Memperbincangkan
seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Kelima: Mentransformasi
trauma dalam tubuh-diri
Oleh
Farsijana Adeney-Risakotta
Pada Camp
Pemuda/i saya belajar tentang penderitaan dari tekanan. Seorang partisipan tiba-tiba menangis ketika
teman saya sedang memfasilitasi penggalian bentuk-bentuk tekanan sosial yang ditampilkan
dari keluarga maupun institusi agama kepada seseorang yang berbeda orientasi
seksualitas. Kemudian saya tahu, pemuda yang sangat lembut ini berkali-kali
harus dilarikan ke rumah sakit karena dengan sengaja membenturkan bagian bawah
dari kepalanya ke tembok.
Di pagi
hari ketika saya baru selesai jogging, pemuda ini berlari-lari sambil
mengatakan: “Bunda saya sedang gundah”. Saya tersenyum, sambil berkata: “Kamu
sudah mengerti caranya mentransformasikan Dirimu khan?”. Ia tersenyum sambil menyimbolkan tangannya
membentuk tanda “yoga”. Sehari
sebelumnya saya memfasilitasi mereka dengan yoga sebagai alat transformasi
Diri.
Kekalutan
karena penolakan dari sekitar lingkungannya menyebabkan seseorang bisa
merasakan seolah-olah berpribadi delapan macam.
Seperti Sybil, pribadi beragam, seorang dengan “multiple personality
disorder” yang ceritanya saya ingat sejak masa remaja. Sybil berganti-ganti
kepribadian yang tampilannya masing-masing saling bertentangan. Pemuda lembut ini, bukan Sybil. Ia masih
mengerti tentang dirinya yang utama. Mungkin kadang-kadang ada penampakan dari
suara-suara yang mengingatkannya tentang representasi diri yang berbeda. Tetapi
tampilannya masih dikendalikan oleh diri dari pemuda ini. Identitas dirinya bukan suatu penyakit.
Ketika
mereka difasilitasi untuk mengenal diri, pemuda ini menggunakan kata
“penderitaan” untuk menggambarkan dirinya.
Artikulasi penderitaannya dihubungkan dengan keberaniannya untuk menderita
sekalipun ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat dengannya. Orangtuanya
membuang dirinya. Teman-temannya menjauhkan dirinya. Tetapi katanya: “Kesetiaan
dalam diri saya sangat mendalam”. Ia
setia untuk berjalan dalam identitas yang sudah dipilihnya sekalipun harus berkali-kali membenturkan kepalanya ke tembok!
Penolakan
menyebabkan kesepian. Tetapi ketika seseorang menjadi kuat termasuk semakin
sering merelakan penolakan berdiam bersama dirinya, pada saat itulah pembebasan
sedang terjadi. Pembebasan berkaitan dengan kejujuran untuk mengerti perjalanan
yang sudah dilewati. Foto seorang anak kecil berjilbab saya perlihatkan kepada
partisipan. Dibawah foto tersebut tertulis: “Namaku Irshad…Aku seorang Muslim
yang beriman”.
Kesesuaian
antara foto dengan kata-kata mungkin tidak tepat mengingat pengambilan foto
masa kecilnya tidak dirumuskan dalam bahasa kemudian sesudah Irshad Manji, seorang
lesbian yang tinggal di Kanada, menulis bukunya yang sangat berpengaruh
“Beriman tanpa rasa takut”. Buku ini
diterjemahkan dari bahasa Inggeris oleh Koalisi Perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi ( Jakarta: Nun Publisher dan Koalisi
Perempuan Indonesia,2008). Pembaca juga bisa mendown loadnya gratis. Lihat (https://www.irshadmanji.com/sites/default/.../Indonesian-Edition.pdf)
Tanda jilbab yang kedodoran ketika dipakai oleh Irshad yang mungkin baru berumur 3 tahun menjelaskan tentang imannya sejak semula. Irshad, bocah cilik, sedang menyatukan diri pribadinya, masa lalunya dengan dirinya masa kini, seorang lesbian, yang adalah seorang muslim. Apakah salah dari dirinya?
Tanda jilbab yang kedodoran ketika dipakai oleh Irshad yang mungkin baru berumur 3 tahun menjelaskan tentang imannya sejak semula. Irshad, bocah cilik, sedang menyatukan diri pribadinya, masa lalunya dengan dirinya masa kini, seorang lesbian, yang adalah seorang muslim. Apakah salah dari dirinya?
Irshad adalah
seseorang yang ada pada dirinya sendiri.
Tidak ada Irshad lain di dunia ini. Keberlangsungan sejarah dirinya
sejak kecil hingga menjadi dewasa, adalah Irshad yang tahu bahwa kesucian yang
dimilikinya adalah dirinya sebagai seorang pemikir. Irshad yang setia dalam
tradisi imannya tetapi sekaligus kritis untuk mengenal cara Allah mengasihinya.
Bisakah penguatan diri dilakukan tanpa membenturkan tubuh, tanpa menyakitkan tubuh dengan sengaja? Pertanyaan ini saya temukan jawabannya dengan bercerita tentang Irshad. Sesudah membagikan
cerita Irshad, partisipan memulai mengingatkan pribadinya ketika masing-masing
secara sendiri-sendiri mulai menguraikan peta perjalanan dirinya. Ingatan adalah
pengalaman yang selalu kembali menghadirkan dirinya dalam berbagai perasaan. Ketika seseorang mulai mengingat berarti ada
yang paling penting pernah terjadi.
Ingatan
tersebut ditandai, diberikan simbol, yaitu tanda lingkaran yang berisi goresan ekspresi sedih, gembira dan ragu-ragu. Penandaan simbol dilakukan
sekaligus dengan menandai titik-titik perhentian.
Mungkin di antara titik-titik perhentian tsb ada satu tempat yang selalu
diingatnya, dimana partisipan selalu kembali mengunjunginya dalam ingatan. Ingatan
yang kerap kembali adalah kekuatan dari diri mereka, tetapi juga adalah
kelemahan. Pada tempat itulah diberikan tanda lingkaran yang berisi garis-garis
naik turun menyerupai irama jantung yang dipotong oleh dua garis sejajar
merepresentasikan jalan raya. Tanda ini mengartikan perjalanan dan perhentian. Setiap perjalanan dan perhentian mestinya melegakan.
Perjalanan dan perhentian bisa dilakukan sambil melepaskan gemuruh dalam dada.
Sesudah
semua selesai menggambar peta perjalanan hidupnya di salah satu sisi dari
kertas kosong, mereka diminta berpasangan dengan seorang teman lain. Keduanya mempunyai tugas yaitu masing-masing
harus menemukan kekuatan dari temannya yang berada di depannya. Penemuan
kekuatan dilakukan tanpa mereka membagi cerita tentang peta perjalanan dirinya.
Pada sisi yang kosong dibalik dari gambar peta diri, masing-masing diminta
menuliskan tentang temuan kekuatan dari temannya. Simulasi ini menarik. Karena
ada yang menemukan kekuatan temannya dengan tepat, tetapi ada yang belum berhasil. Kemudian mereka dipersilahkan menjelaskan tentang kesadaran terhadap kekuatan yang mereka berdua bisa menemukan secara berbeda.
Sesudah
itu, setiap pribadi, hanya diri sendiri menemukan tiga kelemahannya yang
ditulis di sisian yang kosong pada kertas tsb. Temuan kelemahan diri hanya
untuk milik dirinya, dirahasiakan.
Kelemahan seseorang bisa mendatangkan aib apabila diketahui oleh orang
lain. Tetapi diri sendiri perlu mengetahuinya. Ketidaksadaran tentang kelemahan
dibawa keluar pada permukaan kesadaran untuk diterima menjadi bagian dari diri
sendiri. Saya memperhatikan cermat
setiap orang, muka-mukanya seperti terheran-heran. Mereka terkejut menemukan
dirinya, terutama kelemahan yang tidak disadarinya.
Lengkaplah,
peta diri, ada jalan yang pernah dilalui, ada bagian yang diingat sebagai
kekuatan, tetapi ada juga yang disadari sebagai kelemahan. Terbentang pada peta
diri kedua hasilan dari jalan kehidupan yang sedang dilaluinya. Tubuh mulai
mewaspadai tentang diri yang kuat sekaligus lemah.
Kitab suci
memberitahu tentang “tubuh dari tanah ke tanah”. Tetapi penghayatan terhadap
kebenaran kata-kata ini baru saya mengerti mendalam sesudah adik saya
meninggal. Saya merenungkan ketanahan tubuh dalam puisi berjudul “tanah” (The
soil). Saya menulis dan mendokumentasikannya di blog ini juga. Puisi ini mendalam karena saya bergetar ketika
bisa membahasakan getaran keterhubungan tubuh manusia dengan tanah. Saya mengutip potongan puisinya…”
Tanah
biarlah kubernapas bersamamu
biarlah kusentuh engkau dalam tangan
biarlah kucium engkau dalam rasa
biarlah kuhayati engkau dalam hati
biarlah kuukirkan engkau dalam kata
biarlah kubernapas bersamamu
biarlah kusentuh engkau dalam tangan
biarlah kucium engkau dalam rasa
biarlah kuhayati engkau dalam hati
biarlah kuukirkan engkau dalam kata
biarlah
kubangunkan nisan harapan
Saya
bernapas dengan tanah. Trauma saya sesudah kepergian adik yang mendadak,
mengubah hidup saya ketika saya memulai menerima keterhubungan diri saya dalam
ketanahan di mana adik saya berbaring. Bernapas bersama tanah menolong saya
merelakan “goncangan” dalam diri ditenangkan kembali pada pijakan dimana saya
berdiri.
Penolakan
yang diterima dari orang-orang yang dicintai di sekitar kita menyebabkan banyak
trauma membekas dalam tubuh sendiri. Kekuatan dan kelemahan yang sangat sering
muncul sebagai ingatan dan perilaku, keduanya ada dalam tubuh. Setiap tarikan napas pada diri mungkin juga
menghadirkan sekelebat kekuatan dan kelemahan dari tubuh. Kepekaan diri untuk merasakan kekuatan dan
kelemahan dalam tubuh bisa dibangunkan dengan menyentuhkan keterhubungannya
pada tubuh.
Pijakan
manusia adalah bumi, yang adalah tanah. Tanah terbentuk dari berbagai komponen
zat yang ada pada tubuh manusia, seperti mineral, air, api, dan kayu. Menyentuh
kekuatan dan kelemahan diri adalah membawa telapak tangan sendiri menjamahnya
lembut sampai merasakan salah satu dari aliran zat yang sedang mengalir keluar
dari tubuh kembali ke bumi, ke tanah.
Saya
memberikan pengantar kepada partisipan untuk mempersiapkan mereka memasuki
gerakan tubuh. Hampir semua peserta belum pernah mempunyai pengalaman meditasi
apalagi melakukan gerakan yoga. Mereka pemuda/i dengan usia diantara 19 - 28 tahun. Sesudah saya mengerti tentang pengalaman mereka
yang berbeda, saya mendorong mereka untuk memulai lebih dulu merasakan bernapas
bersama tanah.
Saya
mengajak partisipan berdiri tegak. Masing-masing mempunyai ruang untuk bisa
bergerak. Sebagai bagian dari mikrokosmos, saya membawa mereka memasuki kesadaran tentang posisi dan arah. Dengan tetap tegak, kami membentangkan tangan
membukanya ke kiri dan kanan menyatukan dalam gerakan kearahan makrokosmos. Dimulai
dari utara dalam kesadaran menghadap ke gunung Merapi, kemudian tangan dibawa
ke selatan dimana lautan Indonesia berada; kemudian ke timur dimana matahari
terbit dan ke barat dimana senja muncul.
Kami melakukannya sambil merasakan napas sendiri. Kesadaran tentang arah adalah penerimaan
tentang siklus tubuh sendiri.
Pemindahan
arah dilakukan pelan-pelan, kira-kira lima menit. Diakhiri dengan perjalanan
memposisikan diri dalam arah, saya mengajak mereka untuk meletakan telapak
tangannya di tempat yang paling ingin disentuh. Saya menyentuh bagian atas
perut sebagai pusaran diri pada saat itu. Semua gerakan dilakukan dengan
membuka mata. Kira-kira 20 menit sudah berlalu, saya memperhatikan ketenangan
terbesit keluar dari semua partisipan. Pemuda lembut yang memanggil saya Bunda juga sedang
memasuki kediriannya dengan damai.
Saya menyebut aktivitas tersebut Yoga,
walaupun pengertiannya berbeda dengan praktek Yoga kebanyakan. Intinya adalah
meditasi, yaitu satu aktivitas untuk menguatkan dan mengintegrasikan tubuh dengan mengolah daya, raga, roh dan jiwa sehingga
bisa mencapai kekuatan yang menggetarkan Diri.
Meditasi berbeda dengan sholat atau berdoa yang mempunyai tata urutan
sapaan, juga mengandung permintaan.
Meditasi memberikan ruang kepada
tubuh dan diri saling berhubungan mengakui kekuatan dan kelemahan yang dapat dilepaskan ke
bumi. Pertemuan ini menghasilkan tenaga yang menenangkan untuk memulai
mengubah pencapaian kualitas Diri di hadapan Sang Pencipta dan sesama. Kekuatan
yang bisa “menggerakkan” pusaran Diri meluaskan wilayah kediriannya dengan
membangun kesadaran baru yang menyeimbangkan.
Tahap kedua
adalah mengundang peserta untuk bersila dengan menegakkan tubuh sehingga
merasakan tulang belakang yang menopang tubuh. Ada yang masih berdiri sesudah
sebagian mulai duduk. Gerakan yang masih dilanjutkan adalah menyentuh bagian
tubuh yang menjadi pusaran kekuatan tetapi sekaligus kelemahan. Saya membiarkan
untuk beberapa saat kedekatan sentuhan menggetarkan diri masing-masing.
Kemudian
saya mengatakan apabila ada yang ingin memindahkan pusat sentuhan bisa
dilakukan. Saya memperhatikan ada beberapa yang memindahkannya. Pusat sentuhan
saya juga saya pindahkan, kedua telapak tangan saya membawa menyentuh bahu.
Getaran terasa makin kuat kira-kira lima menit. Pada saat inilah saya meminta
masing-masing untuk mulai mengundang Sang Pemberi Hidup datang menyentuh
pusaran tersebut.
Tubuh
manusia bukan robot.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan untuk menjaga pemilikan identitas
diri sering kali tampil sangat melelahkan. Perlawanan tidak saja terjadi pada
dataran konsep yang melibat energi untuk berpikir. Ketegangan dari perlawanan
mengalirkan sinyal ke seluruh tubuh sehingga menegangkan, bahkan untuk bernapas
saja sangat perih.
Sesudah
latihan meditasi dilakukan, saya mendapatkan lebih dari sepuluh orang
menyampaikan keluhan mereka. Ada yang merasa sesak, ketika bernapas sakit, ada
yang matanya berkunang-kunang, ada yang mengalami kesakitan pada tulang
belakang. Saya datang menyentuh bagian yang sakit dan meminta mereka untuk
merilekskan tubuh. Kemudian sesudah semua partisipan merasa cukup, tanpa
iringan musik, latihan meditasi ini berakhir. Awal hidup baru dimulai. Sesudah itu saya memberi waktu bercerita
dengan mereka yang merasakan gangguan selama meditasi berlangsung.
Sebenarnya
yang dilakukan adalah metransformasikan perlawanan “saat ini” masuk dan menjadi bagian dari perjalanan
yang sudah dipetakan. Kebanyakan perlawanan dilakukan diluar alam sadar, dengan
wajah ketakutan. Pengetahuan tentang hak-hak dasar diri sebagai manusia mulai
diposisikan dalam peta perjalanan diri yang sudah digambarkan sebelumnya. Peta
itupun ditransformasikan menjadi bagian dari diri sendiri selama meditasi
berlangsung. Inilah pengalaman mengintegrasikan antara pengetahuan dengan
penerusan perjuangan.
Tubuh
manusia ada dalam pengalamannya dengan sesama dan juga alam semesta. Tubuh ini
ternyata bukan hanya menanggung tetapi juga mentransmisi beban penolakan
kembali ke pusaran semesta yaitu kepada Sang Pemberi Hidup. Menyentuh semesta
adalah menyentuh kebaikan dan cinta kasih Tuhan dalam kehampaan diri sendiri.
Mengalirkan perlawanan mengubahnya menjadi perjalanan untuk berjuang dalam cara
Sang Pemberi Hidup yang membebaskan.
Di hari
yang sama sesudah saya disapa pemuda lembut, ada seorang peserta yang bersama saya melakukan meditasi. Pengulangan bersama dilakukan karena pengalaman sebelumnya ia
merasakan ada banyak warna hadir dalam dirinya. Jadi pagi itu, saya bersamanya
memulai proses yang sama. Ia sudah lebih tenang. Saya merasakan kedalamanya
memasuki dirinya sendiri. Sesudah saya berhenti, ternyata ia masih terbenam
dalam keintiman dirinya.
Saya
membiarkan dirinya sendiri. Kemudian sesudah ia selesai, kami bercerita.
Katanya: “Ketika saya menyentuh kekuatan dan kelemahan saya, yaitu bagian luar
dari telapak tangan kiri saya, saya mulai merasakan suara kayu yang patah.
Suara patahan kayu dimulai pelan…pelan tetapi makin kencang sampai akhirnya
menghilang”. Saya tersenyum dan
meneguhkannya: “Kamu sudah mengerti jalan pulang ke diri. Teruskan!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar