Translate

Selasa, 17 April 2012

Menuju pemahaman nilai dan seksualitas


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Kedua:  menuju pemahaman nilai dan seksualitas

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Sejak ribuan tahun, seksualitas bukan untuk diperbincangkan.  Perbincangan seksualitas dihindari tetapi penguasaan tubuh tetap terjadi. Tubuh adalah jasad hidup, yang menjadi wadah untuk menghadirkan nilai-nilai, sifat, perilaku dan peran sosial.  Nilai-nilai yang diakui sebagai ajaran sosial, kemanusiaan seperti dipelihara oleh adat istiadat dan agama, akan tetap bersifat abstrak apabila tidak diwujudkan sebagai sifat yang ditampilkan dalam perilaku dan peran sosial yang keluar sebagai representasi tubuh. 

Misalkan nilai cinta kasih, bisa menghadirkan dirinya apabila seseorang mewujudkannya dengan menyatakan cinta kasih kepada orang lain. Contoh lainnya, nilai mementingkan diri terwujud dalam perilaku keserakahan seperti nampak pada mereka yang menggunakan peran sosialnya untuk melakukan korupsi.

Kajian budaya menunjukkan tentang ketubuhan dikelilingi oleh identitas sosial. Tubuh sebagai representasi dari identitas Diri ternyata masih cenderung terperangkap oleh norma-norma, adat istiadat.  Masyarakat  cenderung melambatkan diri untuk memperbaiki bias gender yang dipeliharanya dalam berelasi dengan perempuan maupun kelompok marginal lainnya.  Penampakan bias gender terlihat pada saat relasi kekuasaan menyebabkan seseorang mengalami “subordinasi”.  

Ada kekuatan penekan yang dengan sengaja dituju kepada seseorang sampai memperlihatkan posisi neraca keadilan yang timbang sebelah. Relasi kekuasaan yang terbangun dalam realitas subordinasi akan berpengaruh terhadap penumpukan beban ganda yang menyebabkan penghargaan terhadap tugas-tugas yang dilakukan jauh dibawah standar kesepakatan  “upah minimum regional” (UMR). 

Tekanan-tekanan ini bisa memuncak sehingga menimbulkan kekerasan terhadap seseorang yang berada dalam posisi subordinasi.  Mereka dapat dinomorduakan dalam pengikutsertakan terhadap program-program bersama di masyarakat yang seyogianya merupakan hak-haknya. Peminggiran ini disebabkan karena adanya pandangan-pandangan yang keliru terbangun dari upaya stereotyping terhadap perbedaan-perbedaan yang terlihat baik secara fisik maupun sebagai representasi identitas. Misalkan penolakan untuk melibatkan seseorang dalam program pengembangan ekonomi karena alasan perbedaan orientasi seksual, agama dan etnisitas.

Saya sadar perbincangan terhadap topik ini perlu dilakukan secara hati-hati untuk bisa menyentil kepedulian masyarakat yang masih cenderung tanpa disadarinya menindas mereka yang tersubordinasikan.  Mereka yang menindas mungkin adalah mereka yang paling saleh, beriman dan terpelajar.  Mereka sudah punya pengertian tentang nilai-nilai tetapi pelaksanaannya sungguh jauh dari semangat yang inheren dalam kedirian nilai tsb. Kadang-kadang mereka membela diri dengan menggambarkan tentang nilai sebagai representasi yang absolut.  Mereka bisa menempatkan nilai sebagai suatu “dogma” yang representasinya bersifat tunggal, diterima sebagai hukum abadi yang adikodrati.

Tentang hal ini saya ingin bercerita tentang diri sendiri. Masa remaja saya dimulai ketika saya berpikir tentang perintah Tuhan seperti tertulis di Alkitab tentang kasih sayang.  Kasih sayang seperti apa yang harus saya pahami ketika ada perasaan yang mulai bertumbuh dalam diri saya yaitu kasih sayang sebagai ketertarikan lawan jenis. Saya mulai sadar bahwa kata “kasih sayang” perlu diwaspadai karena makna berbeda dengan “menyerahkan diri”.  Ternyata nilai “kasih sayang” dalam representasi ketubuhannya tampil berbeda-beda.  Secara kristiani, ada berapa tingkatan dari pengertian kasih sayang yang dibedakan dalam bahasa Yunani seperti “ agape”, “philia”, dan “eros”. Perbedaan perilaku mewujudkan tingkatan nilai ini makin jelas sesudah muncul penghayatan yang sejalan dengan kematangan dalam diri sendiri.

Dasar dari nilai bisa mengandung makna yang sama tetapi representasi ketubuhannya dapat berbeda.  Kasih agape adalah kasih sayang yang ditujukan kepada Tuhan. Ibadah dan hubungan intim dengan Tuhan menjadi representasi dari kasih agape.  Keintiman bisa menyebabkan muncul perasaan menangis dan bahagia. Kasih philia adalah sebutan kepada cinta kasih sesama, yang keintimannya tampil dalam bentuk kepedulian, persahabatan, empati dan persaudaraan.  Tindakan menolong, mengunjungi saudara dan tetangga merupakan representasi dari kasih philia.

Sedangkan representasi kasih eros, ketubuhan secara total dari Diri dapat disatukan dengan seorang yang menjadi pasangan hidupnya. Ketubuhan tersebut selain menyebabkan keintiman juga menghadirkan komitmen kepada satu dengan lainnya. Eros bisa menjadi kekuatan yang mencelakakan apabila dalam keintiman ketubuhan dilakukan tanpa tanggungjawab dan komitmen.  Kasih “eros” dilindungi oleh “keintiman ketubuhan” yang bisa bergerak membangun komitmen dalam “ketubuhan bersama” yang dalam bahasa sederhana disebut “keluarga”.

Kehilangan pengertian dari orientasi nilai bisa terlihat baik kepada mereka yang menekan dalam relasi subordinasi maupun pada mereka yang tertekan. Karena pengalaman ketubuhan yang berbeda-beda ternyata juga berpengaruh kepada cara manusia berelasi dengan sesama.  Misalkan seorang heteroseksual menggunakan nilai dan ajaran agama heteronormatif  untuk menghakimi kedirian seseorang yang orientasi seksual berbeda.  Sebaliknya seorang yang homoseksual membangun nilai homonormatif  untuk mempertahankan perilaku yang diperjuangkannya yaitu mendapat pengakuan tentang perbedaan orientasi seksualitasnya.  Dasar nilai homonormatif yang selalu dirujuk seringkali berasal dari resolusi Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB tentang penanggulangi diskriminasi. Nilai HAM ini berkaitan dengan nilai dasar manusia untuk hidup. 

Ratifikasi nilai HAM dalam perundangan di Indonesia ditampung pada UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 4 menjelaskan tentang berbagai hak."Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi, dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun".   


Di Indonesia, nilai yang membentuk dalam kata berkaitan dengan seksualitas, sebelum pengakuan HAM PBB bisa dilihat pada kata-kata: lelaki, perempuan dan banci/waria. Variasi kata-kata yang mengandung nilai homonormatif masih terbatas. Walaupun demikian perilaku seksual yang menunjukkan ketertarikan sesama jenis sudah ada dalam pengalaman manusia Indonesia. Keterbukaan dunia menerima homonormatif dengan pengalamannya yang beragama juga kemudian mempengaruhi Indonesia. Walaupun secara eksplisit berbagai variasi penyebutan orientasi seksual yang berbeda tidak nampak dalam kata-kata perundangan, tetapi setidaknya pengakuan untuk perlindungan manusia untuk hidup dengan caranya yang dipilih mendapat perlindungan dalam hukum Indonesia. 

Kadang-kadang kelompok heteronormatif menggunakan argumentasi yang mempertanyakan tentang rendahnya komitmen seorang homoseksual kepada pasangannya. Tetapi menurut saya argumentasi ini tidak berbeda dengan pandangan heteronormatif yang mempraktekkan poligami.  

Kehidupan modern mengubah fungsi dari keluarga.  Tetapi mempunyai “keluarga” tetap menjadi idaman dari baik heteroseksual maupun homoseksual. Kemudahan komunikasi yang diberikan oleh teknologi turut membentuk pemaknaan baru tentang “keluarga”. Dengan komitmen yang mendalam, pasangan bisa bekerja di tempat yang berbeda sehingga kesempatan bertemu dilakukan pada waktu-waktu tertentu. 

Cara mengekpresikan cinta kasih yang berbeda-beda dengan penekanan pada pencirian hubungan seksual yang berbeda dalam relasi gay atau lesbian turut menentukan kedalaman keintiman dan komitmen dari masing-masing pasangan.  Pemilikan anak dari keturunan sendiri bukan lagi menjadi isu. Adopsi dapat dilakukan untuk mengatasi pasangan homoseksual yang tidak dimungkinkan mempunyai anak. 

Masalahnya semua perubahan sosial yang berpengaruh terhadap pemaknaan baru yang positif bagi pengertian keluarga belum dicatat dalam kitab suci dari agama-agama yang ada di dunia.  Kecuali, misalkan pencatatan tentang perilaku seksual yang menghebohkan seluruh dunia seperti cerita Sodom dan Gomora merupakan ayat-ayat heteronormatif yang sering digunakan untuk mendiskriminasikan mereka dengan orientasi sosial sebagai homoseksual.  

Heteronormatif adalah cara pandangan yang mensahkan adanya hubungan seksualitas antara lawan jenis.  Penolakan agama didasari oleh pandangan bahwa salah satu maksud penciptaan adalah untuk bisa berkembangbiakan.  Kontradiksi lain terkai dengan  agama yang menjunjung nilai-nilai kehidupan tetapi dalam prakteknya malahan melakukan diskriminasi kepada mereka yang berbeda orientasi seksualnya.

Untuk pemahaman lebih lanjut, saya perlu memberikan perhatian terhadap fungsi teks-teks suci. Teks-teks ini perlu dikaitkan dengan kemurnian kemanusiaan manusia dan keadilan bagi mereka berorientasi seksual yang berbeda di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar