Alvi Lufiani dengan Wedding Ring yang dipamerkan pada Pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan di Bentara Budaya Yogyakarta, 4-7 Februari 2011 |
Ekspresi Perempuan anti Kekerasan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Pengantar
Sementara Bentara Budaya Yogyakarta sedang memamerkan salah satu karya dari Seri Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, yaitu Bumi Menari 3: Keterhubungan Lempengan, saya ingin memberikan penghargaan kepada seniwati-seniwati Yogyakarta yang pernah terlibat pada pameran tsb (Lihat tulisan saya: Bumi Menari di Bentara Budaya Yogyakarta). Karya-karya mereka bisa dinikmati melalui foto-foto tetapi juga tergambar dalam uraian narasinya. Penjelasan tentang karya-karya ini dilakukan untuk mengorek kedalaman permenungan perempuan seniman ketika membuat suatu karya seni. Pembahasan ini diangkat dari buku Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, suntingan Farsijana Adeney-Risakotta (Yogyakarta: Selendang Ungu Press, 2011).
Back and Front Cover dari Buku Seni Limbah & Ekspresi Perempuan Anti Kekerasan, suntingan Farsijana Adeney-Risakotta (Yogyakarta: Selendangan Ungu Press, 2011) |
Tema anti kekerasan yang dikemas dengan penggunaan limbah dari berbagai bahan menghadirkan cara penjiwaan dan pengekspresian seni yang sangat khas perempuan. Karya seni bukan sekedar dilepaskan tak berjiwa, tetapi ia menggugah, menyentuh hati manusia yang mengamatinya. Karya itu menghantui kedalaman permenungan manusia sehingga menggerakkannya ke arah suatu perubahan. Anti kekerasan merupakan bagian dari keyakinan yang terbangun dari pengalaman perempuan yang banyak mengalami penyiksaan karena ketegangan dalam mengelola relasi kekuasaan di antara dirinya dengan seorang lelaki atau pasangannya.
Pengunjung membaca narasi dari setiap karya seni ketika melihat Pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan di Bentara Budaya Yogyakarta tanggal 4-7 Februari 2011 |
Suasana diskusi di ruang konsultasi selama pameran berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta |
Pengalaman menegosiasikan kekuasaan menyebabkan perempuan bisa mengatasi kemungkinan tindakan potensial bernuansa kekerasan yang mungkin sedang ditujukan kepadanya. Pengalaman melintasinya kemudian memunculkan penghargaan dan komitmen dalam perjuangan menegakan hak-hak dasar kehidupan dari mereka di sekitarnya yang tertindas. Selamat menikmati pembaca sekalian!
Wedding Ring: Torturing or Lightening?
(Karya Alvi Lufiani dari bahan logam, 2011)
Wedding Ring dipamerkan pada Pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan di Bentara Budaya Yogyakarta tanggal 4-7 Februari 2011 |
Cincin
Kawin, bagi seorang seniman perempuan seperti Alvi Lufiani bukan sekedar cincin
yang mengekspresikan simbol cinta kasih saja.
Alvi merenungkannya mendalam ketika saya mengunjunginya untuk melakukan
pemotretan karya seni dan wawancara. “Cincin kawin selalu menarik untuk saya
karena padanya ditemukan juga penderitaan”, Alvi menuturkan ketika saya
terkagum memandang cincin kawin raksasa.
Cincin raksasa ini
berukuran diameter 90 cm dengan ketinggian total 126 cm. Bulatan cincin terbalut bahan besi yang
diikat dengan 17 potongan kaca membentuk makhota permata. Alvi lebih menekankan ekspresi seni tentang
anti kekerasan daripada memilih pengungkapan ekspresi seni melalui pemanfaatan
limbah. Komposisi bahan untuk makhota
terbuat dari besi dan stained glass. “Sebenarnya saya ingin membuat cincin kawin
setinggi pintu rumah ini”, katanya sambil memandang pintu setinggi hampir dua
meter di ruang tamunya. Karya ini
diciptakan secara monumental supaya setiap penikmat seni yang berdiri di
hadapannya bisa melihat dirinya sendiri. Posisi makhota dari cincin yang
dirangkaikan dengan 17 potongan stained
glass ketika diamati akan memantulkan diri dari setiap penikmat seni. Setiap orang bisa berkaca tentang
pernikahannya sendiri.
Pernikahan bisa menjadi
sorga tetapi juga dapat menjadi penjara.
Memilih judul karyanya, “Wedding Ring: Torturing or Lightening?”, Alvi
bermaksud menjelaskan tentang pernikahan yang bisa tampil sebagai suatu penyiksaan atau pencerahan. Dalam institusi pernikahan, ada banyak
kesakitan yang didiamkan tetapi ada juga banyak kebahagian yang bisa dinikmati.
Pernikahan adalah
institusi sosial yang terbangun dari cinta kasih dua anak manusia. Sebagai institusi, pernikahan melibatkan
berbagai pihak, dari keluarga, teman, masyarakat, pemerintah dan pasar. Cinta kasih tidak cukup untuk membentuk
pernikahan. Intervensi pasar terhadap
pernikahan terlihat pada berbagai iklan yang menawarkan bentuk cincin kawin
dengan untaian makhota permata. Keabadian pernikahan ditawarkan dalam bentuk
barang mewah dari cincin kawin yang dianggap merepresentasi cinta sejati.
Cinta kasih yang
mengikat hati dua anak manusia melibatkan anggota keluarga untuk mensahkannya
melalui rentetan ritual agama dan adat.
Melalui berbagai pelaksanaan upacara,
keluarga diharapkan menjaminkan
penerusan kebaikan, keberkatan dan generasi turunannya dalam pernikahan
anak-anaknya. Upacara agama mensahkan ritual pernikahan untuk menjaminkan
keabadian. Makin lengkap adat pernikahan
dilakukan makin bergengsi dan terhormat nama keluarga di mata masyarakat.
Akan tetapi gegap
gempita pernikahan tidak sendirinya menjaminkan keabadian. Cincin kawin sebagai
simbol dan pernikahan sebagai institusi sering kali bahkan memerangkapkan
perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan aib keluarga yang kerap kali
dihadapi perempuan dengan perasaan ketakutan. Demi keabadian cinta kasih,
kekerasan dalam rumah tangga disembunyikan mendalam oleh perempuan. Perceraian
menjadi momok untuk dihadapi seorang perempuan. Pandangan masyarakat tentang
perempuan menjanda menyebabkan dirinya memilih untuk memelihara kesakitan dalam
pernikahan.
Alasan mempertahankan
keutuhan keluarga, anak-anak yang masih kecil mendorong perempuan untuk
menyimpan luka dirinya. Keabadian keluarga menjadi lebih penting daripada
kesakitan tubuh, dari penyiksaan yang dialami oleh perempuan karena kekerasan
dalam rumah tangga. Penyiksaan bisa berulang kali terjadi tanpa kekuatan
perempuan untuk mengeluarkan dirinya dari ikatan keabadian pernikahan yang
menjeratnya.
Pada satu sisi, Alvi
juga hendak menyingkapkan tragedi balik
dari penghargaan pada keabadian pernikahan yang bisa terjadi seperti membalik
telapak tangan saja. “Begitu mudah orang membeli cincin kawin dengan makhota
permata sebagai lambang keabadian, tetapi begitu cepat mereka juga berpisah”,
demikian Alvi menuturkan keprihatinaannya. Ternyata keabadian pernikahan dalam
simbol permata yang abadi tidak cukup untuk memelihara kesungguhan dan komitmen
dua orang pasangan suami isteri mengarungi rumah tangganya.
Ironis keabadian
pernikahan menghadirkan dirinya seperti nampak pada mereka yang kawin cerai
dengan mudah, ringan, cepat dan singkat.
Dalam ekspresi seni Alvi, ia seolah-olah hendak mengatakan bahwa baik
perempuan dan lelaki bisa saling menyakitkan diri pasangannya sehingga mereka
harus memilih memisahkan diri dari keabadian yang diciptakannya sendiri.
Alvi
melakukan riset mendalam untuk mengerti perasaan-perasaan dari berbagai orang
yang akan menikah. Mereka menjadi target
pasar yang menawarkan keabadian dalam simbol fisik berlian. Saking keterpesonaannya dipusatkan pada fisik
keabadian, jiwa dan batin pernikahan yang mengandung nilai-nilai kesetiaan,
penghormatan, cinta kasih, pengampunan gampang meluntur ketika ketidakcocokan,
ketidakpersetujuan dinyatakan melalui bentuk kekerasan fisik dan mental.
Menuangkan kebahagiaan dan kepedihan dari keperangkapan dan keindahan
pernikahan seperti yang nampak pada karya Cincin Kawin memerlukan kepekaan
seni. Alvi mengekspresikan karya seninya dengan memperhatikan kepekaan dirinya
sebagai seorang perempuan seniman. Isu pernikahan sebagaimana tampil pada
Cincin Kawin ternyata berhubungan bukan
saja dengan dua sejoli tetapi pasar.
Kemampuan Alvi adalah menarik hubungan antara persoalan privat dengan
masalah publik.
Penggalian seni bertema
“keperempuanan” sering kali dianggap bersifat domestik. Karya-karya seniman
lelaki cenderung membentuk dirinya menjadi karya yang langsung, lugas, agresif
dan publik. Karya seni Alvi sangat bersih, rapih dan sempurna seperti gambaran
tentang Cincin Kawin. Semua orang
menginginkan keunikan, keaslian, kesempurnaan terbalut pada jejari mereka
dengan cincin kawin yang indah dan kuat.
Tetapi di dalam kesempurnaannya ada banyak misteri yang menyertainya.
Mata kritis Alvi sebagai seorang seniman perempuan dipergunakan untuk mengatasi
konstruksi pasar dan masyarakat yang membungkus kerentanan pernikahan dengan kemewahan
fisik keabadian dari Cincin Kawin.
Sensitifitas perempuan
dalam menganalisis peran media membentuk kecenderungan perilaku konsumtif yang
seolah-olah melanggengkan pernikahan perlu diasah sehingga bisa membebaskan dirinya dari jerat pasar.
Keabadian yang ditawarkan oleh pasar
seperti nampak pada Cincin Kawin bukanlah tempat untuk perempuan menaruh
harapan. Harapan pernikahan ada
pada Sang Pencipta. Perempuan perlu
dikembalikan kepada realitas bahwa ada kerentanan dalam pernikahan dan
perempuan harus menghadapinya dengan bijaksana. Upaya perempuan mengantisipasi
kebencanaan yang dapat ditimbulkan dari pernikahan tersirat terpancar keluar
dari penampilan karya seni Alvi, Wedding
Ring: Torturing or Lightening?
Pengalamannya mengikuti
beberapa pameran menunjukkan penguatan
aspek jender dalam karya-karya seninya. Perempuan tidak bisa lagi dimarginalkan
dalam konteks karya seni. Ukuran penghormatan suatu karya seni yang diberikan
melalui peran kurator mungkin perlu diubah terutama memperhatikan kecenderungan
koleksi para kurator yang cenderung lebih dipusatkan pada karya-karya seni
seniman lelaki.
Hambatan partisipasi
perempuan dalam karya seni bisa disebabkan karena masyarakat beranggapan
perempuan berkarya seni tidak optimal.
Proses berkarya seni pada perempuan tampil tersendat-sendat. Ketika
perempuan harus mengambil waktu sendiri dengan dirinya untuk mengekspresikan
karyanya, ia ternyata dibutuhkan oleh keluarga untuk melakukan sesuatu hal yang
akan menolong anak-anak dan suaminya. Tetapi ketika perempuan mengekspresikan
karya seninya ia cenderung digolongkan sebagai karya dengan kategori
“kerajinan” daripada suatu karya seni.
Tema-tema yang diangkat
seniman perempuan cenderung dianggap sebagai tema-tema domestikasi perempuan.
Pandangan ini harus direvisi. “Perempuan” bisa sebagai tema karya seni yang
digali oleh dirinya sendiri maupun oleh masyarakat. Penggarapan tema perempuan dikaitkan dengan analisis
kritis tentang berbagai aspek di sekitar kehidupan perempuan yang
membelenggunya. Misalkan dalam karya Alvi, pasar berperan membentuk selera dan
pandangan hidup dari perempuan terhadap suatu pernikahan.
Perempuan juga menjadi
target dari perbagai penjualan berbagai produk yang dijual di pasar. Contohnya, penjualan kosmetik, rumah, mobil
menargetkan perempuan. Jadi analisis kritis untuk menghasilkan karya seni yang
menyentuh permenungan mendalam baik perempuan maupun sesamanya, merupakan upaya
seorang seniman untuk mengeluarkan isu perempuan dari konteks domestikasi. Tema kajian Alvi jelas menunjukkan perempuan
berusaha keluar dari isu domestikasi.
Masyarakat perlu
mengakuinya secara iklas tentang kontribusi karya seni perempuan yang menyentuh
perasaannya. Perempuan mengangkat isu
perempuan adalah suatu proses yang penting dilakukan oleh dirinya dengan
mendapat dukungan dari perempuan dan masyarakat lain. Alvi bertanya berkali-kali bagaimana ia bisa
berpartisipasi membukakan pemikiran perempuan. Melalui karya seninya, Cincin
Kawin, Alvi bisa mempertanyakan mengapa
dalam iklan-iklan ketika lelaki dan perempuan saling marah memarah, Cincin Kawin
menjadi target untuk dibuang. Pembiaran perempuan untuk menutupi kepekaannya
sendiri melupakan praktek dasar perempuan membangun keluarga yang mandiri, adil
dan sejahtera harus dapat diatasi. Tidak sesederhana, Cincin Kawin dibuang
ketika ada terjadi banyak kefrustasian dari kegagalan pernikahan.
Kadang kala ditemukan di
antara sepasang suami isteri ada yang melarang menggunakan Cincin Kawin.
Pengungkapan media seperti terlihat pada tindakan membuang Cincin Kawin atau
tindakan nyata kehidupan pasangan suami-istri yang membuang atau melarang
menggunakan Cincin Kawin terkesan
menyederhanakan pengalaman pernikahan. Pernikahan adalah pengalaman yang
sangat kaya di mana kedua pasanga suami dan istri berjalan bersama mendialogkan
hidup sehari-hari, impian-impian satu dengan lain secara jujur, respek, adil
dan saling mengasihi (Farsijana AR – Alvi Lufiani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar