Translate

Sabtu, 21 April 2012

Mentransformasikan trauma dalam tubuh-diri


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Kelima: Mentransformasi trauma dalam tubuh-diri

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Pada Camp Pemuda/i saya belajar tentang penderitaan dari tekanan.  Seorang partisipan tiba-tiba menangis ketika teman saya sedang memfasilitasi penggalian bentuk-bentuk tekanan sosial yang ditampilkan dari keluarga maupun institusi agama kepada seseorang yang berbeda orientasi seksualitas. Kemudian saya tahu, pemuda yang sangat lembut ini berkali-kali harus dilarikan ke rumah sakit karena dengan sengaja membenturkan bagian bawah dari kepalanya ke tembok.
  
Di pagi hari ketika saya baru selesai jogging, pemuda ini berlari-lari sambil mengatakan: “Bunda saya sedang gundah”. Saya tersenyum, sambil berkata: “Kamu sudah mengerti caranya mentransformasikan Dirimu khan?”.  Ia tersenyum sambil menyimbolkan tangannya membentuk tanda “yoga”.  Sehari sebelumnya saya memfasilitasi mereka dengan yoga sebagai alat transformasi Diri. 

Kekalutan karena penolakan dari sekitar lingkungannya menyebabkan seseorang bisa merasakan seolah-olah berpribadi delapan macam.  Seperti Sybil, pribadi beragam, seorang dengan “multiple personality disorder” yang ceritanya saya ingat sejak masa remaja. Sybil berganti-ganti kepribadian yang tampilannya masing-masing saling bertentangan.  Pemuda lembut ini, bukan Sybil. Ia masih mengerti tentang dirinya yang utama. Mungkin kadang-kadang ada penampakan dari suara-suara yang mengingatkannya tentang representasi diri yang berbeda. Tetapi tampilannya masih dikendalikan oleh diri dari pemuda ini.  Identitas dirinya  bukan suatu penyakit.

Ketika mereka difasilitasi untuk mengenal diri, pemuda ini menggunakan kata “penderitaan” untuk menggambarkan dirinya.  Artikulasi penderitaannya dihubungkan dengan keberaniannya untuk menderita sekalipun ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat dengannya. Orangtuanya membuang dirinya. Teman-temannya menjauhkan dirinya. Tetapi katanya: “Kesetiaan dalam diri saya sangat mendalam”.  Ia setia untuk berjalan dalam identitas yang sudah dipilihnya sekalipun harus berkali-kali membenturkan kepalanya ke tembok!

Penolakan menyebabkan kesepian. Tetapi ketika seseorang menjadi kuat termasuk semakin sering merelakan penolakan berdiam bersama dirinya, pada saat itulah pembebasan sedang terjadi. Pembebasan berkaitan dengan kejujuran untuk mengerti perjalanan yang sudah dilewati. Foto seorang anak kecil berjilbab saya perlihatkan kepada partisipan. Dibawah foto tersebut tertulis: “Namaku Irshad…Aku seorang Muslim yang beriman”.  

Kesesuaian antara foto dengan kata-kata mungkin tidak tepat mengingat pengambilan foto masa kecilnya tidak dirumuskan dalam bahasa kemudian sesudah Irshad Manji, seorang lesbian yang tinggal di Kanada, menulis bukunya yang sangat berpengaruh “Beriman tanpa rasa takut”.  Buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggeris oleh Koalisi Perempuan Indonesia  untuk keadilan dan demokrasi ( Jakarta:  Nun Publisher dan Koalisi Perempuan Indonesia,2008). Pembaca juga bisa mendown loadnya gratis. Lihat (https://www.irshadmanji.com/sites/default/.../Indonesian-Edition.pdf)

Tanda jilbab yang kedodoran ketika dipakai oleh Irshad yang mungkin baru berumur 3 tahun menjelaskan tentang imannya sejak semula. Irshad, bocah cilik, sedang menyatukan diri pribadinya, masa lalunya dengan dirinya masa kini, seorang lesbian, yang  adalah seorang muslim. Apakah salah dari dirinya?

Irshad adalah seseorang yang ada pada dirinya sendiri.  Tidak ada Irshad lain di dunia ini. Keberlangsungan sejarah dirinya sejak kecil hingga menjadi dewasa, adalah Irshad yang tahu bahwa kesucian yang dimilikinya adalah dirinya sebagai seorang pemikir. Irshad yang setia dalam tradisi imannya tetapi sekaligus kritis untuk mengenal cara Allah mengasihinya. 

Bisakah penguatan diri dilakukan tanpa membenturkan tubuh, tanpa menyakitkan tubuh dengan sengaja? Pertanyaan ini saya temukan jawabannya dengan bercerita tentang Irshad. Sesudah membagikan cerita Irshad, partisipan memulai mengingatkan pribadinya ketika masing-masing secara sendiri-sendiri mulai menguraikan peta perjalanan dirinya. Ingatan adalah pengalaman yang selalu kembali menghadirkan dirinya  dalam berbagai perasaan.   Ketika seseorang mulai mengingat berarti ada yang paling penting pernah terjadi. 

Ingatan tersebut ditandai, diberikan simbol, yaitu tanda lingkaran yang berisi  goresan ekspresi sedih, gembira dan ragu-ragu. Penandaan simbol dilakukan sekaligus dengan menandai titik-titik perhentian.  Mungkin di antara titik-titik perhentian tsb ada satu tempat yang selalu diingatnya, dimana partisipan selalu kembali mengunjunginya dalam ingatan. Ingatan yang kerap kembali adalah kekuatan dari diri mereka, tetapi juga adalah kelemahan. Pada tempat itulah diberikan tanda lingkaran yang berisi garis-garis naik turun menyerupai irama jantung yang dipotong oleh dua garis sejajar merepresentasikan  jalan raya. Tanda ini mengartikan perjalanan dan perhentian. Setiap perjalanan dan perhentian mestinya  melegakan. Perjalanan dan perhentian bisa dilakukan sambil melepaskan gemuruh dalam dada. 

Sesudah semua selesai menggambar peta perjalanan hidupnya di salah satu sisi dari kertas kosong, mereka diminta berpasangan dengan seorang teman lain.  Keduanya mempunyai tugas yaitu masing-masing harus menemukan kekuatan dari temannya yang berada di depannya. Penemuan kekuatan dilakukan tanpa mereka membagi cerita tentang peta perjalanan dirinya. Pada sisi yang kosong dibalik dari gambar peta diri, masing-masing diminta menuliskan tentang temuan kekuatan dari temannya. Simulasi ini menarik. Karena ada yang menemukan kekuatan temannya dengan tepat, tetapi ada yang belum berhasil.  Kemudian mereka dipersilahkan menjelaskan tentang kesadaran terhadap kekuatan yang mereka berdua bisa menemukan secara berbeda.

Sesudah itu, setiap pribadi, hanya diri sendiri menemukan tiga kelemahannya yang ditulis di sisian yang kosong pada kertas tsb. Temuan kelemahan diri hanya untuk milik dirinya, dirahasiakan.  Kelemahan seseorang bisa mendatangkan aib apabila diketahui oleh orang lain. Tetapi diri sendiri perlu mengetahuinya. Ketidaksadaran tentang kelemahan dibawa keluar pada permukaan kesadaran untuk diterima menjadi bagian dari diri sendiri.  Saya memperhatikan cermat setiap orang, muka-mukanya seperti terheran-heran. Mereka terkejut menemukan dirinya, terutama kelemahan yang tidak disadarinya.

Lengkaplah, peta diri, ada jalan yang pernah dilalui, ada bagian yang diingat sebagai kekuatan, tetapi ada juga yang disadari sebagai kelemahan. Terbentang pada peta diri kedua hasilan dari jalan kehidupan yang sedang dilaluinya. Tubuh mulai mewaspadai tentang diri yang kuat sekaligus lemah.

Kitab suci memberitahu tentang “tubuh dari tanah ke tanah”. Tetapi penghayatan terhadap kebenaran kata-kata ini baru saya mengerti mendalam sesudah adik saya meninggal. Saya merenungkan ketanahan tubuh dalam puisi berjudul “tanah” (The soil). Saya menulis dan mendokumentasikannya di blog ini juga. Puisi ini mendalam karena saya bergetar ketika bisa membahasakan getaran keterhubungan tubuh manusia dengan tanah.  Saya mengutip potongan puisinya…”

Tanah
biarlah kubernapas bersamamu
biarlah kusentuh engkau dalam tangan
biarlah kucium engkau dalam rasa
biarlah kuhayati engkau dalam hati
biarlah kuukirkan engkau dalam kata
biarlah kubangunkan nisan harapan

Saya bernapas dengan tanah. Trauma saya sesudah kepergian adik yang mendadak, mengubah hidup saya ketika saya memulai menerima keterhubungan diri saya dalam ketanahan di mana adik saya berbaring. Bernapas bersama tanah menolong saya merelakan “goncangan” dalam diri ditenangkan kembali pada pijakan dimana saya berdiri.

Penolakan yang diterima dari orang-orang yang dicintai di sekitar kita menyebabkan banyak trauma membekas dalam tubuh sendiri. Kekuatan dan kelemahan yang sangat sering muncul sebagai ingatan dan perilaku, keduanya ada dalam tubuh.  Setiap tarikan napas pada diri mungkin juga menghadirkan sekelebat kekuatan dan kelemahan dari tubuh.  Kepekaan diri untuk merasakan kekuatan dan kelemahan dalam tubuh bisa dibangunkan dengan menyentuhkan keterhubungannya pada tubuh. 

Pijakan manusia adalah bumi, yang adalah tanah. Tanah terbentuk dari berbagai komponen zat yang ada pada tubuh manusia, seperti mineral, air, api, dan kayu. Menyentuh kekuatan dan kelemahan diri adalah membawa telapak tangan sendiri menjamahnya lembut sampai merasakan salah satu dari aliran zat yang sedang mengalir keluar dari tubuh kembali ke bumi, ke tanah.

Saya memberikan pengantar kepada partisipan untuk mempersiapkan mereka memasuki gerakan tubuh. Hampir semua peserta belum pernah mempunyai pengalaman meditasi apalagi melakukan gerakan yoga. Mereka pemuda/i dengan usia diantara 19 - 28 tahun. Sesudah saya mengerti tentang pengalaman mereka yang berbeda, saya mendorong mereka untuk memulai lebih dulu merasakan bernapas bersama tanah.

Saya mengajak partisipan berdiri tegak. Masing-masing mempunyai ruang untuk bisa bergerak. Sebagai bagian dari mikrokosmos, saya membawa mereka memasuki kesadaran tentang posisi dan arah.  Dengan tetap tegak, kami membentangkan tangan membukanya ke kiri dan kanan menyatukan dalam gerakan kearahan makrokosmos.  Dimulai dari utara dalam kesadaran menghadap ke gunung Merapi, kemudian tangan dibawa ke selatan dimana lautan Indonesia berada; kemudian ke timur dimana matahari terbit dan ke barat dimana senja muncul.  Kami melakukannya sambil merasakan napas sendiri.  Kesadaran tentang arah adalah penerimaan tentang siklus tubuh sendiri.

Pemindahan arah dilakukan pelan-pelan, kira-kira lima menit. Diakhiri dengan perjalanan memposisikan diri dalam arah, saya mengajak mereka untuk meletakan telapak tangannya di tempat yang paling ingin disentuh. Saya menyentuh bagian atas perut sebagai pusaran diri pada saat itu. Semua gerakan dilakukan dengan membuka mata. Kira-kira 20 menit sudah berlalu, saya memperhatikan ketenangan terbesit keluar dari semua partisipan.  Pemuda lembut yang memanggil saya Bunda juga sedang memasuki kediriannya dengan damai.

Saya menyebut aktivitas tersebut Yoga, walaupun pengertiannya berbeda dengan praktek Yoga kebanyakan. Intinya adalah meditasi, yaitu satu aktivitas untuk menguatkan dan  mengintegrasikan tubuh dengan  mengolah daya, raga, roh dan jiwa sehingga bisa mencapai kekuatan yang menggetarkan Diri.  Meditasi berbeda dengan sholat atau berdoa yang mempunyai tata urutan sapaan, juga mengandung permintaan.  

Meditasi memberikan ruang kepada tubuh dan diri saling berhubungan mengakui kekuatan dan kelemahan yang dapat dilepaskan ke bumi.  Pertemuan ini menghasilkan  tenaga yang menenangkan untuk memulai mengubah pencapaian kualitas Diri di hadapan Sang Pencipta dan sesama. Kekuatan yang bisa “menggerakkan” pusaran Diri meluaskan wilayah kediriannya dengan membangun kesadaran baru yang menyeimbangkan.  

Tahap kedua adalah mengundang peserta untuk bersila dengan menegakkan tubuh sehingga merasakan tulang belakang yang menopang tubuh. Ada yang masih berdiri sesudah sebagian mulai duduk. Gerakan yang masih dilanjutkan adalah menyentuh bagian tubuh yang menjadi pusaran kekuatan tetapi sekaligus kelemahan. Saya membiarkan untuk beberapa saat kedekatan sentuhan menggetarkan diri masing-masing.

Kemudian saya mengatakan apabila ada yang ingin memindahkan pusat sentuhan bisa dilakukan. Saya memperhatikan ada beberapa yang memindahkannya. Pusat sentuhan saya juga saya pindahkan, kedua telapak tangan saya membawa menyentuh bahu. Getaran terasa makin kuat kira-kira lima menit. Pada saat inilah saya meminta masing-masing untuk mulai mengundang Sang Pemberi Hidup datang menyentuh pusaran tersebut.

Tubuh manusia bukan robot.  Perlawanan-perlawanan yang dilakukan untuk menjaga pemilikan identitas diri sering kali tampil sangat melelahkan. Perlawanan tidak saja terjadi pada dataran konsep yang melibat energi untuk berpikir. Ketegangan dari perlawanan mengalirkan sinyal ke seluruh tubuh sehingga menegangkan, bahkan untuk bernapas saja sangat perih. 

Sesudah latihan meditasi dilakukan, saya mendapatkan lebih dari sepuluh orang menyampaikan keluhan mereka. Ada yang merasa sesak, ketika bernapas sakit, ada yang matanya berkunang-kunang, ada yang mengalami kesakitan pada tulang belakang. Saya datang menyentuh bagian yang sakit dan meminta mereka untuk merilekskan tubuh. Kemudian sesudah semua partisipan merasa cukup, tanpa iringan musik, latihan meditasi ini berakhir. Awal hidup baru dimulai.  Sesudah itu saya memberi waktu bercerita dengan mereka yang merasakan gangguan selama meditasi berlangsung.

Sebenarnya yang dilakukan adalah metransformasikan perlawanan “saat ini” masuk dan menjadi bagian dari perjalanan yang sudah dipetakan. Kebanyakan perlawanan dilakukan diluar alam sadar, dengan wajah ketakutan. Pengetahuan tentang hak-hak dasar diri sebagai manusia mulai diposisikan dalam peta perjalanan diri yang sudah digambarkan sebelumnya. Peta itupun ditransformasikan menjadi bagian dari diri sendiri selama meditasi berlangsung. Inilah pengalaman mengintegrasikan antara pengetahuan dengan penerusan perjuangan.

Tubuh manusia ada dalam pengalamannya dengan sesama dan juga alam semesta. Tubuh ini ternyata bukan hanya menanggung tetapi juga mentransmisi beban penolakan kembali ke pusaran semesta yaitu kepada Sang Pemberi Hidup. Menyentuh semesta adalah menyentuh kebaikan dan cinta kasih Tuhan dalam kehampaan diri sendiri. Mengalirkan perlawanan mengubahnya menjadi perjalanan untuk berjuang dalam cara Sang Pemberi Hidup yang membebaskan. 

Di hari yang sama sesudah saya disapa pemuda lembut,  ada seorang peserta yang bersama saya melakukan meditasi.  Pengulangan bersama dilakukan karena pengalaman sebelumnya ia merasakan ada banyak warna hadir dalam dirinya. Jadi pagi itu, saya bersamanya memulai proses yang sama. Ia sudah lebih tenang. Saya merasakan kedalamanya memasuki dirinya sendiri. Sesudah saya berhenti, ternyata ia masih terbenam dalam keintiman dirinya. 

Saya membiarkan dirinya sendiri. Kemudian sesudah ia selesai, kami bercerita. Katanya: “Ketika saya menyentuh kekuatan dan kelemahan saya, yaitu bagian luar dari telapak tangan kiri saya, saya mulai merasakan suara kayu yang patah. Suara patahan kayu dimulai pelan…pelan tetapi makin kencang sampai akhirnya menghilang”.  Saya tersenyum dan meneguhkannya: “Kamu sudah mengerti jalan pulang ke diri. Teruskan!”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar