Translate

Selasa, 16 Oktober 2012

Menulis: Membagi Diri atau Mengutuhkan Diri?


                                 Menulis:  Membagi Diri atau Mengutuhkan Diri?
                                            Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Tahun 2006 ketika gempa Yogya, saya menyaksikan perempuan dengan multi perannya melakukan berbagai hal secara serentak.  Peran utamanya untuk memelihara keluarga, tugasnya memasak, bisa dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan anggota masyarakat lainnya.  Keadaan darurat menyebabkan perempuan tampil kuat. Dalam lokakarya penulis buku, pengamatan saya makin dikuatkan dengan mendengar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh teman-teman perempuan yang terlibat dalam penulisan tsb. Kemudian saya merumuskan, perempuan bisa melakukan banyak hal sekaligus sambil juga memikirkan pertanyaan-pertanyaan mendalam terkait dengan kebencanaan (Adeney-Risakotta: 2007).  Sehingga memfasilitasi waktu kepada perempuan untuk menulis pertanyaan dan menjawabnya merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi mereka.

Sudah enam tahun berlalu.  Saya masih percaya kepada kesimpulan itu.  Perempuan itu adalah saya, dan juga banyak perempuan lain.  Sudah hampir tiga minggu berlalu, saya masih belum menulis lagi. Biasanya setidaknya saya menulis sekali seminggu untuk blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Hari Minggu lalu, saya diingatkan oleh seorang majelis jemaat, yang ingin tahu bagaimana bisa  tulisan-tulisan saya beredar di Facebook.  Beliau bertanya sebelum saya diantar ke mimbar untuk memimpin ibadah di salah satu gereja Kristen Jawa di Yogyakarta.  Saya agak kaget karena saya jarang juga membuka Facebook untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan sahabat-sahabat saya.  Jadi saya mengatakan kepada penatua gereja itu bahwa mungkin tulisan tersebut adalah tulisan-tulisan saya di blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Komunitas di Facebook adalah pembaca pertama dan utama dari tulisan-tulisan di blog itu. Majelis ini sangat tertarik dan meminta saya untuk terus menulis.

Menulis untuk Indonesia adalah kewajiban saya. Seorang pembaca dari tulisan saya berjudul  “Kehidupan Intelektual sesudah Pembakaran Buku” mendorong saya untuk terus menulis untuk Indonesia.  Menerima dorongan dari pembaca, baik mereka yang saya kenal langsung maupun tidak memberikan kepada saya kebahagiaan. Saya semakin sadar, saya menulis bukan untuk diri sendiri lagi. Saya menulis untuk Indonesia.  Kedengarannya, “menulis untuk Indonesia”, terkesan berlebihan.  Siapakah saya sehingga mendapat mandat menulis untuk Indonesia?      Ketika pertanyaan ini sampai dalam kesadaran saya, tentu saja saya harus berani menjawabnya.  Saya sudah lama pikirkan tentang jawaban saya terhadap klaim menulis untuk Indonesia.

Mungkin penderitaan saya terbesar adalah punya banyak waktu tetapi bukan untuk menulis.  Maksud saya adalah menulis sesuatu yang saya senangi. Menulis untuk kehidupan. Menulis dari pengembaraan saya terhadap kenyataan kehidupan yang saya temukan hari demi hari. Selama tiga minggu ini saya menulis banyak tetapi bukan kepada blog saya. Saya tersihir menulis tulisan yang disebut “akademik”.  Saya pikir tulisan-tulisan tersebut bersifat kritis tapi bukan milik saya. Tulisan itu harus diberikan untuk mereka yang akan mempublikasikannya. Saya ingin menulis tulisan yang menjadi milik saya untuk bisa diunggah sehingga siapapun dapat mengaksesnya. Tulisan-tulisan yang gratis, tidak perlu dibayar. Tulisan gratis bukan tulisan yang murahan, tetapi tulisan bermutu yang menggugah permenungan mendalam dari mereka yang membacanya.

Sekarang ini di dunia modern, dunia uang, menulis menjadi kegiatan yang menghasilkan uang.  Lebih parah lagi, setiap orang ingin menulis sehingga kehidupan sehari-hari dibanjiri dengan berbagai informasi. Saya ingin menulis bukan sekedar informasi. Saya ingin menulis isu yang sederhana dalam kemasan yang indah, anggun, menarasikan kekuatan pengungkapan tanpa kehilangan disiplin dalam penyampaiannya.  Menulis dari pertanyaan kritis dan kegelisahan saya.   Saya ingin menulis bukan pertama-tama karena ada yang merindukan tulisan saya. Tulisan saya harusnya memberikan inspirasi kepada diri saya sendiri ketika saya membacanya lagi. Sering kali terjadi demikian. Saya terkaget-kaget. Kok saya bisa menulis seperti itu ya? Pertanyaan sederhana ini harus ada dalam pikiran saya, pertanyaan yang mendorong saya menyakinkan saya tentang sesuatu yang saya tulis , isu lama dengan perspektif dan kemasan menginterpretasikan fenomena sosial dari kacamata yang baru.

Sekarang ini sesudah saya memulai menulis lagi, dengan melepaskan diri dari penderitaan tulisan-tulisan pesanan,  saya merasa berbahagia.  Kebahagiaan ini sangat sulit diungkapkan kecuali bisa dirasakan karena kata-katanya mengalir dengan lancar seperti aliran air yang mengulir. Kadang-kadang aliran air tsb saling berebutan sehingga ada loncatan-loncatan kecil seolah air sedang melompati tumpukan bebatuan di dalam aliran sungai. Ada keindahannya ketika membayangkan pikiran sendiri juga sedang mencari jalan mengeluarkan dirinya dari saya.

Pikiran saya sudah bosan dipersemaikan. Ketika saya sibuk sehingga belum punya waktu untuk menulis, saya mengatakan saya sedang mengerami pemikiran sendiri. Agaknya pikiran saya tahu alasan yang saya buat dan mereka memprotesnya. Mereka ingin dibebaskan, mewujud entah dalam bentuk apa.  Setiap kata-kata yang membentuk diri, saya bisa mendengar ucapan terima kasih dari mereka. Begitu kuatnya dorongan untuk melahirkan ide, pemikiran dalam kata-kata mewujud sebagai suatu pribadi, sampai-sampai saya merasakan loncatan-loncatan pemikiran tersebut.

Kembali kepada siapakah saya? Banyak orang tahu saya menulis isu-isu tentang hidup bersama di Indonesia. Banyak orang tahu saya juga menulis puisi. Saya menulis sejarah diri seseorang, suatu kampung, dan perjalanan pemikiran. Saya menulis apa saja yang menyentuh hati saya.  Saya menulis dari pengalaman saya berinteraksi, bersentuhan dengan sesama saya.  Kerja-kerja sangat luas berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, anak, pemuda, mahasiswa sambil melakukan perjalanan-perjalanan seolah-olah membentangkan tempat persemaian bagi tumbuhnya ide-ide mendalam untuk tulisan saya. 

Hidup saya menjadi sangat jelas melebihi gerakan tubuh, tampil dalam kata-kata. Ketika kata-kata mewujud, saya merasakan pembebasan dari kesakitan pengeraman yang seolah-olah menahun.  Uraian di atas apakah kemudian menjadikan saya seorang penulis.  Bisakah saya mengklaim saya seorang penulis? Mungkin bisa, tetapi saya gunakan saja istilah yang sudah ada dalam teknik publikasi dunia maya. Secara elektronik, istilah blogger diberikan karena konsisten publikasi tulisan-tulisan pada blog.  Mungkin dari sisi inilah, saya bisa berani  menyebut diri saya seorang blogger.

Ketika saya membandingkan tulisan-tulisan saya dengan blogger lainnya, saya merasa tulisan saya mungkin agak serius.  Topik-topik yang sensitif, mulai dari kekerasan, terorisme, keberagaman, keadilan, peminggiran, politik diskriminatif dan isu senada lainnya menjadi pilihan yang sangat sering saya membongkarnya dalam tulisan untuk konsumsi pembaca di  blog.  Saya ingin menulis bukan sekedar menulis. Saya tahu setiap penulis mempunyai karakter sendiri. Saya ingin karakter saya sangat jelas terlihat. Bisakah saya menemukan karakter dalam tulisan-tulisan saya? Saya mencium baunya, saya merasakan sentuhan kata-kata, saya menikmati gigitannya, saya tak menduga penglihatannya, saya bergetar menyadari perumusannya.  Kepekaan saya semakin tajam seperti sebilah pisau yang sedang diasah.

Sekalipun saya sudah mencoba membebaskan diri dengan menulis, tetapi ada hal yang belum terselesaikan.  Saya masih harus belajar untuk menulis dalam benak sehingga ketika saya tampil seutuhnya dalam suatu pengalaman kehidupan, saya bisa menulis serempak lebih dari dua topik karena asumsi saya bisa mengerjakan hal-hal yang penting secara serentak.  Ada kesiapan diri untuk merefleksikan proses yang sedang terjadi.   Menulis diperlukan untuk memberikan ruang bagi diri saya sendiri menjelaskan tentang di mana saya ketika sesuatu yang menggetarkan di sekitar sedang terjadi.

Karena tugas-tugas penulisan “akademik”, tanpa mengurangi kegiatan mengajar, pembimbingan mahasiswa, pendidikan akar rumput dan rapat-rapat organisasi, mengurus keluarga, masak dan menari untuk peringatan delapan windu suami tercinta dan berbagai perjalanan saya, semestinya saya terus menulis untuk blog. Kerinduan menulis terlalu kuat, tetapi saya sadar tentang keterbatasan diri sendiri. Bisakah saya membagi diri sendiri? Tidak. Tidak. Jawabannya tidak. Saya tetap saya. Farsijana! Saya ingin menjadi perempuan utuh yang menulis. Saya sudah berjanji untuk tidak menyederhanakan hidup. Ketika pertanyaan saya mendalam, saya harus membiarkannya mengganggu saja.  Kemudian secara perlahan, saya membangun pemahaman untuk disampaikan dalam tulisan yang memikat sekaligus tajam dalam pengungkapannya.

Pernyataan membagi diri bisa tampil karena adanya ketakutan kehilangan momentum dalam penulisan.  Dunia digital yang memperpendek keluasan bumi, seolah-olah sedang juga membentuk saya untuk mengikuti iramanya, yaitu cepat dan cekatan.  Tetapi saya hanya manusia biasa, ada keterbatasannya. Saya menimpali dan menggugat. Saya ingin membebaskan diri dari jaringan digital yang cenderung mendikte apa yang harus saya pikirkan.  Saya ingin menulis dari minat sendiri bukan yang sedang didikte oleh jejaring digital. Saya ingin menulis sesuatu yang reflektif sebagai jalan untuk terus menjadi matang dalam penemuan diri sendiri.  Jadi alasan inilah yang menyebabkan saya mengoreksi kembali tentang anggapan membagi diri. Saya yakin dalam keutuhan saya, pengungkapan tulisan mempunyai aura. Sebaliknya membagi diri untuk menulis menghadirkan diri saya yang mentah. 

Tulisan terakhir saya di blog dibuat beberapa hari sebelum pemiluka DKI Jaya putaran kedua. Sekarang Jokowi-Ahok sudah dilantik. Apakah saya kehilangan momentum dari peristiwa maha penting itu? Mungkin saja, saya terpotong dari interaksi yang mendalam dengan jejaring sosial yang ingin berdialog melalui pembacaan tulisan saya. Untuk kenyataan ini, saya ingin menyampaikan permohonan maaf. Saya hanya seorang manusia yang terbatas. Kemudaan saya ternyata makin luntur, sehingga terasa sekali cepat menjadi capai. Dampak dari kerja-kerja yang terus menerus membebani saya sehingga sudah hampir dua minggu saya masih batuk. Pernah di awal sakit tsb saya kehilangan suara, walaupun begitu saya harus menjadi juri untuk bisnis festival di kampus, saya mencicipi dan menikmati makanan yang dilarang karena batuk. 

Jadi membiarkan keutuhan diri adalah jawaban yang bijaksana daripada membagi diri untuk tetap ngotot seperti seorang superwoman terus menulis.  Saya menulis untuk mengutuhkan diri, mengenal makna diri karena hanya dengan cara ini saya bisa makin memahami pergumulan, pemikiran dari sesama. Saya ingin benar-benar memberikan diri seutuhnya dalam menulis. Saya mestinya harus berani menciptakan tempat dan waktu yang istimewa untuk menulis. Walaupun kesempatan itu baru bisa dilakukan sesudah saya menyelesaikan tugas-tugas prioritas. Saya bersyukur masih menerima kesempatan itu. 
 
 
 
Saya bisa  terus mempertajam perasaan, kepekaan, penalaran, daya imajinasi, untuk memahami representasi kehidupan yang  bersisian dengan perjalanan saya di muka bumi ini. Saya sedang mengutuhkan diri untuk kembali dengan ringan menulis lagi. Kebahagiaan ini seperti pengampunan dari pengertian yang berbelas kasih terpancar keluar melalui sinar pandangan mereka yang membaca tulisan ini. Seperti saya bersyukur bisa merangkai lagi kata demi kata menjadi tulisan, mereka tersenyum mengerti makna yang nampak dari setiap penjelasannya. Saya sudah merelakan kebersamaan berjalan melangkah lagi dalam narasi kehidupan.  Hanya melalui menulis, saya terus mengutuhkan diri berjalan.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar