Memperbincangkan
seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Keempat: Tubuh-ketubuhan
dan representasi diri-kedirian
Oleh
Farsijana Adeney-Risakotta
Pada
tulisan sebelumnya saya berjanji akan meneruskan ke topik penafsiran kehidupan.
Tetapi saya sadar belum cukup banyak bercerita tentang tubuh dan ketubuhan.
Dalam Camp pemuda/i maupun Pendidikan kader dasar kepada ibu-ibu, saya memberikan
banyak waktu untuk menguraikan tentang tubuh. Sekarang saya ingin
menyinggungnya. Jadi tulisan tentang penafsiran diteruskan kemudian, sementara
membelot dulu membahas tentang tubuh.
Manusia
sangat mempesona karena tubuh dan ketubuhannya. Siapa saja dan kemana saja saya
pergi, keterpesonaan itu mendorong saya untuk mengerti lebih jauh berbagai
faktor penting pembentuk kedirian seseorang.
Tubuh dan ketubuhan, Diri dan kedirian, adalah kenyataan keterpesonaan
saya. Maka pertanyaan yang bisa direnungkan bagaimana kita melihat tubuh-ketubuhan,
Diri-kedirian, apa yang dipikirkan, apa yang harus dilakukan, bagaimana
bertindak, apa tanggungjawab Diri untuk bertindak, apa yang Diri inginkan,
ingin jadi siapa?
Berbagai
penelitian dan penulisan dari metafisik ke psikoanalisis dilakukan
bermacam-macam pakar untuk menjelaskan tentang manusia. Keterpesonaan itu
menyebabkan saya memasuki lorong-lorong permenungan secara independen untuk
mengerti tentang manusia. Konstruksi sosiologi dan budaya dengan kerangka
teoritis yang umum terasa kurang untuk menjelaskan keterpesonaan saya. Membongkarnya,
juga terasa masih kurang apabila sekedar menggunakan analisis sosial terkait
dengan kekuasaan yang mencoba menelanjangi kelompok yang mendominasi dalam
relasi dengan kelompok yang tersubordinasi.
Saya makin
sadar, analisis adalah alat kepekaan, alat kerja untuk mengerti keterhubungan
fenomena ketimpangan dalam masyarakat. Akan tetapi pada sisi lain, saya juga
sangat sadar tentang perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan manusia
sebagai hasil dari pembelajaran bersama. Misalkan “kritik” yang diberikan
kepada agama karena pelarangannya kepada perempuan yang sedang menstruasi berdoa atau memasuki ruang ibadah. Kritik ini dilakukan tanpa menjelaskan tentang perubahan sosial yang terjadi. Sehingga
kritik dilakukan hanya untuk menyentuh ajaran sebagai dogma tanpa menjelaskan bagaimana ia terbentuk.
Teknologi
sangat berpengaruh dalam perubahan sosial. Pembalut perempuan merupakan hasil
rekayasa dari penemuan berevolusi dari masa ke masa. Kulit tubuh perempuan disekitar selangka
terlalu halus untuk dibalutkan serabut kelapa yang diikatkan dengan tali-tali
dari akar muda suatu tanaman. Kemudahan dan keamanan diri adalah memisahkan
perempuan di lokasi yang mempunyai akses langsung ke tanah. Ketika menstuari tiba, perempuan di bawah ke
rumah sendiri di mana aliran pendarahannya bisa langsung mengalir ke tanah.
Praktek ini
masih ditemukan pada masyarakat pedesaan di Indonesia, misalkan di NTT yang menciptakan
secara khusus rumah untuk perempuan yang sedang menstruasi. Pemisahan perempuan pada rumah khusus ini
menyebabkan tugas-tugas sehari-hari untuk sementara ditangani pada rumah
perempuan. Kegiatan ibadah yang
melibatkan komunitas juga dihentikan.
Alasan utama sebenarnya adalah ketiadaan alat sederhana untuk menampung pendarahan
perempuan.
Alasan ini
ternyata kemudian dikemas dalam rumusan yang memberikan makna kepada komunitas.
Misalkan, pemisahan harus dilakukan karena wilayah komunitas dalam
persembayangan bersama adalah suci. Pendarahan merupakan suatu “gangguan” yang
bisa menimbulkan ketidaknyamanan bersama. Perumusan ini kemudian dihubungkan
dengan kenajisan dan kebersihan yang terkait dengan wilayah suci dan sekuler.
Pandangan ini masih terus dipelihara juga ketika sudah ada solusi untuk
menolong menstruasi perempuan. Sekarang perempuan modern dengan menggunakan “pembalut”
bisa beraktivitas ketika mengalami menstruasi kecuali tidak bisa bersembayang bersama
komunitas menurut agama tertentu (Islam, Hindu).
Tubuh baik,
ketubuhan perempuan maupun lelaki, di dalam lingkaran kehidupannya harus
melewati setiap tahap dengan berbagai persyaratan. Menstruasi merupakan salah
satu krisis karena gagalnya pembuahan di antara sperma dan indung telur. Akan
tetapi ketika pembuahan tsb terjadi, sehingga menstruasi berhenti, krisis
lainnya akan terjadi. Hidup manusia disadari dikelilingi oleh berbagai krisis
karena itu perlu dilakukan berbagai ritual untuk menolong manusia melewati
setiap tahap krisis dari lingkaran kehidupan yang dilewatinya. Lingkaran kehidupan dimulai dari peristiwa kelahiran, bayi, anak-anak, remaja,
dewasa muda, dewasa tua (menikah), mempunyai anak, mempunyai cucu, sampai masa
kematian.
Pembedaan
fungsi biologis perempuan dan laki-laki juga menentukan macam ritual yang harus
dilewati. Misalkan sunat perlu dilakukan kepada setiap anak lelaki menurut
beberapa tradisi budaya dan agama. Tujuan sunat adalah untuk menjaga kebersihan
dari penyakit yang bisa dialami oleh seorang lelaki. Sunat juga dilakukan
kepada anak perempuan tetapi tujuannya berbeda. Dibanyak budaya, klitoris anak perempuan
dipotong sehingga menyebabkan pendarahan yang membawa kepada kematian. Tradisi
pengambilan klitoris anak perempuan dilakukan untuk kelak memusatkan kepuasaan
seksualitas sebagai pemberian dari lelaki. Tradisi sunat anak perempuan sudah mengalami
perubahan, karena dianggap bertentangan dengan HAM perempuan.
Pandangan
tentang sunat perempuan sangat terkait dengan praktek moralitas. Ternyata tubuh
bukan hanya kerangka biologis tetapi ia adalah representasi moralitas. Moralitas ditampilkan dalam bentuk kebijakan
dan aturan. Dalam moralitas ada perintah dan larangan sebagai suatu rangkaian
kodefikasi disiplin yang diyakini mendatangkan keselamatan untuk semua pihak.
Karena itu, tubuh berfungsi menterjemahkan penugasan sosialisasi seksualitas
dan nilai yang berlangsung sejak masa kecil sampai proses lebih lanjut.
Pengejawantahan
ketubuhan dilakukan melalui proses peniruan yang cenderung memuaskan pihak
dominasi supaya Diri pribadi bisa diterima. Dengan adanya otoritas “demokratis”
yang diizinkan membentuk watak seseorang, aspek partisipasi dan kemandirian “agency”
sudah diperkenalkan sejak usia dini sehingga seorang anak diharapkan sudah
mempunyai identitas lebih cepat. Identitas merupakan kekhasan yang dipilihnya
dengan sadar sebagai bagian dari proses pikir dan negosiasi.
Akan tetapi
kebanyakan proses mensosialisasikan ketubuhan seseorang tetap dilakukan dalam
konteks ketabuan sekalipun manusia hidup dengan nilai-nilai demokratis jaman
modern. Terutama tubuh perempuan, sering kali dianggap sebagai sumber dari
bencana. Penyalahan tubuh perempuan sebagai sumber dosa untuk laki-laki
menyebabkan tubuh perempuan dipenjarakan.
Banyaknya
aturan dan larangan yang ditujukan kepada tubuh perempuan menyebabkan
pelanggaran dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Contoh yang terjadi di
Indonesia, bisa dilihat langsung dengan semaraknya peraturan daerah yang
terkait dengan pelarangan pelacuran yang berdampak terhadap berbagai rasia
ditujukan kepada berbagai perempuan yang berkeliaran di sekitar arena dimana
perda tsb diperlakukan. Perda-perda
syariah ditegakkan atas nama perlindungan kepada tubuh perempuan. Ketika tubuh menjadi sumber konflik, materi untuk
dituduh kriminal yang melibatkan aturan “denda” dan penghukuman, pada saat
itulah tubuh berfungsi sebagai komoditas.
Penempatan
tubuh sebagai komoditas, bersentuhan dengan sisi dari pembiaran tubuh sebagai
korban. Kebangkitan kesadaran perempuan sekarang ini adalah menolak pelabelan untuk
dirinya dipojokan dan dipaksa menjadi
seorang korban. Cara berpikir tentang tubuh perempuan adalah penyebab dan
korban bagi dosa orang lain, adalah sebenarnya pandangan yang cenderung melemahkan
peran “agency” pada diri seseorang termasuk juga kedirian seorang lelaki. Setiap
Diri pribadi harusnya bisa bertanggungjawab terhadap keputusan-keputusan yang
membimbing pada tindakan moralitas.
Pembuktian
tentang pengaruh dari luar diri dalam perilaku dan tindakan seksualitas yang terjadi
kepada seseorang terutama lelaki masih diberatkan kepada perempuan. Pencitraan
perempuan secara teknis disebut konsep stereotip. Konsep ini bekerja untuk
memposisikan pencitraan perempuan dengan mereduksi dirinya menjadi serangkaian
pewatakan dengan ciri-ciri yang cenderung berlebihan, yang negatif. Misalkan
perempuan itu genit, perempuan nakal, sundal, perempuan tamak, perempuan yang
sirik, perempuan yang gembrot sekaligus perempuan bertubuh langsing , yang pasif, lembut, mengabdi kepada lelaki dstnya.
Perempuan
distereotipkan untuk pencitraan yang negatif sekaligus yang positif/ideal, yang
keduanya sebenarnya menjelaskan tentang ketidakberdayaan perempuan untuk
mengontrol tubuhnya sendiri. Akibat dari pencitraan ini, tubuh perempuan
menjadi sasaran untuk mempertahankan lelaki/suami dan keluarga yang mengontrol tubuhnya dengan
sangat kasar.
Perempuan
juga menjadi sasaran untuk menerima tekanan dari media yang membangun
pencitraan dirinya secara ideal terkait
dengan kelangsingan, kecantikan bak porselen, putih seperti salju. Representasi
ketubuhan bahkan dipindahkan dari sekedar konteks fisik menjadi konteks moral
sehingga kecantikan dalam pencitraan media seperti ajaran agama yang harus
diikuti secara ketat. Salon-salon berjamur menawarkan moralitas kecantikan
perempuan.
Perlawanan
perempuan terhadap sistem sosial yang menindas dirinya menyebabkan kesadaran
tubuh dan ketubuhan sebagai suatu alat politik yang harus diperjuangkan. Tubuh
saya adalah politik. My body is political. Kedirian perempuan harus
diperjuangkan, termasuk juga menentukan apa yang terbaik untuk tubuhnya
sendiri. Konteks dan kerangka moralitas yang melindunginya digugat karena
ternyata tubuh sudah sering disakiti, baik ketika dipuji maupun dihina. Tekanan
psikis yang tertimbun pada tubuh dilepaskan ketika perempuan memilih dengan sadar
orientasi seksualitasnya.
Pencitraan
dan pemberian atribut secara berlebihan juga terjadi pada lelaki. Pencitraan
seperti kejantanan mendorong representasi lelaki yang mengagungkan kegagahan,
ketegasan, kekasaran, kekekaran, ketegaran, ketegapan, rasional dan ketenangan
yang dingin. Para lelaki juga lelah dengan pencitraan yang mereduksi tubuh dan
ketubuhannya pada tingkat diri yang harus tampil terus menerus sebagai seorang
pahlawan.
Pemberontakan
pencitraan ini menjadi penyebab pemunculan orientasi seksual yang menerima
optimalisasi kediriannya dalam pencitraan yang berlawanan dari kondisi fisik
seksualitasnya. Representasinya bisa terlihat pada pilihan menjadi gay,
transgender dsbnya yang menguatkan dirinya secara psikologis maupun biologis
dengan menemukan alasan-alasan logis tentang kontruksi seksual yang sedang
dipilihnya.
Perlawanan
terhadap hegemoni maskulitas heteronormatif adalah dengan menolak norma-norma
gender yang dilakukan untuk bisa menelanjangi sisi penindasan yang sedang dilakukan atas dasar manusia
kepada manusia. Penindasan harus
dilakukan untuk mengatasi perjuangan mencapai idealisme yang terbangun dalam
imajinasi pencitraannya, ditanamkan baik sebagai fantasi dalam kata-kata maupun
simbolisasi. Lelaki jantan tidak harus
bersesuaian dengan norma-norma kebaikan tetapi lebih dikhususkan kepada
keperkasaannya. Perempuan cantik bukan karena norma-norma kebaikan, tetapi
karena pemenuhan standar fisiknya.
Pilihan
seksualitas yang berbeda sebenarnya menunjukkan tentang ambivalensi nilai. Ambivalensi nilai dipersoalkan secara jujur
dan terbuka untuk melepaskan kedok ketubuhan yang sering menipu. Ketiadaan
kesesuaian antara satu nilai dengan nilai lainnya. Misalkan nilai keperkasaan seyogianya
juga berkaitan dengan nilai kejujuran, kemuliaan untuk berlaku adil, ketulusan
untuk mendukung seseorang.
Ternyata tubuh
sebagai wadah untuk mengakomodasikan dan mempraktekkan nilai yang mengubah
sebagai sifat, perilaku masih harus bersesuaian dengan peran sosial seseorang.
Seseorang dalam perannya sebagai kepala rumah tangga, mungkin saja bisa sangat
sombong untuk mengakui kelemahan-kelemahan dari representasi perilaku yang mencerminkan
nilai-nilainya. Ia dilindungi oleh kedok dirinya sebagai seorang lelaki yang
mempunyai otoritas, seorang yang mempunyai kepentingan. Seorang yang bisa
menggunakan kekuasaannya untuk menindas.
Misteri
mekanisme psikologis dan pilihan-pilihan etika masih bisa dibahas panjang
lebar. Tetapi saya harus berhenti di sini. Penjelasan yang ada setidaknya
memberikan gambaran tentang kompleksitas
konteks tubuh ketubuhan terhadap pilihan diri kedirian atas seksualitas yang berbeda. Semoga!
saya suka banget wacana di atas. enlighten my head dan setuju dengan pemikiran2 anda :)
BalasHapus