Menulis: Membagi
Diri atau Mengutuhkan Diri?
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Tahun 2006 ketika gempa Yogya, saya menyaksikan
perempuan dengan multi perannya melakukan berbagai hal secara serentak. Peran utamanya untuk memelihara keluarga,
tugasnya memasak, bisa dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan anggota
masyarakat lainnya. Keadaan darurat
menyebabkan perempuan tampil kuat. Dalam lokakarya penulis buku, pengamatan
saya makin dikuatkan dengan mendengar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
teman-teman perempuan yang terlibat dalam penulisan tsb. Kemudian saya
merumuskan, perempuan bisa melakukan banyak hal sekaligus sambil juga
memikirkan pertanyaan-pertanyaan mendalam terkait dengan kebencanaan
(Adeney-Risakotta: 2007). Sehingga
memfasilitasi waktu kepada perempuan untuk menulis pertanyaan dan menjawabnya
merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi mereka.
Sudah enam tahun berlalu. Saya masih percaya kepada kesimpulan
itu. Perempuan itu adalah saya, dan juga
banyak perempuan lain. Sudah hampir tiga
minggu berlalu, saya masih belum menulis lagi. Biasanya setidaknya saya menulis
sekali seminggu untuk blog Indonesiaku
Indonesiamu Indonesia untuk semua. Hari Minggu lalu, saya diingatkan oleh
seorang majelis jemaat, yang ingin tahu bagaimana bisa tulisan-tulisan saya beredar di Facebook. Beliau bertanya sebelum saya diantar ke
mimbar untuk memimpin ibadah di salah satu gereja Kristen Jawa di Yogyakarta. Saya agak kaget karena saya jarang juga
membuka Facebook untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan
sahabat-sahabat saya. Jadi saya
mengatakan kepada penatua gereja itu bahwa mungkin tulisan tersebut adalah
tulisan-tulisan saya di blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua.
Komunitas di Facebook adalah pembaca pertama dan utama dari tulisan-tulisan di
blog itu. Majelis ini sangat tertarik dan meminta saya untuk terus menulis.
Menulis untuk Indonesia adalah kewajiban saya. Seorang
pembaca dari tulisan saya berjudul
“Kehidupan Intelektual sesudah Pembakaran Buku” mendorong saya untuk
terus menulis untuk Indonesia. Menerima
dorongan dari pembaca, baik mereka yang saya kenal langsung maupun tidak
memberikan kepada saya kebahagiaan. Saya semakin sadar, saya menulis bukan
untuk diri sendiri lagi. Saya menulis untuk Indonesia. Kedengarannya, “menulis untuk Indonesia”,
terkesan berlebihan. Siapakah saya
sehingga mendapat mandat menulis untuk Indonesia? Ketika pertanyaan ini sampai dalam
kesadaran saya, tentu saja saya harus berani menjawabnya. Saya sudah lama pikirkan tentang jawaban saya
terhadap klaim menulis untuk Indonesia.
Mungkin penderitaan saya terbesar adalah punya banyak
waktu tetapi bukan untuk menulis. Maksud
saya adalah menulis sesuatu yang saya senangi. Menulis untuk kehidupan. Menulis
dari pengembaraan saya terhadap kenyataan kehidupan yang saya temukan hari demi
hari. Selama tiga minggu ini saya menulis banyak tetapi bukan kepada blog saya.
Saya tersihir menulis tulisan yang disebut “akademik”. Saya pikir tulisan-tulisan tersebut bersifat
kritis tapi bukan milik saya. Tulisan itu harus diberikan untuk mereka yang
akan mempublikasikannya. Saya ingin menulis tulisan yang menjadi milik saya
untuk bisa diunggah sehingga siapapun dapat mengaksesnya. Tulisan-tulisan yang
gratis, tidak perlu dibayar. Tulisan gratis bukan tulisan yang murahan, tetapi
tulisan bermutu yang menggugah permenungan mendalam dari mereka yang
membacanya.
Sekarang ini di dunia modern, dunia uang, menulis
menjadi kegiatan yang menghasilkan uang.
Lebih parah lagi, setiap orang ingin menulis sehingga kehidupan
sehari-hari dibanjiri dengan berbagai informasi. Saya ingin menulis bukan
sekedar informasi. Saya ingin menulis isu yang sederhana dalam kemasan yang
indah, anggun, menarasikan kekuatan pengungkapan tanpa kehilangan disiplin
dalam penyampaiannya. Menulis dari
pertanyaan kritis dan kegelisahan saya.
Saya ingin menulis bukan pertama-tama karena ada yang merindukan tulisan
saya. Tulisan saya harusnya memberikan inspirasi kepada diri saya sendiri
ketika saya membacanya lagi. Sering kali terjadi demikian. Saya terkaget-kaget.
Kok saya bisa menulis seperti itu ya? Pertanyaan sederhana ini harus ada dalam
pikiran saya, pertanyaan yang mendorong saya menyakinkan saya tentang sesuatu
yang saya tulis , isu lama dengan perspektif dan kemasan menginterpretasikan
fenomena sosial dari kacamata yang baru.
Sekarang ini sesudah saya memulai menulis lagi, dengan
melepaskan diri dari penderitaan tulisan-tulisan pesanan, saya merasa berbahagia. Kebahagiaan ini sangat sulit diungkapkan
kecuali bisa dirasakan karena kata-katanya mengalir dengan lancar seperti
aliran air yang mengulir. Kadang-kadang aliran air tsb saling berebutan
sehingga ada loncatan-loncatan kecil seolah air sedang melompati tumpukan
bebatuan di dalam aliran sungai. Ada keindahannya ketika membayangkan pikiran
sendiri juga sedang mencari jalan mengeluarkan dirinya dari saya.
Pikiran saya sudah bosan dipersemaikan. Ketika saya
sibuk sehingga belum punya waktu untuk menulis, saya mengatakan saya sedang
mengerami pemikiran sendiri. Agaknya pikiran saya tahu alasan yang saya buat
dan mereka memprotesnya. Mereka ingin dibebaskan, mewujud entah dalam bentuk
apa. Setiap kata-kata yang membentuk
diri, saya bisa mendengar ucapan terima kasih dari mereka. Begitu kuatnya
dorongan untuk melahirkan ide, pemikiran dalam kata-kata mewujud sebagai suatu
pribadi, sampai-sampai saya merasakan loncatan-loncatan pemikiran tersebut.
Kembali kepada siapakah saya? Banyak orang tahu saya
menulis isu-isu tentang hidup bersama di Indonesia. Banyak orang tahu saya juga
menulis puisi. Saya menulis sejarah diri seseorang, suatu kampung, dan
perjalanan pemikiran. Saya menulis apa saja yang menyentuh hati saya. Saya menulis dari pengalaman saya
berinteraksi, bersentuhan dengan sesama saya.
Kerja-kerja sangat luas berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, anak, pemuda,
mahasiswa sambil melakukan perjalanan-perjalanan seolah-olah membentangkan
tempat persemaian bagi tumbuhnya ide-ide mendalam untuk tulisan saya.
Hidup saya menjadi sangat jelas melebihi gerakan tubuh,
tampil dalam kata-kata. Ketika kata-kata mewujud, saya merasakan pembebasan
dari kesakitan pengeraman yang seolah-olah menahun. Uraian di atas apakah kemudian menjadikan
saya seorang penulis. Bisakah saya
mengklaim saya seorang penulis? Mungkin bisa, tetapi saya gunakan saja istilah
yang sudah ada dalam teknik publikasi dunia maya. Secara elektronik, istilah blogger diberikan
karena konsisten publikasi tulisan-tulisan pada blog. Mungkin dari sisi inilah, saya bisa berani menyebut diri saya seorang blogger.
Ketika saya membandingkan tulisan-tulisan saya dengan
blogger lainnya, saya merasa tulisan saya mungkin agak serius. Topik-topik yang sensitif, mulai dari
kekerasan, terorisme, keberagaman, keadilan, peminggiran, politik diskriminatif
dan isu senada lainnya menjadi pilihan yang sangat sering saya membongkarnya
dalam tulisan untuk konsumsi pembaca di
blog. Saya ingin menulis bukan
sekedar menulis. Saya tahu setiap penulis mempunyai karakter sendiri. Saya
ingin karakter saya sangat jelas terlihat. Bisakah saya menemukan karakter
dalam tulisan-tulisan saya? Saya mencium baunya, saya merasakan sentuhan
kata-kata, saya menikmati gigitannya, saya tak menduga penglihatannya, saya
bergetar menyadari perumusannya. Kepekaan
saya semakin tajam seperti sebilah pisau yang sedang diasah.
Sekalipun saya sudah mencoba membebaskan diri dengan
menulis, tetapi ada hal yang belum terselesaikan. Saya masih harus belajar untuk menulis dalam
benak sehingga ketika saya tampil seutuhnya dalam suatu pengalaman kehidupan, saya
bisa menulis serempak lebih dari dua topik karena asumsi saya bisa mengerjakan
hal-hal yang penting secara serentak.
Ada kesiapan diri untuk merefleksikan proses yang sedang terjadi. Menulis diperlukan untuk memberikan ruang
bagi diri saya sendiri menjelaskan tentang di mana saya ketika sesuatu yang
menggetarkan di sekitar sedang terjadi.
Karena tugas-tugas penulisan “akademik”, tanpa
mengurangi kegiatan mengajar, pembimbingan mahasiswa, pendidikan akar rumput
dan rapat-rapat organisasi, mengurus keluarga, masak dan menari untuk
peringatan delapan windu suami tercinta dan berbagai perjalanan saya, semestinya
saya terus menulis untuk blog. Kerinduan menulis terlalu kuat, tetapi saya
sadar tentang keterbatasan diri sendiri. Bisakah saya membagi diri sendiri?
Tidak. Tidak. Jawabannya tidak. Saya tetap saya. Farsijana! Saya ingin menjadi
perempuan utuh yang menulis. Saya sudah berjanji untuk tidak menyederhanakan
hidup. Ketika pertanyaan saya mendalam, saya harus membiarkannya mengganggu
saja. Kemudian secara perlahan, saya
membangun pemahaman untuk disampaikan dalam tulisan yang memikat sekaligus
tajam dalam pengungkapannya.
Pernyataan membagi diri bisa tampil karena adanya
ketakutan kehilangan momentum dalam penulisan. Dunia digital yang memperpendek keluasan bumi,
seolah-olah sedang juga membentuk saya untuk mengikuti iramanya, yaitu cepat
dan cekatan. Tetapi saya hanya manusia
biasa, ada keterbatasannya. Saya menimpali dan menggugat. Saya ingin
membebaskan diri dari jaringan digital yang cenderung mendikte apa yang harus
saya pikirkan. Saya ingin menulis dari
minat sendiri bukan yang sedang didikte oleh jejaring digital. Saya ingin
menulis sesuatu yang reflektif sebagai jalan untuk terus menjadi matang dalam
penemuan diri sendiri. Jadi alasan
inilah yang menyebabkan saya mengoreksi kembali tentang anggapan membagi diri.
Saya yakin dalam keutuhan saya, pengungkapan tulisan mempunyai aura. Sebaliknya
membagi diri untuk menulis menghadirkan diri saya yang mentah.
Tulisan terakhir saya di blog dibuat beberapa hari
sebelum pemiluka DKI Jaya putaran kedua. Sekarang Jokowi-Ahok sudah dilantik.
Apakah saya kehilangan momentum dari peristiwa maha penting itu? Mungkin saja,
saya terpotong dari interaksi yang mendalam dengan jejaring sosial yang ingin berdialog
melalui pembacaan tulisan saya. Untuk kenyataan ini, saya ingin menyampaikan
permohonan maaf. Saya hanya seorang manusia yang terbatas. Kemudaan saya
ternyata makin luntur, sehingga terasa sekali cepat menjadi capai. Dampak dari
kerja-kerja yang terus menerus membebani saya sehingga sudah hampir dua minggu
saya masih batuk. Pernah di awal sakit tsb saya kehilangan suara, walaupun
begitu saya harus menjadi juri untuk bisnis festival di kampus, saya mencicipi
dan menikmati makanan yang dilarang karena batuk.
Jadi membiarkan keutuhan diri adalah jawaban yang
bijaksana daripada membagi diri untuk tetap ngotot seperti seorang superwoman
terus menulis. Saya menulis untuk
mengutuhkan diri, mengenal makna diri karena hanya dengan cara ini saya bisa
makin memahami pergumulan, pemikiran dari sesama. Saya ingin benar-benar
memberikan diri seutuhnya dalam menulis. Saya mestinya harus berani menciptakan
tempat dan waktu yang istimewa untuk menulis. Walaupun kesempatan itu baru bisa
dilakukan sesudah saya menyelesaikan tugas-tugas prioritas. Saya bersyukur
masih menerima kesempatan itu.
Saya bisa
terus mempertajam perasaan, kepekaan, penalaran,
daya imajinasi, untuk memahami representasi kehidupan yang bersisian dengan perjalanan saya di muka bumi
ini. Saya sedang mengutuhkan diri untuk kembali dengan ringan menulis lagi.
Kebahagiaan ini seperti pengampunan dari pengertian yang berbelas kasih
terpancar keluar melalui sinar pandangan mereka yang membaca tulisan ini.
Seperti saya bersyukur bisa merangkai lagi kata demi kata menjadi tulisan,
mereka tersenyum mengerti makna yang nampak dari setiap penjelasannya. Saya
sudah merelakan kebersamaan berjalan melangkah lagi dalam narasi kehidupan. Hanya melalui menulis, saya terus mengutuhkan
diri berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar