Hargai Kami Juga:
Seri Seni Limbah dan
Ekspresi Perempuan anti Kekerasan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Pengantar
Sementara Bentara Budaya Yogyakarta sedang memamerkan salah satu karya dari Seri Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, yaitu Bumi Menari 3: Keterhubungan Lempengan, saya ingin memberikan penghargaan kepada seniwati-seniwati Yogyakarta yang pernah terlibat pada pameran tsb (Lihat tulisan saya: Bumi Menari di Bentara Budaya Yogyakarta). Karya-karya mereka bisa dinikmati melalui foto-foto tetapi juga tergambar dalam uraian narasinya. Penjelasan tentang karya-karya ini dilakukan untuk mengorek kedalaman permenungan perempuan seniman ketika membuat suatu karya seni. Pembahasan ini diangkat dari buku Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, suntingan Farsijana Adeney-Risakotta (Yogyakarta: Selendang Ungu Press, 2011).
Tema anti kekerasan yang dikemas dengan penggunaan limbah dari berbagai bahan menghadirkan cara penjiwaan dan pengekspresian seni yang sangat khas perempuan. Karya seni bukan sekedar dilepaskan tak berjiwa, tetapi ia menggugah, menyentuh hati manusia yang mengamatinya. Karya itu menghantui kedalaman permenungan manusia sehingga menggerakkannya ke arah suatu perubahan. Anti kekerasan merupakan bagian dari keyakinan yang terbangun dari pengalaman perempuan yang banyak mengalami penyiksaan karena ketegangan dalam mengelola relasi kekuasaan di antara dirinya dengan seorang lelaki atau pasangannya.
Pengalaman menegosiasikan kekuasaan menyebabkan perempuan bisa mengatasi kemungkinan tindakan potensial bernuansa kekerasan yang mungkin sedang ditujukan kepadanya. Pengalaman melintasinya kemudian memunculkan penghargaan dan komitmen dalam perjuangan menegakan hak-hak dasar kehidupan dari mereka di sekitarnya yang tertindas. Selamat menikmati pembaca sekalian!
Ekspresi Perempuan anti Kekerasan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Pengantar
Sementara Bentara Budaya Yogyakarta sedang memamerkan salah satu karya dari Seri Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, yaitu Bumi Menari 3: Keterhubungan Lempengan, saya ingin memberikan penghargaan kepada seniwati-seniwati Yogyakarta yang pernah terlibat pada pameran tsb (Lihat tulisan saya: Bumi Menari di Bentara Budaya Yogyakarta). Karya-karya mereka bisa dinikmati melalui foto-foto tetapi juga tergambar dalam uraian narasinya. Penjelasan tentang karya-karya ini dilakukan untuk mengorek kedalaman permenungan perempuan seniman ketika membuat suatu karya seni. Pembahasan ini diangkat dari buku Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, suntingan Farsijana Adeney-Risakotta (Yogyakarta: Selendang Ungu Press, 2011).
Back dan Front Cover dari Buku Seni Limbah & Ekspresi Perempuan Anti Kekerasan, suntingan Farsijana Adeney-Risakotta (Yogyakarta: Selendang Ungu Press, 2011) |
Tema anti kekerasan yang dikemas dengan penggunaan limbah dari berbagai bahan menghadirkan cara penjiwaan dan pengekspresian seni yang sangat khas perempuan. Karya seni bukan sekedar dilepaskan tak berjiwa, tetapi ia menggugah, menyentuh hati manusia yang mengamatinya. Karya itu menghantui kedalaman permenungan manusia sehingga menggerakkannya ke arah suatu perubahan. Anti kekerasan merupakan bagian dari keyakinan yang terbangun dari pengalaman perempuan yang banyak mengalami penyiksaan karena ketegangan dalam mengelola relasi kekuasaan di antara dirinya dengan seorang lelaki atau pasangannya.
Pengalaman menegosiasikan kekuasaan menyebabkan perempuan bisa mengatasi kemungkinan tindakan potensial bernuansa kekerasan yang mungkin sedang ditujukan kepadanya. Pengalaman melintasinya kemudian memunculkan penghargaan dan komitmen dalam perjuangan menegakan hak-hak dasar kehidupan dari mereka di sekitarnya yang tertindas. Selamat menikmati pembaca sekalian!
Hargai Kami Juga dipamerkan pada Pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan di Bentara Budaya Yogyakarta, tanggal 4-7 Februari 2011 |
Hargai
Kami Juga
(Karya Dwita Anja Asmara dari bahan fiberglass, acrylic, mic media, 2010)
“Seniman biasanya
mempunyai ego yang besar. Karya seniman pada dasarnya kepada dirinya
sendiri. Seni untuk seni. Tetapi sesudah
saya mempersiapkan pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan Anti
Kekerasan saya makin sadar tentang
penyampaian pesan seni yang menggugah masyarakat”, demikian penjelasan Dwita
Anjar Asmara membuka percakapan kami.
“Hargai Kami Juga” adalah karya seni dari Dwita. Atas izinnya saya memilih karya ini menjadi
kulit muka dari buku bunga rampai.
“Hargai Kami Juga”
sebagai suatu karya seni berbicara mendalam tentang nilai-nilai yang mendasar
sekaligus saling bertentangan satu dengan lainnya. “Hargai Kami Juga” disimbolkan oleh tiga
patung dari fiberglass yang merepresentasi perempuan menggenakan rok mini.
Mereka sedang bepergian dengan menggunakan bus. Dalam perjalanan ini mereka
mengalami kekerasan karena tiba-tiba ada tangan lelaki yang mendarat dan
memegang paha mereka.
Karya seni bisa
memunculkan ketegangan dan kontradiksi dalam bathin dengan ekspresi diri
pribadi seseorang yang terpancar keluar dan terlihat dalam perilaku. Dwita
mampu memperlihatkan ketegangan bathin dalam diri manusia seperti nampak pada
perempuan. Kebebasan yang diterima oleh
seorang perempuan sebagai akibat dari kesadaran terhadap hak-hak dasarnya harus
berhadapan dengan kehidupan masyarakat luas.
Tubuh seorang
perempuan adalah miliknya sendiri. Pandangan feminisme menunjukkan bahwa tubuh
seseorang mempunyai kekuatan politik. Artinya seorang perempuan dapat
menentukan apa yang terbaik untuk dirinya, untuk tubuhnya sendiri. Keputusan seorang perempuan menggunakan rok mini atau menutup auratnya
ada pada dirinya sendiri.
Akan tetapi
kebebasan tubuh seseorang ternyata juga dibatasi oleh kebebasan tubuh orang
lain. Pesan tentang nilai antara kebebasan dan keterbatasan disampaikan secara halus oleh Dwita dalam karya seni
“Hargai Kami Juga” sebagai cara untuk mengajak penikmat seni memasuki
ketegangan ini. Apa perspektif yang
dapat dipakai untuk menjelaskan ketegangan ini?
Pada satu sisi, simbol tangan yang mendarat di paha perempuan –
perempuan berok mini yang sedang berada dalam bus umum menunjukkan kekerasan
yang bisa dilakukan oleh lelaki tidak kenal kepada perempuan yang juga tidak
dikenal.
Perlakuan ini
menunjukkan tingkat penghargaan lelaki kepada perempuan yang masih rendah.
Perempuan semata-mata dipandang sebagai target seks dari lelaki. Mengapa perempuan tidak bebas mengekspresikan
dirinya sendiri seperti yang terjadi pada seorang lelaki? Lelaki bebas
menggunakan apapun pada tubuhnya tanpa harus takut akan mengalami kekerasan.
Dwita menuliskan konsep dasar karyanya: “Kaum perempuan harus berani
mengatakan atau menentang perlakuan yang tidak mennyenangkan pada dirinya,
perempuan harus berpikir cerdas kalau diperlakukan negatif, perempuan harus
dapat membela diri jika dapat perlakuan buruk dari laki laki”.
Pada sisi lain,
judul yang diberikan Dwita untuk karyanya “Hargai Kami Juga” terkesan
mengandung kontradiksi. Karena terutama
untuk konteks bus umum, penampilan perempuan berok mini terkesan tidak mampu menempatkan dirinya. Bus merepresentasikan ruang di mana banyak
orang berlalu lalang sambil mungkin mendahului
kepentingan dirinya sendiri. Bus adalah representasi dunia dengan aturan yang
memungkinkan orang kuat bertahan sedang orang lemah mungkin akan tergilas. Bus
adalah tempat yang paling sering terjadi
kekerasan pada perempuan. Karena itu, bus adalah tempat yang tepat untuk
meminta penghargaan dari orang lain ketika seseorang yang memintanya juga mampu
menempatkan dirinya sehingga bisa dihargai.
Ada banyak keisengan
di bus umum. Ada banyak ketidakpedulian
karena ketergesaan di bus. Perspektif yang bisa dipergunakan untuk mengerti
ketegangan seperti yang diasumsikan terjadi dalam imajinasi Dwita, yaitu teriakan
perempuan dalam bus “Hargai Kami Juga” adalah menggunakan perspektif pertahanan. Perilaku penumpang untuk mencari keamanan dan
keselamatan dirinya di bus umum sebenarnya mengundang kita untuk memperhatikan
perspektif pertahanan diri dalam menjawab ketegangan nilai yang muncul dari
karya seni “Hargai Kami Juga”. Apakah pilihan
dan ekspresi kebebasan perempuan dengan menggunakan rok mini adalah tepat
mengingat “bus” tidak menjaminkan keamanan dari gerakan orang-orang yang saling
tak kenal?
Dilema terhadap
kebebasan dan keterbatasan yang bersifat situasional tersirat kuat dari karya
seni “Hargai Kami Juga”. Pada satu sisi
perempuan memohonkan pengakuan dan penghargaan dari kaum lelaki. Tetapi pada
sisi lain, kebebasan perempuan seringkali dilakukan tanpa memperhatikan
mekanisme pertahanan dirinya. Perempuan yang sadar feminisme bisa melupakan
perspektif keseimbangan yang sangat kuat melatarbelakangi perspektif pertahanan
diri. Bukan hanya tubuh perempuan yang
harus ditutupi, tubuh lelakipun harus dibungkus dengan kemeja dan celana. Tubuh yang dibiarkan telanjang akan menjadi
kering dan layu termakan oleh matahari, angin dan hujan. Keterbatasan tubuh
inilah yang menyebabkan ia harus dilindungi supaya bisa tampil baik, sehat dan
indah ketika dibutuhkan untuk melakukan aktivitas.
Sebagai seorang
seniman, kekuatan Dwita untuk memahami ketegangan dalam dirinya dan upaya
memunculkannya sangat dilatarbelakangi oleh perjalanan kesadarannya selaku seorang perempuan. Menoleh ke belakang, Dwita mengingat
peristiwa ketika ia harus memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya,
orang tuanya untuk merantau ke Yogyakarta
di mana ia bisa belajar seni di Sekolah Seni Rupa Yogyakarta.
Perjalanan ke
Yogyakarta dipersiapkannya dengan menabung dari uangnya ketika menjadi guru
Kesenian di SD Kalam Kudus di Padang. Satu per satu gajinya ditabung untuk
membiayai perjalanan dan permulaan perkuliahannya di Sekolah Seni Rupa
Yogyakarta pada tahun 1986.
Dari gajinya sebagai guru kesenian ia membeli emas 12,5 gr yang senilai
kurang lebih Rp 400.000 pada saat itu sebagai modal yang dibawanya ketika
memulai perziarahannya di Yogyakarta.
Perjalanannya dengan
bus dari Padang ke Yogyakarta menjadi pengalaman yang membekas dalam
dirinya. Perempuan-perempuan yang berani
berjalan dengan bus adalah perempuan-perempuan yang militan, yang kuat dan
cerdas. “Sifat-sifat militan pada diri
saya yang telah membawa saya naik bus dari Padang ke Yogyakarta”, demikian
penjelasan Dwita. “Ibu saya menangis ketika melepaskan saya di bus”.
Di Padang perempuan
tidak boleh merantau karena fungsinya mengelola pundi-pundi yaitu keuangan
keluarga. Disebutkan di Padang, bundo kandung artinya perempuan tiang
utama dari rumah, karena itu buat apa ia harus pergi jauh-jauh merantau. “Tetapi
hati saya teguh. Saya ingin belajar di Sekolah Seni Rupa di Yogyakarta. Ketika saya mengikuti test masuk dan diterima
ibunda saya di Padang tidak percaya”,
Dwita menambah.
“Syukurlah dalam
perjalanan saya meraih cita-cita saya, saya mampu menempatkan diri saya dengan
baik”, jelas Dwita. Bus adalah simbol
perjalanan seorang perempuan. Apabila perempuan sulit menempatkan dirinya
dengan baik, mungkin ia dengan mudah akan diperlakukan tidak adil dan mengalami
kekerasan. Menerapkan prinsip
proposional yaitu penempatan diri dalam
semua keindahan dari hak-hak yang perempuan miliki akan menolong dirinya
mencapai perjalanan dengan daya ketahanan khusus. “Apa yang saya pernah lakukan
dulu seperti membuat keputusan untuk merantau, bepergian keluar dari Padang ke
Yogyakarta adalah suatu keputusan yang sangat penting yang makin saya sadari
sesudah membuat karya seni “Hargai Kami Juga”.
Karya seni “Hargai
Kami Juga” memperlihat pada sisi lain kenyataan bahwa masih ada perempuan yang mengalami pelecehan ketika
sedang melakukan perjalanan dalam kehidupannya. Masih banyak perempuan yang
perlu dikuatkan pemahamannya sehingga mereka bisa tampil kuat tanpa ada
kontradiksi-kontradiksi yang menghambat pengekspresian dirinya dengan cerdas dan tepat. Perjalanan perempuan menuju kematangan diri
adalah perjalanan yang sangat pribadi karena menunjukkan berbagai perbedaan
pengalaman yang dialami setiap perempuan.
Akan tetapi ada hal
yang mungkin terdapat pada setiap perempuan yaitu perempuan juga perlu menjaga
dirinya, bukan karena ada mangsa di luar sana, tetapi karena perempuan harus
merasa aman dengan dirinya sendiri. Daya
pertahanan diri perempuan adalah juga ada pada lelaki. Dengan kecerdasannya
perempuan akan bisa menggunakan daya pertahanan yang ada pada dirinya sehingga
penghargaan yang didambakannya akan dengan sendirinya diberikan kepadanya.
Penghargaan yang
perempuan dambakan perlu dilakukan bersesuaian dengan kemampuan perempuan untuk
mengeksplorasi dan mengoptimalkan
keunikan-keunikan, ketrampilan dan
kecerdasan baik intelektual maupun moral yang ada pada dirinya. “Hargai Kami
Juga” merupakan karya seni yang mencoba mengeksplorasi ketegangan nilai dalam
diri perempuan dan solusi yang harus dijawabnya. Pencirian seniman perempuan yang membawa
ketegangan nilai dalam karyanya makin disadari oleh Dwita sebagai kekuatan baru
dalam berkarya seni.
Ada banyak
ketegangan sebagai pergolakan dari seorang seniman yang harus dilalui oleh
seorang perempuan sehingga ia mampu mengutarakan sebagai karya yang
merepresentasikan pergumulannya itu.
Pada tahap inilah seorang seniman perempuan bisa menjadi lebih bebas
dari berbagai standar seni yang dikontruksikan oleh seniman lelaki.
Dwita memandang
harapan dari perubahan arah berkesenian terutama dalam mengekspresikan karya
seni yang memperhatikan cara penyampaian ala perempuan. Jalan ke sana makin lebar terutama
mengeksplorasi ketegangan nilai yang juga paling sering dibahas dan dipikirkan
oleh perempuan di mana saja ia berada sebagai suatu pencirian berkesenian yang
membedakannya dari seniman lelaki (Farsijana AR – Dwita Anja Asmara)
Berdiskusi dengan Dwita Anja Asmara di rumahnya di Bantul, 2011 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar