Translate

Jumat, 19 April 2013

Merumuskan Kemiskinan Belajar dari Papua-Aceh-Yogya: Bagian Kedua


Merumuskan Kemiskinan Belajar dari Papua-Aceh-Yogya: Bagian Kedua
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Bicara tentang kemiskinan seperti memasuki lorong gelap gendang telinga manusia. Ada banyak bagian berliku-liku yang harus diteteskan obat supaya telinga tidak sakit. Rongga adalah jalan menuju sebagian dari segmen hidup di dalam  telinga. Salah perawatan, telinga bisa kehilangan fungsinya.  Diri sendiri tidak bisa melihat rongga telinga, tetapi hanya dapat merasakan telinga, sedang sakit atau tidak.  Seseorang lain, dokter, perawat atau petugas salon yang bisa membantu melihat dan mengeluarkan bongkahan lilin penutup gendang telinga yang mengganggu pendengarannya.  


Kemiskinan ketika dialami seseorang diterima dengan sikap tawakal dan bertahan, yang bisa terlihat pada kebiasaan perilaku diri dan kelompok dalam hidupnya sehari-hari. Sangking terbiasa hidup miskin, seseorang dan komunitasnya tampil terlalu kuat sehingga tidak merasakan sedang hidup dalam kemiskinan. Mereka yang hidup di sekitar pesisir pantai, di pinggiran sungai, di lereng-lereng gunung dan lembah di pedalaman berbeda-beda dalam menghayati “kemiskinan” yang sedang membelitnya.


Diperlukan ukuran yang diberikan dari luar komunitas untuk menjelaskan kondisi standar dari keberadaan kehidupan seseorang atau kelompok.  Misalkan di era 70 an di Indonesia, ukuran kemiskinan mulai diperkenalkan oleh Prof Sayogyo terkait dengan garis kecukupan gizi. Patokannya rata-rata manusia Indonesia memerlukan 2.100 kilokalori per orang per hari yang dikonsumsikan dari asupan beras sebagai ukurannya. 


Dalam rangka program MDGs (Millenium Development Goals), PBB menetapkan ukuran mengatasi kemiskinan kronik di dunia, yaitu pemenuhan pendapatan seseorang per hari $1 untuk bisa memenuhi kebutuhan primairnya.  Kedua ukuran ini menjadi problematis  ketika ditempatkan pada pertimbangan topografi dan lokasi sebagai prasyaratan pengentasan kemiskinan. Merujuk pada fenomena di daerah pedalaman di Papua, sumber gizi tersedia pada tanaman tetapi tanpa pengetahuan gizi masyarakat tidak berubah untuk meningkatkan kesehatannya.  

Jadi faktor pertama dalam mengerti kriteria kemiskinan, sebenarnya bukan pada standar pencapaian produk yang menjaminkan pembelanjaan kebutuhan sehari-hari seseorang dalam keluarga. Kriteria pemenuhan asupan gizi berbasis konsumsi beras sebagai ukuran juga problematis karena pola diet warga asli Papua adalah sagu dan umbi-umbian. Pertimbangan lain yaitu lokasi dan topografi harus menjadi alasan yang sangat penting untuk mengerti jejaring kehidupan yang mencekam seseorang dengan kelompoknya sehingga hidup dalam keadaan yang disebut miskin. Selain fenomena keterisolasian fisik, keterasingan seseorang dan kelompok dari  ide-ide pemikiran kreatif yang mendorong pada proses penciptaan harus bisa menjadi ukuran dalam merumuskan kemiskinan.


Jadi apa itu kemiskinan? Kemiskinan adalah kondisi hidup yang sangat minimalis, sangat sederhana dijalani seseorang, sekelompok orang maupun masyarakat tertentu karena keterbatasan ketersediaan sumberdaya, aksesitas pengolahannya, rendahnya kapabilitas dan kapasitas mengembangkan diri yang  bisa mendorong terjadinya tukar menukar ide, pengetahuan, produksi dan jasa dengan sesama. Kondisi hidup minimalis ini menyebabkan keterbatasan masyarakat miskin mengakses pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan perumahan. Pemenuhan kebutuhan primair masyarakat miskin tanpa melengkapi mereka dengan kemampuan memproduksi bisa menyebabkan terjadinya stagnasi atau kepasifan dalam menanggapi dan menyelesaikan alternatif solusi persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapinya. 


Kepasifan atau stagnasi seringkali diidentikan dengan kemalasan.  Padahal keduanya berbeda. Kemalasan adalah keenganan untuk memproses atau melakukan sesuatu karena berbagai pertimbangan yang dibuat secara sadar. Misalkan, seseorang memutuskan untuk bersantai sesudah menghabiskan waktu yang lama mengerjakan sesuatu. Kemalasan sebagai sikap hidup bisa terjadi sebagai bagian dari reaksi masa bodoh. Ketika berbagai upaya dilakukan tetapi menghasilkan kesia-siaan, maka orang cenderung membangun sikap malas.


Tetapi kepasifan cenderung terjadi karena ketidaksadaran terhadap ide-ide lain di luar pembendaharaan pengetahuan yang dimiliki seseorang atau kelompok. Kepasifan terlihat dari kelambatan tanggapan seseorang dalam pengembangan ide-ide baru yang kreatif sehingga bisa mendorong proses penciptaan suatu karya yang dapat dipertukarkan dengan sesama.Kepasifan bisa mendorong pada kemandegan dalam berkarya. Penyebabnya bukan karena kemalasan tetapi dikarenakan pelemahan kemampuan mencipta sehingga tidak terekspos dengan pembiasaan berpikir untuk memecahkan keterbatasan diri atau kelompok dalam mengolah SDA yang melimpah atau berkekurangan.  


Ketidakmampuan mencipta bisa menimbulkan perasaan tidak berdaya yang tampil dalam wujud penyerahan diri atau tawakal sebagai tanda dari sikap bertahan. Dampaknya bisa positif seperti ketahanan untuk terus mencipta dalam cara dan pengetahuan yang ada sekalipun tingkat modifikasi tidak berkembang dengan optimal. Sisi negatifnya terjadi ketika kemandegan bersifat menetap. Munculnya rasa frustasi yang mendorong seseorang atau kelompok memilih menarik diri dari tanggungjawab untuk mengembangkan produk ciptaannya yang bisa ditawarkan kepada sesama. Kefrustasian akan diperparah apabila semua aksesitas untuk memproses penyegaran pengetahuan tidak tersedia. Struktur yang tidak adil bisa menjadi pemicu terhadap pelemahan kemampuan mencipta dan berkarya.


Kefrustasian kolektif bisa menyebabkan kemandegan dalam penciptaan yang berpengaruh terhadap pelambatan perkembangan budaya.  Pengertian budaya bukan dimaksud sebagai perkembangan kebiasaan bermalas-malasan, tetapi kemandegan dari proses penciptaan karya. Peran penting budaya adalah menjaminkan penerusan proses produksi dan reproduksi yang bisa dicapai apabila kapasitas dan kapabilitasnya terbentuk dari proses belajar yang mendalam. Proses kemandegan budaya bisa terjadi sebagai bagian dari sistem pengembangan SDM yang tidak merata.


Perumusan definisi dan pengertian kemiskinan di atas dapat dipergunakan untuk mengerti tentang perbedaan dinamika dan mobilitas penduduk yang hidup di pesisir pantai, di sekitar sungai dan di pedalaman tampil berbeda-beda. Penyebaran penduduk Papua yang lebih banyak di daerah pedalaman menyebabkan adanya perbedaan dalam dinamika ekonomi yang mendorong kepada seseorang dalam kelompok memacu dirinya secara bersama mengatasi ketergantungan hidup semata-mata pada alam. 


Kedinamisan penduduk Papua di sekitar pantai berbeda karena aksesitasnya untuk berhubungan dengan kelompok-kelompok yang lain dalam pertukaran produksi yang dilakukan secara bersama. Kedinamisan interaksi penduduk di pantai yang mendirikan kota-kota penting di Papua, misalkan Jayapura, Biak, Serui, Merauke, Sorong dsbnya.  Penduduk Papua di daerah pedalaman terbatas dalam interaksi dengan dunia luar kecuali aksesitas  transportasi yang mahal bisa diatasi. 


Fenomena yang sama bisa dilihat dalam konteks masyarakat di Aceh sebagai daerah dengan penduduk yang tinggal di sepanjang pantai, dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedalaman. Sejak jaman sebelum kolonialisasi Eropa, warga Aceh di daerah pantai adalah pedagang ampuh yang memperluas jejaring pasar dari percampuran geneologi pendatang  dengan warga lokal. Mereka ini adalah etnis Aceh dengan mobilitas tinggi sehingga terkesan mendominasi etnis lain di sana, misalkan  etnis Gayo yang lebih banyak mendiami daerah pedalaman.


Di Yogyakarta sebagai daerah di pedalaman, di jalur selatan juga mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi pada alam. Daerah dengan aksesitas air yang tersedia tampil lebih makmur, seperti Sleman, Bantul, sebagian Gunung Kidul dan sebagian dari Kulon Progo. Tetapi di daerah dengan aksesitas air rendah mendorong masyarakat meninggalkan desanya untuk mencari penghidupan di lokasi lain seperti nampak pada desa-desa di Gunung Kidul sebelah selatan dan di Kulon Progo bagian selatan. Gunung Kidul mengekspor tenaga kerja untuk bekerja di bidang jasa dengan tingkatan pengupahan yang belum memungkinkan pemenuhan seluruh kebutuhan kehidupan minimalis plus yang meliputi primair, sekunder dan tertair.

Realitas kepasifan karena keterisolasian fisik maupun keterasingan pengetahuan yang terjadi pada masyarakat miskin harus ditransformasikan dengan menghadirkan pendidikan yang mencerdaskan warga sehingga mereka bisa terinspirasi untuk menggali sumber pengetahuan yang ada di sekitarnya. Pengembangan pengetahuan berlangsung secara bertahap dalam interaksi dengan ide-ide pengelolaan SDA yang diperjumpakan dari kelompok-kelompok lain di luar dirinya untuk peningkatan kualitas hidup bersama. Dalam mencapainya sangat penting disediakan model pendidikan yang mengkombinasikan kebijakan dan praktek lokal.


Misalkan “noken” yang diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO perlu dimasukkan dalam kurikulum lokal sehingga bisa dipelajari oleh anak-anak Papua. Pengajaran desain dan kreatifitas berpikir bisa membantu pengembangan fungsi “noken” yang menjawab kebutuhan luas masyarakat modern di sekitar Papua maupun di seluruh dunia.  Pelestarian bahan produksi noken juga perlu dilakukan dengan menanam pohon “momo” yang dipergunakan sebagai bahan dasar pembuatan anyaman “noken”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar