Translate

Rabu, 25 April 2012

Mendisiplinkan tubuh, menjinakkan kecanduan!


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Keenam: Mendisiplinkan tubuh, menjinakkan kecanduan!

By Farsijana Adeney-Risakotta 

Sebelum saya lupa, saya ingin menulis tentang simulasi kekuatan dan kelemahan yang dilakukan sebelum meditasi. Ketika saya menanyakan partisipan tentang apa yang mereka tulisan sebagai kekuatan dan kelemahan, ternyata tidak ada seorangpun yang menulisnya dalam kaitan dengan seksualitas.  

Satu kata yang diminta sebagai representasi kekuatan pada umumnya terkait dengan nilai yang menjadi perilaku positif.  Misalkan tanggungjawab, kepercayaan,  konsistensi, keterbukaan dll.  Begitu pula dengan representasi kelemahan yang sama sekali tidak berhubungan dengan seksualitas.  Memang benar saya tidak meminta mereka untuk menjelaskan temuannya tentang kelemahan diri. Tetapi saya menanyakan spesifik tentang keterhubungan ini. Saya menunjukkan penemuan ini kepada partisipan.  Kenyataan ini menjelaskan apa?

Pandangan yang sering diterima dari sekitar kita terkait dengan perjuangan kesetaraan berbasis orientasi seksual yang berbeda, adanya anggapan tentang sekelompok orang yang berperilaku seks bebas memperjuangkan kebebasannya.  

Konstruksi kenyataan yang dibuat oleh masyarakat kepada  pejuang orientasi seksual sangat berat sebelah.  Mungkin benar anggapan tersebut terbangun dari pencitraan diri yang ditangkap masyarakat terhadap “segelintir orang” dengan orientasi seksual berbeda, yang seolah-olah sangat terobsesi dengan seks. Fenomena partikular seringkali dijadikan patokan untuk melakukan generalisasi sekaligus memperbesar kerumitan realitas yang ada.

Pada satu sisi, steoretip yang muncul itu dapat dijadikan refleksi. Antony Giddens, seorang sosiolog Inggeris yang terkenal menulis buku berjudul “The transformation of Intimacy. Sexuality, Love & Eroticism in Modern Societies” (California: Stanford University Press, 1992) menjelaskan tentang hubungan antara klaim hak-hak individu dengan tindakan memposisikan seksualitas sebagai komoditi.

Cinta kasih sejati kehilangan maknanya dalam masyarakat modern karena erotisme telah mereduksi cinta pada ketubuhan.  Orang kehilangan tanggungjawab untuk membangun komitmen kepada pasangannya karena nilai kesetiaan sudah dibayar sesuai dengan kesepakatan yang tampil dari kebutuhan di tingkat pasar. Ketika kesepakatannya tidak tercapai, pencariannya masih bisa diteruskan sesuai dengan pajangan pada estalase yang terpampang.

Giddens juga mengamati tentang fenomena obsesi dan ketagihan (“addiction”) yang menguasai pandangan seksualitas masyarakat modern. Kebebasan pada media, akses terhadap personal informasi telah mengubah cara manusia berhubungan seksual.  Rangsangan terhadap diri datang dari berbagai arah sampai manusia sungguh-sungguh tidak berdaya. 

Saya jadi ingat ayat di kitab suci: “…“..roh memang penurut, tapi daging lemah” (Matius 26: 41).  Tekanan ternyata bukan saja datang dari institusi keluarga dan masyarakat yang menekankan seksualitas sebagai “self control” bahkan yang ditabukan, tetapi juga tergilas oleh pandangan dan praktek seksualitas yang menempatkan tubuh sebagai komoditi.

Ekspoilati tentang ketubuhan ini bisa terjadi pada kedua posisi ektrim dengan perentangan  garis menggambarkan posisi yang paling konservatif ke yang paling liberal radikal.  Tubuh disakiti baik karena pandangan dan praktek seksualitas yang konservatif maupun terjadi pada posisi yang liberal radikal.  

Di satu sisi, nilai-nilai dipegang ketat oleh mereka yang konservatif  tetapi dalam penerapannya malahan terkesan bertentangan dengan spirit dari nilai tersebut.  Sementara, posisi liberal radikal cenderung menegasikan nilai-nilai pada umumnya, dengan menolak nilai-nilai “konvensional” dan menciptakan nilai lain yang merepresentasikan pandangannya sendiri. 

Kesadaran dari jebakan terhadap kedua tarikan posisi ini sebenarnya yang membawa pemuda/i antar agama berkumpul bersama untuk memproses posisi diri mereka sebagai seorang dengan orientasi seksual yang berbeda. Mereka sadar pentingnya institusi agama dan komunitas tetapi sekaligus menjalankan “agama” secara kritis sebagai “iman” yang menguatkan perjalanan hidupnya di dunia ini.

Saya lihat kerinduan itu. Saya menangkapnya.  Sebagai seorang heteroseksual, saya yakin diikat dengan pemuda/i dalam satu roh yaitu upaya untuk memahami iman secara bertanggungjawab. Saya ingat sebelum ke camp, suami dan saya bercerita tentang posisi diri. Suami saya tahu siapakah saya. Katanya: “Nona selalu tampil konservatif tetapi sangat mengejutkan sekarang sedang bersama dengan teman-teman Queer!”. 

Saya tersenyum. Saya mengatakan: “The queer is a mystery for me, I would like to understand them as God also tries to understand them”. Kemudian saya mengingatkannya tentang Yesus yang bergaul dengan Zakeus, seorang petugas pajak; Maryam Magdalena, seorang pelacur dan mereka yang termarginalkan pada jamanNya hidup.

Kembali kepada ayat yang saya kutip di atas.  “Roh memang kuat, tetapi daging lemah”. Dalam bahasa asli, Ibrani, ruah adalah roh yang digambarkan sebagai “angin”. Setiap agama di bumi ini paham tentang "roh". Melalui “roh”,  Diri  berkomunikasi dengan Sang Pemberi Hidup untuk mewujudkan nilai-nilai dalam tubuh.  Simulasi tentang kekuatan dan kelemahan yang dijalani oleh partisipan ternyata menunjukkan keragaman nilai yang ada pada mereka. 

Nilai-nilai dengan kepemilikannya yang sangat pribadi ternyata mungkin merupakan bagian dari nilai-nilai dalam tampilan yang besar.  Misalkan partisipan mendiskusikan kemudian mesimulasikan nilai-nilai yang tertentu seperti solidaritas, berbagi, anti kekerasan, respek dan keragaman.  Simulasi dilakukan dalam mendramakan nilai tanpa menjelaskan dengan kata-kata supaya bisa ditebak oleh kelompok yang ditunjuk. 

Ternyata dalam diskusi dan simulasi itu, bisa disimpulkan bahwa nilai mempunyai konteks dan posisinya saling terkait dengan lainnya. Walaupun demikian tampilan nilai sebagai norma yang umum seringkali juga bisa dikendalikan oleh pandangan idealis yang dapat  memposisikan dirinya dengan sangat ekstrim.

Saya ingat ketika diskusi tentang nilai anti kekerasan menjadi seru karena perbedaan pandangan tentang non kekerasan dan anti kekerasan. Non kekerasan merupakan suatu pandangan filosofis yang mengasumsikan tentang sikap ketiadaan kekerasan dalam keadaan minimum apapun. Pandangan ini dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi, seorang aktivis non kekerasan dari India yang besar di Afrika Selatan,  memastikan bahwa pemotongan lingkaran kekerasan bisa dimulai dari penggunaan non kekerasan dalam perjuangan pembebasan. 

Konteks Gandhi sangat jelas! Menggunakan kekerasan akan menodai kemurnian perjuangan pembebasan dari kolonial Inggeris. Selain itu, kemungkinan perjuangan mereka dikambinghitamkan, disamakan sebagai perjuangan anarkis, ditumpangi yang menyebabkan banyak orang akan terbunuh percuma.

Sementara pandangan anti kekerasan mensyaratkan adanya kemungkinan penggunaan kekerasan sebagai perlawanan melawan kekerasan.  Penggunaan kekerasan bisa ditolerin sejauh dapat memberikan kesadaran tentang pemutusan rantai kekerasan. Sangat penting diingat bahwa tanpa kesadaran tentang perlunya penghentian kekerasan, maka tidak ada perdamaian.  Ketika saya jelaskan bahwa ada kekerasan positif dan negatif, saya pada saat yang sama sedang mengakui bahwa dasar dari tindakan kekerasan adalah ketegasan, cinta kasih dan pengampunan.

Saya menjelaskan perbedaan kedua istilah tersebut, tetapi kemudian membawa kenyataan dari lapangan supaya partisipan bisa mengerti tentang kekerasan pada dirinya yang  bersifat positif maupun negatif.  Bertolak dari kenyataan ini, saya ingin mendefinisikan kekerasan sebagai tindakan yang melukai tubuh bisa secara fisik, jiwa maupun roh. Penampakan kekerasan positif bisa terlihat dalam praktek disiplin.

Saya kemudian mengambil contoh dari tradisi Kristiani. Dalam kitab suci, Amsal 23:13-14 mencatat tentang …rotan … . Saya mengutipnya lengkap:  “ Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati”. 

“Rotan” sebagai terminologi menimbulkan pertanyaan dan diskusi, karena istilah ini ternyata menjelaskan tentang tindakan kekerasan.  Saya menguraikan makna kata rotan sekaligus menunjukkan pandangan realisme dalam kehidupan, di mana kekerasan mempunyai makna minimalis yang perlu diterima sebagai suatu cara untuk membangun tanggungjawab.

Dalam diskusi itu, seorang teman mengingatkan contoh menarik tentang orang-orang yang harus dimasukan dalam  penjara. Pemenjaraan mereka merupakan suatu tanda kekerasan karena haknya untuk menghirup udara yang bebas harus hilang diganti dengan hukuman untuk tinggal di penjara. Hanya dengan disiplin ini diharapkan mereka bisa berubah.

Contoh lain, saya ingat ketika masih belajar di Belanda. Saya pulang dari Paris, Perancis. Tiba di Amsterdam dini hari. Saya mengambil kereta untuk membawa pulang ke Oegstgeest, di mana saya dulu tinggal di Zending Huis. Oegstgeest, kota kecil yang terletak dekat Leiden. Dari station di Leiden saya harus berjalan ke Oegstgeest karena tidak ada bus beroperasi pada jam itu. 

Ketika saya berjalan sendiri, saya merasa ada yang membututi saya.  Saya membalik badan dan berhenti. Terlihat ada seorang lelaki yang sedang berjalan dekat dengan saya. Ketika saya berhenti orang itu juga berhenti. Kemudian saya berjalan, orang tersebut berjalan cepat-cepat menuju saya.

Karena sadar sedang dibuntuti, saya langsung mengeluarkan batu-batu yang sudah ada dalam saku jaket saya. Terinsipirasi dari nabi Daud yang mengalahkan Goliat dengan kartapel dan batu, saya selalu membawa batu ke mana-mana ketika saya berjalan sendiri. Jadi saya melemparkan batu-batu itu kepada orang tersebut. Kemudian saya berhenti sambil memperhatikan reaksinya. Orang itu berhenti dan membalik pergi!

Dia membaca tanda dari saya, tanda batu sebagai bentuk refleks untuk melindungi diri sendiri.  Tanda itu mengatakan saya tidak perlu teman dan jangan mengganggu saya! Saya harus melakukan “kekerasan positif”, dengan melemparkan batu kepada orang tersebut untuk menyetop kemungkinan kekerasan lebih besar yang akan terjadi kepada saya.

Penggunaan kekerasan minimum untuk mempertahankan diri secara personal perlu dibedakan dari kekerasan “massa” yang sengaja dilakukan oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kemurnian agama.  Misalkan  ancaman pembubaran pertemuan LGTB-IQdatang dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, yang tidak tanggung-tanggung melakukan kekerasan, dengan menjerang tubuh. Darah LGTB-IQ dianggap halal!  Pemahaman ini jelas berbeda dengan nilai agama yang sedang dibelanya.

Kesalahan  penjaga otoritas agama ini adalah mengidentikan identitas LGTB-IQ sebagai suatu representasi kekerasan yang harus dilawan dengan kekerasan. Pandangan ini memerangkap!  Karena  dengan sengaja ada upaya dari pihak tertentu untuk mereduksi perjuangan LGTB-IQ sekedar pada isu “tubuh”.  Jadi sangat bijaksana menghindari  benturan  tubuh supaya kelompok LGTB-IQ bisa menjaga kemurnian perjuangannya, sehingga tidak terjatuh pada tindakan anarkis.   

Tubuh bisa menjadi tirani terhadap berbagai kepentingan dalam dirinya.  Tubuh sendiri dapat mengeksploitasikan tubuh orang lain. Sebaliknya dengan sangat narsis, tubuh sendiri dibiarkan disakiti oleh orang lain. Ada banyak nafsu dalam tubuh yang bisa membuatnya kehilangan makna sebagai tubuh yang adalah tempat dimana Tuhan juga tinggal.  Kesadaran terhadap tubuh kita, harusnya mendorong manusia menjaga dirinya secara bertanggungjawab. 

Hati saya tergugah ketika makin sadar bahwa pemuda/i dari berbagai agama ingin mengenal lebih jauh kaitan antara tubuhnya dengan Allah. Setidaknya, mereka mulai kenal tentang disiplin yang diturunkan dari  Allah yaitu praktek nilai untuk melindungi tubuh sendiri dari ekploitasi dan kekerasan. Dialog mendalam ini terjadi  di antara pemuda/i dengan  tokoh-tokoh dari agama masing-masing yang hadir pada camp tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar