Translate

Minggu, 15 April 2012

Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i

Bagian pertama:  sebutan dan pengertian!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Dalam waktu yang hampir bersamaan, saya belajar seksualitas yang dilihat dari perspektif ibu-ibu akar rumput dan pemuda-pemudi. Sejak 23, 25 Maret, 1 dan 15 April  2012  saya berkesempatan memfasilitasi Pendidikan Kader Dasar untuk anggota Koalisi Perempuan Indonesia cabang Bantul. Selama minggu kemarin dari tanggal 10 sd 15 April 2012, pengalaman yang berbeda sedang saya alami dengan pemuda-pemudi antara agama dengan identitas yang berbeda mendorong saya menulis.

Seksualitas yang pada umumnya dianggap tabu di kalangan ibu-ibu ternyata merupakan topik yang menarik untuk didiskusikan.Pembahasan tentang seksualitas kepada ibu-ibu selalu menimbulkan tawa renyah. Ibu-ibu datang dari latar belakang berbagai agama, kebanyakan muslim, tetapi ada yang kristiani. Mereka tak segan-segan saling menertawakan satu dengan lainnya.  Bahasa tubuh mereka macam-macam. Ada yang nampak marah-marah, tampil ketus mengutuki lelaki yang mungkin pernah menyakitinya. Ada yang dengan geli nyeletuk tentang kenikmatan bercinta. Ada yang menutup mulut rapat-rapat, dengan sangat dingin menolak mengekpresikan pengalaman seksualitasnya. 

Keragaman tanggapan ini sangat menarik bagi saya. Seksualitas yang semula tabu, tidak bisa diperbincangkan di depan umum mulai terbongkar. Hampir setiap bulan dalam perjalanan saya ke Balai-Balai Perempuan di desa-desa saya melihat keterbukaan ibu-ibu dalam memahami seksualitas. Isu seksualitas bukan hanya terkait dengan kontrasepsi, keluarga berencana (KB).  Perubahan sikap terhadap seksualitas dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Kehadiran TV langsung dalam keluarga menjadi pemicu utamanya.  Ada banyak program di TV mengemas isu seksualitas dalam bentuk diskusi, berita, drama dll.   Pada umumnya mereka sudah mulai paham tentang hubungan seksualitas dengan penyakit seperti IMS (infeksi menular seksual) termasuk juga HIV/Aids. Tetapi ada masih ada banyak ibu-ibu yang belum memahami hubungan antara seksualitas dengan hak serta kewajiban dari seseorang.

Sementara pemuda/i berlatar belakang berbagai agama, yaitu muslim, kristen dan hindu,  yang hadir pada Youth Queer Interfaith and Sexuality Camp (lihat yqfscamp.wordpress.com/about/camp-activities/) datang dengan orientasi seksual heteroseksual maupun homoseksual. Kemandirian mereka mengakses informasi tentang seksualitas besar sekali. Seksualitas seperti magnit yang menarik pemuda untuk mengenalnya mendalam. Seksualitas adalah diri mereka sendiri. Keterbukaan mereka untuk memikirkan secara eksistensial tentang berbagai orientasi seksualitas yang berada di sekitarnya telah melahirkan berbagai pertanyaan. 

Istilah seks berhubungan langsung dengan jenis kelamin. Tetapi masyarakat modern mengerti seks sebagai bagian dari konstruksi sosial. Secara biologis, seks yang menunjukkan perbedaan jenis kelamin laki-laki (jantan) dan perempuan (betina) karena tampilan organ seks yang berbeda, ternyata dapat menghasilkan variasi-variasi identitas seksual yang beragam pula. Identitas tersebut berkaitan dengan perbedaan-perbedaan dasar dari ketertarikan seksualitas.  Lazimnya, seorang perempuan tertarik secara seksual kepada seorang lelaki. Hubungan ini disebut heteroseksual. 

Sementara ada juga hubungan yang disebut homoseksual. Misalkan seorang lesbian adalah seorang perempuan yang tertarik secara seksual kepada perempuan lain. Seorang "gay"  adalah seorang lelaki yang tertarik secara seksual kepada lelaki.  

Bentukan lain dalam relasi seksualitas yang menunjukkan kondisi  “trans” atau “kemampuan melewati” bisa dijelaskan dengan dua maksud pemahaman yang cukup berbeda. Pertama, seorang transgender adalah seorang yang berkelamin tertentu yang tampil berperilaku dengan peran gender yang berlawanan.  Terlihat pada seseorang yang dengan sengaja berdandan menggunakan pakaian dari gender yang berlawanan sambil menghadirkan sifat-sifat kegenderan yang diperankan tersebut.

Seorang lelaki bisa berpakaian kemayu seperti seorang perempuan yang di Indonesia disebut “waria” (wanita lelaki). Dikatakan apabila seorang “waria” berdandan maka ia sedang menunjukkan ketertarikan seksualitas pada seseorang dari jenis kelamin yang sama yaitu lelaki. Ketika “waria” tidak berdandan ada kecenderungan untuk tertarik secara seksualitas kepada sesama “waria”.  Istilah “waria” diberikan khusus kepada lelaki. 

Kedua, istilah trans-seksualitas adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang berkelamin tertentu tetapi pada dirinya terdapat organ tubuh yang berbeda. Misalkan seorang perempuan tidak mempunyai indung telur sehingga tidak ada fungsi biologis untuk mengandung dan melahirkan . Ada juga seseorang bertubuh lelaki tetapi mempunyai payudara. Penampakan diri yang berbeda dari keberadaan genetis biologis menyebabkan seseorang dengan kondisi trans-seksualitas pada dirinya bisa cenderung tertarik secara seksual baik kepada lelaki dan perempuan. Perbedaannya dengan biseksual adalah seorang dengan fungsi genetis biologis tertentu tanpa kelainan bisa tertarik secara seksual baik kepada jenis kelamin lelaki maupun perempuan. 

Saya memperhatikan perbedaan reaksi ketika penjelasan-penjelasan ini disampaikan baik kepada ibu-ibu maupun pemuda/i tsb. Ibu-ibu dengan mata terheran-heran mencoba memahami penjelasan seperti digambarkan di atas tanpa cepat-cepat menyeletuk mengeluarkan kata"dosa" untuk diberikan kepada mereka yang berorientasi seksual berbeda.   Ada seorang ibu yang bertanya mengapa bisa terjadi perbedaan-perbedaan orientasi seksual tersebut. Saya menjawab dengan menunjukkan penjelasan tentang variasi kelamin manusia dalam alam semesta. 

Sementara pemudi/pemuda yang hadir pada  pertemuan tsb ada yang sudah mengerti tetapi ada juga yang masih belum jelas. Kehadiran mereka yang heteroseksual terutama untuk mengerti tentang pergumulan identitas berbeda dari teman-teman homoseksual, transgender-sekual, biseksual dan interseksual. Mereka juga ingin tahu bagaimana agama-agama memberikan penjelasan tentang persoalan orientasi seksual yang berbeda.  Pertemuan Camp tersebut menggandeng istilah Queer untuk menampung berbagai variasi dari identitas seksual yang sedang dicari oleh para pemuda/i tersebut. 

Singkatannya lesbian, gay, biseksual, trans-gender/transeksual, interseksual dan queer dipendekkan dalam kodefikasi LGBT-IQ. Tetapi variasi identitas ini sebenarnya bisa dijelaskan secara biologis.

Spektrum biologis yang menjelaskan tentang posisi kejantanan dan kebetinaan dari lelaki dan perempuan mementang dari ekstrim paling kiri (jantan/lelaki) ke ekstrim paling kanan (betina/perempuan). Diantara kedua ektrim inilah terdapat berbagai variasi orientasi seksual seseorang. Terjadinya variasi ketubuhan seseorang secara seksual sangat ditentukan oleh keragaman dari jumlah hormon estrogen pada perempuan dan testosteron pada lelaki. 

Kedua hormon ini bersama dengan organ genetik lainnya akan menentukan organ seksual dari masing-masing pribadi sebagai lelaki atau perempuan. Organ seksual lainnya dari perempuan adalah vagina,  payudara, rahim dan indung telur. Sedangkan secara biologis, organ seksual yang menyebabkan ketubuhan seseorang disebut "lelaki" adalah penis, kantong kemih, sperma, dan jakut.  Tetapi konstruksi budaya seperti sosialisasi diri dan masyarakat bisa berpengaruh terhadap suatu pilihan seksual (sexual preference) dari seseorang   pada saat memposisikan dirinya dalam istilah identitas seksual. Identitas seksual bersifat plastik, artinya bisa berubah tergantung pada pilihan yang dilakukan seseorang.  

Istilah identitas secara sosiologis dan budaya dihubungan dengan suatu pilihan Diri yang dibuat seseorang dalam interaksi dengan orang lain. Terkesan identitas seksual menunjukkan penentuan dari seseorang, tetapi sebenarnya ia sangat ditentukan oleh komunitas setidaknya “partner” dengan siapa ketertarikan seksual dihadirkan. Cara pikir ini bersifat anti essensialisme yang mengedepankan tentang pencarian identitas seseorang dapat terjadi sepanjang kehidupannya. Sebaliknya cara berpikir essensialisme cenderung menekankan tentang pencarian yang permanen, yang pasti, kemilikan sejati yang tidak akan berubah sesudah penemuan tercapai.  Terhadap kedua posisi cara pikir ini, dalam menjelaskan tentang identitas seksual saya menggunakan pendekatan anti essensialisme.

Seks yang adalah jenis kelamin, sering kali dimengerti sebagai kodrat sebagaimana pemahaman lazimnya di Indonesia. Penyebutan “kodrat” ternyata dikenakan bukan saja untuk menjelaskan tentang seks, tetapi juga terhadap peran-peran sosial yang dibedakan dalam masyarakat kepada lelaki dan perempuan. Misalkan perempuan bersifat lembut, lelaki bersifat kasar. Karena itu perempuan bisa menangis tetapi lelaki harus menahan diri, tampil dingin dan kuat. Daftar keperbedaan lelaki dan perempuan bisa diteruskan untuk menunjukkan tentang peran sosial yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka masing-masing. 

Kesalahan penyebutan ini perlu dikoreksi, karena sifat-sifat yang dikonstruksikan masyarakat bukanlah kodrat. Kodrat dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai suatu takdir yang diberikan oleh alamiah biologis. Seringkali pandangan ini dikaitkan dengan penciptaan Tuhan terhadap organ-organ seksualitas manusia.  Jadi penyebutan yang tepat untuk menggambarkan perbedaan peran tersebut adalah gender. Gender sebagai definisi menjelaskan tentang perbedaan peran sosial yang diberikan kepada lelaki dan perempuan untuk fungsi-fungsinya yang dapat ditukar menukarkan sesuai dengan tingkat pemahaman untuk menegosiasikan di antara mereka  relasi kekuasaan yang adil dan setara. 

Misalkan karena pendidikan gender yang kami fasilitasi kepada ibu-ibu pada paska erupsi Merapi, peran sosial mereka bisa berubah. Ternyata tugas untuk memasak bisa dilakukan oleh lelaki, suami, sang ayah untuk menjaminkan penerusan makanan kepada anggota keluarga ketika perempuan, sebagai istri, sebagai ibu sedang melakukan kegiatan publik lainnya. Sebelumnya, tugas memasak hanya dilakukan oleh ibu, sang istri.

Dikalangan mereka yang mengklaim identitas seksual yang berbeda, ternyata masih juga memahami dan menjalankan pemahaman kodrat sehingga tanpa disadari terbentuk pembagian fungsi antara lelaki dan perempuan dalam relasi homoseksual misalnya. Dari contoh ini, penyadaran gender juga harus terus menerus disampaikan kepada mereka dengan orientasi seksual berbeda. Karena tidak secara otomatis seorang yang begitu modern dalam memahami identitas seksualnya sekaligus dengan sadar menerapkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam berelasi dengan partner dan sesamanya.

Keterbukaan kedua kelompok ini, ibu-ibu akar rumput dan pemuda/i sungguh mengagumkan saya, sehingga mengganggu benak saya untuk melanjutkan terus tulisan ini pada bagian berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar