Resah Gelisah : Seri Seni Limbah dan
Ekspresi Perempuan anti Kekerasan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Pengantar
Sementara Bentara Budaya Yogyakarta sedang memamerkan salah satu karya dari Seri Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, yaitu Bumi Menari 3: Keterhubungan Lempengan, saya ingin memberikan penghargaan kepada seniwati-seniwati Yogyakarta yang pernah terlibat pada pameran tsb (Lihat tulisan saya: Bumi Menari di Bentara Budaya Yogyakarta). Karya-karya mereka bisa dinikmati melalui foto-foto tetapi juga tergambar dalam uraian narasinya. Penjelasan tentang karya-karya ini dilakukan untuk mengorek kedalaman permenungan perempuan seniman ketika membuat suatu karya seni. Pembahasan ini diangkat dari buku Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, suntingan Farsijana Adeney-Risakotta (Yogyakarta: Selendang Ungu Press, 2011)
Tema anti kekerasan yang dikemas dengan penggunaan limbah dari berbagai bahan menghadirkan cara penjiwaan dan pengekspresian seni yang sangat khas perempuan. Karya seni bukan sekedar dilepaskan tak berjiwa, tetapi ia menggugah, menyentuh hati manusia yang mengamatinya. Karya itu menghantui kedalaman permenungan manusia sehingga menggerakkannya ke arah suatu perubahan. Anti kekerasan merupakan bagian dari keyakinan yang terbangun dari pengalaman perempuan yang banyak mengalami penyiksaan karena ketegangan dalam mengelola relasi kekuasaan di antara dirinya dengan seorang lelaki atau pasangannya.
Pengalaman menegosiasikan kekuasaan menyebabkan perempuan bisa mengatasi kemungkinan tindakan potensial bernuansa kekerasan yang mungkin sedang ditujukan kepadanya. Pengalaman melintasinya kemudian memunculkan penghargaan dan komitmen dalam perjuangan menegakan hak-hak dasar kehidupan dari mereka di sekitarnya yang tertindas. Selamat menikmati pembaca sekalian!
Djandjang berpose dengan karya seninya Resah Gelish pada Pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, Bentara Budaya Yogyakarta, 4-7 Februari 2011 |
Djandjang menunjukkan koleksi kain batik yang dikerjakannya |
Resah Gelisah
(Karya Djandjang
dari bahan tektil, limbah alam, 2011)
Alam adalah titik berangkat manusia
berproduksi. Rumah Djandjang di dalam Ndalem Suryowijayan
terletak di sebelah barat Beteng
Kraton Yogyakarta, milik Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryobrongto, Pangeran
dari Kraton Yogyakarta, adik Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di Ndalem Suryowijayan, GBPH Suryobrongto tidak mendiami pendopo ndalem tetapi mendiami
rumah besar di sebalah barat pendopo. Beliau sudah wafat dan
sekarang yang mendiami putra- putrinya. Ndalem suryowijayan juga terdapat
penduduk biasa bukan bangsawan yang berasal dari luar termasuk keluarga Djandjang. Rumahnya dulu dibeli dari bapak Bagong
Kussudiaharjo kira-kira pada tahun 1962. Mereka pindah ke Ndalem
Suryowijayan sekitar
tahun 1963. Status rumahnya
adalah
“Ngindung” (bhs. Jawa) atau magersari yaitu status hak guna bangunan saja,
tanah milik Kraton. Dulu rumah ini milik bapak saya Tukiyo, kemudian Djandjang mewarisinya.
Di areal yang padat, di sinilah keluarga
Djandang tinggal. Tanpa tanah, Djandjang
menakarkan pohon-pohon di samping rumah (tritisan). Diantaranya
adalah tanaman ketepeng, keben, mengkudu, kesumba, jambu buji dan mangga dalam ember-ember plastik mengelilingi
rumahnya. Pewarnaan alam yang diambil
dari tanaman-tanaman ini seolah-olah
membawa aroma dari imajinasi
pembatik yang dibawa masuk ke jaman modern saat ini. Djandjang juga menanam tanaman- tanaman yang bermanfaat
seperti Sansivera, aloevera, pandan, dan tanaman buah- buahan seperti
Kelengkeng pongpong, apel india, stroberi, jambu Kristal, srikaya jumbo dan
belimbing wuluh dan belimbing bintang. Rumahnya yang
paling besar di antara para tetangga lainnya. Ketika saya memasuki rumahnya, saya merasakan
aurat keemasan dari suasana mata hari terbenam. Rumah didekor secara elegan.
Memasuki rumah, kami disambut dengan pemandangan suasana membatik. Djandjang menyampirkan
batik-batiknya pada
“gawangan” yaitu alat untuk meletakkan kain batik yang terbuat dari kayu ketika
seseorang membuat batik.
Djandang adalah seorang seniman batik. Ketrampilan membuat batik Djandjang peroleh ketika masih belajar dibangku SD. Ia belajar membatik
pada salah seorang tetangga yang memiliki usaha “Mbironi” (bagian dari proses membentuk batik). Kata batik dibentuk dari dua suku
kata bahasa Jawa, yaitu “amba” yang berarti “menulis” dan “titik” yang berarti
“titik”. Sebagai teknik untuk membuat bahan kain, batik merupakan warisan leluhur di Jawa yang dipercayai sudah
terkenal sejak jaman Majapahit pada periode abad ke-12. Batik yang dibuat dengan teknik “canting”
menggunakan “malam” (lilin) untuk mencegah pewarnaan bagian kain tertentu yang dikhususkan untuk jenis
pewarnaan lain yang direncanakan.
Dalam membatik ada dua proses yang sangat penting.
Pertama, membatik berarti merencanakan desain motif yang akan digambarkan pada
kain. “Desain motif sangat beragam tergantung pada tradisi dan daerah di mana pengrajin batik berasal”, demikian
dijelaskan Djandang. Dari motif bisa
diketahui status pemakainya. Tetapi ada banyak pengaruh dari corak dan warna
batik. Pengaruhnya datang dari India, Cina maupun dari Belanda. Kedua, teknik menggambarkan motif ke kain
dilakukan dengan menggunakan “canting”
yang berisi cairan “malam”. Batik yang
diproses dengan menggunakan “canting” disebut batik tulis.
Dunia globalisasi mengubah eksistensi batik. Misalkan warna batik, warna kuning yang
semula adalah warna bangsawan pemakai batik, pada jaman ini adalah milik dari
siapa saja. Proses pembuatan batik juga
mempengaruhi pembuatan akses masyarakat luas untuk memilikinya. Akan tetapi
Djandang menjelaskan bahwa kebanyakan bahan batik yang dijangkau oleh masyarakat
seharusnya tidak disebut batik tetapi bahan kain bermotif batik.
Pembedaan batik dengan bahan kain bermotif batik
adalah pada proses pembuatannya. Globalisasi memungkinkan batik diproses dengan
menggunakan cap yang disebut batik cap atau dengan menggunakan cetak. Kain batik adalah proses pembuatan kain
dengan menggunakan teknik batik, yaitu teknik cap atau cetak. Teknik pembuatan
kain dengan “cap” atau “cetak” motif serupa batik bukan menghasil kain batik
tetapi kain bercorak batik.
Globalisasi menimbulkan kekuatiran bagi Djandjang
karena semakin sedikit generasi muda yang tertarik mewarisi teknik pembuatan
batik dengan penggunaan “canting”. Tidak
saja pada proses membatik, sebagai seorang Jawa, Djandjang juga merasakan makin
berkurangnya apreasiasi seni di kalangan generasi muda Jawa. Globalisasi dilihat sebagai ancaman terhadap
pelestarian budaya sendiri. Pemasyarakatan kain bermotif batik seharusnya juga
diikuti dengan perluasan masyarakat menggunakan kain batik. Globalisasi
menyebabkan banyak cetakan batik yang dibuat dari tembaga dengan proses kerja
yang rumit dan sulit dialih fungsikan sebagai hiasan dinding di hotel-hotel
dari pada sebagai alat teknik memproses motif cetak batik pada kain.
Karya seni tiga dimensi berjudul “Resah Gelisah”
menjelaskan tentang beberapa lapisan dari kehidupan peradaban masyarakat Jawa.
Pertama, bentangan dasar yang ditutupi oleh karung goni diberikan warna tanah
menjelaskan tentang kehidupan awal dari mana asal manusia. Manusia akan kembali
ke tanah dan karung goni adalah representasi yang paling dekat kepolosan dari
kekompleksan tetumbuhan yang ada di alam.
Jati diri manusia pada mulanya sederhana seperti karung goni.
Tetapi pada lapisan kedua, mulai nampak pola-pola
kecerdasan seperti terlihat pada berbagai bentuk motif batik yang mencerminkan
pengaruh dari berbagai budaya dan peradaban. Pada tahap lapisan peradaban
inilah terjadi tarik menarik kekuasaan yang menyebabkan pemisahan dan
pengelompokan dari berbagai kelompok-kelompok tradisi dan suku bangsa.
Kreatifitas dan kecerdasan manusia ternyata juga bisa
memisahkan mereka apabila tekanan kepada kekuasaan mengendalikannya dengan
kuat. “Saya merasa resah dan gelisah memperhatikan keterpecahan manusia karena
kemampuan peradaban yang ada pada dirinya masing-masing”, demikian Djandjang
menuturkan. Dapatkah manusia menjadi
cerdas dan beradab sekaligus tetap bersatu? Pertanyaan ini merupakan mimpi
seorang seniman seperti Djandjang. Realitas dunia berbicara lain. Ada banyak klaim kekuasaan muncul dari
keunikan peradaban. Ketika klaim menjadi dominan, pada saat itulah upaya
pencapaian kekuasaan bisa dilakukan dengan cara apapun termasuk menghalalkan
penggunaan kekerasan untuk mencapai keinginan yang dipandang sebagai kebenaran
dari pihak tertentu.
Penyajian dua penampang diri merupakan realitas
keretakan yang terjadi dalam kehidupan politik dunia. Bertolak dari keluguan
penampang diri yang dekat dengan alam dari mana manusia berasal, proses
penguatan identitas melalui peradaban mengakibatkan situasi keterpecahan,
keretakan dalam berbagai suku bangsa.
Bisakah keretakan-keretakan ini ditenun kembali? Dengan bahan apa
penenunannya dapat dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini menempati alam bawah
sadar Djandjang.
Penuangan keprihatinan dalam wujud karya seni terutama
tentang proses penenunan keretakan hubungan menjadi nyata ketika Djandjang
menyimpulkan bahwa alam merupakan mediator yang tepat menenun kembali celaan
dalam hubungan manusia. Dua penampang keterpecahan identitas diri manusia
ditenun kembali melalui proses pengikatannya seperti nampak ketika sepotong manggar
kering dari pohon kelapa dipilih sebagai pengikat yang seolah-olah menenun
keterputusan itu.
Manggar adalah bunga kelapa yang akan mengubah menjadi
biji kelapa. Pengikatan kesatuan
keretakan umat manusia bisa dilakukan apabila manusia mengembalikan dirinya
kepada kondisi awal menyifati eksistensi transformasi dari kelanjutan kehidupan
yang berimbang. Seperti manggar yang akan mengubah dari bunga menjadi buah,
dalam inti perubahan terdapat kehidupan yang selalu akan mengubah tanpa
melupakan asal mulanya. Di benak imajinasi Djandjang, asal mula manusia sama
seperti manggar kelapa. Ia dalam eksistensinya hidup sekaligus mati untuk suatu
kehidupan lagi.
Karya seni “Resah Gelisah” yang menggunakan berbagai
limbah membentangkan potongan perjalanan kehidupan manusia dalam berbagai
lapisan diri yang saling dipengaruhi tetapi sekaligus dengan kegelisahannya
mencari jalan kembali ke keasliannya dari mana ia berasal. Djandjang telah memberikan dirinya untuk
pencarian yang tiada perhentiani.
Pencarian seorang perempuan penjaga tradisi. Perempuan yang mengingatkan
tentang kegelisahan diri sebagai kenderaan untuk mencari jalan pulang ke
keasalannya di mana semua orang bisa hidup dengan tenang dan damai (Farsijana
AR - Djandjang).
Djandjang dengan kebun langkanya menggunakan tirisan dari sisian rumahnya di Ndalem Suryawijayan Beteng Kraton Yogyakarta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar