Translate

Sabtu, 30 Juni 2012

UU 21 Tahun 2001: Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 21 TAHUN 2001

TENTANG

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang:

a.         bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b.         bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;

c.         bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;

d.         bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;

e.         bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri;

f.          bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;

g.         bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;

h.         bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

i.           bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;

j.           bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;

k.         bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;

l.           bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang.



Mengingat:

1.         Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 21 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 28;

2.         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3.         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999- 2004;

4.         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan;

5.         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;

6.         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;

7.         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000;

8.         Undang-undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat;

9.         Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907);

10.       Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

11.       Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

12.       Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);

13.       Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

14.       Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 4012);

15.       Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026).



Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



MEMUTUSKAN:



Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA



BAB I

KETENTUAN UMUM



Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

a.         Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b.         Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua;

c.         Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;

d.         Pemerintah Daerah Provinsi Papua adalah Gubernur beserta perangkat lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Papua;

e.         Gubernur Provinsi Papua, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi Papua;

f.          Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua sebagai badan legislatif Daerah Provinsi Papua;

g.         Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini;

h.         Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan;

i.           Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang ini;

j.           Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;

k.         Distrik, yang dahulu dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota;

l.           Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota;

m.        Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Kampung;

n.         Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

o.         Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun;

p.         Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;

q.         Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi;

r.          Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;

s.         Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

t.          Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua;

u.         Penduduk Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.



BAB II

LAMBANG-LAMBANG



Pasal 2

(1)        Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.

(2)        Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

(3)        Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.



BAB III

PEMBAGIAN DAERAH



Pasal 3

(1)        Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom.

(2)        Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik.

(3)        Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain.

(4)        Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota, ditetapkan dengan undang-undang atas usul Provinsi Papua.

(5)        Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Distrik atau Kampung atau yang disebut dengan nama lain, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(6)        Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi.



BAB IV

KEWENANGAN DAERAH



Pasal 4

(1)        Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)        Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang ini.

(3)        Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Perdasus atau Perdasi.

(4)        Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup kewenangan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(5)        Selain kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), Daerah Kabupaten dan Daerah Kota memiliki kewenangan berdasarkan Undang-undang ini yang diatur lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi.

(6)        Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(7)        Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(8)        Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua.

(9)        Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Perdasus.



Bab V

BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN



Bagian Kesatu

Umum



Pasal 5

(1)        Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.

(2)        Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

(3)        MRP dan DPRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.

(4)        Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya.

(5)        Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif.

(6)        Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.

(7)        Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.



Bagian Kedua

Badan Legislatif



Pasal 6

(1)        Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP.

(2)        DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(3)        Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4)        Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(5)        Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab, keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(6)        Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 7

(1)        DPRP mempunyai tugas dan wewenang:

a.         memilih Gubernur dan Wakil Gubernur;

b.         mengusulkan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia;

c.         mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada Presiden Republik Indonesia;

d.         menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur;

e.         membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama dengan Gubernur;

f.          membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur;

g.         menetapkan Perdasus dan Perdasi;

h.         bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua dengan berpedoman pada Program Pembangunan Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi Papua;

i.           memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;

j.           melaksanakan pengawasan terhadap:

1)         pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya;

2)         pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Papua;

3)         pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

4)         pelaksanaan kerja sama internasional di Provinsi Papua.

k.         memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; dan

l.           memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

(2)        Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan



Pasal 8

(1)        DPRP mempunyai hak:

a.         meminta pertanggungjawaban Gubernur;

b.         meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c.         mengadakan penyelidikan;

d.         mengadakan perubahan atas Rancangan Perdasus dan Perdasi;

e.         mengajukan pernyataan pendapat;

f.          mengajukan Rancangan Perdasus dan Perdasi;

g.         mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

h.         mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan perhitungan Anggaran Belanja DPRP sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan

i.           menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP.

(2)        Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 9

(1)        Setiap anggota DPRP mempunyai hak:

a.         mengajukan pertanyaan;

b.         menyampaikan usul dan pendapat;

c.         imunitas;

d.         protokoler; dan

e.         keuangan/administrasi.

(2)        Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 10

(1)        DPRP mempunyai kewajiban:

a.         mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b.         mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan;

c.         membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

d.         meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; dan

e.         memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

(2)        Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Bagian Ketiga

Badan Eksekutif



Pasal 11

(1)        Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur.

(2)        Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur.

(3)        Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 12

Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:

a.         orang asli Papua;

b.         beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c.         berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara;

d.         berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;

e.         sehat jasmani dan rohani;

f.          setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;

g.         tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan

h.         tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.



Pasal 13

Persyaratan dan tata cara persiapan, pelaksanaan pemilihan, serta pengangkatan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 14

Gubernur mempunyai kewajiban:

a.         memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b.         mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta memajukan demokrasi;

c.         menghormati kedaulatan rakyat;

d.         menegakkan dan melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan;

e.         meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;

f.          mencerdaskan kehidupan rakyat Papua;

g.         memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

h.         mengajukan Rancangan Perdasus, dan menetapkannya sebagai Perdasus bersama-sama dengan DPRP setelah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan MRP

i.           mengajukan Rancangan Perdasi dan menetapkannya sebagai Perdasi bersama-sama dengan DPRP; dan

j.           menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua secara bersih, jujur, dan bertanggung jawab.



Pasal 15

(1)        Tugas dan wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah adalah:

a.         melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja sama serta penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan pemerintahan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota;

b.         meminta laporan secara berkala atau sewaktu-waktu atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota;

c.         melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan pengangkatan, dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas laporan pertanggungjawaban Bupati/Walikota;

d.         melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama Presiden;

e.         menyosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan peraturan perundang-undangan di Provinsi Papua;

f.          melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi Papua;

g.         membina hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta antarpemerintah Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

h.         memberikan pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah.

(2)        Pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.



Pasal 16

Wakil Gubernur mempunyai tugas:

a.         membantu Gubernur dalam melaksanakan kewajibannya;

b.         membantu mengoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Provinsi; dan

c.         melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Gubernur.



Pasal 17

(1)        Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya.

(2)        Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, jabatan Gubernur dijabat oleh Wakil Gubernur sampai habis masa jabatannya.

(3)        Dalam hal Wakil Gubernur berhalangan tetap, jabatan Wakil Gubernur tidak diisi sampai habis masa jabatannya.

(4)        Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap, maka DPRP menunjuk seorang pejabat pemerintah Provinsi yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Gubernur sampai terpilih Gubernur yang baru.

(5)        Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris Daerah menjalankan tugas Gubernur untuk sementara waktu.

(6)        Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DPRP menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan.



Pasal 18

(1)        Dalam menjalankan kewajiban selaku Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRP.

(2)        Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3)        Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

(4)        Tata cara pertanggungjawaban Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(5)        Gubernur mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah di Provinsi Papua sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

(6)        Gubernur, bersama-sama dengan aparat Pemerintah yang ditempatkan di daerah atau aparat Provinsi, melaksanakan kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).

(7)        Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Keempat

Majelis Rakyat Papua



Pasal 19

(1)        MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.

(2)        Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun.

(3)        Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasus.

(4)        Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 20

(1)        MRP mempunyai tugas dan wewenang:

a.         memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP;

b.         memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP;

c.         memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;

d.         memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua;

e.         memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan

f.          memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.

(2)        Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.



Pasal 21

(1)        MRP mempunyai hak:

a.         meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua;

b.         meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua;

c.         mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua; dan

d.         menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP.

(2)        Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.



Pasal 22

(1)        Setiap anggota MRP mempunyai hak:

a.         mengajukan pertanyaan;

b.         menyampaikan usul dan pendapat;

c.         imunitas;

d.         protokoler; dan

e.         keuangan/administrasi.

(2)        Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.



Pasal 23

(1)        MRP mempunyai kewajiban:

a.         mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;

b.         mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan;

c.         membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua;

d.         membina kerukunan kehidupan beragama; dan

e.         mendorong pemberdayaan perempuan.

(2)        Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.



Pasal 24

(1)        Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan.

(2)        Tata cara pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasi berdasarkan Peraturan Pemerintah.



Pasal 25

(1)        Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan.

(2)        Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3)        Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB VI

PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN



Pasal 26

(1)        Perangkat Provinsi Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan Provinsi.

(2)        Perangkat MRP dan DPRP dibentuk sesuai dengan kebutuhan.

(3)        Pengaturan tentang ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi berdasarkan peraturan perundang-undangan.



Pasal 27

(1)        Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)        Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat.

(3)        Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Perdasi.



BAB VII

PARTAI POLITIK



Pasal 28

(1)        Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.

(2)        Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3)        Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.

(4)        Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.



BAB VIII

PERATURAN DAERAH KHUSUS,PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN

KEPUTUSAN GUBERNUR



Pasal 29

(1)        Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP.

(2)        Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.

(3)        Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

(4)        Tata cara pembuatan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 30

(1)        Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

(2)        Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perdasus, dan Perdasi.



Pasal 31

(1)        Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur, diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Provinsi.

(2)        Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi.

(3)        Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disosialisasikan oleh Pemerintah Provinsi.



Pasal 32

(1)        Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc.

(2)        Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur dengan Perdasi.



BAB IX

KEUANGAN



Pasal 33

(1)        Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2)        Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.



Pasal 34

(1)        Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi:

a.         pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota;

b.         dana perimbangan;

c.         penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus;

d.         pinjaman Daerah; dan

e.         lain-lain penerimaan yang sah.

(2)        Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

a.         pajak Daerah;

b.         retribusi Daerah;

c.         hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan

d.         lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

(3)        Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus dengan perincian sebagai berikut

a.         Bagi hasil pajak:

1)         Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);

2)         Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen); dan

3)         Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).

b.         Bagi hasil sumber daya alam:

1)         Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

2)         Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

3)         Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);

4)         Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan

5)         Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).

c.         Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

1)         Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua;

2)         Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan

3)         Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

4)         Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun;

5)         Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam;

6)         Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.

7)         Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal.



Pasal 35

(1)        Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.

(2)        Provinsi Papua dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.

(3)        Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP.

(4)        Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

(5)        Total kumulatif pinjaman yang dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) besarnya tidak melebihi persentase tertentu dari jumlah penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(6)        Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini diatur dengan Perdasi.



Pasal 36

(1)        Perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua ditetapkan dengan Perdasi.

(2)        Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi.

(3)        Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi, perubahan dan perhitungannya serta pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Perdasi.



Pasal 37

Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari Provinsi Papua disampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP setiap tahun anggaran.



BAB X

PEREKONOMIAN



Pasal 38

(1)        Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.

(2)        Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.



Pasal 39

Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilaksanakan di Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif.



Pasal 40

(1)        Perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati.

(2)        Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian yang bersangkutan.



Pasal 41

(1)        Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan beroperasi di wilayah Provinsi Papua.

(2)        Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.



Pasal 42

(1)        Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat.

(2)        Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat.

(3)        Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat.

(4)        Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.



BAB XI

PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT



Pasal 43

(1)        Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.

(2)        Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3)        Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4)        Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

(5)        Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.



Pasal 44

Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



BAB XII

HAK ASASI MANUSIA



Pasal 45

(1)        Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua.

(2)        Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 46

(1)        Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

(2)        Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a.         melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

b.         merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.

(3)        Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.



Pasal 47

Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memosisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.



BAB XIII

KEPOLISIAN DAERAH PROVINSI PAPUA



Pasal 48

(1)        Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2)        Kebijakan mengenai keamanan di Provinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur.

(3)        Hal-hal mengenai tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat, termasuk pembiayaan yang diakibatkannya, diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

(4)        Pelaksanaan tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur.

(5)        Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua.

(6)        Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(7)        Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.



Pasal 49

(1)        Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua.

(2)        Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua.

(3)        Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Provinsi Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4)        Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.

(5)        Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di Provinsi Papua, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur.



BAB XIV

KEKUASAAN PERADILAN



Pasal 50

(1)        Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)        Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.



Pasal 51

(1)        Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(2)        Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3)        Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(4)        Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang beperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.

(5)        Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.

(6)        Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

(7)        Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(8)        Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.



Pasal 52

(1)        Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia.

(2)        Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

(3)        Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.



BAB XV

KEAGAMAAN



Pasal 53

(1)        Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.

(2)        Setiap penduduk Provinsi Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Pasal 54

Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban:

a.         menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

b.         menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;

c.         mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan

d.         memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.



Pasal 55

(1)        Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

(2)        Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.



BAB XVI

PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN



Pasal 56

(1)        Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua.

(2)        Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi.

(3)        Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.

(4)        Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua.

(5)        Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan.

(6)        Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan dengan Perdasi.



Pasal 57

(1)        Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.

(2)        Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.

(3)        Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan.

(4)        Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi.



Pasal 58

(1)        Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua.

(2)        Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan.

(3)        Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.



BAB XVII

KESEHATAN



Pasal 59

(1)        Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk.

(2)        Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota berkewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk.

(3)        Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.

(4)        Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

(5)        Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.



Pasal 60

(1)        Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

(2)        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.



BAB XVIII

KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN



Pasal 61

(1)        Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua

(2)        Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.

(3)        Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur.

(4)        Penempatan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi.



Pasal 62

(1)        Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

(2)        Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.

(3)        Dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua.

(4)        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.



BAB XIX

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN LINGKUNGAN HIDUP



Pasal 63

Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.



Pasal 64

(1)        Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

(2)        Untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengelola kawasan lindung.

(3)        Pemerintah Provinsi wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

(4)        Di Provinsi Papua dapat dibentuk lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan.

(5)        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.



BAB XX

SOSIAL



Pasal 65

(1)        Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial.

(2)        Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat.

(3)        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi;



Pasal 66

(1)        Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua.

(2)        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.



BAB XXI

PENGAWASAN



Pasal 67

(1)        Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggung jawab, dilakukan pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial.

(2)        Pelaksanaan pengawasan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.



Pasal 68

(1)        Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi melalui pemberian pedoman, pelatihan, dan supervisi.

(2)        Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur.

(3)        Pemerintah berwenang melakukan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4)        Pemerintah dapat melimpahkan wewenang kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota.



BAB XXII

KERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN



Pasal 69

(1)        Provinsi Papua dapat mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan kebutuhan.

(2)        Perselisihan di antara para pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan sesuai dengan pilihan hukum yang diperjanjikan.



Pasal 70

(1)        Perselisihan antara Kabupaten/Kota di dalam Provinsi Papua, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah Provinsi.

(2)        Perselisihan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah.



BAB XXIII

KETENTUAN PERALIHAN



Pasal 71

(1)        Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil Walikota, dan DPRD Kota di Wilayah Provinsi Papua yang telah diangkat sebelum Undang-undang ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya.

(2)        Semua kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang-undangan tetap berlaku hingga ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.



Pasal 72

(1)        Gubernur dan DPRP untuk pertama kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah.

(2)        Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah usulan diterima.



Pasal 73

Dalam rangka melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, Pemerintah Provinsi Papua berhak menerima dan mengelola sumber daya meliputi pembiayaan, personil, peralatan, termasuk dokumennya (P3D) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 74

Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini.



Pasal 75

Peraturan pelaksanaan yang dimaksud Undang-undang Otonomi Khusus ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan.



BAB XXIV

KETENTUAN PENUTUP



Pasal 76

Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.



Pasal 77

Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 78

Pelaksanaan Undang-undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-undang ini berlaku.



Pasal 79

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





Disahkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 21 November 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 21 November 2001

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

BAMBANG KESOWO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar