Translate

Jumat, 05 Agustus 2011

MenTuhankan "uang" dalam Politik Korupsi. Suatu refleksi Ramadhan 2011

MenTuhankan “uang” dalam Politik Korupsi. Suatu refleksi Ramadhan 2011
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Ini artikel saya ketiga, menulis untuk blog “Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua” tentang korupsi sejak bulan Ramadhan 1432 H mulai. Sebagai seorang Nasrani, kegelisahan tentang korupsi di bulan Ramadhan mungkin dapat ditenangkan apabila dibagikan bersama saudara-saudari Muslim sebangsa.

Ketika tiba-tiba saya terbangun bersama pertanyaan: “Binatang macam apakah korupsi itu?”, saya makin sadar tentang perlunya menyelesaikan pengertian itu dalam diri sendiri. Apa peduliya pertanyaan itu bagi diri saya? Saya bisa saja melupakannya, karena prioritas aktivitas lain. Semakin saya mencoba melupakannya, semakin menguat kegelisahan untuk mengerti ke arah mana pertanyaan tadi dapat dijawab.

Masih jelas dalam benak kita, krisis moneter tahun 1998. Krisis finansial ini berdampak pada gerakan politik di Indonesia. Gerakan Reformasi mengubah sejarah bersama sebagai bangsa. Kejatuhan rejim Orde baru dipicu dengan fenomena kebangkrutan negara sebagai akibat dari praktek korupsi. Ketika itu, “korupsi” dihubungan langsung dengan rumpun keluarga lainnya, yang mengambil istilah dari Kuliah Kerja Nyata (KKN) dengan penamaan arti yang berbeda. KKN kemudian diplesetkan menjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Gerakan Reformasi membongkar praktek KKN dari regim Orde Baru. Sekarang sesudah 12 tahun proses Reformasi berguling, praktek KKN ternyata masih menggoda dan mengngeruk korban-korban lain dari mereka yang adalah anak-anak Reformasi. Kita semua mulai bertanya-tanya berapa besar kekuatan dan pesona KKN sehingga anak-anak bangsa terlahir dari buah rahim Reformasi ternyata masih terjebak dalam perangkap KKN.

Mungkin ada kalangan yang percaya tentang kutukan yang menimpa Indonesia sehingga jeratan KKN yang dipastikan dapat diberantas ternyata masih menguat dalam kehidupan berbangsa. Anggapan ini perlu ditolak. Indonesia diberkati Allah dengan berbagai kelimpahan dan kecukupan. Alam semestanya yang kaya dan keragaman budaya yang menyebabkan manusianya bisa hidup saling berdamping. Memandang korupsi sebagai kutukan hanyalah upaya untuk menolak menyelesaikan persoalan bangsa dengan kebajikan dan kebijakan Allah yang diturunkan kepada manusia.

Korupsi bukanlah juga nasib atau takdir. Korupsi adalah bagian dari perjuangan yang harus terus dihadapi setiap manusia, pemerintah dan negara. Seperti tergambar dari rumpun keluarganya, korupsi tidak berdiri sendiri. Korupsi ada bersama-sama dan tampil dalam bentuk lain seperti kolusi dan nepotisme. Laporan-laporan korupsi yang terjadi pada masa paska Reformasi jelas menggambarkan tentang jaringan politik korupsi. Satu kasus korupsi ternyata bisa melintasi dan menjaring keterlibatan berbagai pihak termasuk lembaga dan fungsi negara yang meliputi eksekutif, legislatif, keamanan dan judikatif.

Ketika korupsi menjadi bagian dari rumpun keluarga KKN, bentuk kriminalitasnya melibatkan struktur sosial di dalam negara, maka yang perlu diamati adalah pandangan dan praktek korupsi yang ada dalam masyarakat. Apakah yang ada dalam pikiran dan benak dari mereka yang sedang membayangkan dan melakukan tindakan korupsi? Praktek korupsi bisa terlihat dari tindakan suap, menyogok, bahkan sampai pada tampilan upeti yang terlihat sangat elegan. Seseorang melakukan tindakan korupsi karena ingin mendapat uang yang lebih dengan didukung kekuasaan yang dimilikinya atau dijaminkan oleh kekuasaan lain yang menopangnya. Mereka yang dipaksa melakukan suap berkeinginan untuk memotong jalan rumit pengurusan suatu urusan atau dokumen. Untuk inilah mereka rela membayar setiap meja yang harus menandatangani berkas pengurusannya.

Ada banyak alasan orang terlibat dalam korupsi. Misalkan mereka dari kalangan pekerja bawahan akan menggunakan alasan gajinya yang kecil sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan korupsi. Mereka ini pada umumnya tidak punya kekuasaan, menjadi alat untuk memperlancar pelaksanaan korupsi yang diinginkan oleh mereka yang punya kekuasaan. Kasus-kasus korupsi yang menjadi berita utama di media sejak Reformasi menunjukan siapakah pelakunya. Mereka pada umumnya berasal dari kelas masyarakat yang mempunyai kekuasaan. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk merusak jaringan dari struktur kerja yang tertib, transparan dan terukur yang sedang dikerjakannya.

Korupsi mengandung ide tentang kondisi yang pelan-pelan membusuk. Setiap waktu secara sembunyi ada kekuatan dari kebersamaan yang dilumpuhkan karena pengambilan porsi yang besar dari mereka yang berkuasa. Dampak dari pembusukan sistem yang dikorupsi adalah makin menderitanya orang-orang yang seharus mendapat pelayanan dari uang yang diambil dengan cara mengkorupsi. Misalkan di Kulon Progo, seseorang harus membayar ratusan ribu rupiah untuk mendapat akte kelahiran yang sebenarnya harus diberikan gratis kepada masyarakat sebagai haknya.

Politik korupsi bisa terbangun secara alamiah sehingga tindakan ini malahan seolah-olah dibenarkan terjadi karena anggapan bahwa suatu regim yang berkuasa mempunyai otoritas untuk mengelola jalannya pembangunan bersama. Pemusatan kekuasaan mengalamatkan mereka dari jejaringan yang ada, yang berkuasa sebagai pelaksana resmi kegiatan-kegiatan pembangunan. Berbagai kebijakan dibuat untuk menghilangkan kompetisi dan memberikan monopoli kepada jaringan dari mereka yang sedang berkuasa. Tampilan bentuk korupsi ini disebut secara teknis sebagai kolusi. Korupsi didukung dengan politik penjatahan. Kekuasaan dibagi-bagi menurut hasil negosiasi yang dapat memenangkan masyarakat kebanyakan yang sedikit sekali mempunyai akses langsung untuk berpartisipasi dalam kegiatan bersama.

Ketika korupsi dianggap sebagai bagian dari tradisi dimana masing-masing kelompok yang berkuasa berhak menentukan apa yang terbaik untuk masyarakat kebanyakan, maka sudah dipastikan akan terjadi perebutan kekuasaan. Pelanggengan korupsi melalui sistem dagang sapi, pembagian kue pembangunan, penjatahan pelaksanaan kegiatan bukan berdasarkan profesionalisme dapat mengarahkan pada konflik kepentingan. Politik klan, suku dan agama yang paling sering membusukkan kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia. Kehancuran diri sendiri adalah bagian dari kehancuran bersama dalam kelompok. Politik tanggung renteng menjadi bangunan solidaritas yang menguntungkan kekuasan dari lingkaran dalam tertentu.

Loyalitas kepada satu kelompok, entah klan, suku dan agama tertentu sebagai bagian dari masyarakat yang mendukung politisi-politisi dari mereka yang ada pada kekuasaan dapat menghancurkan kehidupan bersama sebagai bangsa. Apabila praktek korupsi dibangun karena loyalitas tersebut, karena masyarakat percaya mereka harus saling membantu sebagai bagian dari jejaring sosial yang terbangun berdasarkan kesamaan suku, agama dan ideologi, maka secara sengaja telah terjadi praktek diskriminatif kepada anggota masyarakat lain yang tidak termasuk dalam lingkaran dalamnya. Dalam contoh ini praktek nepotisme dijelaskan. Loyalitas terbentuk dalam bentuk relasi sosial baru selain hubungan biologis dari serumpun anggota keluarga. Politik korupsi dengan alasan ini sangat mengancam kestabilan suatu negara karena itu perlu ditindak secara tegas tanpa pandang bulu.

Seperti dilaporkan Republika Online, menurut pengumuman tahun 2011 dari World Justice Project (WJP), Indonesia berada di posisi ke 47 dari 66 negara yang terkorup di dunia. Laporan lain dari Corruption Perception Index (CPI) yang dipublikasikan tahun 2010 oleh Transparancy International (TI), menjelaskan Indonesia berada pada urutan 110 dari 180 negara yang terlibat dalam korupsi. Artinya Indonesia sebenarnya berada pada urutan ke-30 dari negara-negara yang mempunyai tingkat praktek korupsi tertinggi. Bersama dengan hampir semua negara-negara di Afrika, di Asia Tengah, Timor Leste, Indonesia masih mempunyai tugas yang berat untuk membangun disiplin birokrasi yang rasional dan transparansi untuk mengurangi kasus-kasus korupsi.

Penindakan kepada pelaku dapat didekati dengan upaya mengembalikan semua kekayaan yang diambil dari cara mengkorupsi kemudian menjalani disiplin hukum yang selayaknya. Pengawalan supaya pelaku korupsi menjalani disiplin penghukuman dapat dilakukan bersama oleh masyarakat baik melalui lembaga-lembaga seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Ombusman Indonesia dstnya. Pentingnya kebersihan dari lembaga-lembaga independen ini adalah untuk menjaga kewibawaan penegakan hukum dihadapan masyarakat. Keraguan bersama tentang keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menerima suap dari koruptor yang sedang diselidikinya merupakan bahan pelajaran bersama supaya masyarakat secara independen juga bisa tetap mempunyai akses untuk mengontrol kinerja lembaga-lembaga anti korupsi ini.

Restu dari lembaga-lembaga keagamaan untuk mendukung penegakan gerakan anti korupsi terkait dengan kepastian tersedianya praktek etika dalam kerja ketatanegaraan. Dana-dana yang terkumpul dari masyarakat maupun berbagai distribusi kekayaan daerah dan pusat harus dipergunakan untuk membangun keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip etik ini perlu menuntun masyarakat untuk memastikan proses penggunaan uang secara transparan sesuai dengan perencanaan pembangunan yang ada.

Prinsip etis berlaku juga untuk mendorong pemberian gaji pegawai yang layak dengan kenyataan inflasi di Indonesia. Pegawai pelaksana harus dijaminkan mendapat hak upahnya ketika terlibat dengan program karena mereka bertanggungjawab langsung dengan kegiatan tersebut. Penegakkan prinsip etis keadilan akan mengurangi kemungkinan pejabat eselon lebih tinggi yang tidak bekerja langsung dengan kegiatan tetapi menerima komisi sehingga berdampak pada pembengkakan anggaran kegiatan.

Uang harus dipandang sebagai “mammon” yang bisa mencelakakan individu dan sesama, menjauhkan manusia dari Sang Khalik dan menjadikan manusia budak. Bukti dari banyaknya korupsi di Indonesia karena manusia diam-diam menTuhankan “uang”. Uang menjadi Tuhanya, walaupun semua orang beragama di Indonesia menyembah Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Easa. Agama-agama bisa membebaskan manusia dari perbudakan uang. Manusia yang berjalan pada jalan Allah, karena keselamatan dariNya bisa melepaskan diri manusia sebagai budak dari semua kenikmatan “uang”.

Upaya ini dapat dicapai apabila manusia Indonesia bersedia melatih dirinya untuk memiliki prinsip etis yang tidak menomorsatukan uang, menTuhankan uang, mengerti bagaimana uang dipergunakan untuk mendistribusikan keadilan dan damai sejahtera kepada semua umat manusia. Hanya dengan cara inilah, fungsi agama-agama menjadi bermanfaat dan berkah untuk membangun pemerintahan yang bersih, transparan dan beradab di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar