Translate

Jumat, 06 April 2012

Maut di manakah sengatmu?



Maut di manakah sengatmu?
Refleksi Paskah

Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Pengalaman kematian perih. Kematian adalah nasib yang harus dihadapi manusia. Tiada satu mahklukpun di bawah bumi yang dapat melawan kematian.  Bumi sendiri, sistem tata suryanya terus berubah. Seperti manusia yang bisa meninggal ketika masih bayi, remaja, dewasa bahkan sesudah usianya uzur, benda-benda tak bernyawapun mengalami peremajaan melalui kematian.  

Kematian secara fungsi adalah esensi yang menyehatkan kepada keseimbangan bagi alam semesta. Tetapi hanya kematian yang dialami oleh manusialah, yang memerlukan serangkaian pemaknaan. Seekor anak gajah yang meninggal di padang savanna di Afrika tidak memerlukan upacara pelepasan dibandingkan dengan kematian yang dialami oleh seorang anak dari suku Massai di Kenya.

Walaupun manusia menghadapi kematian dalam topangan upacara-upacara keagamaan, baik dengan pengertian agama lokal maupun agama-agama samawi, peristiwa kematian sendiri dihadapi oleh manusia sebagai momen yang paling mendebarkan.  Kenyataan seseorang yang dikasihi berhenti bereaksi, serupa patung yang tak bernyawa berada bersama, adalah momen genting. 

Sakit yang lama dari seseorang bisa mempersiapkan anggota keluarga untuk menghadapi kenyataan kematian. Tetapi sering terjadi tanpa tanda-tanda sakit, seseorang yang dikasih berpisah dengan sanak keluarganya. Kematian mendadak adalah kengerian bagi anggota keluarga. Ketidaksiapan untuk merelakan seorang yang dikasihi dilepaskan dari jalan kematian ini.  Walaupun mungkin seseorang yang meninggal lebih siap dari mereka yang ditinggalkannya. 

Pengalaman ini saya rasakan ketika kematian adik saya, John Franklin Christian Risakotta. Ia berbaring dalam kedamaian serupa tidur yang sangat nyenyak. Ada banyak misteri dari kematiannya yang mendadak, tetapi kedamaian dan kesejukan yang nampak dalam wajahnya menyampaikan pesan "menenangkan" kita semua. Kematian pada diri adinda dihayati secara iman. Kematian bukan suatu kekalahan tetapi cara yang sangat berani menyerahkan diri pulang kembali kepada Sang Pencipta sesudah waktunya tiba.

Gambaran kengerian dari kematian juga dperlihatkan dalam kitab suci. Misalkan Kitab Pengkhotbah menggambarkan tentang kenangan yang sudah lenyap dari antara orang-orang yang mati. Bahkan mereka, orang-orang mati tidak tahu apa-apa ( Pengkhotbah 9:4). Mereka tidak berperan lagi terhadap segala sesuatu di dalam dunia (ayat 5). Ketika saya membandingkan apa yang terjadi dengan adinda, gambaran kematian dari  penjelasan Kitab Pengkhotbah menggambarkan seolah-olah kematian adalah kesia-siaan.

Manusia bertanya kemana kita pergi sesudah kematian? Penjelasan ilmiah menggunakan istilah kematian untuk menguraikan tentang perhentian dari fungsi-fungsi biologis dari seorang manusia ketika ia mati. Ketiadaan fungsi tubuh menyebabkan manusia berhenti berkehidupan di dunia ini. Ia adalah kesia-siaan. Hampa.  Seolah-olah dunia adalah untuk mereka yang hidup. Mereka yang bisa bertarung, mereka yang berlomba, mereka yang harus kerja keras untuk bertahan. Kematian seolah-olah adalah jalan seleksi alam untuk mengakhiri pertandingan yang sudah dimulai dengan penyelesaiannya menurut kemampuan setiap manusia.

Sekalipun seorang manusia yang bejat, kematian dirinya diiringi dengan trompet sebagai tanda seseorang telah meninggal di suatu penjara.  Pengumuman dengan memainkan instrument trompet adalah tanda tentang kematian yang memberikan waktu kepada orang lain untuk mengenangkan mengiklaskan kepergian yang meninggal  tanpa harus hadir pada upacara pemakaman.

Gambaran kematian, di mana kehidupan berhenti sesudah kematian adalah pandangan dari manusia yang sangat mempercayai "hidup" yang sedang terjadi. Hidup sebagai "aktivitas".  Pandangan ini sangat alamiah tetapi mungkin terlalu sederhana untuk mahkluk seperti manusia.  Manusia menembusi dirinya yang fana dalam iman sehingga bisa percaya tentang dunia yang ada dibalik kematian. Ketika seorang manusia meninggal ia pergi dengan imannya kepada Sang Pemberi hidup. 

Ia mengerti apa yang diyakininya sebagai iman. Ia berserah kepada kehendak Sang Pencipta. KehendakNya yang lebih sempurna dan paling tepat untuk semua mahkluk ciptaanNya. Manusia tahu napasnya sendiri adalah napas dari Sang Pemberi Hidup. Tubuhnya adalah wadah untuk memelihara napas Sang Hidup. Ketika waktunya tiba, napas Sang Hidup dibawa kembali menyatu dalam haribaanNya.

Dengan imanlah, orang-orang yang hidup melanjutkan perjalanan sesudah kepulangan kekasihnya ke rumah Tuhan. Iman mengubah kami yang hidup. Iman menyembuhkan hati yang luka. Mengundang Sang Pemberi hidup untuk menuntun menjelaskan maksudNya dalam hidup kita akan memberikan kelepasan. Iman adalah pergumulan dalam penyerahan diri untuk dituntun masuk dalam rencana Sang Pemberi hidup. Menyerahkan diri dalam haribaan Sang Pemberi Hidup adalah termasuk memperbaharui bathin dan hati nurani sendiri dengan mengizinkan Sang Pemberi Hidup berdiam di dalamnya. Suatu bathin dan hati nurani yang murni sebagai landasan melanjutkan perjalanan dalam tuntunanNya.

Kematian seseorang  tidak bisa ditolak sama sekali, tetapi untuk banyak orang lainnya, kematian terkait langsung dengan keinginan untuk memelihara jasad. Bukti tentang banyaknya developer yang menjual situs-situs rumah peristirahatan atau kuburan dengan harga ratusan juta rupiah menunjukkan tentang rasa ketakutan dari manusia terhadap kematian itu sendiri. Manusia modern tidak bedanya dengan manusia jaman Firaun raja Mesir yang membalsem tubuh dirinya bersama dengan para keluarga kerajaan yang meninggal.

Kematian manusia adalah suatu proses alam yang harus dihadapi.Saya ingat ketika masih hidup bersama masyarakat di Wangongira di Halmahera Utara. Mereka membangun kampung tetapi setiap keluarga membuat rumahnya dalam kondisi semi permanen. Rumah-rumah mereka tidak mempunyai dinding, pintu dan jendela.  Ajaran ini berkembang karena kepercayaan bahwa sesudah anggota keluarga meninggal mereka harus meninggalkan rumah tersebut. Tiang rumah akan dipotong dan rumah dirubuhkan. Daerah itu diberikan kepada kekasihnya yang meninggal. Manusia mewariskan situs rumah untuk mereka yang meninggal.  

Kehidupan modern dengan bangunan kepercayaan dari berbagai agama-agama, membekali seseorang dalam merespons kematian dengan cara yang berbeda-beda menurut iman masing-masing.  Ada berbagai cara jasad manusia diupacarakan. Jasad bisa diletakan dalam peti, dibalut dengan kain kafan, dibiarkan dekat danau Batur di Bali, di taburkan dalam danau sehingga bisa disantap oleh ikan-ikan seperti dipraktekkan di bagian tertentu dari daratan Cina, diletakkan di lubang-lubang goa sampai waktunya diupacarakan bersama seperti di Toraja.  Banyak contoh berbeda menggambarkan tentang keragaman mengupacarakan kematian.

Upacara bisa berbeda, tetapi perasaan manusia menghadapi kematian mungkin sama.  Perasaan terpisahkan! Perasaan tercabut dari kedekatan dan keintiman dengan seseorang yang meninggalkan. Perasaan ini memberikan penderitaan dari kesedihan yang mendalam.  Kata-kata penghiburan yang diterima dari para pelayat bisa menguatkan tetapi mungkin belum mengubah penderitaan mereka yang kehilangan. Kata-kata mengiklaskan bukan sekedar upaya untuk melupakan kekasih yang meninggal. Mereka yang ditinggalkan adalah mereka yang meneruskan hidupnya dengan terlebih dulu sedang mengartikan makna kehidupan baru sesudah peristiwa kematian dalam keluarganya. 

Disinilah peran tegang waktu, masa perkabungan yang diupacarakan dalam tradisi budaya- budaya maupun agama-agama. Masa perkabungan 7 hari, 40 hari, 100 hari sampai dengan 1000 hari bukan sekedar masa bertemu, masa mendoakan mereka yang telah pergi. Tradisi Kristiani, seperti yang dialami dalam masa sesudah kematian dan kebangkitan Kristus, ada sekitar 40 hari hidupNya diberikan kepada murid-muridNya sebelum Ia naik ke Sorga.

Masa-masa perkabungan  adalah masa untuk menemukan keberlangsungan kehidupan dari mereka yang sudah meninggal dengan mereka yang masih hidup di dunia.  Seorang yang pergi, ada yang membawa semua cita-citanya tanpa berbagi dengan mereka yang ditinggal. Tetapi sering kali, seorang yang meninggal, pergi dengan meninggalkan cita-cita, visi kepada keluarganya. 

Pada masa inilah waktu terbaik untuk anggota keluarga menyatukan diri mengartikan hidupnya dalam visi yang dilihatnya sebagai cita-cita mereka semua. Suatu kelanjutan cita-cita dari kehidupan yang ditinggalkan oleh kekasihnya yang meninggal. Momen ini adalah kesempatan untuk bertumbuh menurut kualitas kehidupan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

Masa-masa ini sangat penting untuk bersama dengan sanak keluarga mendukung satu dengan lain sampai mereka merasa bisa melangkah sendiri. 40 puluh hari adalah waktu untuk mengerti maksud Sang Pemberi Hidup bagi hidup yang harus diteruskan. Dengan bathin murni dari Sang Pemberi hidup, perjalanan 100 hari sampai dengan 1000 hari adalah waktu untuk memulai merealisasi cita-cita bersama sebagai komitmen kita meneruskan kehidupan yang sedang diizinkan terjadi.

Saya menulis ini untuk berbagi tentang upaya berproses dalam penderitaan sesudah kematian terjadi dalam suatu keluarga. Semua manusia akan mati. Cuma caranya yang berbeda-beda dengan waktu yang seorangpun tidak tahu. Sebagai manusia yang harus diketahui adalah bagaimana membuat diri kita siap senantiasa untuk kapanpun dijemput Sang pencipta pulang ke rumahNya.  

Kematian seseorang dalam keluarga mengingatkan kita tentang kesiapan ini. Ketika saat kita tiba, kematian adalah cara untuk kita semua akan mempertanggungjawabkan kehidupan yang sudah kita jalani di dunia kepada Sang Pencipta, Pemberi kehidupan.  Kematian adinda, dalam keadaan polos, bercelana kolor, sesudah mandi, adalah bukti dari kesiapannya. Ia datang sebagai bayi telanjang dan dipanggil pulang juga dalam keadaan hampir telanjang.

Semua yang kita punya di dunia ini, tidak sedikitpun kita bawa dalam perjalanan kembali ke bumi.  Perubahan pandangan dan praktek terhadap kematian berubah dari jaman ke jaman. Di Xian, Cina, ketika kami mengunjungi areal penggalian terracotta soldiers  dengan kuda-kudanya yang tertanam ribuan tahun, kami belajar tentang perubahan etika pemakaman. Pada waktu itu, seorang “raja” ketika meninggal mensyaratkan pemakamannya dilakukan bersamaan dengan bala tentara-tentara dan pelayan-pelayanannya, mereka dimakamkan hidup-hidup. Perubahan terjadi adalah dengan membuat patung-patung dari balatentara dan pelayan-pelayan yang dimakamkan bersama dengan sang”raja”. 

Gambaran dari praktek pemakaman secara besar-besaran terhadap seorang yang penting yang diikuti oleh semua pelayanan juga terlihat pada peninggalan pemakaman gunungan yang tersebar dan dilindungi sebagai situs sejarah di daerah Skandinavia. Ketika kami mengunjungi Denmark dan Swedia, perhatian saya untuk mengerti proses kematian dan pemakamannya menjadi momen yang sangat penting sampai sekarang masih berkesan.

Kematian membawa manusia kepada Sang Pencipta. Pandangan dari kepercayaan tentang Sang Pencipta mengubah cara manusia mengupacarakan pemakaman. Seperti manusia datang dari rahim ibunda, manusia juga kembali kepada Sang Pencipta dengan apa yang ada pada dirinya sendiri.

Sayapun merefleksikan pengalaman kemanusiaan ini dengan menghayati kematian yang terjadi pada Kristus. Pada masa kematianNya, saya merenungkan semua yang terjadi dalam peradaban dunia dan keluarga sendiri.  Kematian Kristus adalah tragedi bagi manusia yang sulit mengerti tentang kepedulian Allah kepada umat manusia. Tetapi kematian Kristus adalah keberuntungan bagi mereka yang percaya tentang kebersamaan Allah dalam kehidupan manusia. Kebersamaan Allah pertama-tama ada dalam kematian yang senantiasa paling ditakutkan oleh manusia.

Kengerian dari kematian hampir menggilakan manusia termasuk juga dengan mencoba melupakan sesegera mungkin pengalaman kehilangan dari kematian mereka yang dikasihinya. Kematian Kristus adalah kepedulian Allah yang mati bersama dalam pengalaman manusia supaya ada kebangkitan dari pengalaman penderitaan dari kematian itu. Bagi mereka yang meninggal dalam Kristus, ada kehidupan kekal dalam jalan yang sama Kristus melewatinya, mengubahnya menjadi kemenangan. 

Sengat maut di manakah engkau berada? Kata-kata ini adalah kalimat kepedulian Allah yang mengerti tentang penderitaan manusia.  Seringkali perjalanan akhir dari kematian seseorang dilewati dengan sangat panjang dan berat. Maut seolah sudah datang tetapi nyawa masih melekat sehingga tubuh menjadi sangat menderita.  

Pengalaman hidup manusia, pengalaman menyakitkan sesama, pengalaman melakukan kejahatan, mengkorupsi uang-uang haram adalah hambatan untuk melewati kematian dirinya dengan tenang. Berbagai pengalaman lain yang menimbulkan duka dalam penyesalan diri bisa menjadi hambatan seseorang melawati penderitaannya dengan damai. 

Ketika pengalaman-pengalaman ini hadir dalam kehidupan manusia, pada saat itulah sang manusia memerlukan cinta kasih dari Allah.  Allah yang mati dalam Kristus adalah Tuhan yang menderita bersama manusia, yang mengangkat manusia dari kedosaannya mendalam kepada anugerah yang membebaskan.  Benar! Sengat maut itu sudah ditelan oleh kemenangan dalam Yesus Kristus.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar