Memperbincangkan
seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian
ketujuh: Tubuh-identitas- moralitas-iman
Oleh
Farsijana Adeney-Risakotta
Masih
tentang tubuh. Masih tentang identitas. Masih tentang moralitas. Sekarang saya
ingin menambah, di manakah iman dalam diskusi tentang LGTB-IQ?. Saya juga ingin memastikan keterhubungan dari
titik-titik pembahasan ini. Setidaknya uraian sederhana ini dapat membantu saya
meluruskan pengertian paradoksif dalam memahami orientasi seksualitas yang berbeda.
Secara
ilmiah, pandangan tentang orientasi seksual yang berbeda sudah direvisi, tidak dianggap
lagi sebagai penyakit. Akan tetapi yang masih belum diselesaikan adalah pandangan
dari kalangan agama. LGTB-IQ adalah sesat, berdosa, tidak bermoral.
Secara
ilmiah, sangat jelas bagi saya ketegangan yang masih terpelihara antara agama
dan LGTB-IQ. Agama yang saya maksudkan adalah institusi yang mempunyai kuasa dan
otoritas untuk menghukum, menghakimi mereka yang dianggap berdosa.
Masih segar
dalam ingatan saya apa yang dikatakan mas Dede Utomo. Apabila diparafrase kira-kira begini. Agama-agama
yang berkotbah kepada orang-orang LGTB-IQ mungkin harus bersiap-siap untuk
kecewa. Orang-orang LGTB-IQ tidak akan
berubah. LGTB-IQ bukan profesi. LGTB-IQ adalah
identitas. LGTB-IQ adalah orientasi seksual
yang berbeda. Pernyataan mas Dede Utomo
keluar dari seorang yang memandang identitas sebagai suatu pencarian yang
sejati yang tidak akan berubah.
Pandangan ini dikategorikan esensialisme.
Pekerjaan
apapun yang dianggap sebagai “profesi” mungkin akan menyebabkan perubahan. Contohnya, perubahan profesi “PSK” (pekerja
seksual komersial). Profesi bisa berubah
karena waktu. Semakin manusia menua, fungsi-fungsi tubuh akan melemah sehingga harus
“berhenti” mengerjakan pekerjaan yang selama waktu panjang dilakukannya terus
menerus.
Memperbandingkan
LGTB-IQ dengan PSK ternyata juga problematis. Pandangan yang menganggap PSK adalah
profesi sebenarnya menunjukkan penerimaan sistem global ekonomi yang menindas
perempuan sehingga menjadi PSK.
PSK adalah
korban dari ketidakadilan sistem dunia. Perempuan terjebak dan dijebak oleh
sistem ekonomi. Bahkan klaim perempuan atas
hak dasarnya untuk hidup, bisa dipakai sebagai alasan memperjuangkan
kepentingannya tanpa menyadari tentang eksploitasi dari sistem dunia kepada
dirinya sendiri. Misalkan tubuh perempuan dikuasai oleh “germonya”. Jadi PSK
membayar pajak dari “profesinya” tanpa terjadi
perubahan kesejahteraan dirinya.
Muncul
pertanyaan mendasar lain! Bagaimana
membedakan antara identitas sebagai hak dasar manusia untuk memilih dengan “perilaku
elastisitas seksual”?. Perilaku elastisitas
seksual adalah praktek pencampuran klaim identitas dan pergantian relasi
seksual yang terjadi pada rentangan keruangan dari Diri seorang berorientasi
seksual berbeda. Misalkan, seseorang yang bolak balik berganti orientasi
seksualitasnya, dari seorang homoseksual menjadi heteroseksual menjadi
homoseksual dengan sekaligus mengganti-ganti pasangan.
Klaim ini
mencampurkan dua kenyataan. Pertama, adanya perbedaan realitas terkait dengan identitas
dan nilai. Kedua, mempertentangkan nilai dalam tampilan tindakan yang
kontradiktif, yaitu kebebasan dan individualitas dengan nilai lainnya,
kesetiaan – komitmen dan tanggungjawab.
Hak dasar
manusia sebenarnya mengandung berbagai nilai yang tidak bertentangan, seperti
kekebasan, kesetiaan, komitmen, tanggungjawab, individualitas dan
komunalitas. Dalam nilai kebebasan ada kesetiaan, ada tanggungjawab,
ada komitmen. Kebebasan lebih dari
sekedar keamanan diri, bebas dari rasa takut, bebas membuat pilihan.
Tetapi kadang-kadang
bisa didapati seorang yang mendewakan kebebasan ternyata orang yang takut
sekaligus tidak bertanggungjawab. Ketakutannya bukan disebabkan karena
ditakuti, tetapi penyebabnya adalah proteksi yang terlalu ketat pada diri
sendiri. Rasa iba, kasihan pada diri sendiri menyebabkan munculnya
ketakutan.
Saya
menduga, kerancuan mengartikan “perilaku elastisitas seksual” menjadi penyebab
kesalahan kaprah yang menimpa relasi tidak harmonis antara kelompok LGTB-IQ,
masyarakat umumnya terutama kaum beragama. Relasi tidak harmonis terjadi karena
masing-masing mengabaikan berkomunikasi, supaya bisa mengerti posisinya
sendiri-sendiri.
Jadi apa terjadi
kalau seorang berorientasi seksual berbeda menerapkan nilai-nilai yang
mendukung “perilaku komitmen seksual” dalam memelihara identitasnya? “Perilaku komitmen seksual” adalah praktek
seksual yang dilakukan karena adanya komitmen, keterbukaan secara publik di
antara dua manusia berorientasi seksual berbeda untuk saling setia pada
pasangnya sendiri.
Dalam
kondisi ini, apakah kaum beragama akan menerima mereka sebagai warga bumi,
warga negara yang setara? Mungkinkah mereka diizinkan untuk berpasangan dan membentuk
“keluarga”? Untuk menjawab pertanyaan
ini saya ingin bercerita. Kisah nyata seorang partisipan yang sangat menyentuh
hati saya.
Ia seorang
kristiani, seorang pemuda. Sesudah
menyelesaikan pendidikan teologi, ia mulai menjalankan tugas untuk
mempersiapkan diri menjadi seorang pendeta (masa vikariat).
Jemaat menerimanya dengan antusias.
Ia terlibat dalam berbagai kegiatan pelayanan di gereja. Jemaat
merasakan pelayanannya.
Bulan
berjalan sampai tiba waktunya ia akan menyelesaikan masa vikariat. Mulai muncul
pertanyaan di kalangan jemaat kapan pemuda calon pendeta ini akan menikah. Kebetulan selain dirinya ada juga seorang pemudi yang bersamanya sedang mengikuti masa vikariat
di gereja yang sama. Karena masa vikariat hampir selesai yang berarti, ia akan
ditahbiskan sebagai seorang pendeta, jemaatnya mendorong pemuda ini segera
menikah. Mereka bahkan mendorongnya untuk berpacaran dengan pemudi calon
pendeta yang sehari-hari bersamanya.
Hatinya
kacau! Pemuda ini bingung karena sedikitpun ia tidak tertarik apalagi jatuh
cinta dengan pemudi tsb. Saat itu ia sedang mencintai seorang lelaki tanpa
seorangpun tahu. Mereka terus
mendesaknya. Akhirnya ia menjelaskan
kepada tua-tua (majelis jemaat) tentang perasaannya yang tidak tertarik kepada
pemudi tsb. Ia belum terbuka tentang dirinya.
Majelis memberikan ultimatum, ia bisa ditahbiskan apabila menikah dengan
pemudi tsb!
Desakan
untuk ditahbiskan menyebabkan akhirnya ia berpacaran dengan pemudi calon
pendeta. Pacaran berjalan beberapa bulan tetapi kemudian bubar. Akhirnya ia menjelaskan tentang siapakah dirinya
kepada seorang majelis yang dipercayai. Majelis tsb memintanya untuk menuliskan surat
pengunduran diri yang menjelaskan bahwa ia tidak bisa melanjutkan masa vikariat
ini. Sesudah memikirkan dengan tenang,
ia memutuskan menerima saran dari majelis jemaat. Ia menulis surat kepada
gereja tsb.
Surat
tersebut mengagetkan seluruh warga jemaat
karena pemuda ini sangat professional dalam menjalankan tugas seharian
pendeta selama masa vikariat. Jemaat
tidak mau kehilangan pemuda ini. Ia masih dibutuhkan oleh jemaat. Tetapi untuk
menghindari pro kontra dalam jemaat, akhirnya diputuskan supaya pemuda ini
meninggalkan gereja tsb. Dengan berat ia tinggalkan gereja itu!
Pemutusan kerja sewenang-wenang ini terjadi karena gereja memfungsikan dirinya sebagai institusi pemberi pekerjaan yang mempunyai otoritas menentukan "moralitas pekerjaan". Padahal pemuda ini sangat profesional dalam kerja "pelayanan" maupun bebas dari tuduhan perselingguhan kecuali memelihara kesetiaan terhadap dirinya sebagai seorang yang berbeda orientasi seksual.
Lebih jauh, pendiaman atas pengakuan diri seorang LGTB-IQ bisa berdampak terhadap pasangan heteroseksual yang dipacarin atau dinikahkannya. Karena tekan sosial, seorang LGTB-IQ terpaksa mengikuti kemauan sosial daripada pilihan dirinya. Seorang homoseksual kemudian membangun keluarga secara heteroseksual tetapi pada saat yang sama memelihara diam-diam hubungan sesama jenisnya. Pilihan dualisme ini bisa menyebabkan prahara kepada diri, keluarga dan masyarakatnya!
Lebih jauh, pendiaman atas pengakuan diri seorang LGTB-IQ bisa berdampak terhadap pasangan heteroseksual yang dipacarin atau dinikahkannya. Karena tekan sosial, seorang LGTB-IQ terpaksa mengikuti kemauan sosial daripada pilihan dirinya. Seorang homoseksual kemudian membangun keluarga secara heteroseksual tetapi pada saat yang sama memelihara diam-diam hubungan sesama jenisnya. Pilihan dualisme ini bisa menyebabkan prahara kepada diri, keluarga dan masyarakatnya!
Untuk pemuda ini, pemutusan kerja tsb sempat membuatnya “down”. Tetapi ia meneguhkan hatinya. Ia bangkit lagi. Ia mencoba melihat kebaikan dari ajaran kristiani, ajaran Yesus Kristus yang sebenarnya ada dalam gereja tetapi sudah terlupakan. Yesus yang memberikan pengampunan sebagai daya hidup kepada mereka yang galau dan sendirian. Kebangkitannya itu ternyata membawanya kembali melayani gereja bukan sebagai calon pendeta tetapi seorang pekerja di gereja.
Jemaat
gereja ini sangat menghargainya! Mereka
mengasihinya. Tetapi mereka masih belum
tahu identitas pemuda ini. Pemuda ini
masih punya harapan untuk menggali kekuatan jemaat tsb sehingga mereka bisa
hidup dalam cara Yesus yang mengasihi umat manusia apa adanya, tanpa
penghakiman!.
Ceritanya mengiris
hati saya. Ia bercerita dengan getaran kekuatan yang terhembus keluar dari
dirinya. Ia sudah memilih identitasnya! Ia juga memilih “perilaku komitmen
seksual”. Pertanyaannya, apa hubungan antara pilihan identitasnya dengan
doktrin gereja? Ia mengerti bahwa
pilihannya sebagai seorang “gay” tidak sedang menolak doktrin utama dari ajaran
Kristiani tentang Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Pemuda tsb
berada pada Youth Interfaith Queer and Sexuality Camp untuk mencoba mengerti
bagaimana secara bersama, pemuda antara iman bisa menghadapi tekanan dari
masyarakat terutama umat beragama. Apakah orang-orang beragama, institusi agama
bisa berlaku adil kepada mereka ketika semua inti ajaran agama sudah menjadi
bagian dari dirinya sendiri sehingga mereka mempraktekan nilai-nilai kehidupan kepada sesamanya?
Mengapa institusi agama harus mengatur dengan siapa seseorang menikah? Apakah
perjodohan dari institusi agama tsb didasarkan pada pandangan dan praktek
keadilan berdasarkan hak seseorang untuk hidup?
Pertanyaan-pertanyaan
ini saya membawanya pulang. Sekarang saya menulisnya kembali. Saya diingatkan
untuk kembali kepada ajaran Yesus Kristus yang tertulis dalam Alkitab. Pemungut
cukai, Zakeus disadarkan kembali melakukan kebaikan dan keadilan. Cara hidup lamanya
berubah. Maryam Magdalena, seorang mantan pelacur diterima kembali sebagai
perempuan yang diampuni sehingga bisa berguna untuk dirinya dan sesama.
Cerita yang
mirip muncul dalam benak saya! Cerita Yesus bertemu dengan seorang perempuan yang
ternyata sudah menikah beberapa kali termasuk hubungan dengan seorang lelaki yang sedang disembunyikannya. Pertemuannya di dekat sumur mengubah diri
perempuan itu. Melalui pertemuan dengan Yesus, perempuan itu menemukan belaskasihan dan pengampunan dari Allah. Ia kemudian menjadi manusia baru yang pulang ke
kampungnya untuk menjelaskan tentang keselamatan yang diterimanya dari Allah.
Injil tidak
menjelaskan tentang pertemuan Yesus dengan orang-orang berorientasi seksual
berbeda. Sebenarnya orang-orang berorientasi seksual berbeda lebih banyak
"berada" pada kelas atas, mereka yang dekat dengan pemerintahan Romawi yang
menjajah tanah Yahudi pada saat Yesus hidup.
Berorientasi seksual berbeda pada jaman itu tampil sebagai "gaya hidup" dari para elit raja-raja. Mereka memperbudak secara seksual pemuda-pemuda. Saya ingat ketika mengunjungi istana Topkapi di Istambul, saya belajar bahwa pemuda-pemuda baya dibawa dari Afrika untuk menjadi partner seks dari para Sultan. Bahkan yang paling mengerikan mereka harus dikebiri lebih dulu.
Berorientasi seksual berbeda pada jaman itu tampil sebagai "gaya hidup" dari para elit raja-raja. Mereka memperbudak secara seksual pemuda-pemuda. Saya ingat ketika mengunjungi istana Topkapi di Istambul, saya belajar bahwa pemuda-pemuda baya dibawa dari Afrika untuk menjadi partner seks dari para Sultan. Bahkan yang paling mengerikan mereka harus dikebiri lebih dulu.
Mereka kaum elit dengan "gaya hidup" erotisme liar inilah yang menekan orang-orang kecil sampai saatnya mereka bertemu dengan kasih dan pengampunan dari Yesus Kristus. Bahkan pemimpin agamapun lebih menegakkan hidup legalitas daripada kehidupan berkeadilan yang nyata kepada mereka yang memerlukan. Saya ingat cerita seorang lumpuh yang
berbaring selama tiga puluh delapan tahun dekat kolam Bethesda.
Kolam
Bethesda dalam tradisi Yahudi adalah kolam penyembuhan. Ketika seseorang yang
sakit masuk ke dalam kolam pada saat airnya bergoncang, maka orang tsb akan
mengalami kesembuhan. Tetapi orang lumpuh tsb selalu terlambat untuk masuk ke
kolam ketika airnya bergoyak. Tidak ada seorangpun yang menolongnya.
Ketika
Yesus menyembuhkan orang ini, malahan banyak orang di sekitarnya
mempertanyakanNya. Mengapa orang lumpuh tsb harus disembuhkan pada hari Sabat? Hari Sabat dalam tradisi Yahudi adalah hari
perhentian, tidak ada pekerjaan. Hari Sabat adalah hari “Sabtu” menurut
kalender bersama sekarang.
Tetapi
Yesus minta orang lumpuh tsb mengangkat tempat tidurnya ketika Ia bertanya
apakah orang tsb ingin sembuh. Orang itu mengangat tilamnya. Ia bisa berjalan. Penyembuhan orang lumpuh di hari sabat adalah
mengembalikan kemurahan Allah mengatasi tradisi agama yang sewenang-wenang
terhadap manusia. Suatu tradisi yang tampil kaku bahkan menelantarkan manusia
yang harusnya ditolong dalam keadaannya yang hampir mati.
Orang
banyak bertanya mengapa Yesus menyembuhkannya di hari Sabat? Yesus mengatakan Ia
bekerja seperti BapaNya bekerja. Orang banyak ingin membunuhnya sesudah
mendengar jawaban Yesus. Mereka menganggap Yesus menyamakan dirinya dengan
Allah. Kesembuhan yang diterima dari Yesus adalah kesembuhan yang diberikan
dari Allah. Yesus mengatakan: “Sebab sama seperti Bapa membangkitkan
orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan
barangsiapa yang dikehendakiNya” (Yohanes 5: 21)
LGTB-IQ sebagai
pilihan identitas dengan perilaku komitmen seksual sebenarnya menunjukkan
penghormatannya kepada nilai-nilai kehidupan. Penolakan dalam cara apapun
menimbulkan penderitaan. Penderitaan
kaum LGTB-IQ, sebenarnya adalah juga penderitaan dalam keluarga, umat beragama,
dan masyarakat umum. Semuanya menderita karena adanya anggapan yang salah bahwa
LGTB-IQ adalah orang-orang berdosa, najis.
Terhadap
tuduhan ini, kenajisan seksualitas, saya ingat kata-kata Yesus ketika banyak orang mempersoalkan
penerimaannya kepada seorag perempuan yang berzina. KataNya: “Barangsiapakah di
antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu!” (Yohanes 8: 7b). Injil
menulis, tidak ada seorangpun yang berani melemparkan perempuan itu.
Perempuan
terhina, semua orang lain yang terpinggir pada jaman Yesus telah mengalami
banyak penghakiman, sangsi sosial dari masyarakat. Sangsi ini bahkan menghilangkan akses kepada
hak mereka untuk hidup termasuk hak mereka untuk beribadah, hak mereka untuk berkomunikasi dengan Sang Pemberi Hidup yang dipercayainya. Mereka dilarang memasuki tempat-tempat suci dimana ibadah agama diselenggarakan atau tempat suci dimana mujisat menantinya.
Sesudah
peristiwa penyembuhan orang lumpuh di tepi kolam Bethesda, sejak itu banyak
orang mencari Yesus untuk dibunuh.
Orang-orang ini telah menghakimi sesamanya. Terhadap mereka Yesus
mengatakan: “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan
penghakiman itu seluruhnya kepada Anak, supaya semua orang menghormati Anak
sama seperti mereka menghormati Bapa. Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia
juga tidak menghormati Bapa yang mengutus Dia (Yohanes 5: 22-23).
Apabila
pemuda calon pendeta memilih identitas “gay”,
pilihan itu pasti dihargai oleh Yesus. Dalam Injil, kata pilihan sangat
penting. Ada cerita tentang dua orang perempuan kakak beradik yang bernama
Marta dan Maria. Mereka mendapat kunjungan dari Yesus yang datang ke rumahnya.
Marta
memutuskan menyiapkan makanan tetapi sekaligus mengeluh karena Maria tidak
membantunya. Maria menemani Yesus bercerita. Marta mengeluh kepada Yesus. Jawab Yesus: “Marta, Marta, engkau kuatir dan
menyusahkan diri dengan banyak perkara,
tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik,
yang tidak akan diambil daripadaNya” (Lukas 10:41).
Cerita
menjelaskan tentang pandangan dan praktek Yesus Kristus. Cerita tentang pemuda
calon pendeta adalah cerita yang menghormati dan mempercayai Yesus Kristus.
Mengapakah gereja dan umat Kristiani menjadi penghambat kepadanya untuk
memberikan hidupnya melayani jemaat yang
juga menghormati dan mempercayai Yesus Kristus? Bukankah identitasnya tidak sedang
menghambatnya untuk beribadah kepada Allah, Anak dan Roh Kudus!