Memperbincangkan
seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Ketiga: Memposisikan nilai, Diri dan
interpretasi teks-teks suci
Oleh
Farsijana Adeney-Risakotta
Saya ingat
jawaban menarik dari seorang partisipan pada Youth Interfaith Queer and
Sexuality Camp. Ketika saya bertanya umur berapa seseorang mulai sadar tentang
jenis kelaminnya sendiri. Jawabannya lucu sekali. Sambil membentuk tangannya
seolah-olah sedang memegang pistol, ia mengingatkan ketika orang tuanya
mengajarkan keamanan melindungi genitalnya dari tembakan yang berbahaya. Ia
lupa umurnya ketika sosialisasi keamanan diri diterima dari orang tuanya, yang
diingat hanya pengalamannya bermain pistol-pistolan dengan ayahnya untuk
menjelaskan bahwa dirinya seorang lelaki.
Tanggapan
menarik dari partisipan ini saya terima sesudah kami memainkan peran. Saya
meminta tiga orang untuk berdiri di depan. Kemudian seorang teman saya dan saya
sendiri memposisikan diri sebagai “sistem sosial” yang menekan seseorang atau
kelompok karena perbedaan ras, etnis dan orientasi seksual. Kami berperan
seperti seorang yang sedang marah dan secara cepat menggunakan senjata
menembaki sekelilinginya. Partisipan lainnya sedang duduk bersila berlawanan arah
dengan ketiga partisipan yang sedang berdiri.
Kami, kelompok penekanan yang sedang membabi buta ini berdiri di antara
dua kelompok partisipan.
Reaksinya
berbeda, hanya partisipan yang mengingat tentang masa kecilnya dari permainan
pistol-pistolan dengan ayahnya, dialah yang tidak bereaksi apa-apa. Ia sangat
tenang, gerakan tubuhnya diam saja. Kedua partisipan lainnya mencoba menghindari
serangan tembakan dengan membongkokkan badannya. Mereka tidak melarikan diri
tetapi berupaya memiringkan tubuhnya, menghindari diri dari tembakan tersebut.
Sebaliknya di kalangan peserta yang sedang bersila, ada setidaknya tiga orang
yang paling terdepan bereaksi dengan berbeda-beda. Ada seorang yang mencoba
menutup mata dengan tangannya. Seorang lain mencoba mengambil bantalan matras
untuk menutupi mukanya. Sementara seorang lain beranjak mau melarikan diri dari
tempat di mana ia sedang bersila.
Partisipan
yang berdiri tegak adalah satu-satunya yang pernah sejak kecil sudah
disosialisasikan oleh ayahnya tentang pentingnya Diri melindungi pribadinya.
Pernyataan tubuhnya jelas! Saya bertanggungjawab dengan keamanan Diri pribadi
sendiri! Cuma sekarang, perlindungan
dirinya bukan muncul dari seorang yang heteroseksual ketika sosialisasi
genetikal diterima pada masa kecilnya. Sekarang, ia adalah seorang homoseksual.
Kata-katanya sangat kuat ketika saya bertanya, mengapa ia begitu tenang tanpa
reaksi bisa menghadapi situasi tekanan tsb. Jawabannya: “Saya punya identitas!”.
Permainan
peran ini mungkin terlalu sederhana untuk menjelaskan kedasyatan tekanan
“sistem sosial” yang tanpa kita sadari sedang menimpa diri kita. Setidaknya ada tiga representasi Diri sebagai
reaksi terhadap orang perorangan maupun institusi yang menggunakan norma
sebagai ideologi penekan untuk memecahkan diri atau menyerang. Pertama, pribadi
dalam Diri bisa terbunuh oleh penekan sehingga dapat memecahkan Diri,
menyebabkan Diri menyerang, mendorong tubuh melawan atau membenturkan Diri
langsung ke penekan. Kedua, Diri
terlepas dari jejaring sosial dan institusi yang pernah memproduksinya supaya
bisa membentuk jejaring baru atau bahkan terputus sama sekali dari jejaring
apapun menjadi asosial. Ketiga,
Diri bisa melewatkan tekanan dalam tubuh dan mengakomodasikan Diri lain
ke dalam jejaringan yang memproduksinya
untuk mengubah persepsi dan praktek nilai yang diskriminatif secara
bersama-sama.
Identitas
seksual diperkenalkan oleh “sistem sosial” yang paling terdekat dengan Diri
pribadi, misalkan dimulai dari keluarga, ketika seseorang masih sangat muda. Partisipan
yang mengingat permainan pistolan sudah lupa umurnya ketika konstruksi dirinya
terbentuk dari permainan tembak-tembakan dengan sang ayah. Penisnya harus
ditutupi ketika arah tangan berupa pistol diarahkan kepadanya. Ia hanya ingat permainan pistolan dari sang ayah. Sementara
itu, ingatan tentang umur dan bentukan konstruksi lain yang diterima dari
keluarga masih kental ketika partisipan yang sama menjelaskan tentang
pengajaran sholat yang diberikan oleh orang tuanya. Ia ketika itu berumur 7
tahun. Dari contoh ini sangat jelas bahwa identitas seksual diberikan kepada
seseorang lebih awal sebelum identitas agama.
Dalam
perjalanannya identitas seksual ternyata bisa mengalami perubahan. Pilihan
dilakukan oleh Diri pribadi sendiri dalam interaksi dengan keluarganya. Tidak terlalu jelas, apakah perubahan
identitas seksual yang terjadi pada partisipan tsb sudah diketahui oleh
keluarganya. Tetapi cerita ini menarik karena ternyata pengalamannya itu mirip
dengan mas Dede Oetomo yang berkesempatan hadir sebagai narasumber dalam Camp
tsb.
Pada makan
siang bersama saya menanyakan mas Dede kapan ia menjelaskan dengan terbuka kepada orang tuanya tentang pilihan identitas
seksualitas. Jawabannya: “ Saya memberitahu mereka ketika berumur 20 tahun pada
tahun 1974”. Ada empat orang yang secara khusus menerima kehormatan dari mas
Dede untuk menjelaskan tentang pilihan identitasnya. Mereka adalah kedua orang
tua biologisnya dan kedua orang tua angkatnya.
Tetapi diperlukan hampir 6 tahun yaitu di tahun 1980 ketika ia bisa
“coming out”, mengumumkan kepada publik tentang identitas seksualnya sebagai
seorang “gay”.
Seseorang
memerlukan waktu untuk menguatkan posisi normatifnya sebelum bisa menjelaskan
kepada orang lain di sekitarnya, yaitu keluarga maupun masyarakat luas tentang
identitas seksualnya. Kadang-kadang ada yang berhasil untuk “coming out”
seperti terlihat dari cerita di atas. Tetapi
sering kali ada yang harus tertekan seumur hidupnya karena keterbatasan
dalam penguatan diri untuk menegosiasikan pilihan identitasnya. Lingkungan
keluarga dan masyarakat sangat berperan besar untuk menolong seseorang mencapai
penguatan diri “coming out”.
Mereka
dengan orientasi seksual berbeda membangun penguatan diri pada dasar
homonormatif. Homonormatif adalah pandangan tentang cinta kasih sebagai suatu
keluhuran yang diperbolehkan terjadi diantara sesama jenis. Norma-norma ini dibangun dari suatu kesadaran
tentang kejujuran terhadap Diri pribadi baik atas representasi ketubuhan secara
biologis maupun psikologis . Dasar pemikirannya adalah kesadaran tentang
ketertarikan seksual sesama jenis yang dapat dirasakan diterima juga sebagai
bagian dari ciptaan Sang Pemberi
Hidup. Pertanyaan yang sering muncul
adalah bagaimana perasaan dan pengalaman ketertarikan kepada sesama jenis “ada”
seperti magma dalam Diri pribadi.
Seluruh tubuh dialirkan oleh kekuatan magma yang entah kapan akan
erupsi. Di manakah campur tangan Sang
Pemberi Hidup dalam keDirian Pribadi ini?
Ketika saya
berada di daerah Golden Triangle di antara Thailand Utara, Myamar dan Vietnam,
saya belajar dari masyarakat setempat tentang kekuatan yang dipercayai memancar
keluar dari seorang yang sesudah remaja atau dewasa mengklaim dirinya sebagai
seorang banci. Masyarakat di daerah ini
percaya bahwa seseorang yang terlahir dengan perilaku “banci” mempunyai
kekuatan ilahi yang sangat besar. Mereka ini memiliki indra ke-6 sehingga bisa
berkomunikasi dengan energi atau roh-roh leluhur. Menjadi “banci” dalam budaya
setempat diterima sebagai representasi kekuatan adikodrati. Banci bukan
dibentuk manusia, tetapi merupakan buatan, titisan adikodrati.
Ternyata
“banci” masih lebih diterima dari pada mempunyai seorang anak perempuan tanpa
anak lelaki. Praktek ini saya temukan
dalam perjalanan ke Shanghai, Beijing dan Xian.
Saya ceritakan ceritanya kepada partisipan di Camp. Sekarang saya
menulis ceritanya lagi. Ceritanya begini. Raja Miaozhuang mempunyai seorang
anak perempuan bernama Miaoshan yang jatuh cinta pada ajaran Budha. Sehari-hari
Miaoshan mempraktekkan cara hidup membiara, seperti hidup sebagai seorang vegi
(makan hanya sayur-sayuran). Raja ingin mempunyai anak lelaki yang bisa
diperoleh melalui menikahkan anaknya, Miaoshan. Tujuannya sebenarnya bukan
untuk kebahagiaan Miaoshan tetapi supaya melalui menantu lelakinya, hak
pewarisan bisa diturunkan.
Keinginan
raja ini ditolak oleh anak perempuannya. Karena itu raja mengirimkannya ke
biara Budha. Pemisahan ini malahan
membahagiakan Miaoshan. Raja menjadi marah sehingga kemudian memutuskan
membakar biara tsb. Sekitar 500 biksu terbakar dengan biara tsb. Miaoshan
ternyata diselamatkan oleh roh-roh leluhur dan dibawa ke pegunungan di mana ia
dipersiapkan untuk mengalami transformasi dari manusia menjadi dewi. Ketika itu
raja sakit. Kesembuhannya bisa terjadi apabila ia disentuh oleh anaknya yang
sekarang tinggal di gunung. Ketika raja ke sana, menyentuhnya, raja sembuh dan
Miaoshan berubah menjadi dewi yang dalam tradisi “agama Tiongkok” di sebut Guanyin. Guanyin
adalah dewi kemurahan dengan representasi beribu tangan dan mata. Ia bisa
mendengar penderitaan manusia.
Cerita lain
tentang status “banci” di Amerika Serikat menarik untuk dimunculkan. Di Amerika Serikat apabila seseorang ditemukan
berperilaku seperti banci dengan menggunakan pakaian dari lawan jenisnya, ia akan
dikejar-kejar, dilemparin batu dstnya. Penghargaan kepada “banci” yang merendahkan,
menghinakan, mungkin saja mendorong penguatan identitas homoseksual terutama di
kalangan gay. Ketertarikan terhadap sesama jenis seperti seorang lelaki kepada
lelaki lainnya tidak perlu dilakukan dengan mengubah identitas dirinya yang
sebenarnya menjadi seorang “banci”. Setiap
tempat dengan budayanya masing-masing ternyata memberikan penghargaan yang
berbeda terhadap representasi tubuh dan ketubuhan manusia.
Sementara
agama-agama yang memposisikan dirinya sebagai hukum universal yang cenderung
meniadakan keunikan pandangan partikular yang membentuk perilaku masyarakat
tertentu terhadap fenomena seksualitas. Agama-agama mengertikan seksualitas
sebagai bagian dari sistem nilai yang selain berhubungan langsung dengan
moralitas, juga mengandung unsur wahyu. Pandangan moralitas ini membantu
mengatur tata hidup bersama. Seseorang berhak dengan tubuhnya sendiri, tetapi
ketubuhannya dapat menyakitkan, mengacaukan orang lain apabila dibiarkan “liar”
mengembara menyentuh orang-orang di sekitarnya tanpa tanggungjawab.
Dari
tradisi Abrahamik, muatan adikodrati dari pandangan seksualitas berhubungan
dengan argumentasi bahwa kehidupan berpasang-pasangan secara heteroseksual
merupakan perintah Allah. Dasar
argumentasinya adalah perkembangbiakan. Pandangan tentang “makna adikodrati
perkembangbiakan” ternyata akan
berbenturan dengan praktek selibat yang juga diterima sebagai bentuk pewahyuan
dari Allah. Praktek “selibat” pada dirinya menunjukkan tentang bentukan norma
non-heteronormatif maupun homonormatif.
Praktek ini bisa dikategorikan sebagai “aseksual normatif”. Artinya
dasar praktek ketubuhan terbangun dari
pandangan “ketiadaantarikan seksual”.
Dalam
agama-agama, dominasi pandangan heteronormatif atas “aseksualnormatif” maupun
“homonormatif” sebenarnya yang paling penting untuk mengalami proses penyadaran
Diri. Heteronormatif telah menciptakan
banyak ketimpangan dalam kehidupan sosial bukan pertama-tama karena
serangan-serangannya kepada homonormatif dan aseksualnormatif. Sebagai bangunan yang terlihat dari sistem
sosial, pandangan heternormatif yang mendominasinya, menyebabkan
praktek-praktek penindasan, penyiksaan, penghinaan, marginalisasi kepada mereka
yang lemah seperti perempuan dan masyarakat populis yang berada pada lapisan
terbawah dari sistem kekuasaan di mana
saja. Praktek kekuasaan yang terbangun
dari pandangan heteronormatif bisa mendirikan kerajaan tirani kepada sesama
manusia karena keyakinannya terhadap kekuataan otoritas di dalam kendali
partiarkis. Di sinilah ketersesatan agama-agama bisa terjadi!
Representasi
pandangan heteronormatif ada pada teks-teks suci. Teks-teks suci adalah
berbagai tuturan yang terdokumentasikan sebagai tulisan yang merepresentasi
kejadian-kejadian yang dikisahkan sehingga dalam pembacaannya terkesan hidup. Sebagai teks suci, tulisan-tulisan ini mempunyai otoritas untuk membimbing umat
kepada jalanan kehidupan. Teks-teks tertulis menjadi kata-kata yang menghidupan
orang-orang percaya. Tetapi teks-teks
suci ini sekaligus bisa berfungsi sebagai alat legitimasi untuk mendukung
kepentingan orang-orang tertentu. Seringkali pengambilan teks-teks suci
dipenggal pada tingkat ayat-ayat dilepaskan dari kesatuan nilai yang
membentukan maknanya.
Karena itu
sangat penting untuk memulai menginterpretasi atau menafsir teks-teks suci
tersebut dari berbagai pandangan seperti heteronormatif, homonormatif maupun
aseksualnormatif. Tafsir yang
bertanggungjawab bisa tercapai apabila beberapa persyaratan mendasar dapat
dipenuhi. Pertama, diperlukan kejelasan tentang
konteks. Teks-teks suci mempunyai konteks yang harusnya dapat menjelaskan
mengapa teks tersebut ada. Kedua, perlu adanya kejelasan tentang maksud
pembacaan teks-teks suci tersebut bagi si penafsir. Ketiga, perlu adanya
kesadaran dari sisi penafsiran tentang pertanyaan-pertanyaan kritis yang
ditujukan kepada teks tsb dan dimunculkan dari konteks yang berbeda ketika teks
tersebut dihasilkan.
Saya mau
berhenti di sini untuk meneruskan lagi pada bagian lainnya, memulai tafsir yang
menghidupkan (a living interpretation)!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar