Translate

Selasa, 11 September 2012

DOM (Daerah Operasi Militer) dan Introspeksi: Seri Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan


                DOM (Daerah Operasi Militer) dan Introspeksi: Seri Seni Limbah
                                        dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan
                                                Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 Pengantar

Sementara Bentara Budaya Yogyakarta sedang memamerkan salah satu karya dari Seri Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, yaitu Bumi Menari 3: Keterhubungan Lempengan, saya ingin memberikan penghargaan kepada seniwati-seniwati Yogyakarta yang pernah terlibat pada pameran tsb (Lihat tulisan saya: Bumi Menari di Bentara Budaya Yogyakarta). Karya-karya mereka bisa dinikmati melalui foto-foto tetapi juga tergambar dalam uraian narasinya. Penjelasan tentang karya-karya ini dilakukan untuk mengorek kedalaman permenungan perempuan seniman ketika membuat suatu karya seni. Pembahasan ini diangkat dari buku Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, suntingan Farsijana Adeney-Risakotta (Yogyakarta: Selendang Ungu Press, 2011). 

Tema anti kekerasan yang dikemas dengan penggunaan limbah dari berbagai bahan menghadirkan cara penjiwaan dan pengekspresian seni yang sangat khas perempuan. Karya seni bukan sekedar dilepaskan tak berjiwa, tetapi ia menggugah, menyentuh hati manusia yang mengamatinya. Karya itu menghantui kedalaman permenungan manusia sehingga menggerakkannya ke arah suatu perubahan. Anti kekerasan merupakan bagian dari keyakinan yang terbangun dari pengalaman perempuan yang banyak mengalami penyiksaan karena ketegangan dalam mengelola relasi kekuasaan di antara dirinya dengan seorang lelaki atau pasangannya.  

Pengalaman menegosiasikan kekuasaan menyebabkan perempuan bisa mengatasi kemungkinan tindakan potensial bernuansa kekerasan yang mungkin sedang ditujukan kepadanya. Pengalaman melintasinya kemudian memunculkan penghargaan dan komitmen dalam perjuangan menegakan hak-hak dasar kehidupan dari mereka di sekitarnya yang tertindas. Selamat menikmati pembaca sekalian!
 
DOM (Daerah Operasi Militer) dan Introspeksi dipamerkan pada Pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan di Bentara Budaya Yogyakarta, tanggal 4-7 Februari 2011



                         DOM  (daerah operasi militer) dan Introspeksi
     (Karya Noor Sudiyati dari bahan tanah, keramik berglasir, 1997 dstnya)

Noor Sudiyati mengundang saya ke galeri dan bengkel kerjanya di Sleman untuk menjelaskan  proses kreativitas yang sangat mengagumkan  dan permenungan kehidupan yang diungkapkan dalam seni.


 
“Ketika itu semua orang sedang menyongsong malam pergantian tahun di tahun baru 1997.  Di pagi dini hari saya sedang bergulat dengan karya seni yang kemudian disebut DOM yakni singkatan dari Daerah Operasi Militer”, sela Noor Sudiyati.  Seniman mengerang melahirkan karya seninya. “DOM adalah puncak yang mencekam. Jati diri saya yang terbentuk ketika memprosesnya”, Noor Sudiyati menipali.


Di antara tahun 1989-1998, Aceh menjadi target dari daerah operasi militer. Tahun 1996, tanggal 13 Agustus 1996, Yogyakarta digoncangkan dengan berita mengemparkan tentang wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin yang sehari-hari dipanggil Udin. Udin meninggal dianiaya. Upaya menguakkan tabirnya juga telah mencekam rekan-rekan Udin karena teror dan ancaman fisik menguntai mereka.

Sejarah bangsa, sejarah daerah menjadi konteks untuk melahirkan karya seni DOM. “DOM adalah perjalanan bangsa”, Noor Sudiyati menyimpulkan. Teror dan kekerasan yang ditampilkan sebagai wajah politik negara para jaman pemerintah Soeharto mengoyak-ngoyakkan sanubari Noor Sudiyati. Kepeduliannya pada masyarakat. Rintihannya pada perasaan tirani yang menjerat mereka. Walaupun Noor Sudiyati tidak pernah ke Aceh, tetapi kekuatannya merekam jeritan perempuan, anak-anak dan para lelaki Aceh yang terbunuh dari DOM seperti pengabadiannya sebagai karya seni yang mengagumkan dan mengagetkan sekaligus. Karya seninya tetap hidup abadi dalam ingat bangsa.

Karya seni adalah pengakuan yang merepresentasikan diri. Gambaran yang sangat mendalam sedang terbentang di hadapan sang seniman. Seperti jiwa yang menggelora ketika memproses karya seni, sang seniman mengalirkan jiwanya sendiri ke dalam karyanya. Bathin yang illahiah labih dari raganya sendiri dimasukan ke dalam karyanya. DOM menggetarkan diri Noor Sudiyati. Kelahiran yang perih dan pilu.
Kehidupan yang hidup illlahiah yang dirusaki oleh kesombongan fisik kita. Pengakuan dari penderitaan anak-anak manusia Indonesia, manusia Aceh yang harus diterima. Mereka ada tetapi juga diabaikan bangsa. Pedih. Pilu. Tidak ada kebanggaan tertinggal dari DOM. Kemusnahan dan kehancuran adalah kesakitan yang terus dipikul bersama. Sang seniman, Noor Sudiyati memikulnya juga sesudah melahirkan karyanya. Ia hidup selamanya dalam ingat, karya dan bahasa kita.
Bayangan dari teritori yang dikepung di mana-mana. Bayangan dari manusia yang terjepit. Sesak. Hancur. Sia-sia. Pertahanan. Perlawanan. Pembalasan menjadi satu-satu kekuatan yang tersisa dari rakyat biasa. Hanya ini yang mereka punya. Juga kalau mereka harus mati. DOM tampil menyempitkan keindahan semesta raya. Mengapa nasib Aceh tragis? Mengapa perempuan dan anak-anak harus kehilangan kehidupan mereka? Siapakah saya yang membusung dada dalam penderitaan sesama anak bangsa? Hidup rakyat Aceh, kehidupan Udin adalah bagian dari sejarah kelam, sejarah masa lalu sang seniman.  Sejarah kelam Indonesia. “Saya ingin melahirkannya supaya dari pernyataan itu ada pembebasan”, Noor Sudiyati menegaskan.
Kotak-kotak jeruji adalah sketsa dari penindasan negara atas nama kedaulatan. “Saya mengembang amanah untuk mewujudkannya sebagai bagian dari pergolakan saya, pergumulan bangsa. Sejarah kekerasan harus berhenti. Bagaimana caranya?”, Noor Sudiyati merenungkan proses kreatifitas ketika melahirkan karya seni DOM.  “Tanah liat yang ada di tangan saya ambil dan mulai membentuknya. Napas illahi saya lewatkan dalam doa saya ketika memproses tanah liat menjadi karya seni”, Noor Sudiyati mengingatkan kembali proses kreatifitasnya. Tanah adalah asal dari mana kita akan kembali selamanya. Tanah berhubungan dengan Sang Pencipta. Keadilan sang Pencipta membentuk representasi “DOM”. TanganNya menguatkan Aceh dan menyadarkan Indonesia.
“DOM harus diperlihatkan sejajar dengan Instropeksi”, Noor Sudiyati menguraikan rencana pamerannya. Introspeksi adalah karya seni Noor Sudiyati yang lahir dalam kurun waktu tahun 1997.  Sejarah kelam bangsa harus dilihat kembali sebagai suatu introspeksi. DOM menunjukkan kemampuan sang seniman menggunakan ruang pembebasan dirinya, mencapainya sebagai suatu rahmat. Sekaligus pembebasan ini mendorong proses introspeksi bagi dirinya maupun semua penikmat seni untuk memaknai karya seninya yang menggugah sanubari untuk bertobat terhadap kekerasan, kelaziman.
Instropeksi mendialogkan kehidupan dan membangun imajinasi dari ingatan.  Raga-raga yang  melakukan instropeksi mempunyai roh dan jiwa. Mereka berteriak ketika pencerahan yang lebih humanis tampil memberikan harapan. Instropeksi harus dibawa kembali kepada yang Maha Tunggal. Padanya ada keadilan sejati, suatu oase yang tak pernah kering. Rahmat dari Allah. Instropeksi adalah pembelajaran diri.
Noor Sudiyati kemudian menjelaskan tentang perjalanannya bertahun-tahun sebelum menemukan ragam identitasnya, instropeksi. Hidup manusia seperti putaran obat nyamuk dengan arah kiblatnya dari luar ke dalam. Manusia menuju kepada inti kehidupan. Instropeksi mengatasi kepelbagaian agama. “Berbeda dengan pengkristalan dalam proses yang lama, saya mengukir instropeksi dalam semua karya seni. Simbol perjalanan saya menemukan diri sendiri sedang bersama dengan inti kehidupan, Tuhan.  Titik zero sebagai bagian dari proses melingkari kehidupan dari luar ke dalam.  Saya berjalan dengan bangsa ketika saya mendudukan karya seni Instropeksi bersama DOM. Saya menawarkan perspektif dan perjalanan saya mencapai instropeksi sebagai upaya untuk menyembuhkan diri, menyembuhkan bangsa”, Noor Sudiyati menguraikan pemikirannya.
Noor Sudiyati menawarkan perspektif dan menempatkan pencerahan diri dalam diri keluarganya, dalam kehidupan berbangsa supaya terjadi aliran enerji yang saling bersentuhan, mengalir.  Penawaran adalah caranya, cara Noor Sudiyati sebagai perempuan Indonesia. “Saya tidak bisa membuat karya apabila saya mengalami penindasan, apabila saya menindas orang lain, apabila saya sedang bersitegang dengan anggota keluarga. Saya harus dibebaskan dari tekanan. Misalkan saya akan merasa tenang apabila saya sudah membuatkan kopi kepada suami saya. Istilah membuat kopi kepada suami bukan sesuatu yang menindas, tetapi saya memberikan dulu supaya saya bisa memerdekankan diri”, tambah Noor Sudiyati.
Kemerdekaan yang Noor Sudiyati  inginkan untuk berkarya dimulai ketika ia memerdekan anggota keluarganya lebih dulu. Pada tahap ini terjadi instropeksi yang menolongnya mencapai pembebasan sehingga bisa merepresentasikan diri dalam karya seni yang abadi.  “Dalam keperempuaan saya, saya mendudukan hak dan kewajiban sejajar’, tuturnya. Secara dialektika, tidak ada dominasi, yang ada, yang paling penting adalah cinta kasih. Kita memberikan jiwa pada karya seni menjadikannya menenangkan. Kita mengembalikan pada fitrah, keaslian dari mana kita berasal dan mau kemana kita kembali.  (Farsijana AR – Noor Sudiyati).
DOM (Daerah Operasi Militer) ketika masih di bengkel Noor Sudiyati. DOM (Daerah Operasi Militer) sudah berpameran di beberapa tempat di Indonesia dan di luar negeri
 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar