Translate

Jumat, 12 April 2013

Dari Preman ke Kesatria Presiden SBY Mendongkrak Popularitasnya. Yogya Sasaran Operasi Intelejen!




Dari Preman ke Kesatria Presiden SBY Mendongkrak Popularitasnya
Yogya Sasaran Operasi Intelejen!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Koran Kedaulatan Rakyat, Kamis, 11 April 2013 memuat headline dengan gambar Mayjen TNI Hardiono Sarono dan Pangdam IV Diponegoro Mayjen TNI Sunindya dipanggul prajurit. Penghormatan diberikan prajurit sesudah pelepasan jabatan di Makodam IV Diponegoro. Mengaku hormat, bangga kepada 11 prajurit TNI yang melakukan penyerangan di Lapas Cebongan, Sarono mengatakan: “Saya pertaruhkan karier, pangkat dan jabatan saya untuk 11 prajurit itu. Inilah bentuk solidaritas yang tak bisa digoyakkan. Jangankan karier, nyawa pun saya pertaruhkan untuk prajurit saya”. (KR, hal.1). Kebanggaan Sarono adalah kesehatian  korps (esprit de corps). Kebanggaan Sarono menyetarakan perjuangan prajurit setara dengan pahlawan. 

Di awal publikasi kasus penyerangan di Lapas Cebongan, pengumuman penembakan yang dilakukan oleh Sarono sehingga berbuntut pada mutasi dirinya sebagai Pangdam IV Diponegoro, digunakan kalimat penyerang telah menghabisi empat preman. Pernyataan Sarono tentang “preman” untuk menjelaskan kejadian penyerangan di Lapas Cebongan segera mendapat simpati dari warga masyarakat. Kemudian sesudah Tim Investigasi TNI AD mengumumkan hasil penyelidikannya didapatkan ternyata penyerangnya adalah 11 prajurit Kopassus.  Sejak itu prajurit adalah pahlawan preman. Di Yogya tiba-tiba dipasang spanduk “Sejuta Preman Mati Rakyat Yogya Tidak Rugi”. Spanduk yang terpasang di beberapa sudut kota Yogya tidak tahu siapa yang buat, siapa yang pasang dan mewakili rakyat Yogya yang mana. Spanduk ini telah membuat masyarakat Yogya simpatik dengan Kopassus.  

Sangat mudah menarik simpatik rakyat, SBY yang partainya sedang  tergoyak dengan skandal korupsi, sedang memainkan simpatik rakyat. Ironisnya yang diserang adalah rakyat Yogya yang dianggap sebagai pusat pendidikan, terutama barometer perdamaian di Indonesia (Adeney-Risakotta, KR, 2011).  Gampang menggoncangkan  rasa aman masyarakat. Preman menjadi kata kunci dari sublimasi kekerasan yang bisa dihadirkan segera di depan mata akibat akumulasi pengalaman di tempat lain. Istilah preman menjadi tumpukan untuk berbagai aksi brutal kelompok-kelompok yang menyerang warga ketika dihadirkan untuk pembenaran dalam aksi senjata yang terjadi di Lapas Cebongan malahan mendapat dukungan dari warga masyarakat. 

Ketika masyarakat sipil menuntut penyelidikan penyerangan, mendesak publikasi hasilnya secara terbuka, Presiden SBY tampil memuji pengumuman penyelidikan yang cepat dilakukan oleh Tim Investigasi TNI AD karena jiwa kesetiakawanan 11 prajurit yang mengaku perbuatannya. SBY memilih kata”kesatria” untuk masuk dalam narasi Mayjen Sarono di awal pernyataan aksi penyerangan yang menewaskan preman. Sarono dan SBY keduanya sedang memainkan emosi warga masyarakat, mengangkat keegoisan manusia sehingga melupakan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kewajaran (fairness) yang melandasi kesamaan hak untuk semua orang di hadapan hukum.

Ketika aksi anti preman dilakukan, saya sambil membonceng seorang teman dengan  motor melewati unjuk rasa tersebut.  Terbersit pertanyaan dalam diri saya. Siapakah mereka? Apakah mereka itu sungguh-sungguh adalah warga biasa yang mengaku dirinya korban dari preman yang menggelisahkan Yogyakarta, atau mereka adalah preman dalam tipe lain? Kegundahan saya ini seperti diketahui teman seboncengan yang pada saat sama berkomentar: “Protes anti preman diorganiser oleh preman. Di Yogya sedang ada kontes pencarian pendukung.  Setiap penguasa punya pendukung. Mereka adalah preman yang berkompetisi di berbagai tingkatan. Makin tinggi kekuasaan, premannya juga makin canggih”.

Celotehan teman yang lugu ini mengingatkan saya tentang aksi-aksi preman di Jakarta, di Ketapang sebelum kemudian tiba-tiba preman-preman yang sama muncul di Ambon menjelang pecahnya kerusuhan berdarah di tahun 1998. Siapakah yang menghadirkan preman-preman tsb di Ambon, sampai sekarang masih misteri? Tetapi yang jelas, percecokan yang terjadi antara dua orang, seorang supir dengan seseorang penumpang di terminal Mardika dengan sangat cepat merambat menjadi kerusuhan yang melibatkan saudara-saudara Muslim dan Kristiani di Ambon (Adeney-Risakotta, 2005). Pengalaman ini sangat penting diangkat untuk dihayati bersama sehingga warga masyarakat bisa lebih mewaspadai berbagai kejadian kekerasan yang tiba-tiba muncul.

Aksi-aksi kekerasan ternyata ditumpangi dengan kepentingan politik, termasuk yang aksi kekerasan penyerangan Lapas di Cebongan. Kepentingan politik adalah mendokrak popularitas SBY karena ternyata warga Yogya masih membutuhkan sang kesatria untuk melenyapkan preman. Padahal premanisme adalah hasil dari kompetisi berbagai elite politik yang merekruit preman kemudian akan melenyapkannya apabila mengancam diri mereka. Jadi berhati-hatilah warga Yogyakarta supaya tidak terjebak masuk dalam skenario kekerasan yang sedang dirasuki secara alamiah ke dalam emosi warga masyarakat! Demi kenyamanan Yogya marilah mewaspadai berbagai bentuk kekerasan yang mengatasnamakan jiwa kesatria yang ternyata menyesatkan warga masyarakat karena sedang mengaburkan nilai perhargaan mendasar manusia di hadapan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar