Translate

Selasa, 26 Juni 2012

Dialog Papua-Jakarta: Wacana Alternatif Penyelesaian Konflik di Papua

                              DIALOG PAPUA-JAKARTA: WACANA ALTERNATIF
                                           PENYELESAIAN KONFLIK DI PAPUA
Oleh
                                                                 Erich Kaunang
              
              Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua diharapkan dapat memberikan harapan dan peluang bagi masyarakat Papua untuk dapat menegakkan kembali harkat dan martabat masyarakat Papua. Kehadiran otonomi khusus di Papua diharapkan mampu menyelesaikan segala macama konflik di Papua sehingga hal ini dapat meredam aksi separatis yang sampai saat ini masih dianggap menjadi masalah di Papua. Otonomi khusu yang diberlakukan di Papua diharapkan dapat membawa keadilan bagi masyarakat Papua yang selama ini terabaikan
             Dalam Undang-Undang otonomi khusus, pemerintah Papua diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menjalankan pemerintahannya sendiri dan mengurus sumber pendapatan provinsi Papua secara mandiri pula, tanpa mendapat banyak campur tangan dari pihak pemerintah pusat. Penyelenggaraan pemerintahan di Papua berada dalam kerangka pembagian kekuasaan antara Papua dan pemerintah pusat. Dalam UU otonomi khusus telah ditegaskan bahwa kewenangan Papua meliputi seluruh kewenangan publik, kecuali politik luar negeri, pertahanan, fiskal dan moneter, serta peradilan dan agama. Hal ini berarti dengan diberlakukannya otonomi khusus di Papua, pemerintah daerah Papua memiliki kewenangan penyelenggaraan kepemerintahan secara luas, tetapi Papua tidak berdaulat sebagai layaknya sebuah negara.
            Namun, dalam perkembangannya, penerapan otonomi khusus di Papua ini berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat Papua. Timbul kekecewaan yang begitu besar dalam diri masyarakat Papua ketika melihat proses implementasi otonomi khusus tersebut berjalansangat lamban. Perang kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua masih terjadi. Hal ini menimbulkan sikap saling curiga dan tidak percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua. Implementasi otonomi khusus di Papua berjalan tersendat-sendat karena tidak ada kerjasama yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua dalam proses implementasi otonomi khusus di Papua. Otonomi khusus sampai saat ini belum dapat membantu masyarakat Papua untuk keluar dari penderitaan yang telah lama dialaminya. Kekecawaan masyarakat Papua terhadap implementasi otonomi khusus terlihat dalam aksi masyarakat yang hendak mengembalikan otonomi khusus kepada pemerintah pusat.
           Papua pasca pemberlakuan otonomi khusus masih diliputi oleh masalah kemiskinan, pelanggaran HAM, ketidakadilan, marginalisasi dan diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan. Masalah-masalah ini merupakan faktor utama munculnya gerakan untuk memisahkan diri dari Indonesia dan memperjuangkan Papua sebagai sebuah negara yang merdeka. Logika berpikirnya seperti ini, jika faktor-faktor penyebab timbulnya gerakan separatis masih ada di Papua, maka selama itu pula gerakan separatis akan selalu ada dan berjuang di bumi Papua. Otonomi khusus yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah ini, ternyata sampai sekarang belum dapat mengatasi masalah-masalah tersebut dengan baik.
            Pada masa awal pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beliau pernah menjanjikan untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan di Papua secara mendasar, menyeluruh, dan bermartabat. Presiden SBY kemudian mengungkapkan kebijakan baru yang akan dilakukan bagi Papua. Presiden SBY menegaskan bahwa kebijakan baru itu bertujuan untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan penduduk Papua, pembangunan infrastruktur wilayah, mengembangkan kawasan potensial untuk pertanian, menanggulangi penyakit HIV/AIDS, dan memberikan perhatian khusus kepada orang asli Papua untuk berperanserta dalam pemerintahan, TNI, dan Polri.             
             Usaha yang dilakukan oleh presiden SBY untuk mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian di Papua merupakan suatu langkah maju yang harus segera dilaksanakan. Menurut saya, proses penyelesaian konflik di Papua, khususnya konflik separatis, harus tetap dilaksanakan dalam semangat Undang-Undang otonomi khusus. Jika diamati dengan baik, isi Undang-Undang otonomi khusus hampir sepenuhnya bersentuhan dengan masalah-masalah mendasar yang ada di Papua selama ini. Hanya persoalan besar yang masih terjadi sampai saat ini adalah otonomi khusus itu belum diterapkan secara benar di Papua. Penerapan Undang-Undang otonomi khusus itu harus sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi spirit otonomi khusus. Ada beberapa hal mendesak yang dapat dilakukan agar otonomi khusus Papua dapat diterapkan secara benar, salah satu wacana yang sedang berkembang saat ini, yaitu dialog nasional antara Papua dan Jakarta.  
            Prinsip dasar yang harus dikembangkan dalam dialog Jakarta-Papua adalah bahwa dialog Jakarta-Papua merupakan suatu upaya mencari solusi penyelesaian bersama terhadap berbagai macam konflik di Papua yang tentunya harus saling menguntungkan kedua belah pihak. Dialog Jakarta-Papua tidak berarti ada pihak yang mengalah atau menang terhadap pihak yang lain. Tujuan utama diadakan dialog Jakarta-Papua adalah untuk mendapatkan penyelesaian masalah bersama dengan mengkompromikan perbedaan yang ada sehingga mendapatkan penyelesaian konflik di Papua yang saling menguntungkan kedua belah pihak, bukan suatu penyelesaian konflik yang justru merugikan atau memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain. Dialog Jakarta-Papua dapat dilihat sebagai sebuah bentuk negosiasi untuk mencari jalan keluar bersama terhadap berbagai macam konflik di Papua khususnya konflik separatis.
            Dalam hal dialog Jakarta-Papua ini, pandangan Neles Tebay (seorang tokoh masyarakat Papua) dalam bukunya Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, patut menjadi acuan. Beliau berpendapat bahwa jika pemerintah pusat dan masyarakat Papua ingin segera keluar dari persoalan konflik separatis yang masih terjadi di Papua sampai saat ini maka jalan keluar yang harus ditempuh adalah melalui dialog. Kekerasan bukanlah suatu solusi penyelesaian konflik di Papua. Dialog Jakarta-Papua juga perlu dilakukan karena Undang-Undang otonomi khusus yang diterapkan di Papua belum bisa menyelesaikan masalah di Papua secara komprehensif.[94] 
            Untuk memulai dialog perlu dibangun suatu niat baik antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua (khususnya kelompok perlawanan yang menginginkan kemerdekaan Papua, OPM). Sebelum memulai dialog, kelompok perlawanan (OPM) harus meninggalkan tuntutan kemerdekaan sebagai suatu upaya untuk mendukung jalannya dialog. Di samping itu, pemerintah pusat juga harus menanamkan sikap percaya terhadap masyarakat Papua, khususnya terhadap kelompok perlawanan yang memperjuangkan kemerdekaan Papua. Hal ini tentunya bukanlah suatu hal yang mudah. Oleh karena itu, sangat diperlukan pertemuan awal, informal, antara masing-masing utusan (dari Papua dan Jakarta) untuk membicarakan hal-hal teknis mengenai dialog sebelum dialog itu dimulai. Pertemuan ini sebaiknya diprakarsai oleh pemerintah pusat untuk dapat mendengarkan dan memahami aspirasi dari berbagai kelompok dan masyarakat di Papua.
            Pertemuan informal sebelum dialog dimulai ini sangat penting untuk proses menyamakan persepsi dan proses menumbuhkan kepercayaan antara pemerintah pusat dan Papua. Jika telah dicapai persamaan persepsi dan telah timbul rasa percaya antara kedua belah pihak, maka proses selanjutnya adalah menyusun draf kerangka acuan bersama yang akan menjadi bahan pembicaraan dalam dialog bersama. Menurut Neles Tebay, dialog bersama Jakarta-Papua hendaknya berpegang teguh pada prinsip penyelesaian damai, menyeluruh, dan bermartabat tanpa ada pihak yang merasa dirugikan dan harus ada tindak lanjut yang nyata setelah adanya kesepakatan bersama dalam dialog. Dialog juga harus mempunyai tujuan yang jelas, yaitu perdamaian di Papua.[95]
            Masih adanya sikap pro dan kontra dalam masalah penyelesaian konflik separatis di kalangan pemerintah pusat dan masyarakat Papua hendaknya menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan sebelum dialog dimulai. Pertemuan internal di kalangan pemerintah pusat dan masyarakat Papua perlu diadakan. Masyarakat Papua perlu mengadakan pertemuan internal untuk mencapai pemahaman bersama dalam masyarakat mengenai konsep dialog yang akan dilakukan, dan hal yang paling penting adalah untuk memutuskan secara bersama siapa yang akan menjadi wakil Papua dalam dialog yang akan dilaksanakan. Hal yang sama perlu dilakukan oleh pemerintah pusat agar tercapainya pemahaman bersama mengenai dialog dalam kalangan pemerintah pusat dan juga pemerintah pusat dapat menentukan siapa yang akan menjadi wakil pemerintah dalam dialog yang akan dilaksanakan. Sikap kepemimpinan yang tegas dalam diri kedua belah pihak akan memudahkan proses pemilihan perwakilan yang akan menjadi wakil masing-masing pihak dalam dialog.   
              Dialog Jakarta-Papua merupakan wacana alternatif yang dapat dilaksanakan agar persoalan konflik di Papua, khususnya konflik separatis dapat segera diselesaikan. Dialog Jakarta-Papua merupakan dialog persaudaraan, antara dua saudara yang berasal dari satu ibu pertiwi, Indonesia. Dalam proses dialog yang akan dilaksanakan antara Jakarta dan Papua, tetap dibutuhkan kehadiran pihak ketiga. Namun, kehadiran pihak ketiga ini (pihak netral) hanya sebagai fasilitator atau mediator yang memfasilitasi jalannya dialog tanpa terlibat dalam dialog yang dilaksanakan. Dukungan terhadap proses dialog Jakarta-Papua ternyata mendapat dukungan dari banyak kalangan masyarakat di Papua baik dari lembaga pemerintah (DPRP dan MRP), maupun dari Dewan Adat Papua (DAP). Ketua DAP, Forkorus Yaboisembut pernah mengatakan:”Kami mendukung dialog Jakarta-Papua untuk kemajuan Papua ke depan.”[96]
             Dialog dapat menjadi wacana alternatif penyelesaian konflik di Papua karena dalam dialog dilakukan rekognisi atau pemikiran dan pemahaman yang lebih baru, lebih terfokus dan lebih terarah pada pembangunan masyarakat Papua, khususnya masyarakat asli yang selalu berada dalam ancaman. Rekognisi ini dapat menjadi satu paket dengan strategi kebijakan dan agen politik afirmatif yang secara khusus mendorong dan menciptakan proses sosial agar masyarakat Papua dapat meningkatkan kemampuan dalam perebutan, penguasaan, dan pengelolaan sumber daya simbolik, sosial, budaya, ekonomi dan politik yang diperlukan bagi kesejahteraan masyarakat Papua.[97]         Penegakkan Hak Asasi Manusia di Papua dapat menjadi agenda besar dalam dialog Papua-Jakarta. Dalam Undang-Undang otonomi khusus telah diatur secara khusus mengenai penegakkan Hak Asasi Manusia di Papua pada Bab XII, pasal 45-47. Dalam bagian tersebut telah tertera dengan jelas bahwa pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan penduduk Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di provinsi Papua. Di samping itu, dalam Undang-Undang otonomi khusus juga telah diinstruksikan mengenai pembentukan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di provinsi Papua. Secara khusus dijelaskan mengenai tugas dan fungsi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua dan merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi di Papua.[98]
            Ada dua hal besar yang tertera dalam Undang-Undang otonomi khusus mengenai HAM, yaitu penegakkan HAM di Papua (hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi dan hak-hak sosial budaya) dan pelusuran sejarah politik dan integrasi Papua. Pelurusan sejarah politik dan integrasi di Papua dirasa sangat penting untuk dilakukan karena masalah sejarah politik dan integrasi Papua merupakan salah satu faktor penting timbulnya gerakan perjuangan kemerdekaan di Papua. Ada persepsi yang berbeda antara masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia mengenai sejarah politik dan integrasi Papua. Masyarakat Papua selalu meyakini bahwa Papua telah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961, walaupun belum adanya proklamasi kemerdekaan secara resmi. Namun, di lain pihak, pemerintah Indonesia juga tetap mempertahankan sejarah integrasi Papua ke Indonesia sebagai sesuatu yang sah. Integrasi Papua ke dalam NKRI dinyatakan sah karena Papua merupakan daerah bekas jajahan Belanda dan proses integrasi Papua ke Indonesia telah sesuai dengan New York Agreement dan PEPERA.
            Perbedaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua mengenai sejarah integrasi Papua menyebabkan sampai saat ini perjuangan kemerdekaan Papua masih terus berlangsung di Papua. Dalam perkembangan selanjutnya, pelurusan sejarah Papua merupakan hal yang perlu untuk dilakukan agar hal ini dapat mengakhiri tuntutan kemerdekaan Papua. Namun, pemerintah pusat akan selalu berhati-hati dengan persoalan ini, karena pemerintah pusat masih mempunyai ketakutan bahwa pelurusan sejarah Papua merupakan suatu upaya bangsa Papua untuk memperoleh kemerdekaannya.
             Namun, dari pihak Papua sendiri, pelurusan sejarah itu tidak dimaksudkan agar Papua keluar dari Indonesia. Pelurusan sejarah itu penting untuk menunjukkan bahwa selama ini Indonesia selalu berada dalam posisi yang dominan terhadap Papua, sementara Papua berada dalam posisi didominasi. Situasi demikian telah membawa begitu banyak penderitaan bagi bangsa Papua, di mana dominasi Indonesia di Papua telah menyingkirkan orang-orang asli Papua dari tanahnya yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi orang-orang Papua. Dominasi Indonesia telah membuat orang-orang Papua menjadi terasing di tanahnya sendiri. Pelurusan sejarah itu dianggap penting bagi orang Papua agar Indonesia dapat segera mengakhiri dominasinya di Papua, kemudian memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Papua untuk mengatur dan mengelola Papua demi kesejahteraan masyarakat Papua. Herman Awom (salah satu tokoh Papua) dengan tegas pernah menyatakan: “dalam pelurusan sejarah ini bila titik akhirnya kebenaran ada pada Indonesia, ya kami orang Papua akan mengakui. Tetapi, bila pada akhirnya kebenaran sejarah itu ada pada kami orang Papua, Indonesia mesti mengakui itu. Sehingga tidak pakai istilah keluar dari Indonesia.”[99] Hal ini menjadi jelas, bagi masyarakat Papua, pelurusan sejarah akan membuat masyarakat Papua menjadi “tuan di tanah mereka sendiri”.
              Di samping masalah pelurusan sejarah Papua, penegakkan HAM di Papua sampai saat ini juga masih menjadi perhatian serius. Selama lebih kurang sembilan tahun pemberlakuan Undang-Undang otonomi khusus di Papua, masalah pelanggaran HAM di Papua belum dapat diselesaikan dengan baik. Lembaga-lembaga perwakilan Komnasham di Papua belum dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam dua tahun terakhir (2009 dan 2010) permasalahan HAM di Papua masih terus terjadi. Dalam catatan yang dibuat Kontras, sepanjang tahun 2009 kriminalisasi terhadap warga sipil Papua meningkat. Aparat keamanan dengan mudah mengkriminalisasikan orang-orang yang dituduh sebagai separatis. Kriminalisasi juga terjadi terhadap warga yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, pembubaran demonstrasi damai dengan menggunakan kekerasan, dan puncaknya pada penembakan Kelly Kwalik yang diduga sebagai tokoh pemimpin OPM.
              Di samping itu, masalah pelanggaran HAM tahun 2010 juga masih terus terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Wasior, Wamena, Abepura-Universitas Cendrawasih, Manokwari, penangkapan dan penahanan aktifis prodemokrasi di Papua, ancaman terhadap jurnalis yang semakin meningkat di Papua, dan kasus terakhir yang paling menghebohkan yaitu beredarnya rekaman video penyiksaan warga Papua yang dilakukan oleh aparat militer. Video yang beredar pada akhir tahun 2010 itu telah menjadi perhatian internasional. Beberapa kasus yang terjadi di tahun 2009 dan 2010 mau menunjukkan bahwa pelanggaran HAM di Papua masih terus terjadi walaupun otonomi khusus telah berjalan selama lebih kurang sembilan tahun di Papua.[100]
               Penyelesaian masalah HAM di Papua merupakan hal yang mendesak untuk segera dilakukan. Pelanggaraan HAM yang terjadi di Papua selama ini telah menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Penegakkan HAM di Papua harus segera dilakukan oleh pemerintah jika ingin menyelesaikan segala macam persoalan di Papua. Pemerintah pusat hendaknya serius dalam usaha penegakkan HAM di Papua. Penyelidikan dan pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM di Papua harus segera dilakukan. Sebelumnya, pemerintah juga harus mempunyai sikap berani untuk mengakui bahwa pemerintah bertanggungjawab penuh terhadap berbagai macam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua selama puluhan tahun.
               Selama ini penegakkan HAM di Papua berjalan sangat lamban karena pemerintah selalu mengeluarkan opini pembelaan diri bahwa setiap bentuk kekerasan yang terjadi di Papua (yang dilakukan oleh militer) merupakan suatu tindakan untuk melawan aksi pemberontakan di Papua dan juga untuk tetap mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika pemerintah tetap mempertahankan sikap ini, maka penyelesaian masalah HAM di Papua merupakan suatu mimpi yang sulit untuk diwujudkan. Oleh karena itu, pemerintah pusat hendaknya mempunyai sikap rendah hati untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di Papua dan rendah hati untuk meminta maaf terhadap masyarakat Papua atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan pemerintah di Papua. Di samping itu, pemerintah harus tetap berusaha meningkatkan kinerja dua lembaga penegakkan HAM di Papua (perwakilan Komnasham dan KKR) sesuai dengan amanat yang tertera dalam Undang-Undang otonomi khusus. 
            Wacana dialog Papua-Jakarta tentunya akan mendapat tantangan dari berbagai macam pihak. Hal ini dapat dilihat dari sikap pemerintah Indonesia yang melihat dialog akan menjadi sarana bagi masyarakat Papua untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Bagi sebagian pejabat pemerintah Indonesia wacana dialog Papua-Jakarta identik dengan tuntutan referndum dan Papua merdeka. Sebagian pejabat pemerintah Indonesia menilai bahwa jika dialog Papua-Jakarta dilaksanakan, maka hal ini akan membuka peluang bagi Papua untuk memperoleh kemerdekaannya. Dialog kemudian mengandung makna disintegrasi dari Indonesia. Persepsi dialog ini terbentuk oleh Dialog Nasional a la presiden Habibie pada tahun 1999 dan Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000. Perasaan curiga yang begitu besar terhadap para pemimpin Papua telah membuat sebagian pejabat pemerintah Indonesia menganggap bahwa dialog Papua-Jakarta harus ditolak karena Papua adalah non-negotiable issue.[101]     
            Senada dengan sikap beberapa pejabat pemerintah Indonesia tadi, beberapa pemimpin Papua juga melihat dialog dalam makna konotatif mistis. Sebagian pemimpin Papua melihat bahwa dialog merupakan kata lain dari merdeka. Mereka beranggapan bahwa Dialog Papua-Jakarta dapat menjadi pintu masuk menuju kemerdekaan politik Papua. Dialog dipahami sebagai tujuan yang hasil akhirnya adalah Papua merdeka. Dialog Nasional 1999 menjadi contoh sikap sebagian pemimpin Papua yang memiliki pemahaman bahwa dialog Papua-Jakarta merupakan kesempatan bagi Papua untuk memperoleh kemerdekaannya.[102]
            Setelah Dialog Nasional pada tahun 1999 dilaksanakan, sampai saat ini tidak pernah ada lagi dialog yang dilakukan dalam rangka penyelesaian konflik di Papua. Namun, dialog sebagai salah satu solusi penyelesaian konflik di Papua tetap menjadi impian berbagai pihak di Papua maupun di luar Papua. Penyelesaian masalah di Papua melalui dialog tentunya masih menjadi salah satu hal yang relevan untuk dilakukan. Dialog masih relevan untuk mengurangi perbedaan persepsi, pemahaman, dan kepentingan antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua. Keberhasilan dialog Papua-Jakarta sangat ditentukan oleh semua peserta yang berdialog. Namun, menurut saya pemerintah tetap memegang peran penting dan paling menentukan dalam melaksanakan dan menghasilkan dialog yang berguna bagi kedua belah pihak. Pemerintah hendaknya menjalankan kesepakatan hasil dialog sebagai wujud komitmen politik untuk menyelesaikan konflik di Papua dengan sungguh-sungguh.


[94]Neles Tebay, Dialog Papua-Jakarta: Sebuah Perspektif Papua (Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura), p. 22.

[95]Ibid., p. 22-23.
[97]Yorrys Raweyai, “Dialog Kosntruktif Jakarta-Papua: Menyatukan Visi dan Misi, Membangun Masa Depan Papua, Op. Cit.
[98]Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus di Papua, Op.Cit.
[99]Amirrudin Al Rahab, Op.Cit., p. 78.
[100]Refleksi Penegakan HAM di Era Otonomi Khusus Papua: Kekerasan Masih Terus Berlanjut, http://www.kontras.org/index.php?hal=siaranpers&id=1178, didownload pada tanggal 2 Januari 2010.
.
[101]Muridan S. Widjojo (ed.), Op.Cit., p. 146.
[102]Ibid., p. 147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar