Menyambut Pidato Hasyim Muzadi. Catatan Seorang Warganegara Kepada Pemimpin Bangsa
Bagian pertama: Islam dari pandangan seorang Kristiani
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Saat ini siapapun merasa lega membaca pidato terbuka dari KH Hasyim Muzadi yang beredar di dunia maya di awal bulan Juni 2012 sebagai tanggapan terhadap pernyataan PBB tentang Indonesia yang tidak toleran. Pernyataan ini disampaikan pada pertemuan ke 59 Dewan Hak Asazi Manusia PBB yang persidangannya dimulai dari tanggal 17 - 24 April 2012. Pidato ini adalah bukti kecintaan KH Hasyim Muzadi kepada Indonesia.
www.tribunnews.com/2012/06/04/pidato-hasyim-muzadi-yang-menghebohkan-beredar-luas
www.tribunnews.com/2012/06/04/pidato-hasyim-muzadi-yang-menghebohkan-beredar-luas
Pada momen yang tepat dalam kapasitasnya sebagai Presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) dan Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars), mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahtalul Ulama, KH Hasyim Muzadi menuliskan pidato yang memaparkan perbandingan fakta-fakta yang menjelaskan tentang realitas sebenarnya Indonesia dari apa yang dituduhkan oleh PBB tersebut. Dengan membandingkan situasi sosial di beberapa propinsi di Indonesia maupun di beberapa negara untuk menunjukkan sebenarnya kondisi HAM, KH Hasyim Muzadi memastikan dunia tentang toleransi Indonesia yang tidak bisa diragukan sama sekali.
Saya sangat bangga dengan isi pidato beliau. Ada banyak hal yang bisa dibahas lebih mendalam dari pidato tersebut. Tulisan ini bermaksud untuk menyambut pidato Hasyim Muzadi untuk bisa dipergunakan sebagai dasar awal melakukan refleksi tentang realitas kehidupan beragama di Indonesia saat ini.
Saya merasakan kebenaran dalam pidato tersebut terutama menjelaskan tentang “kemuliaan teologi” Islam dalam membangun Indonesia. Bukti Islam kepada Indonesia adalah memberikan Pancasila, sebagai dasar negara bersama, dengan versi yang dapat diterima oleh berbagai pihak di Indonesia.
Kekhususan Islam Indonesia inilah yang perlu dirayakan. Islam yang merahmati semesta (Islam rahmatan lil alamin) yang dirumuskan secara sosiologis oleh Robert Hefner sebagai Islam yang beradab. Islam yang beradab ini dalam perjalanannya ternyata mengalami banyak tekanan pada era regim Orde Baru. Kenetralan agama terjaga dengan sangat hati-hati, sehingga Pancasila seolah-olah terlihat seperti agama.
Reformasi menghadirkan wajah agama yang lain sekali. Agama sebagai pendorong terjadinya Reformasi, turut membawa Indonesia kembali kepada cita-cita bersama menjalankan musyawarah mufakat dengan menjaminkan penuh partisipasi semua warga negara. Keterlibatan agama diterima lagi sebagai berkat.
Akan tetapi tidak dapat dipunggiri, sejak Reformasi, wajah agama di Indonesia berkali-kali teruji.
Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di berbagai tempat yang melibatkan warga sipil beragama dalam aksi-aksi kekerasan seolah-olah menunjukkan bahwa Reformasi memang memerlukan tumbal.
Dalam perjalanannya, daerah-daerah yang terlibat dengan berbagai konflik berbau SARA sebenarnya telah menyebabkan warga masyarakatnya menjadi matang. Mereka dari berbagai agama membangun inisiatif untuk mencari akar permasalahan. Termasuk mereka juga secara bersama-sama mengamankan daerahnya apabila ada kerusuhan yang seolah-olah diprovokasikan dari pihak ketiga. Rakyat sudah dapat membedakan dengan kritis konflik-konflik yang terjadi yang melibatkan agama. Rakyat tidak mau dibodohkan oleh konflik yang dibuat dengan melibatkan agama sebagai penyulutnya.
Tetapi konflik-konflik terus terjadi. Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM, http://www.elsam.or.id/new/index.php), sampai pada laporannya terakhir seperti saya membaca langsung pada websitenya, ada 36 kasus kekerasan yang melibatkan agama. Kekerasan ini terkait dengan pelarangan, penyerangan terhadap rumah-rumah ibadah yang tersebar pada umumnya di 42 tempat sepanjang wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Kasus-kasus inilah yang disinggung oleh KH Hasyim Muzadi sebagai alasan tentang kesulitan yang sama yang terjadi pada daerah-daerah di mana mayoritas warga beragama Kristen. Di contohkan tentang kesulitan pendirian mesjid di Kupang (Batuplat) maupun di Papua. Pada tingkat internasional beberapa negara disebut untuk menunjukkan perbedaan tingkat toleransi dengan yang terjadi di Indonesia.
Penjelasan KH Hazyim Muzadi menyadarkan saya tentang relasi mayoritas dan minoritas sebagai Indonesia yang berpenduduk Muslim, dengan daerah-daerah yang berpenduduk mayoritas non Muslim. Perlu diakui tentang adanya ketegangan ini. Saya ingin merumuskan dulu persoalannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan.
Mengapa dan bagaimana ketegangan ini bisa muncul sebagai alasan pemberlakuan pelarangan pendirian rumah ibadah di daerah-daerah yang mayoritas non Muslim di bagian lain dari Indonesia? Sejauhmana perlarangan ini menyebabkan keterlibatan berbagai kelompok yang bertindak sebagai “polisi” di dalam polisi untuk mengamankan keyakinan masyarakat yang beragama? Bagaimana penyadaran masyarakat dilakukan untuk membuka diri satu terhadap lainnya ketika kesulitan pendirian rumah ibadah dilakukan?
Pertanyaan-pertanyaan ini saya ajukan karena saya mengerti di berbagai tempat ketika kesulitan pelarangan pendirian rumah ibadah misalkan mesjid muncul, lembaga seperti WCRP yang dipimpin oleh KH Hazyim Muzadi melakukan koordinasi dengan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dalam memfasilitasi langsung untuk mengerti latar belakang mengapa ada penolakan-penolakan tersebut.
Pada pihak lain sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di atas juga terkait dengan berbagai masalah sosial lainnya. Tekanan urbanisasi ke kota-kota besar di Indonesia turut mempengaruhi munculnya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat. Perubahan terkait dengan komposisi warga masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis dan agama di suatu tempat. Ruang-ruang sosial yang disebut mayoritas dan minoritas mulai mengalami perubahan juga. Keragamanan terlihat pada masyarakat pendatang yang berpengaruh terhadap penduduk setempat.
Dalam konteks inilah, sangat penting direfleksikan tentang hubungan antara warga pendatang dengan warga setempat. Perlu diakui sering kali warga pendatang membawa berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh warga setempat. Misalkan, sifat-sifat keeklusifan dari warga pendatang bisa menyebabkan munculnya sikap penolakan dari warga setempat. Benar di banyak tempat, dalam relasi tentang pelarangan gereja-gereja, bisa dikatakan komunitas Kristen sepintas lebih berada dari warga sekitarnya, sekaligus tampil sangat arogan dibandingkan dengan mereka yang hidup sederhana. Deretan orang-orang yang beribadah dengan kendaraan mahal bisa menimbulkan kebanggaan pada satu pihak tetapi kecemburuan pada pihak lain. Potensi konflik bisa muncul dari hal ini.
Penjelasan secara sosiologis setidaknya secara sederhana sudah saya jelaskan. Tetapi menurut saya, kajian secara sosiologis perlu diteruskan ke kajian teologi. Hampir dalam berbagai pertemuan, terutama di kalangan akademis, yang terkait dengan kajian teologi suatu agama, diasumsikan bahwa mereka yang terlibat harusnya seorang yang berasal dari agama tersebut. Agama menjadi sangat sakral juga apabila akan dikaji secara akademisi.
Pandangan ini bisa benar, tetapi juga bisa keliru. Kajian akademis pun tidak bisa menghindari dari keobyektifitas dari alur logis pembahasan yang harus dilalui. Sehingga, seorang beragama dalam membahas tentang teologi agamanya juga bisa tampil sangat bias.
Jadi dalam tulisan ini, saya bermaksud memasuki kajian lintas agama tersebut, bukan pertama-tama karena ingin melanggar aturan seperti yang saya gambarkan di atas sebagai suatu asumsi yang diterima di kalangan kajian teologi akademis. Tetapi terutama karena saya merasakan bahwa diskusi tentang agama dalam konteks Indonesia sebaiknya melibatkan umat beragama dari berbagai agama.
Menurut saya, Reformasi telah memulihkan kekuatan Islam sebagai agen perubahan di Indonesia. Saya sangat terpesona dengan semangat “gerakan” yang ada dalam organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Kedua organisasi besar keagamaan, yaitu NU dan Muhammadiah merupakan contoh yang menarik untuk menjelaskan betapa pentingnya organisasi agama yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kekuataan pandangan dari ajaran teologis Islam, telah menyebabkan kedua organisasi agama ini menjadi motor penggerak bagi kehidupan berbangsa di Indonesia. Soekarno adalah seorang yang dibesarkan dikalangan Muhammadiah. Dengan bekal penghayatan agama Islam yang mendalam, Soekarno sadar tentang peran penting agama dalam politik negara. Upayanya dilakukan dengan menemukan kekuatan Islam yang bisa merangkul semua warga masyarakat yang non Muslim di tanah air, bangsa negara yang disebut Indonesia.
Dalam perjalanannya seperti sudah saya singgung di atas, perubahan tentang Islam di Indonesia makin dirasakan, terutama terkait dengan agama dalam konteks pidato KH Hasyim Muzadi. Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Politik Indonesia paska Reformasi mewarnai gerakan politik dunia di mana Indonesia sangat berperan dalam menyumbangkan perdamaian di dunia.
Kesadaran ini sepintas bukan hanya muncul di kalangan bangsa-bangsa dunia yang non muslim tetapi juga diakui oleh negara-negara muslim sedunia. Misalkan dokumen Kesamaan Diantara Kami dan Kamu (A Common Word) juga menyatakan tentang perdamaian dunia sangat ditentukan oleh hubungan di antara Islam dan Kristen. Rujukannya bisa dilihat pada tulisan saya lainnya <http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/05/sebuah-persamaan-di-antara-kami-common.html >
Menanggapi undangan dari A Common Word, sebagai warganegara Indonesia, saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan oleh Indonesia. PGI sudah membahasnya dengan gereja-gereja untuk mendorong terjadinya pemahaman baru tentang tugas bergereja dalam bangsa dan negara. Kesadaran tentang perdamaian bersama sangat mendalam karena tanpa upaya mengerti tentang kehidupan relasi beragama ini, Indonesia akan kehilangan perdamaian yang merupakan dambaan dari ajaran agama-agama besar yang dianut oleh pemeluknya di Indonesia.
Bersambung ke "Bagian kedua: Memahami Toleransi", HAM dan Agama"
<http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/06/bagian-kedua-memahami-toleransi-ham-dan.html>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar