang melepaskan diri dari penjara. Pelarian adalah mereka yang tertuduh. Jaman ketika belum ada transportasi modern seperti pesawat terbang, seorang digolongkan sedang melakukan tindakan pelarian tergambar dari kalimat klasik “run away to sea”. Tindakan melarikan diri ke laut adalah pilihan yang dilakukan oleh seorang lelaki yang mendapatkan dirinya melakukan suatu kesalahan yang mencemarkan namanya, atau nama keluarganya. Lautan adalah alam bebas yang akan menyambut seseorang, mengujinya, menghukum dan membentuknya secara baru. Apalagi dalam “run away to sea”, sang pelarian ini harus melewati Tanjung Pengharapan yang legendaris dianggap tanjung penjemput maut.

“Run away to sea” adalah proses penghukuman yang dipilih seseorang dengan berada di atas suatu kapal yang membawanya ke tempat yang tidak diketahuinya. Di atas kapal inilah, ia akan diterima untuk bertahan hidup atau meninggalkan namanya saja untuk dibawa pulang kepada keluarganya. Lautan bebas seperti kuburan yang bisa menelan semua orang yang nasibnya harus mati karena kehilangan ketulusan, keluhuran untuk memperbaharui dirinya.

Dalam tradisi agama-agama Abrahamik, Yahudi, Kristen dan Islam, cerita nabi Junus menggambarkan tentang laut sebagai hakim yang adil untuk menguji motivasi dan keluhuran diri seseorang mengikuti jalan Allah. Karena keluhuran yang terbit dalam hati nabi Junus, ia membuang diri untuk menenangkan laut supaya kapal yang ditumbanginya tidak hancur. Nabi Junus kemudian ditelan oleh ikan paus yang membawanya ke kota Niniwe. Nabi Junus mencapai keluhurannya dengan mendengar kembali suara Allah yang memintanya ke Niniwe, yaitu suatu kota yang harus didatanginya untuk menyampaikan pesan pertobatan yang perlu diterima oleh orang-orang di sana.

Tantangan lautan yang mahadasyat menjadi ukuran untuk seseorang yang melakukan kesalahan besar menghukum dirinya sendiri. Seorang yang selamat dari “run away to sea” adalah seorang yang kembali kepada keluarga dan masyarakatnya dalam keadaan selamat dan sudah diubah oleh alam raya yang mahadasyat dari perjalanan pelarian tsb. Keberhasilannya akan mengubah penerimaan orang-orang di sekitarnya. Ia akan diterima kembali. Hukuman yang telah diberikan alam dirasakan sudah cukup. Sehingga kalau ia selamat pulang kembali berarti ia sudah dibebaskan dari kutukan suatu kematian yang bisa mengambilnya ketika masih di laut.

Saya ingat membaca sejarah perjalanan para pelarian di museum maritim (Nederlands Scheepvaart Museum) Amsterdam. Menjadi pelaut bisa terjadi karena melarikan diri. Dulu dari sekolah saya di Amsterdam School School for Social Science Research di UVA, yang menggunakan gedung VOC, Vereenigde Oostindische Compagnie atau United Dutch East India Company, di Indonesia dikenal dengan nama Kompeni, di areal sekitar Spinhuis, sebelum banyak bangunan dibangun di abad 17, seseorang bisa naik ke teras “attic” dari bangunan-bangunan tua di sekitarnya. Banyak “attic” atau loteng dari bangunan-bangunan tua di Amsterdam di buat sebagai tempat seorang “lover”, perempuan yang merindukan seorang kekasihnya pulang. Ia akan naik ke teras dari “attic” untuk memandang ke laut atlantik yang terlihat dari Spinhuis, bayangan kapal yang mungkin akan datang membawa kekasihnya pulang. Lelaki melakukan pelarian untuk menebus kesalahan yang dilakukannya. Termasuk kesalahan karena mencintai seseorang yang kemudian tidak diizinkan untuk menikah walaupun kekasihnya sudah hamil.

Kerinduan kepada mereka yang sedang melakukan perjalanan sebagai pelarian dilagukan dalam irama “fado”. Fado berirama dan berlirik kerinduan dari musik berakustik yang sangat romantis dalam tradisi Portugis. Fado adalah warisan lagu-lagu yang bercerita tentang rindu laut, rindu kekasih yang tidak pernah pulang. Saya ingat kami menikmati seorang juru masak yang menyanyikan lagu-lagu fado di suatu restoran lokal di sekitar Alfama, di daerah perbukitan di atas kota Lisbon di Portugis. Kesasar menyusuri jati diri leluhur saya, “da Costa”, ternyata di salah satu restoran yang jauh dari publikasi turis, kami memutuskan makan di situ yang ternyata pada malam itu ada keajaiban perasaan yang terjadi. Ketika perempuan, juru masak itu selesai ber”fado”, menyanyi dengan perasaan rindu mendalam semua orang sudah menitikkan air mata mereka. Mungkin mereka mengingat ceritanya sendiri. Suatu cerita cinta kasihya yang kandas, atau menghadirkan perasaan dulu dari bayangan kebersamaan dengan seorang yang dicintainya.

Pelarian para koruptor dari Indonesia adalah pelarian yang tidak mengalami proses penyiksaan dari alam. Dengan kekayaan yang mereka miliki, mereka bahkan hidup senang di tempat baru lokasi pelariannya. Negara- negara yang dikatakan mempunyai tingkat korupsi zero ternyata yang paling sering memberikan perlindungan bagi keamanan uang yang dilarikan maupun pemiliknya. Sebut saja Swiss dan Singapura. Pelarian koruptor Indonesia hidup nyaman di pengasingan sampai ini ditemukan. Jadi penemuan Nazaruddin harus membawanya pulang ke Indonesia supaya ia menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Berita penangkapan Nazaruddin, mantan bendaharawan partai Demokrat di Kolombia, menambah daftar negara baru yang dapat menjadi target pelarian koruptor Indonesia. Nunun Nurbaiti pernah dikabarkan sedang menyembunyikan jejaknya di sekitar pegunungan di Thailand. Akses mobilisasi di Thailand Utara, seperti di Chaing Rai ke daerah golden triangle, daerah pertemuan sungai Mekong yang mempertemukan batas teritori Burma, Thailand, Laos dan Kamboja, di mana transaksi opium terlarang terjadi diluar kendali negara, sekarang termasuk daerah target pelarian koruptor Indonesia. Pernah berada di sana, saya bisa membayangkan mengapa sampai sekarang Nunun Nurbaiti belum ditemukan.

Nazaruddin melarikan diri di Cartagena, Kolombia. Cartagena adalah kota dipinggiran pantai utara sebelah selatan Bogota yang berhadapan dengan kepulauan Karibia. Daerahnya selalu panas walaupun di Bogota, ibu kota Colombia bisa tampil dengan suhu di bawah 10 derajat di musim dingin. Saya ingat ke Baranccabermeja juga di daerah pantai utara, di sebelah selatan dari Bogota, naik pesawat dengan berlapisan pakaian dari Bogota hanya sejam kemudian sudah tiba di Baranccabermeja dengan harus menanggalkan semua lapisan pakaian karena suhunya panas seperti di Jakarta.

Di Cartagena, Nazaruddin melarikan diri. Ia rindu Indonesia, menyanyikan lagu-lagu melankolis rindu lautan, hawa dan makanan Indonesia. Tetapi ia bukan pelarian dari berabad lalu yang terdampar di Cartagena. Nazaruddin memilih menerbangkan diri pindah dari pelarian sebelumnya di Singapura ke sana. Sayang pelariannya selama 77 hari akhirnya terungkap melalui Voip sehingga sekarang dalam proses untuk dibawa pulang ke Indonesia. Voip adalah sistem komunikasi yang menyebabkan Nazaruddin terjaring oleh tim polisi bekerja sama dengan pakar ICT memburu pelarian koruptor Indonesia. Semula saya menyangka Nazaruddin di sekap oleh anjing-anjing pelacak, setinggi kurang lebih 1 meter lebih, yang terlatih berkeliaran bersama petugas keamanan di seantero kota-kota penting di Kolombia yang merupakan negara tertinggi di dunia yang akitivis politiknya dibunuh atau dilenyapkan secara misterius.

Sudah pasti, seorang pelarian koruptor Indonesia bukan peziarah! Tetapi bisakah kita bayangkan dalam diri seorang pelarian ada jeritan seorang peziarah. Pertanyaan mendasar dari seorang peziarah adalah mengapa saya sedang berjalan atau berziarah saat ini di dunia? Mengapa saya sedang berada di dunia saat ini? Mengapa saya dilahirkan di dunia saat ini? Mengapa saya diberikan tugas untuk mengemban dunia saat ini? Apa rencana Sang Pencipta untuk saya? Apa maksudnya saya diberikan banyak berkat oleh Allah? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan mendasar dari seorang manusia.

Apapun orangnya apakah ia seorang yang percaya adanya Tuhan maupun tidak, seseorang pernah dalam hidupnya akan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertanyaan seperti inilah yang menyebabkan seorang ateis membangun kepeduliannya terhadap sesama bukan pertama-tama karena alasan keberadaan eksistensi Tuhan tetapi karena ada penderitaan yang mendalam pada manusia lainnya yang menyentuhkan hatinya untuk menolong. Banyak program-program bantuan dari lembaga-lembaga dana internasional yang dinikmati oleh pemerintah, LSM-LSM maupun masyarakat luas di Indonesia berasal dari sumbangan-sumbangan kaum humanis yang tidak sedang membawa agama untuk melakukan tindakan kemanusiaan.

Koruptor-koruptor dari Indonesia adalah mereka yang membawa-bawa agamanya sebagai identitas dirinya. Tetapi mereka inilah yang telah melepaskan makna keberagamaannya. Tidak ada satupun agama mengajarkan manusia untuk melakukan perbuatan mencuri termasuk mencintai dirinya sendiri. Ada ajaran pengorbanan dan pengekangan diri dalam agama-agama. Siklus ritual pemurniaan misalkan bertujuan untuk memulihkan kelakuan manusia mendekat pada keluhuran. Keluhuran seperti suatu cita-cita yang mulia untuk melepaskan semua keinginan yang kita miliki supaya memperoleh kefitraan yang ada pada kesuciaan Sang Pencipta. Dalam keluhuran ada cinta sejati yang bisa membangun dan mengalami rumusan baru tentang cinta tanpa harus memiliki secara fisik dan material.

Menemukan Nazaruddin di bulan Ramadhan kiranya mengajarkan kepada kita semua di Indonesia, tentang kefitraan yang sudah hilang dari manusia-manusia Indonesia yang mengatas namakan Allah untuk membenci sesamanya. Hanya orang yang mencintai dirinya sendiri yang bisa merampok, mencuri uang-uang rakyat. Mereka yang mencintai dirinya sendiri yang merasa seolah-olah mencintai Sang Pencipta, adalah mereka yang rela menghina, meremehkan, menghujat pengalaman iman sesamanya. Orang-orang ini merasa imannya sendiri adalah yang paling benar dan semua orang harus mengikuti jalan imannya. Mereka ini menghalalkan darah sesama penganut agama untuk kebenaran agama yang diyakininya. Pemaksaan karena iman merupakan tirani dari cara beragama yang merusaki tatanan kehidupan yang damai dalam cinta kasih.

Pengalaman iman tidak bisa dibahasakan dalam hukum agama. Hukum agama bisa bersifat politis tergantung kekuasaan mana yang memproduksinya. Ketika semua pengalaman iman di bukukan sebagai hukum, capaian dari keluhuran agama yang hendak dijangkau manusia menjadi kering keronta. Manusia kehilangan imajinasi untuk menemukan sendiri pengalaman kebersamaan dengan Allah dalam pengalamannya sendiri kecuali mengerti karena memprosesnya sebagai suatu hapalan belaka.

Pengalaman agama bukan sekedar suatu hapalan. Doa yang dihapalkan menjauhkan pengendapan dari keinginan untuk melakukan jalan Allah dalam hidup yang konkrit. Manusia menjadi sekedar robot tanpa mengerti mengapa ia sedang berdoa dan apa artinya untuk hidupnya sehari-hari. Mungkinkah maraknya korupsi di Indonesia karena kita semua menjadikan doa-doa seperti mantra untuk mendapatkan keajaiban yang tanda-tanda kejadiannya tak terduga termasuk mendapatkan jalan memperoleh uang yang tidak dibayangkan?

Doa-doa mereka yang koruptor adalah semoga mendapat uang berjubel seperti sedang memenangkan lotere tetapi dengan harapan dijauhkan dari penciuman publik. Karena uang yang diterimanya adalah uang haram. Doa-doa mereka seperti dukun yang menggunakan matra untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan supaya mereka bisa melakukan kejahatan tanpa merasa bersalah dan terhukum oleh penglihatan Sang Pencipta. Doa-doa ini bertumpu pada kepentingan dirinya sendiri bukan doa keluhuran sebagai pancaran Ilahi.

Pelajaran berharga penemuan Nazaruddin di bulan suci Ramadhan kiranya membuat doa-doa umat beragama di Indonesia sebagai doa keiklasan yang membawa kefitraan. Suatu doa untuk membangun bangsa Indonesia untuk semua warga negara tanpa pandang bulu agama, tradisi, budaya dari mana kita berasal. Hanya dengan dasar doa inilah, Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua diridhoi berkat dari Sang Pencipta. Amin.

*Penulis adalah blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in Java, dan empowering women transforming myself

Tidak ada komentar:

Posting Komentar