Memperbincangkan
seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Keenam: Mendisiplinkan
tubuh, menjinakkan kecanduan!
By
Farsijana Adeney-Risakotta
Sebelum
saya lupa, saya ingin menulis tentang simulasi kekuatan dan kelemahan yang
dilakukan sebelum meditasi. Ketika saya menanyakan partisipan tentang apa yang
mereka tulisan sebagai kekuatan dan kelemahan, ternyata tidak ada seorangpun
yang menulisnya dalam kaitan dengan seksualitas.
Satu kata
yang diminta sebagai representasi kekuatan pada umumnya terkait dengan nilai
yang menjadi perilaku positif. Misalkan
tanggungjawab, kepercayaan, konsistensi,
keterbukaan dll. Begitu pula dengan
representasi kelemahan yang sama sekali tidak berhubungan dengan
seksualitas. Memang benar saya tidak meminta
mereka untuk menjelaskan temuannya tentang kelemahan diri. Tetapi saya
menanyakan spesifik tentang keterhubungan ini. Saya menunjukkan penemuan ini
kepada partisipan. Kenyataan ini
menjelaskan apa?
Pandangan
yang sering diterima dari sekitar kita terkait dengan perjuangan kesetaraan
berbasis orientasi seksual yang berbeda, adanya anggapan tentang sekelompok
orang yang berperilaku seks bebas memperjuangkan kebebasannya.
Konstruksi kenyataan yang dibuat oleh masyarakat kepada pejuang orientasi seksual sangat berat sebelah. Mungkin benar anggapan tersebut terbangun dari pencitraan diri yang ditangkap masyarakat terhadap “segelintir orang” dengan orientasi seksual berbeda, yang seolah-olah sangat terobsesi dengan seks. Fenomena partikular seringkali dijadikan patokan untuk melakukan generalisasi sekaligus memperbesar kerumitan realitas yang ada.
Konstruksi kenyataan yang dibuat oleh masyarakat kepada pejuang orientasi seksual sangat berat sebelah. Mungkin benar anggapan tersebut terbangun dari pencitraan diri yang ditangkap masyarakat terhadap “segelintir orang” dengan orientasi seksual berbeda, yang seolah-olah sangat terobsesi dengan seks. Fenomena partikular seringkali dijadikan patokan untuk melakukan generalisasi sekaligus memperbesar kerumitan realitas yang ada.
Pada satu
sisi, steoretip yang muncul itu dapat dijadikan refleksi. Antony Giddens,
seorang sosiolog Inggeris yang terkenal menulis buku berjudul “The transformation
of Intimacy. Sexuality, Love & Eroticism in Modern Societies” (California:
Stanford University Press, 1992) menjelaskan tentang hubungan antara klaim
hak-hak individu dengan tindakan memposisikan seksualitas sebagai komoditi.
Cinta kasih
sejati kehilangan maknanya dalam masyarakat modern karena erotisme telah
mereduksi cinta pada ketubuhan. Orang
kehilangan tanggungjawab untuk membangun komitmen kepada pasangannya karena
nilai kesetiaan sudah dibayar sesuai dengan kesepakatan yang tampil dari
kebutuhan di tingkat pasar. Ketika kesepakatannya tidak tercapai, pencariannya
masih bisa diteruskan sesuai dengan pajangan pada estalase yang terpampang.
Giddens
juga mengamati tentang fenomena obsesi dan ketagihan (“addiction”) yang
menguasai pandangan seksualitas masyarakat modern. Kebebasan pada media, akses
terhadap personal informasi telah mengubah cara manusia berhubungan
seksual. Rangsangan terhadap diri datang
dari berbagai arah sampai manusia sungguh-sungguh tidak berdaya.
Saya jadi ingat ayat di kitab suci: “…“..roh memang penurut, tapi daging lemah” (Matius 26: 41). Tekanan ternyata bukan saja datang dari institusi keluarga dan masyarakat yang menekankan seksualitas sebagai “self control” bahkan yang ditabukan, tetapi juga tergilas oleh pandangan dan praktek seksualitas yang menempatkan tubuh sebagai komoditi.
Saya jadi ingat ayat di kitab suci: “…“..roh memang penurut, tapi daging lemah” (Matius 26: 41). Tekanan ternyata bukan saja datang dari institusi keluarga dan masyarakat yang menekankan seksualitas sebagai “self control” bahkan yang ditabukan, tetapi juga tergilas oleh pandangan dan praktek seksualitas yang menempatkan tubuh sebagai komoditi.
Ekspoilati
tentang ketubuhan ini bisa terjadi pada kedua posisi ektrim dengan perentangan garis menggambarkan posisi yang paling
konservatif ke yang paling liberal radikal. Tubuh disakiti baik karena pandangan dan
praktek seksualitas yang konservatif maupun terjadi pada posisi yang liberal
radikal.
Di satu sisi, nilai-nilai dipegang ketat oleh mereka yang konservatif tetapi dalam penerapannya malahan terkesan bertentangan dengan spirit dari nilai tersebut. Sementara, posisi liberal radikal cenderung menegasikan nilai-nilai pada umumnya, dengan menolak nilai-nilai “konvensional” dan menciptakan nilai lain yang merepresentasikan pandangannya sendiri.
Di satu sisi, nilai-nilai dipegang ketat oleh mereka yang konservatif tetapi dalam penerapannya malahan terkesan bertentangan dengan spirit dari nilai tersebut. Sementara, posisi liberal radikal cenderung menegasikan nilai-nilai pada umumnya, dengan menolak nilai-nilai “konvensional” dan menciptakan nilai lain yang merepresentasikan pandangannya sendiri.
Kesadaran
dari jebakan terhadap kedua tarikan posisi ini sebenarnya yang membawa pemuda/i
antar agama berkumpul bersama untuk memproses posisi diri mereka sebagai
seorang dengan orientasi seksual yang berbeda. Mereka sadar pentingnya
institusi agama dan komunitas tetapi sekaligus menjalankan “agama” secara
kritis sebagai “iman” yang menguatkan perjalanan hidupnya di dunia ini.
Saya lihat
kerinduan itu. Saya menangkapnya.
Sebagai seorang heteroseksual, saya yakin diikat dengan pemuda/i dalam
satu roh yaitu upaya untuk memahami iman secara bertanggungjawab. Saya ingat
sebelum ke camp, suami dan saya bercerita tentang posisi diri. Suami saya tahu
siapakah saya. Katanya: “Nona selalu tampil konservatif tetapi sangat
mengejutkan sekarang sedang bersama dengan teman-teman Queer!”.
Saya tersenyum. Saya mengatakan: “The queer is a mystery for me, I would like to understand them as God also tries to understand them”. Kemudian saya mengingatkannya tentang Yesus yang bergaul dengan Zakeus, seorang petugas pajak; Maryam Magdalena, seorang pelacur dan mereka yang termarginalkan pada jamanNya hidup.
Saya tersenyum. Saya mengatakan: “The queer is a mystery for me, I would like to understand them as God also tries to understand them”. Kemudian saya mengingatkannya tentang Yesus yang bergaul dengan Zakeus, seorang petugas pajak; Maryam Magdalena, seorang pelacur dan mereka yang termarginalkan pada jamanNya hidup.
Kembali
kepada ayat yang saya kutip di atas.
“Roh memang kuat, tetapi daging lemah”. Dalam bahasa asli, Ibrani, ruah
adalah roh yang digambarkan sebagai “angin”. Setiap agama di bumi ini paham tentang "roh". Melalui “roh”, Diri berkomunikasi dengan Sang Pemberi Hidup untuk
mewujudkan nilai-nilai dalam tubuh.
Simulasi tentang kekuatan dan kelemahan yang dijalani oleh partisipan
ternyata menunjukkan keragaman nilai yang ada pada mereka.
Nilai-nilai
dengan kepemilikannya yang sangat pribadi ternyata mungkin merupakan bagian
dari nilai-nilai dalam tampilan yang besar.
Misalkan partisipan mendiskusikan kemudian mesimulasikan nilai-nilai
yang tertentu seperti solidaritas, berbagi, anti kekerasan, respek dan keragaman.
Simulasi dilakukan dalam mendramakan
nilai tanpa menjelaskan dengan kata-kata supaya bisa ditebak oleh kelompok yang
ditunjuk.
Ternyata dalam diskusi dan simulasi itu, bisa disimpulkan bahwa nilai
mempunyai konteks dan posisinya saling terkait dengan lainnya. Walaupun
demikian tampilan nilai sebagai norma yang umum seringkali juga bisa
dikendalikan oleh pandangan idealis yang dapat memposisikan dirinya dengan sangat ekstrim.
Saya ingat ketika diskusi tentang nilai anti kekerasan menjadi seru karena perbedaan pandangan tentang non kekerasan dan anti kekerasan. Non kekerasan merupakan suatu pandangan filosofis yang mengasumsikan tentang sikap ketiadaan kekerasan dalam keadaan minimum apapun. Pandangan ini dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi, seorang aktivis non kekerasan dari India yang besar di Afrika Selatan, memastikan bahwa pemotongan lingkaran kekerasan bisa dimulai dari penggunaan non kekerasan dalam perjuangan pembebasan.
Konteks Gandhi sangat jelas! Menggunakan kekerasan akan menodai kemurnian perjuangan pembebasan dari kolonial Inggeris. Selain itu, kemungkinan perjuangan mereka dikambinghitamkan, disamakan sebagai perjuangan anarkis, ditumpangi yang menyebabkan banyak orang akan terbunuh percuma.
Sementara
pandangan anti kekerasan mensyaratkan adanya kemungkinan penggunaan kekerasan
sebagai perlawanan melawan kekerasan. Penggunaan kekerasan bisa ditolerin sejauh
dapat memberikan kesadaran tentang pemutusan rantai kekerasan. Sangat penting
diingat bahwa tanpa kesadaran tentang perlunya penghentian kekerasan, maka
tidak ada perdamaian. Ketika saya
jelaskan bahwa ada kekerasan positif dan negatif, saya pada saat yang sama
sedang mengakui bahwa dasar dari tindakan kekerasan adalah ketegasan, cinta
kasih dan pengampunan.
Saya
menjelaskan perbedaan kedua istilah tersebut, tetapi kemudian membawa kenyataan
dari lapangan supaya partisipan bisa mengerti tentang kekerasan pada dirinya yang
bersifat positif maupun negatif. Bertolak dari kenyataan ini, saya ingin
mendefinisikan kekerasan sebagai tindakan yang melukai tubuh bisa secara fisik,
jiwa maupun roh. Penampakan kekerasan positif bisa terlihat dalam praktek
disiplin.
Saya kemudian mengambil contoh dari tradisi Kristiani. Dalam kitab suci, Amsal 23:13-14 mencatat tentang …rotan … . Saya mengutipnya lengkap: “ Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati”.
“Rotan” sebagai terminologi menimbulkan pertanyaan dan diskusi, karena
istilah ini ternyata menjelaskan tentang tindakan kekerasan. Saya menguraikan makna kata rotan sekaligus
menunjukkan pandangan realisme dalam kehidupan, di mana kekerasan mempunyai
makna minimalis yang perlu diterima sebagai suatu cara untuk membangun
tanggungjawab.
Dalam diskusi
itu, seorang teman mengingatkan contoh menarik tentang orang-orang yang harus dimasukan
dalam penjara. Pemenjaraan mereka
merupakan suatu tanda kekerasan karena haknya untuk menghirup udara yang bebas
harus hilang diganti dengan hukuman untuk tinggal di penjara. Hanya dengan
disiplin ini diharapkan mereka bisa berubah.
Contoh
lain, saya ingat ketika masih belajar di Belanda. Saya pulang dari Paris,
Perancis. Tiba di Amsterdam dini hari. Saya mengambil kereta untuk membawa
pulang ke Oegstgeest, di mana saya dulu tinggal di Zending Huis. Oegstgeest,
kota kecil yang terletak dekat Leiden. Dari station di Leiden saya harus
berjalan ke Oegstgeest karena tidak ada bus beroperasi pada jam itu.
Ketika saya berjalan sendiri, saya merasa ada yang membututi saya. Saya membalik badan dan berhenti. Terlihat ada seorang lelaki yang sedang berjalan dekat dengan saya. Ketika saya berhenti orang itu juga berhenti. Kemudian saya berjalan, orang tersebut berjalan cepat-cepat menuju saya.
Ketika saya berjalan sendiri, saya merasa ada yang membututi saya. Saya membalik badan dan berhenti. Terlihat ada seorang lelaki yang sedang berjalan dekat dengan saya. Ketika saya berhenti orang itu juga berhenti. Kemudian saya berjalan, orang tersebut berjalan cepat-cepat menuju saya.
Karena
sadar sedang dibuntuti, saya langsung mengeluarkan batu-batu yang sudah ada
dalam saku jaket saya. Terinsipirasi dari nabi Daud yang mengalahkan Goliat dengan kartapel dan batu, saya selalu membawa batu ke mana-mana ketika saya berjalan sendiri. Jadi saya melemparkan batu-batu itu kepada orang tersebut.
Kemudian saya berhenti sambil memperhatikan reaksinya. Orang itu berhenti dan
membalik pergi!
Dia membaca tanda dari saya, tanda batu sebagai bentuk refleks untuk melindungi diri sendiri. Tanda itu mengatakan saya tidak perlu teman dan jangan mengganggu saya! Saya harus melakukan “kekerasan positif”, dengan melemparkan batu kepada orang tersebut untuk menyetop kemungkinan kekerasan lebih besar yang akan terjadi kepada saya.
Dia membaca tanda dari saya, tanda batu sebagai bentuk refleks untuk melindungi diri sendiri. Tanda itu mengatakan saya tidak perlu teman dan jangan mengganggu saya! Saya harus melakukan “kekerasan positif”, dengan melemparkan batu kepada orang tersebut untuk menyetop kemungkinan kekerasan lebih besar yang akan terjadi kepada saya.
Penggunaan
kekerasan minimum untuk mempertahankan diri secara personal perlu dibedakan
dari kekerasan “massa” yang sengaja dilakukan oleh mereka yang mengklaim
dirinya sebagai penjaga kemurnian agama.
Misalkan ancaman pembubaran
pertemuan LGTB-IQdatang dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, yang
tidak tanggung-tanggung melakukan kekerasan, dengan menjerang tubuh. Darah LGTB-IQ dianggap halal! Pemahaman ini jelas berbeda dengan nilai agama
yang sedang dibelanya.
Kesalahan penjaga otoritas agama ini adalah mengidentikan
identitas LGTB-IQ sebagai suatu representasi kekerasan yang harus dilawan dengan
kekerasan. Pandangan ini memerangkap! Karena
dengan sengaja ada upaya dari pihak
tertentu untuk mereduksi perjuangan LGTB-IQ sekedar pada isu “tubuh”. Jadi sangat bijaksana menghindari benturan tubuh supaya kelompok LGTB-IQ bisa menjaga
kemurnian perjuangannya, sehingga tidak terjatuh pada tindakan anarkis.
Tubuh bisa
menjadi tirani terhadap berbagai kepentingan dalam dirinya. Tubuh sendiri dapat mengeksploitasikan tubuh
orang lain. Sebaliknya dengan sangat narsis, tubuh sendiri dibiarkan disakiti
oleh orang lain. Ada banyak nafsu dalam tubuh yang bisa membuatnya kehilangan
makna sebagai tubuh yang adalah tempat dimana Tuhan juga tinggal. Kesadaran terhadap tubuh kita, harusnya
mendorong manusia menjaga dirinya secara bertanggungjawab.
Hati saya
tergugah ketika makin sadar bahwa pemuda/i dari berbagai agama ingin mengenal
lebih jauh kaitan antara tubuhnya dengan Allah. Setidaknya, mereka mulai kenal tentang disiplin
yang diturunkan dari Allah yaitu praktek
nilai untuk melindungi tubuh sendiri dari ekploitasi dan kekerasan. Dialog mendalam ini terjadi di antara pemuda/i dengan tokoh-tokoh dari agama masing-masing yang hadir pada camp tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar