Translate

Jumat, 20 April 2012

Tubuh-ketubuhan dan representasi diri-kedirian


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Keempat: Tubuh-ketubuhan dan representasi diri-kedirian

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Pada tulisan sebelumnya saya berjanji akan meneruskan ke topik penafsiran kehidupan. Tetapi saya sadar belum cukup banyak bercerita tentang tubuh dan ketubuhan. Dalam Camp pemuda/i maupun Pendidikan kader dasar kepada ibu-ibu, saya memberikan banyak waktu untuk menguraikan tentang tubuh. Sekarang saya ingin menyinggungnya. Jadi tulisan tentang penafsiran diteruskan kemudian, sementara membelot dulu membahas tentang tubuh.

Manusia sangat mempesona karena tubuh dan ketubuhannya. Siapa saja dan kemana saja saya pergi, keterpesonaan itu mendorong saya untuk mengerti lebih jauh berbagai faktor penting pembentuk kedirian seseorang.  Tubuh dan ketubuhan, Diri dan kedirian, adalah kenyataan keterpesonaan saya. Maka pertanyaan yang bisa direnungkan bagaimana kita melihat tubuh-ketubuhan, Diri-kedirian, apa yang dipikirkan, apa yang harus dilakukan, bagaimana bertindak, apa tanggungjawab Diri untuk bertindak, apa yang Diri inginkan, ingin jadi siapa?

Berbagai penelitian dan penulisan dari metafisik ke psikoanalisis dilakukan bermacam-macam pakar untuk menjelaskan tentang manusia. Keterpesonaan itu menyebabkan saya memasuki lorong-lorong permenungan secara independen untuk mengerti tentang manusia. Konstruksi sosiologi dan budaya dengan kerangka teoritis yang umum terasa kurang untuk menjelaskan keterpesonaan saya. Membongkarnya, juga terasa masih kurang apabila sekedar menggunakan analisis sosial terkait dengan kekuasaan yang mencoba menelanjangi kelompok yang mendominasi dalam relasi dengan kelompok yang tersubordinasi. 

Saya makin sadar, analisis adalah alat kepekaan, alat kerja untuk mengerti keterhubungan fenomena ketimpangan dalam masyarakat. Akan tetapi pada sisi lain, saya juga sangat sadar tentang perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan manusia sebagai hasil dari pembelajaran bersama. Misalkan “kritik” yang diberikan kepada agama karena pelarangannya kepada perempuan yang sedang menstruasi  berdoa atau memasuki ruang ibadah.  Kritik ini dilakukan tanpa menjelaskan  tentang perubahan sosial yang terjadi. Sehingga kritik dilakukan hanya untuk menyentuh ajaran sebagai dogma  tanpa menjelaskan bagaimana ia terbentuk. 

Teknologi sangat berpengaruh dalam perubahan sosial. Pembalut perempuan merupakan hasil rekayasa dari penemuan berevolusi dari masa ke masa.    Kulit tubuh perempuan disekitar selangka terlalu halus untuk dibalutkan serabut kelapa yang diikatkan dengan tali-tali dari akar muda suatu tanaman. Kemudahan dan keamanan diri adalah memisahkan perempuan di lokasi yang mempunyai akses langsung ke tanah.  Ketika menstuari tiba, perempuan di bawah ke rumah sendiri di mana aliran pendarahannya bisa langsung mengalir ke tanah. 

Praktek ini masih ditemukan pada masyarakat pedesaan  di Indonesia, misalkan di NTT yang menciptakan secara khusus rumah untuk perempuan yang sedang menstruasi.  Pemisahan perempuan pada rumah khusus ini menyebabkan tugas-tugas sehari-hari untuk sementara ditangani pada rumah perempuan.  Kegiatan ibadah yang melibatkan komunitas juga dihentikan.  Alasan utama sebenarnya adalah ketiadaan alat sederhana untuk menampung pendarahan perempuan.

Alasan ini ternyata kemudian dikemas dalam rumusan yang memberikan makna kepada komunitas. Misalkan, pemisahan harus dilakukan karena wilayah komunitas dalam persembayangan bersama adalah suci. Pendarahan merupakan suatu “gangguan” yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan bersama. Perumusan ini kemudian dihubungkan dengan kenajisan dan kebersihan yang terkait dengan wilayah suci dan sekuler. Pandangan ini masih terus dipelihara juga ketika sudah ada solusi untuk menolong menstruasi perempuan.  Sekarang perempuan modern dengan menggunakan “pembalut” bisa beraktivitas ketika mengalami menstruasi kecuali tidak bisa bersembayang bersama komunitas menurut agama tertentu (Islam, Hindu).

Tubuh baik, ketubuhan perempuan maupun lelaki, di dalam lingkaran kehidupannya harus melewati setiap tahap dengan berbagai persyaratan. Menstruasi merupakan salah satu krisis karena gagalnya pembuahan di antara sperma dan indung telur. Akan tetapi ketika pembuahan tsb terjadi, sehingga menstruasi berhenti, krisis lainnya akan terjadi. Hidup manusia disadari dikelilingi oleh berbagai krisis karena itu perlu dilakukan berbagai ritual untuk menolong manusia melewati setiap tahap krisis dari lingkaran kehidupan yang dilewatinya.  Lingkaran kehidupan dimulai dari  peristiwa kelahiran, bayi, anak-anak, remaja, dewasa muda, dewasa tua (menikah), mempunyai anak, mempunyai cucu, sampai masa kematian. 

Pembedaan fungsi biologis perempuan dan laki-laki juga menentukan macam ritual yang harus dilewati. Misalkan sunat perlu dilakukan kepada setiap anak lelaki menurut beberapa tradisi budaya dan agama. Tujuan sunat adalah untuk menjaga kebersihan dari penyakit yang bisa dialami oleh seorang lelaki. Sunat juga dilakukan kepada anak perempuan tetapi tujuannya berbeda.  Dibanyak budaya, klitoris anak perempuan dipotong sehingga menyebabkan pendarahan yang membawa kepada kematian. Tradisi pengambilan klitoris anak perempuan dilakukan untuk kelak memusatkan kepuasaan seksualitas sebagai pemberian dari lelaki.  Tradisi sunat anak perempuan sudah mengalami perubahan, karena dianggap bertentangan dengan HAM perempuan.

Pandangan tentang sunat perempuan sangat terkait dengan praktek moralitas. Ternyata tubuh bukan hanya kerangka biologis tetapi ia adalah representasi moralitas.  Moralitas ditampilkan dalam bentuk kebijakan dan aturan. Dalam moralitas ada perintah dan larangan sebagai suatu rangkaian kodefikasi disiplin yang diyakini mendatangkan keselamatan untuk semua pihak. Karena itu, tubuh berfungsi menterjemahkan penugasan sosialisasi seksualitas dan nilai yang berlangsung sejak masa kecil sampai proses lebih lanjut.  

Pengejawantahan ketubuhan dilakukan melalui proses peniruan yang cenderung memuaskan pihak dominasi supaya Diri pribadi bisa diterima. Dengan adanya otoritas “demokratis” yang diizinkan membentuk watak seseorang, aspek partisipasi dan kemandirian “agency” sudah diperkenalkan sejak usia dini sehingga seorang anak diharapkan sudah mempunyai identitas lebih cepat. Identitas merupakan kekhasan yang dipilihnya dengan sadar sebagai bagian dari proses pikir dan negosiasi.  

Akan tetapi kebanyakan proses mensosialisasikan ketubuhan seseorang tetap dilakukan dalam konteks ketabuan sekalipun manusia hidup dengan nilai-nilai demokratis jaman modern. Terutama tubuh perempuan, sering kali dianggap sebagai sumber dari bencana. Penyalahan tubuh perempuan sebagai sumber dosa untuk laki-laki menyebabkan tubuh perempuan dipenjarakan.

Banyaknya aturan dan larangan yang ditujukan kepada tubuh perempuan menyebabkan pelanggaran dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Contoh yang terjadi di Indonesia, bisa dilihat langsung dengan semaraknya peraturan daerah yang terkait dengan pelarangan pelacuran yang berdampak terhadap berbagai rasia ditujukan kepada berbagai perempuan yang berkeliaran di sekitar arena dimana perda tsb diperlakukan.  Perda-perda syariah ditegakkan atas nama perlindungan kepada tubuh perempuan.  Ketika tubuh menjadi sumber konflik, materi untuk dituduh kriminal yang melibatkan aturan “denda” dan penghukuman, pada saat itulah tubuh berfungsi sebagai komoditas. 

Penempatan tubuh sebagai komoditas, bersentuhan dengan sisi dari pembiaran tubuh sebagai korban. Kebangkitan kesadaran perempuan sekarang ini adalah menolak pelabelan untuk dirinya  dipojokan dan dipaksa menjadi seorang korban. Cara berpikir tentang tubuh perempuan adalah penyebab dan korban bagi dosa orang lain, adalah sebenarnya pandangan yang cenderung melemahkan peran “agency” pada diri seseorang termasuk juga kedirian seorang lelaki. Setiap Diri pribadi harusnya bisa bertanggungjawab terhadap keputusan-keputusan yang membimbing pada tindakan moralitas. 

Pembuktian tentang pengaruh dari luar diri dalam perilaku dan tindakan seksualitas yang terjadi kepada seseorang terutama lelaki masih diberatkan kepada perempuan. Pencitraan perempuan secara teknis disebut konsep stereotip. Konsep ini bekerja untuk memposisikan pencitraan perempuan dengan mereduksi dirinya menjadi serangkaian pewatakan dengan ciri-ciri yang cenderung berlebihan, yang negatif. Misalkan perempuan itu genit, perempuan nakal, sundal, perempuan tamak, perempuan yang sirik, perempuan yang gembrot sekaligus perempuan bertubuh langsing , yang  pasif, lembut, mengabdi kepada lelaki dstnya.

Perempuan distereotipkan untuk pencitraan yang negatif sekaligus yang positif/ideal, yang keduanya sebenarnya menjelaskan tentang ketidakberdayaan perempuan untuk mengontrol tubuhnya sendiri. Akibat dari pencitraan ini, tubuh perempuan menjadi sasaran untuk mempertahankan lelaki/suami  dan keluarga yang mengontrol tubuhnya dengan sangat kasar.

Perempuan juga menjadi sasaran untuk menerima tekanan dari media yang membangun pencitraan  dirinya secara ideal terkait dengan kelangsingan, kecantikan bak porselen, putih seperti salju. Representasi ketubuhan bahkan dipindahkan dari sekedar konteks fisik menjadi konteks moral sehingga kecantikan dalam pencitraan media seperti ajaran agama yang harus diikuti secara ketat. Salon-salon berjamur menawarkan moralitas kecantikan perempuan.    

Perlawanan perempuan terhadap sistem sosial yang menindas dirinya menyebabkan kesadaran tubuh dan ketubuhan sebagai suatu alat politik yang harus diperjuangkan. Tubuh saya adalah politik. My body is political. Kedirian perempuan harus diperjuangkan, termasuk juga menentukan apa yang terbaik untuk tubuhnya sendiri. Konteks dan kerangka moralitas yang melindunginya digugat karena ternyata tubuh sudah sering disakiti, baik ketika dipuji maupun dihina. Tekanan psikis yang tertimbun pada tubuh dilepaskan ketika perempuan memilih dengan sadar orientasi seksualitasnya. 

Pencitraan dan pemberian atribut secara berlebihan juga terjadi pada lelaki. Pencitraan seperti kejantanan mendorong representasi lelaki yang mengagungkan kegagahan, ketegasan, kekasaran, kekekaran, ketegaran, ketegapan, rasional dan ketenangan yang dingin. Para lelaki juga lelah dengan pencitraan yang mereduksi tubuh dan ketubuhannya pada tingkat diri yang harus tampil terus menerus sebagai seorang pahlawan. 

Pemberontakan pencitraan ini menjadi penyebab pemunculan orientasi seksual yang menerima optimalisasi kediriannya dalam pencitraan yang berlawanan dari kondisi fisik seksualitasnya. Representasinya bisa terlihat pada pilihan menjadi gay, transgender dsbnya yang menguatkan dirinya secara psikologis maupun biologis dengan menemukan alasan-alasan logis tentang kontruksi seksual yang sedang dipilihnya.

Perlawanan terhadap hegemoni maskulitas heteronormatif adalah dengan menolak norma-norma gender yang dilakukan untuk bisa menelanjangi sisi penindasan  yang sedang dilakukan atas dasar manusia kepada manusia.  Penindasan harus dilakukan untuk mengatasi perjuangan mencapai idealisme yang terbangun dalam imajinasi pencitraannya, ditanamkan baik sebagai fantasi dalam kata-kata maupun simbolisasi.  Lelaki jantan tidak harus bersesuaian dengan norma-norma kebaikan tetapi lebih dikhususkan kepada keperkasaannya. Perempuan cantik bukan karena norma-norma kebaikan, tetapi karena pemenuhan standar fisiknya.

Pilihan seksualitas yang berbeda sebenarnya menunjukkan tentang ambivalensi nilai.  Ambivalensi nilai dipersoalkan secara jujur dan terbuka untuk melepaskan kedok ketubuhan yang sering menipu. Ketiadaan kesesuaian antara satu nilai dengan nilai lainnya. Misalkan nilai keperkasaan seyogianya juga berkaitan dengan nilai kejujuran, kemuliaan untuk berlaku adil, ketulusan untuk mendukung seseorang.

Ternyata tubuh sebagai wadah untuk mengakomodasikan dan mempraktekkan nilai yang mengubah sebagai sifat, perilaku masih harus bersesuaian dengan peran sosial seseorang. Seseorang dalam perannya sebagai kepala rumah tangga, mungkin saja bisa sangat sombong untuk mengakui kelemahan-kelemahan dari representasi perilaku yang mencerminkan nilai-nilainya. Ia dilindungi oleh kedok dirinya sebagai seorang lelaki yang mempunyai otoritas, seorang yang mempunyai kepentingan. Seorang yang bisa menggunakan kekuasaannya untuk menindas.

Misteri mekanisme psikologis dan pilihan-pilihan etika masih bisa dibahas panjang lebar. Tetapi saya harus berhenti di sini. Penjelasan yang ada setidaknya memberikan gambaran tentang  kompleksitas konteks tubuh ketubuhan terhadap pilihan diri kedirian atas seksualitas yang berbeda.  Semoga!

1 komentar:

  1. saya suka banget wacana di atas. enlighten my head dan setuju dengan pemikiran2 anda :)

    BalasHapus