Translate

Jumat, 21 September 2012

Politik Perdamaian Internasional


Politik Perdamaian Internasional
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Tanggal 21 September 2012 adalah hari perdamaian internasional. Tahun ini dirayakan di tengah keprihatinan dunia karena pemicu kekerasan, sebuah film yang menghina Islam telah memicu protes bahkan kedutaan besar AS, duta besar dan beberapa stafnya terbunuh oleh roket yang diarahkan dan diletakan oleh massa protes film provokatif tsb. Protes seperti gelombang tsunami menggulung-gulung mengisi media di seluruh dunia. Di Indonesia, bahkan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta ditutup untuk menghindari insiden yang sama seperti terjadi di Lybia.

Di tengah perkembangan teknologi yang dinikmati oleh warga dunia saat ini, kebebasan individu dalam menuangkan kreatifitasnya menjadi persoalan terutama ketika isu-isu yang diangkat berkaitan dengan penghinaan terhadap etnis, ras, gender dan agama tertentu. Kebebasan media, dengan kemampuan seseorang mengendalikan teknologi media massa, baik untuk mengakses, menggunakannya demi memperluas propaganda kebencian dapat dilakukan siapa saja yang mempunyai kepentingan untuk mengadudombakan sesama manusia yang saling berbeda. Isu agama, etnis adalah isu yang rentan memicu pergerakan, pengrusakan ketika media tampil kuat mengkomunikasikan maksud tsb.

Film yang diproduksi dan disebarkan melalui Youtube "Innocence of Muslims" menjadi sangat sulit dikendalikan. Film ini mendapat protes dari umat muslim di seluruh dunia sehingga mendatangkan ketidakstabilan di banyak negara maupun secara internasional. Saya bertanya-tanya siapakah orang yang membuat film menghina Islam tersebut? Apakah benar ia seorang Kristen Koptik? Bisa dipastikan, ia seorang yang berada di California,di pantai barat di AS yang kemudian dapat dijadikan alasan bahwa dari di sanalah sumber bencana datang dan perlu dituai kembali.

Dari pemberitaan yang saya baca di Wikipedia, dijelaskan bahwa penulis dari Innocence of Muslims yang tampil dalam bentuk Video bernama Nakoula Basseley Nakoula. Menggunakan nama samaran Sam Bacile, Nakoula kemudian diinterogasi oleh FBI sesudah video tersebut beredar dan menghebohkan politik internasional Amerika Serikat. Ditemukan FBI di pantai barat AS, di tepian California, Nakoula, yang berasal dari Mesir, seorang Koptik Kristen, menjadi sasaran kemarahan kaum muslim kepada seorang yang sedang berdiam di Amerika Serikat sehingga mengakibatkan terjadinya penyerangan kantor Konsulat  AS di Benghazi Lybia yang menewaskan Duta Besar AS untuk Lybia, Chris Stevens dan tiga rekannya tewas pada tanggal 11 September 2012.

Laporan Wikipedia menjelaskan bahwa video Innocense of Muslims, aslinya bernama Desert of Warrior yang bercerita tentang perang suku di padang Arab, ternyata telah mengalami perubahan. Cerita nabi Muhammad  SAWdan anti Islam merupakan cerita tambahan yang disunting menggandeng cerita yang sudah ada pada video tsb. Proses tambahan ini dilakukan pada saat dubbing. Film Desert of Warrior ternyata telah dibajak dan diubah untuk tujuan propaganda, mengadudombakan umat beragama di dunia. Penjelasan selanjutnya tentang video Innocens of Muslim bisa dilihat pada link di bawah ini.

http://en.wikipedia.org/wiki/Innocence_of_Muslims

Menarik memperhatikan proses perluasan video Innocent of Muslims di Barat. Seorang pastor bernama Terry Jones yang dianggap sebagai seorang pemimpin anti Islam adalah pribadi pertama yang menyebarkan video tsb di Barat. Sementara reaksi paling besar dari penyebaran video Innocents of Muslims datang dari kaum salafis yang terkenal di Mesir dengan gerakan Wahabis.  Jadi, terkesan seperti dilaporkan oleh Newsweek adanya upaya dengan sengaja video Innocents of Muslims disebarkan untuk mengadudombakan kelompok-kelompok yang fanatik dari komunitas Kristen di US maupun Islam di seluruh dunia, terutama mereka dari kaum salafis. Penjelasan selanjutnya bisa dilihat pada uraian yang dapat diakses melalui website di bawah ini.

http://en.avaaz.org/783/muslim-rage-protests-newsweek-salafists

Rujukan kedua penjelasan di atas menjelaskan kepada kita tentang kerentanan dari upaya mengadudombakan umat beragama dengan memprovokasikan kemarahan mereka karena adanya peredaran media yang menghina agama tertentu. Peredaran video dan reaksi massa terhadapnya yang berbarengan dengan tanggal 11 September 2012 juga menjadi tanda tanya besar. Terkesan adanya konspirasi dari tangan-tangan tersembunyi yang dengan sengaja sedang mengadudombakan umat beragama di dunia ini untuk terlibat dalam tindakan-tindakan anarkis.

Peristiwa 11 September masih menjadi trauma bagi seluruh dunia bukan saja kepada Amerika Serikat karena hancurnya the Twin Tower di kota New York City pada tahun 2000. Sejak tragedi 11 September, bangsa-bangsa di seluruh dunia disadarkan kembali tentang politik perdamaian internasional. Menjadi jelas, bahwa perdamaian merupakan barang langka yang harus dibangun kembali sesudah masa perang dingin berakhir dan runtuhnya kekuasaan Uni Sovyet. Kepiawaian Amerika Serikat sebagai polisi dunia dipertanyakan terutama karena ketidakmampuannya dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah, persoalan laten di antara dua komunitas yaitu Palestina dan Israel.

Pengakuan tentang eksistensi warganegara Palestina, sebagai bangsa yang berdaulat seolah-olah mendapat banyak kesulitan terutama untuk diakui oleh Israel sebagai negara yang hidup berdampingan dengannya. Proklamasi Negara Palestina yang diumumkan sejak tanggal 15 November 1988 di Algier, terus mendapat dukungan dari berbagai negara di seluruh dunia. Wikipedia mencatat sampai tanggal 18 Januari 2012, sudah ada 130 negara yang mendukung Negara Palestina.

Lihat artikel berjudul Interntional recognition of the State of Palestine http://en.wikipedia.org/wiki/International_recognation_of_the_State_of_Palestine

Perserikatan Bangsa-bangsa dalam resolusi nomor 3236 tertanggal 22 November 1974 memberikan jaminan kepada Negara Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri. Kompleksitas sejarah masa lalu dari komunitas Palestina dengan komunitas Israel setidaknya memberikan indikasi tentang kesulitan pengakuan dari pihak Israel untuk mengakhir konflik yang ada saat ini.  Sementara dukungan Israel terhadap pengakuan negara independen  Palestina masih lemah, kekerasan terhadap warga sipil masih terus genjar terjadi di tanah Palestina. Sebagai balasannya gerakan gerilya melawan arogansi Israel juga menyebabkan warga sipil menjadi sasaran pemusnahan.

Pada tingkat internasional, konflik Timur Tengah cenderung malahan memecahkan dan mempolarisasikan dunia. Amerika Serikat yang berada di benua Amerika, dianggap sebagai Barat dan diidentikan dengan kekristenan. Pengkategorian ini memisahkan dunia secara hitam putih di antara Barat dan Islam, bukan Barat dan Timur. Islam tampil sebagai kekuatan politik dunia saat ini yang sangat berpengaruh dalam upaya memisahkan negara-negara berdasarkan agama yang dianutnya.

Politik polarisasi ini sudah disadari menyebabkan kehancuran, kerugian, kekerasan yang terutama dialami langsung oleh warga sipil. Orang biasa harus menanggung beban dari politik internasional yang dikendalikan untuk mempertaruhkan posisi penguasaan atas keamanan dunia pada zaman modern ini. Tanggapan terhadap politik polarisasi mendorong munculnya kesadaran terhadap perdamaian dunia di mana peran diplomasi bisa dilakukan ketika semua negara bisa duduk setara dalam membahas kesepakatan-kesepakatan kerjasama yang saling menguntungkan kedua pihak.

Kecurigaan terhadap politik dominasi yang menguasai cara diplomasi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya masih menjadi momok untuk negara-negara berkembang yang akhirnya membentengi dirinya dalam balutan politik identitas, politik agama. Kesan ini bisa terlihat misalkan di Indonesia, ketika pada tanggal 11 September 2011 terjadi kekacauan yang menegangkan masyarakat di Maluku, kota Ambon dan sekitarnya. Bakar membakar terjadi di dua titik dalam kota Ambon yaitu di Mardika dan di perbatasan Batu Gantung dengan Tanah Lapang Kecil. Bahkan pada internet beredar tulisan-tulisan yang sedang pada waktu itu mengasumsikan munculnya gerakan salibi, kaum Nasrani yang sedang berhadapan dengan sabili, kaum Muslim.

Saya menanggapi kejadian tersebut dan menganalisis bagaimana sehingga pelabelan gerakan-gerakan konflik di Maluku yang dihubungkan dengan jaringan internasional bisa dibangunkan. Argumentasi saya adalah politik identitas, politik agama bisa memisahkan masyarakat tetapi pada saat yang sama mereka sudah mengerti untuk tidak terpengaruh terhadap upaya pemecahbelahan tsb. Diperlukan  klarifikasi untuk menjelaskan tentang politik rekayasa yang sedang menjerumuskan masyarakat sipil untuk saling membenci. Untuk penjelasan selanjutnya bisa dilihat pada tulisan saya "Satu dekade 11 September 2911 dan Tarikan Kerusuhan Ambon" <farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2011_09_01_archive.html>

Politik perdamaian internasional ternyata memerlukan masyarakat sipil untuk turut menjaga keamanan bersama terutama meluruskan kemungkinan adanya upaya memanipulasi warga biasa dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk mengadudombakan mereka. Perdamaian dunia merupakan kebutuhan dalam alam modern saat ini, terutama ketika upaya mengadudombakan umat manusia dilakukan melintasi teritori bangsa-bangsa. Memobilisasi warga sipil dunia melalui penggunaan simbol-simbol agama yang menghina dan menghasut pengikut agama tertentu menjadi semakin mudah karena peran media baik TV, internet, twitter dst yang membuat warga dunia terasa tinggal  bersama di suatu desa. 

Ciri khas konflik dan upaya mobilisasinya yang terjadi di tingkat desa secara fisik seperti nampak dari penelitian saya (Adeney-Risakotta: 2005) sekarang mengalami transformasi karena ditunjang oleh teknologi informasi. Jadi tidak ada pilihan lain untuk melalaikan upaya terus menerus memperbaharui komitmen bersama sebagai penghuni dan pewaris bumi ini, kecuali secara bersama semua warganegara dunia terlibat berani meluruskan ketidakbenaran dan menegakkan keadilan.

Hanya dengan keterlibatan inilah, maka masyarakat biasa bisa disadarkan untuk lebih kritis tidak terpancing bersedia melakukan gerakan yang sebenarnya menjerumuskan dirinya sendiri. Penggunaan kekerasan ternyata malahan berdampak negatif karena mengakibatkan pelabelan di mana pewajahan pencirian dari kelompok tertentu yang diberikan berdasarkan kecenderungan tindakan-tindakan yang dilakukannya oleh masing-masing komunitas dalam gerakan tersbt.

Gedung Putih (White House) di Washington D.C, Amerika Serikat,  bukan saja menarik untuk turis dari seluruh dunia tetapi juga tempat untuk menyuarakan aksi protes terhadap peran politik luar negeri AS dalam menjaga keamanan dunia. Seperti tertulis pada sisi kiri dari banner yang berada di belakang saya: "Live by the bomb, die by the bomb" (artinya "hidup dengan bom, mati dengan bom"). Pada banner sebelah kanan ada ajakan untuk melarang semua senjata nuklir.
Di sinilah peran pemimpin negara dan agama di seluruh dunia untuk dapat meluruskan upaya memobilisasi umat untuk kepentingan politik dari suatu elite organisasi tertentu yang sekedar menggunakan warga sipil sebagai ujung tombak pergerakannya.  Tujuannya adalah untuk mendorong terciptanya kehidupan yang tenang dan damai di muka bumi ini.




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar