UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG
OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.
bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan
Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup
dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil
pembangunan secara wajar;
c.
bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dalam undang-undang;
d.
bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui
penetapan daerah Otonomi Khusus;
e.
bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah
salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku
bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat
istiadat, dan bahasa sendiri;
f.
bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi
rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat,
belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya
menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua,
khususnya masyarakat Papua;
g.
bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan
alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan
antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar
penduduk asli Papua;
h.
bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara
Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di
Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua,
diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
i.
bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud
didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan
terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia,
supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan
kewajiban sebagai warga negara;
j.
bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan
masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan
terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang
berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli
Papua;
k.
bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah
Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian
nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD
Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang
Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;
l.
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a,
b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang.
Mengingat:
1.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal
18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 21 ayat (1),
Pasal 26, dan Pasal 28;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
3.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Tahun 1999- 2004;
4.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan;
5.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
6.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional;
7.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga
Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2000;
8.
Undang-undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang
Pembentukan Propinsi Irian Barat;
9.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang
Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di
Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907);
10. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
11. Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3848);
12. Undang-undang
Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);
13. Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
14. Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
4012);
15. Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026).
Dengan Persetujuan
Bersama:
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a.
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang
diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang
diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
dan hak-hak dasar masyarakat Papua;
c.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas
Presiden beserta para Menteri;
d.
Pemerintah Daerah Provinsi Papua adalah Gubernur
beserta perangkat lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Papua;
e.
Gubernur Provinsi Papua, selanjutnya disebut
Gubernur, adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab
penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Papua dan sebagai wakil
Pemerintah di Provinsi Papua;
f.
Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya
disebut DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua sebagai
badan legislatif Daerah Provinsi Papua;
g.
Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut
MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang
tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan
pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan
pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini;
h.
Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol
kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan
lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan;
i.
Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya
disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka
pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang ini;
j.
Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya
disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka
pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
k.
Distrik, yang dahulu dikenal dengan Kecamatan,
adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota;
l.
Kampung atau yang disebut dengan nama lain
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
daerah Kabupaten/Kota;
m.
Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut
dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang
terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui
oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah
Kampung;
n.
Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut HAM,
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
o.
Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan
dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara
turun-temurun;
p.
Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli
Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu
dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;
q.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak
tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan
dipertahankan, serta mempunyai sanksi;
r.
Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat
asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat
serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di
antara para anggotanya;
s.
Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai
oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah,
hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
t.
Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari
rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua
dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh
masyarakat adat Papua;
u.
Penduduk Provinsi Papua, yang selanjutnya
disebut Penduduk, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku
terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
BAB II
LAMBANG-LAMBANG
Pasal 2
(1)
Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara
dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.
(2)
Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah
sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang
Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan
sebagai simbol kedaulatan.
(3)
Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan.
BAB III
PEMBAGIAN DAERAH
Pasal 3
(1)
Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom.
(2)
Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah
Distrik.
(3)
Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang
disebut dengan nama lain.
(4)
Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau
penggabungan Kabupaten/Kota, ditetapkan dengan undang-undang atas usul Provinsi
Papua.
(5)
Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau
penggabungan Distrik atau Kampung atau yang disebut dengan nama lain,
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(6)
Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan
untuk kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul
Provinsi.
BAB IV
KEWENANGAN DAERAH
Pasal 4
(1)
Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta
kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan
khusus berdasarkan Undang-undang ini.
(3)
Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Perdasus atau Perdasi.
(4)
Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
mencakup kewenangan sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
(5)
Selain kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (4), Daerah Kabupaten dan Daerah Kota memiliki kewenangan berdasarkan
Undang-undang ini yang diatur lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi.
(6)
Perjanjian internasional yang dibuat oleh
Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan
setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(7)
Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang
saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur dengan
keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(8)
Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah dalam
hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua.
(9)
Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Perdasus.
Bab V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1)
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas
DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.
(2)
Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di
Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi
kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan
terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan
hidup beragama.
(3)
MRP dan DPRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.
(4)
Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur
beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya.
(5)
Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan
DPRD Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai
badan eksekutif.
(6)
Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas
Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
(7)
Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan
Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
Bagian Kedua
Badan Legislatif
Pasal 6
(1)
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan
oleh DPRP.
(2)
DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan
diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3)
Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4)
Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat)
kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
(5)
Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan
tanggung jawab, keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(6)
Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
(1)
DPRP mempunyai tugas dan wewenang:
a.
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur;
b.
mengusulkan pengangkatan Gubernur dan Wakil
Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia;
c.
mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau
Wakil Gubernur kepada Presiden Republik Indonesia;
d.
menyusun dan menetapkan arah kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah serta tolok
ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur;
e.
membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah bersama-sama dengan Gubernur;
f.
membahas rancangan Perdasus dan Perdasi
bersama-sama dengan Gubernur;
g.
menetapkan Perdasus dan Perdasi;
h.
bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Pola
Dasar Pembangunan Provinsi Papua dengan berpedoman pada Program Pembangunan
Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi Papua;
i.
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
Pemerintah Daerah Provinsi Papua terhadap rencana perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan daerah;
j.
melaksanakan pengawasan terhadap:
1)
pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan
Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya;
2)
pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah Provinsi Papua;
3)
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah;
4)
pelaksanaan kerja sama internasional di Provinsi
Papua.
k.
memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima
keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; dan
l.
memilih para utusan Provinsi Papua sebagai
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
(2)
Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
Pasal 8
(1)
DPRP mempunyai hak:
a.
meminta pertanggungjawaban Gubernur;
b.
meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang diperlukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c.
mengadakan penyelidikan;
d.
mengadakan perubahan atas Rancangan Perdasus dan
Perdasi;
e.
mengajukan pernyataan pendapat;
f.
mengajukan Rancangan Perdasus dan Perdasi;
g.
mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan
perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
h.
mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan
perhitungan Anggaran Belanja DPRP sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah; dan
i.
menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP.
(2)
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 9
(1)
Setiap anggota DPRP mempunyai hak:
a.
mengajukan pertanyaan;
b.
menyampaikan usul dan pendapat;
c.
imunitas;
d.
protokoler; dan
e.
keuangan/administrasi.
(2)
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 10
(1)
DPRP mempunyai kewajiban:
a.
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b.
mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
serta menaati segala peraturan perundang-undangan;
c.
membina demokrasi dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
d.
meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah
berdasarkan demokrasi ekonomi; dan
e.
memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima
keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut
penyelesaiannya.
(2)
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Badan Eksekutif
Pasal 11
(1)
Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang
Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur.
(2)
Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang
disebut Wakil Gubernur.
(3)
Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur
adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
a.
orang asli Papua;
b.
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau
yang setara;
d.
berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
e.
sehat jasmani dan rohani;
f.
setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
g.
tidak pernah dihukum penjara karena melakukan
tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
h.
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara
karena alasan-alasan politik.
Pasal 13
Persyaratan dan tata cara persiapan, pelaksanaan pemilihan,
serta pengangkatan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur diatur lebih
lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Gubernur mempunyai kewajiban:
a.
memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
b.
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia serta memajukan demokrasi;
c.
menghormati kedaulatan rakyat;
d.
menegakkan dan melaksanakan seluruh peraturan
perundang-undangan;
e.
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
rakyat;
f.
mencerdaskan kehidupan rakyat Papua;
g.
memelihara ketenteraman dan ketertiban
masyarakat;
h.
mengajukan Rancangan Perdasus, dan menetapkannya
sebagai Perdasus bersama-sama dengan DPRP setelah mendapatkan pertimbangan dan
persetujuan MRP
i.
mengajukan Rancangan Perdasi dan menetapkannya
sebagai Perdasi bersama-sama dengan DPRP; dan
j.
menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan
sesuai dengan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua secara bersih, jujur, dan
bertanggung jawab.
Pasal 15
(1)
Tugas dan wewenang Gubernur selaku wakil
Pemerintah adalah:
a.
melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan
memfasilitasi kerja sama serta penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan
pemerintahan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota;
b.
meminta laporan secara berkala atau
sewaktu-waktu atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota kepada
Bupati/Walikota;
c.
melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap
proses pemilihan, pengusulan pengangkatan, dan pemberhentian Bupati/Wakil
Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas laporan
pertanggungjawaban Bupati/Walikota;
d.
melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota atas nama Presiden;
e.
menyosialisasikan kebijakan nasional dan
memfasilitasi penegakan peraturan perundang-undangan di Provinsi Papua;
f.
melakukan pengawasan atas pelaksanaan
administrasi kepegawaian dan pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi
Papua;
g.
membina hubungan yang serasi antara Pemerintah
dan Pemerintah Daerah serta antarpemerintah Daerah dalam rangka menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
h.
memberikan pertimbangan dalam rangka
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah.
(2)
Pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Wakil Gubernur mempunyai tugas:
a.
membantu Gubernur dalam melaksanakan
kewajibannya;
b.
membantu mengoordinasikan kegiatan instansi
pemerintahan di Provinsi; dan
c.
melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan
oleh Gubernur.
Pasal 17
(1)
Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah
5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya.
(2)
Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, jabatan
Gubernur dijabat oleh Wakil Gubernur sampai habis masa jabatannya.
(3)
Dalam hal Wakil Gubernur berhalangan tetap,
jabatan Wakil Gubernur tidak diisi sampai habis masa jabatannya.
(4)
Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan
tetap, maka DPRP menunjuk seorang pejabat pemerintah Provinsi yang memenuhi
syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Gubernur sampai terpilih Gubernur yang
baru.
(5)
Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum
dilakukan, Sekretaris Daerah menjalankan tugas Gubernur untuk sementara waktu.
(6)
Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur
berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DPRP menyelenggarakan
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga)
bulan.
Pasal 18
(1)
Dalam menjalankan kewajiban selaku Kepala Daerah
dan Kepala Pemerintahan Provinsi, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRP.
(2)
Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRP
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung
jawab kepada Presiden.
(4)
Tata cara pertanggungjawaban Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(5)
Gubernur mengoordinasikan dan mengawasi
pelaksanaan kewenangan Pemerintah di Provinsi Papua sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).
(6)
Gubernur, bersama-sama dengan aparat Pemerintah
yang ditempatkan di daerah atau aparat Provinsi, melaksanakan kewenangan yang
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
(7)
Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Majelis Rakyat Papua
Pasal 19
(1)
MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang
terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan
yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.
(2)
Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun.
(3)
Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasus.
(4)
Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1)
MRP mempunyai tugas dan wewenang:
a.
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap
bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP;
b.
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap
calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah
Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP;
c.
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap
Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;
d.
memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan
terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh Pemerintah maupun
Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus
yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua;
e.
memperhatikan dan menyalurkan aspirasi,
pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada
umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut
penyelesaiannya; dan
f.
memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur,
DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan
perlindungan hak-hak orang asli Papua.
(2)
Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.
Pasal 21
(1)
MRP mempunyai hak:
a.
meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang
asli Papua;
b.
meminta peninjauan kembali Perdasi atau
Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang
asli Papua;
c.
mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada
DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi Papua; dan
d.
menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP.
(2)
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1)
Setiap anggota MRP mempunyai hak:
a.
mengajukan pertanyaan;
b.
menyampaikan usul dan pendapat;
c.
imunitas;
d.
protokoler; dan
e.
keuangan/administrasi.
(2)
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP, dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
Pasal 23
(1)
MRP mempunyai kewajiban:
a.
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
b.
mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan;
c.
membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan
adat dan budaya asli Papua;
d.
membina kerukunan kehidupan beragama; dan
e.
mendorong pemberdayaan perempuan.
(2)
Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
Pasal 24
(1)
Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota
masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan.
(2)
Tata cara pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Perdasi berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
(1)
Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh
pengesahan.
(2)
Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri
Dalam Negeri.
(3)
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN
Pasal 26
(1)
Perangkat Provinsi Papua terdiri atas
Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya, yang dibentuk
sesuai dengan kebutuhan Provinsi.
(2)
Perangkat MRP dan DPRP dibentuk sesuai dengan
kebutuhan.
(3)
Pengaturan tentang ketentuan pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Perdasi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
(1)
Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan
kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur
penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
daerah setempat.
(3)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Perdasi.
BAB VII
PARTAI POLITIK
Pasal 28
(1)
Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai
politik.
(2)
Tata cara pembentukan partai politik dan
keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Rekrutmen politik oleh partai politik di
Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.
(4)
Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada
MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.
BAB VIII
PERATURAN DAERAH KHUSUS,PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN
KEPUTUSAN GUBERNUR
Pasal 29
(1)
Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP.
(2)
Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur.
(3)
Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan
MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.
(4)
Tata cara pembuatan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 30
(1)
Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.
(2)
Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perdasus, dan
Perdasi.
Pasal 31
(1)
Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur yang
bersifat mengatur, diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi.
(2)
Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur
mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah
Provinsi.
(3)
Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disosialisasikan oleh Pemerintah Provinsi.
Pasal 32
(1)
Dalam rangka meningkatkan efektivitas
pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi
Hukum Ad Hoc.
(2)
Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur
dengan Perdasi.
BAB IX
KEUANGAN
Pasal 33
(1)
Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP
dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2)
Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi
Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 34
(1)
Sumber-sumber penerimaan Provinsi,
Kabupaten/Kota meliputi:
a.
pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota;
b.
dana perimbangan;
c.
penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus;
d.
pinjaman Daerah; dan
e.
lain-lain penerimaan yang sah.
(2)
Sumber pendapatan asli Provinsi Papua,
Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.
pajak Daerah;
b.
retribusi Daerah;
c.
hasil perusahaan milik Daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan
d.
lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
(3)
Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua,
Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus dengan perincian sebagai berikut
a.
Bagi hasil pajak:
1)
Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan
puluh persen);
2)
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
3)
Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua
puluh persen).
b.
Bagi hasil sumber daya alam:
1)
Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
2)
Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
3)
Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh
persen);
4)
Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh
puluh persen); dan
5)
Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh
persen).
c.
Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
1)
Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi
Papua;
2)
Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan
Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana
Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan
kesehatan; dan
3)
Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi
Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan
Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan
pembangunan infrastruktur.
4)
Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku selama
25 (dua puluh lima) tahun;
5)
Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan
dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi 50%
(lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 50% (lima puluh
persen) untuk pertambangan gas alam;
6)
Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.
7)
Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara
Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang
dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang
tertinggal.
Pasal 35
(1)
Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar
negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.
(2)
Provinsi Papua dapat melakukan pinjaman dari
sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.
(3)
Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi
Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP.
(4)
Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi
Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(5)
Total kumulatif pinjaman yang dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) besarnya tidak melebihi persentase tertentu dari jumlah
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(6)
Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini diatur dengan Perdasi.
Pasal 36
(1)
Perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Provinsi Papua ditetapkan dengan Perdasi.
(2)
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
penerimaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b angka 4)
dan angka 5) dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15%
(lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi.
(3)
Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Provinsi, perubahan dan perhitungannya serta
pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Perdasi.
Pasal 37
Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan
negara bukan pajak yang berasal dari Provinsi Papua disampaikan kepada
Pemerintah Provinsi dan DPRP setiap tahun anggaran.
BAB X
PEREKONOMIAN
Pasal 38
(1)
Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan
bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk
menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua,
dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.
(2)
Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang
memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak
masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang
pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Pasal 39
Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya
alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilaksanakan di Provinsi Papua dengan
tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan
kompetitif.
Pasal 40
(1)
Perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah
dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap
berlaku dan dihormati.
(2)
Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan
dengan ketentuan Undang-undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak
mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian
yang bersangkutan.
Pasal 41
(1)
Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan
penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan
swasta yang berdomisili dan beroperasi di wilayah Provinsi Papua.
(2)
Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi
Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.
Pasal 42
(1)
Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan
dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
adat dan/atau masyarakat setempat.
(2)
Penanam modal yang melakukan investasi di
wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat
setempat.
(3)
Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah
Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat
setempat.
(4)
Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat
agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.
BAB XI
PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT
Pasal 43
(1)
Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui,
menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat
adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
(2)
Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1)
meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3)
Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati
penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut
tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4)
Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan
warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui
musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun
imbalannya.
(5)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan
mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak
perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang
memuaskan para pihak yang bersangkutan.
Pasal 44
Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan
intelektual orang asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 45
(1)
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk
Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak
Asasi Manusia di Provinsi Papua.
(2)
Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi
Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
(1)
Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan
bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2)
Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk
pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia; dan
b.
merumuskan dan menetapkan langkah-langkah
rekonsiliasi.
(3)
Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan
pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan
usulan dari Gubernur.
Pasal 47
Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan,
Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan
perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memosisikannya
sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
BAB XIII
KEPOLISIAN DAERAH PROVINSI PAPUA
Pasal 48
(1)
Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan
oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(2)
Kebijakan mengenai keamanan di Provinsi Papua
dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur.
(3)
Hal-hal mengenai tugas kepolisian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat,
termasuk pembiayaan yang diakibatkannya, diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
(4)
Pelaksanaan tugas kepolisian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi
Papua kepada Gubernur.
(5)
Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi
Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
persetujuan Gubernur Provinsi Papua.
(6)
Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Provinsi
Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7)
Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua
bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas
pembinaan kepolisian di Provinsi Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 49
(1)
Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan
tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan
oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum,
budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua.
(2)
Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara
dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum
muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua.
(3)
Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang berasal dari Provinsi Papua dilaksanakan secara
nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Penempatan perwira, bintara dan tamtama
Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas
Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan
sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.
(5)
Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan
kepolisian di Provinsi Papua, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur.
BAB XIV
KEKUASAAN PERADILAN
Pasal 50
(1)
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua
dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum
adat tertentu.
Pasal 51
(1)
Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di
lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan
mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(2)
Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3)
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa
perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau
yang beperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan
adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang
berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di
lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang
sengketa atau perkara yang bersangkutan.
(5)
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan
hukuman pidana penjara atau kurungan.
(6)
Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana
yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
(7)
Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan
pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan
persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya
yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat
terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(8)
Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan
untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam
memutuskan perkara yang bersangkutan.
Pasal 52
(1)
Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan
Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia.
(2)
Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi
Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan
Gubernur.
(3)
Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di
Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.
BAB XV
KEAGAMAAN
Pasal 53
(1)
Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan
kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
(2)
Setiap penduduk Provinsi Papua berkewajiban
menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta
mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di
Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 54
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban:
a.
menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan
melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
b.
menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh
umat beragama;
c.
mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
d.
memberikan dukungan kepada setiap lembaga
keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat
mengikat.
Pasal 55
(1)
Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh
Pemerintah dalam rangka pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan
secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
(2)
Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan
perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada
Gubernur Provinsi Papua.
BAB XVI
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 56
(1)
Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di
Provinsi Papua.
(2)
Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang
otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang,
jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan
tinggi dan Pemerintah Provinsi.
(3)
Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
(4)
Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan
pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang
bermutu di Provinsi Papua.
(5)
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat
memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan.
(6)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan dengan Perdasi.
Pasal 57
(1)
Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina,
dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.
(2)
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya
kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi
persyaratan.
(3)
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disertai dengan pembiayaan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi.
Pasal 58
(1)
Pemerintah Provinsi berkewajiban membina,
mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna
mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua.
(2)
Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,
bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan.
(3)
Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.
BAB XVII
KESEHATAN
Pasal 59
(1)
Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan
standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk.
(2)
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/ Kota berkewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit
endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup
penduduk.
(3)
Setiap penduduk Papua berhak memperoleh
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan beban masyarakat
serendah-rendahnya.
(4)
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah Provinsi memberikan peranan
sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan
dunia usaha yang memenuhi persyaratan.
(5)
Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan
kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
serta dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
Perdasi.
Pasal 60
(1)
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program-program
perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan
lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi
persyaratan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
BAB XVIII
KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 61
(1)
Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan
pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di
Provinsi Papua
(2)
Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan,
peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor
pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.
(3)
Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam
rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan
dengan persetujuan Gubernur.
(4)
Penempatan penduduk sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi.
Pasal 62
(1)
Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan
yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat
dan kemampuannya.
(2)
Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan
dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di
wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.
(3)
Dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh
keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
BAB XIX
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 63
Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman
pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat,
dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Pasal 64
(1)
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan
pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan
ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber
daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya,
dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak
masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.
(2)
Untuk melindungi keanekaragaman hayati dan
proses ekologi terpenting, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengelola kawasan
lindung.
(3)
Pemerintah Provinsi wajib mengikutsertakan
lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup.
(4)
Di Provinsi Papua dapat dibentuk lembaga
independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
BAB XX
SOSIAL
Pasal 65
(1)
Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk
Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial.
(2)
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya
kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi;
Pasal 66
(1)
Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan
penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan
terabaikan di Provinsi Papua.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
BAB XXI
PENGAWASAN
Pasal 67
(1)
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggung jawab, dilakukan
pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial.
(2)
Pelaksanaan pengawasan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
Pasal 68
(1)
Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi melalui pemberian pedoman,
pelatihan, dan supervisi.
(2)
Pemerintah berwenang melakukan pengawasan
represif terhadap Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur.
(3)
Pemerintah berwenang melakukan pengawasan
fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Pemerintah dapat melimpahkan wewenang kepada
Gubernur selaku Wakil Pemerintah untuk melakukan pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota.
BAB XXII
KERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 69
(1)
Provinsi Papua dapat mengadakan perjanjian kerja
sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan Provinsi lain di Indonesia
sesuai dengan kebutuhan.
(2)
Perselisihan di antara para pihak yang
mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan sesuai
dengan pilihan hukum yang diperjanjikan.
Pasal 70
(1)
Perselisihan antara Kabupaten/Kota di dalam
Provinsi Papua, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah Provinsi.
(2)
Perselisihan antara Kabupaten/Kota dengan
Provinsi, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah.
BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 71
(1)
Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati,
Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil Walikota, dan DPRD Kota di
Wilayah Provinsi Papua yang telah diangkat sebelum Undang-undang ini disahkan,
tetap menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya.
(2)
Semua kewenangan Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang-undangan tetap berlaku hingga
ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini.
Pasal 72
(1)
Gubernur dan DPRP untuk pertama kalinya menyusun
syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP untuk diusulkan
kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah.
(2)
Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah
usulan diterima.
Pasal 73
Dalam rangka melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur
dalam Undang-undang ini, Pemerintah Provinsi Papua berhak menerima dan
mengelola sumber daya meliputi pembiayaan, personil, peralatan, termasuk
dokumennya (P3D) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap
berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 75
Peraturan pelaksanaan yang dimaksud Undang-undang Otonomi
Khusus ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan.
BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 76
Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan
atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh
kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan
perkembangan di masa datang.
Pasal 77
Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh
rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
Pelaksanaan Undang-undang ini dievaluasi setiap tahun dan
untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-undang
ini berlaku.
Pasal 79
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 21 November
2001
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 21 November
2001
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 135