Translate

Rabu, 18 April 2012

Memposisikan nilai, Diri dan interpretasi teks-teks suci



Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Ketiga:  Memposisikan nilai, Diri dan interpretasi teks-teks suci

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Saya ingat jawaban menarik dari seorang partisipan pada Youth Interfaith Queer and Sexuality Camp. Ketika saya bertanya umur berapa seseorang mulai sadar tentang jenis kelaminnya sendiri. Jawabannya lucu sekali. Sambil membentuk tangannya seolah-olah sedang memegang pistol, ia mengingatkan ketika orang tuanya mengajarkan keamanan melindungi genitalnya dari tembakan yang berbahaya. Ia lupa umurnya ketika sosialisasi keamanan diri diterima dari orang tuanya, yang diingat hanya pengalamannya bermain pistol-pistolan dengan ayahnya untuk menjelaskan bahwa dirinya seorang lelaki.

Tanggapan menarik dari partisipan ini saya terima sesudah kami memainkan peran. Saya meminta tiga orang untuk berdiri di depan. Kemudian seorang teman saya dan saya sendiri memposisikan diri sebagai “sistem sosial” yang menekan seseorang atau kelompok karena perbedaan ras, etnis dan orientasi seksual. Kami berperan seperti seorang yang sedang marah dan secara cepat menggunakan senjata menembaki sekelilinginya. Partisipan lainnya sedang duduk bersila berlawanan arah dengan ketiga partisipan yang sedang berdiri.  Kami, kelompok penekanan yang sedang membabi buta ini berdiri di antara dua kelompok partisipan. 

Reaksinya berbeda, hanya partisipan yang mengingat tentang masa kecilnya dari permainan pistol-pistolan dengan ayahnya, dialah yang tidak bereaksi apa-apa. Ia sangat tenang,  gerakan tubuhnya diam saja.  Kedua partisipan lainnya mencoba menghindari serangan tembakan dengan membongkokkan badannya. Mereka tidak melarikan diri tetapi berupaya memiringkan tubuhnya,  menghindari diri dari tembakan tersebut. Sebaliknya di kalangan peserta yang sedang bersila, ada setidaknya tiga orang yang paling terdepan bereaksi dengan berbeda-beda. Ada seorang yang mencoba menutup mata dengan tangannya. Seorang lain mencoba mengambil bantalan matras untuk menutupi mukanya. Sementara seorang lain beranjak mau melarikan diri dari tempat di mana ia sedang bersila.

Partisipan yang berdiri tegak adalah satu-satunya yang pernah sejak kecil sudah disosialisasikan oleh ayahnya tentang pentingnya Diri melindungi pribadinya. Pernyataan tubuhnya jelas! Saya bertanggungjawab dengan keamanan Diri pribadi sendiri!  Cuma sekarang, perlindungan dirinya bukan muncul dari seorang yang heteroseksual ketika sosialisasi genetikal diterima pada masa kecilnya. Sekarang, ia adalah seorang homoseksual. Kata-katanya sangat kuat ketika saya bertanya, mengapa ia begitu tenang tanpa reaksi bisa menghadapi situasi tekanan tsb. Jawabannya: “Saya punya identitas!”.

Permainan peran ini mungkin terlalu sederhana untuk menjelaskan kedasyatan tekanan “sistem sosial” yang tanpa kita sadari sedang menimpa diri kita.  Setidaknya ada tiga representasi Diri sebagai reaksi terhadap orang perorangan maupun institusi yang menggunakan norma sebagai ideologi penekan untuk memecahkan diri atau menyerang. Pertama, pribadi dalam Diri bisa terbunuh oleh penekan sehingga dapat memecahkan Diri, menyebabkan Diri menyerang, mendorong tubuh melawan atau membenturkan Diri langsung ke penekan.  Kedua, Diri terlepas dari jejaring sosial dan institusi yang pernah memproduksinya supaya bisa membentuk jejaring baru atau bahkan terputus sama sekali dari jejaring apapun menjadi asosial. Ketiga,  Diri  bisa melewatkan tekanan dalam tubuh dan mengakomodasikan Diri lain ke dalam  jejaringan yang memproduksinya untuk mengubah persepsi dan praktek nilai yang diskriminatif secara bersama-sama.

Identitas seksual diperkenalkan oleh “sistem sosial” yang paling terdekat dengan Diri pribadi, misalkan dimulai dari keluarga, ketika seseorang masih sangat muda. Partisipan yang mengingat permainan pistolan sudah lupa umurnya ketika konstruksi dirinya terbentuk dari permainan tembak-tembakan dengan sang ayah. Penisnya harus ditutupi ketika arah tangan berupa pistol diarahkan kepadanya.  Ia hanya ingat  permainan pistolan dari sang ayah. Sementara itu, ingatan tentang umur dan bentukan konstruksi lain yang diterima dari keluarga masih kental ketika partisipan yang sama menjelaskan tentang pengajaran sholat yang diberikan oleh orang tuanya. Ia ketika itu berumur 7 tahun. Dari contoh ini sangat jelas bahwa identitas seksual diberikan kepada seseorang lebih awal sebelum identitas agama.

Dalam perjalanannya identitas seksual ternyata bisa mengalami perubahan. Pilihan dilakukan oleh Diri pribadi sendiri dalam interaksi dengan keluarganya.  Tidak terlalu jelas, apakah perubahan identitas seksual yang terjadi pada partisipan tsb sudah diketahui oleh keluarganya. Tetapi cerita ini menarik karena ternyata pengalamannya itu mirip dengan mas Dede Oetomo yang berkesempatan hadir sebagai narasumber dalam Camp tsb.

Pada makan siang bersama saya menanyakan mas Dede kapan ia menjelaskan dengan terbuka  kepada orang tuanya tentang pilihan identitas seksualitas. Jawabannya: “ Saya memberitahu mereka ketika berumur 20 tahun pada tahun 1974”. Ada empat orang yang secara khusus menerima kehormatan dari mas Dede untuk menjelaskan tentang pilihan identitasnya. Mereka adalah kedua orang tua biologisnya dan kedua orang tua angkatnya.  Tetapi diperlukan hampir 6 tahun yaitu di tahun 1980 ketika ia bisa “coming out”, mengumumkan kepada publik tentang identitas seksualnya sebagai seorang “gay”.

Seseorang memerlukan waktu untuk menguatkan posisi normatifnya sebelum bisa menjelaskan kepada orang lain di sekitarnya, yaitu keluarga maupun masyarakat luas tentang identitas seksualnya. Kadang-kadang ada yang berhasil untuk “coming out” seperti terlihat dari cerita di atas. Tetapi  sering kali ada yang harus tertekan seumur hidupnya karena keterbatasan dalam penguatan diri untuk menegosiasikan pilihan identitasnya. Lingkungan keluarga dan masyarakat sangat berperan besar untuk menolong seseorang mencapai penguatan diri “coming out”.

Mereka dengan orientasi seksual berbeda membangun penguatan diri pada dasar homonormatif. Homonormatif adalah pandangan tentang cinta kasih sebagai suatu keluhuran yang diperbolehkan terjadi diantara sesama jenis.  Norma-norma ini dibangun dari suatu kesadaran tentang kejujuran terhadap Diri pribadi baik atas representasi ketubuhan secara biologis maupun psikologis . Dasar pemikirannya adalah kesadaran tentang ketertarikan seksual sesama jenis yang dapat dirasakan diterima juga sebagai bagian dari  ciptaan Sang Pemberi Hidup.  Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana perasaan dan pengalaman ketertarikan kepada sesama jenis “ada” seperti magma dalam Diri pribadi.  Seluruh tubuh dialirkan oleh kekuatan magma yang entah kapan akan erupsi.  Di manakah campur tangan Sang Pemberi Hidup dalam keDirian Pribadi ini?  

Ketika saya berada di daerah Golden Triangle di antara Thailand Utara, Myamar dan Vietnam, saya belajar dari masyarakat setempat tentang kekuatan yang dipercayai memancar keluar dari seorang yang sesudah remaja atau dewasa mengklaim dirinya sebagai seorang banci.  Masyarakat di daerah ini percaya bahwa seseorang yang terlahir dengan perilaku “banci” mempunyai kekuatan ilahi yang sangat besar. Mereka ini memiliki indra ke-6 sehingga bisa berkomunikasi dengan energi atau roh-roh leluhur. Menjadi “banci” dalam budaya setempat diterima sebagai representasi kekuatan adikodrati. Banci bukan dibentuk manusia, tetapi merupakan buatan, titisan adikodrati.

Ternyata “banci” masih lebih diterima dari pada mempunyai seorang anak perempuan tanpa anak lelaki.  Praktek ini saya temukan dalam perjalanan ke Shanghai, Beijing dan Xian.  Saya ceritakan ceritanya kepada partisipan di Camp. Sekarang saya menulis ceritanya lagi. Ceritanya begini. Raja Miaozhuang mempunyai seorang anak perempuan bernama Miaoshan yang jatuh cinta pada ajaran Budha. Sehari-hari Miaoshan mempraktekkan cara hidup membiara, seperti hidup sebagai seorang vegi (makan hanya sayur-sayuran). Raja ingin mempunyai anak lelaki yang bisa diperoleh melalui menikahkan anaknya, Miaoshan. Tujuannya sebenarnya bukan untuk kebahagiaan Miaoshan tetapi supaya melalui menantu lelakinya, hak pewarisan bisa diturunkan.

Keinginan raja ini ditolak oleh anak perempuannya. Karena itu raja mengirimkannya ke biara Budha.  Pemisahan ini malahan membahagiakan Miaoshan. Raja menjadi marah sehingga kemudian memutuskan membakar biara tsb. Sekitar 500 biksu terbakar dengan biara tsb. Miaoshan ternyata diselamatkan oleh roh-roh leluhur dan dibawa ke pegunungan di mana ia dipersiapkan untuk mengalami transformasi dari manusia menjadi dewi. Ketika itu raja sakit. Kesembuhannya bisa terjadi apabila ia disentuh oleh anaknya yang sekarang tinggal di gunung. Ketika raja ke sana, menyentuhnya, raja sembuh dan Miaoshan berubah menjadi dewi yang dalam tradisi  “agama Tiongkok” di sebut Guanyin. Guanyin adalah dewi kemurahan dengan representasi beribu tangan dan mata. Ia bisa mendengar penderitaan manusia.

Cerita lain tentang status “banci” di Amerika Serikat menarik untuk dimunculkan.  Di Amerika Serikat apabila seseorang ditemukan berperilaku seperti banci dengan menggunakan pakaian dari lawan jenisnya, ia akan dikejar-kejar, dilemparin batu dstnya.  Penghargaan kepada “banci” yang merendahkan, menghinakan, mungkin saja mendorong penguatan identitas homoseksual terutama di kalangan gay. Ketertarikan terhadap sesama jenis seperti seorang lelaki kepada lelaki lainnya tidak perlu dilakukan dengan mengubah identitas dirinya yang sebenarnya menjadi seorang “banci”.  Setiap tempat dengan budayanya masing-masing ternyata memberikan penghargaan yang berbeda terhadap representasi tubuh dan ketubuhan manusia.

Sementara agama-agama yang memposisikan dirinya sebagai hukum universal yang cenderung meniadakan keunikan pandangan partikular yang membentuk perilaku masyarakat tertentu terhadap fenomena seksualitas. Agama-agama mengertikan seksualitas sebagai bagian dari sistem nilai yang selain berhubungan langsung dengan moralitas, juga mengandung unsur wahyu. Pandangan moralitas ini membantu mengatur tata hidup bersama. Seseorang berhak dengan tubuhnya sendiri, tetapi ketubuhannya dapat menyakitkan, mengacaukan orang lain apabila dibiarkan “liar” mengembara menyentuh orang-orang di sekitarnya tanpa tanggungjawab.

Dari tradisi Abrahamik, muatan adikodrati dari pandangan seksualitas berhubungan dengan argumentasi bahwa kehidupan berpasang-pasangan secara heteroseksual merupakan perintah Allah.  Dasar argumentasinya adalah perkembangbiakan. Pandangan tentang “makna adikodrati perkembangbiakan”  ternyata akan berbenturan dengan praktek selibat yang juga diterima sebagai bentuk pewahyuan dari Allah. Praktek “selibat” pada dirinya menunjukkan tentang bentukan norma non-heteronormatif maupun homonormatif.  Praktek ini bisa dikategorikan sebagai “aseksual normatif”. Artinya dasar  praktek ketubuhan terbangun dari pandangan “ketiadaantarikan seksual”.

Dalam agama-agama, dominasi pandangan heteronormatif atas “aseksualnormatif” maupun “homonormatif” sebenarnya yang paling penting untuk mengalami proses penyadaran Diri.  Heteronormatif telah menciptakan banyak ketimpangan dalam kehidupan sosial bukan pertama-tama karena serangan-serangannya kepada homonormatif dan aseksualnormatif.  Sebagai bangunan yang terlihat dari sistem sosial, pandangan heternormatif yang mendominasinya, menyebabkan praktek-praktek penindasan, penyiksaan, penghinaan, marginalisasi kepada mereka yang lemah seperti perempuan dan masyarakat populis yang berada pada lapisan terbawah dari sistem kekuasaan  di mana saja.  Praktek kekuasaan yang terbangun dari pandangan heteronormatif bisa mendirikan kerajaan tirani kepada sesama manusia karena keyakinannya terhadap kekuataan otoritas di dalam kendali partiarkis. Di sinilah ketersesatan agama-agama bisa terjadi!

Representasi pandangan heteronormatif ada pada teks-teks suci. Teks-teks suci adalah berbagai tuturan yang terdokumentasikan sebagai tulisan yang merepresentasi kejadian-kejadian yang dikisahkan sehingga dalam pembacaannya terkesan hidup.  Sebagai teks suci, tulisan-tulisan ini  mempunyai otoritas untuk membimbing umat kepada jalanan kehidupan. Teks-teks tertulis menjadi kata-kata yang menghidupan orang-orang percaya.  Tetapi teks-teks suci ini sekaligus bisa berfungsi sebagai alat legitimasi untuk mendukung kepentingan orang-orang tertentu. Seringkali pengambilan teks-teks suci dipenggal pada tingkat ayat-ayat dilepaskan dari kesatuan nilai yang membentukan maknanya.

Karena itu sangat penting untuk memulai menginterpretasi atau menafsir teks-teks suci tersebut dari berbagai pandangan seperti heteronormatif, homonormatif maupun aseksualnormatif.  Tafsir yang bertanggungjawab bisa tercapai apabila beberapa persyaratan mendasar dapat dipenuhi.  Pertama, diperlukan kejelasan tentang konteks. Teks-teks suci mempunyai konteks yang harusnya dapat menjelaskan mengapa teks tersebut ada. Kedua, perlu adanya kejelasan tentang maksud pembacaan teks-teks suci tersebut bagi si penafsir. Ketiga, perlu adanya kesadaran dari sisi penafsiran tentang pertanyaan-pertanyaan kritis yang ditujukan kepada teks tsb dan dimunculkan dari konteks yang berbeda ketika teks tersebut dihasilkan.

Saya mau berhenti di sini untuk meneruskan lagi pada bagian lainnya, memulai tafsir yang menghidupkan (a living interpretation)!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar