Translate

Sabtu, 20 April 2013

Bersama R.A.Kartini, Menarilah Mengembalikan Kebajikan Pengetahuan Sejati!


Anak-anak menari di Pondok Tali Rasa
Bersama R.A.Kartini, Menarilah Mengembalikan Kebajikan Pengetahuan Sejati!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Pernahkah anda membayangkan tentang perayaan hari Pahlawan sejajar dengan hari-hari keagamaan? Hari ini hari Kartini, 21 April 2013. Setiap kali perayaan Kartini, segera terbersit dalam diri saya, seorang Kartini yang cerdas. Diluar konstruksi bikinan Orde Baru, Kartini sebagai seorang “Ibu” sehingga perayaannya ditandai dengan berkebayaan, Kartini untuk saya adalah seorang pemikir. 


Jadi memperingati hari Kartini membawa saya berkelana kembali ke alam Kartini. Seolah-olah semangat Kartini kembali lagi, sedang bercakap-cakap dengan saya. Inilah kesetaraan perayaan Kartini dengan hari-hari keagamaan. Kartini memenuhi hidupnya dengan nilai-nilai kehidupan. Nilai keadilan, keberanian, kesetaraan, keberpihakan, kepedulian, keinginantahuan tinggal bersisian di dalam diri Kartini dengan nilai-nilai kerukunan, kesopanan, keramahtamahan, kepatuhan, keiklasan, kemandirian dan pertanggungjawaban seorang manusia di hadapan Sang Khalik.


Buku Habis Gelap Terbit Terang adalah jendela saya untuk setiap kali kembali ke alam Kartini, mengerti pergolakannya kemudian membawanya ke dalam jaman saya. Pemikiran Kartini melintasi waktu sekalipun dirinya sudah selesai. Itulah sebabnya saya ingin berkeluh kesah kepada Kartini karena saya tahu Kartini akan sangat senang berdialog, berdiskusi. Kartini juga ingin tahu apa yang terjadi dengan Indonesia. Istilah berdialog, berdiskusi mungkin telah berat untuk menjelaskan sebenarnya yang saya inginkan adalah berkeluh kesah kepada Kartini. Selayaknya seperti Kartini yang berkeluh kesah dengan teman-teman penanya. Saya juga ingin melakukan yang sama sekarang.


Saya ingin memberitahu tentang kedukaan bangsa pada saat perayaan hari Kartini. Keprihatinan dari penyelenggaraan hari Ujian Nasional (UN) untuk siswa/i  sangat tepat diteruskan kepada Kartini sebagai seorang pejuang pendidikan. Pendidikan sebagai jendela kepada perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik dari seseorang anak manusia, ternyata sekarang  ini di Indonesia lebih banyak dipraktekkan sebagai anjang berpolitik. Pendidikan menjadi rebutan partai-partai untuk mendudukan wakilnya yang diharapkan bisa mengendalikan konstruksi jati diri anak-anak bangsa.


Keterpesonaan, daya tarik yang menyisir perhatian anak-anak bangsa terhadap pendidikan seolah-olah tidak berhasil dihadirkan sebagai inti pendidikan nasional.  Pendidikan dihadapi sebagai beban, karena tugas-tugas pembelajaran yang harus dikerjakan oleh peserta didik tanpa mengerti relevansi kerja kerasnya untuk hidupnya sekarang dan masa depan. Contohnya saat ini, Ujian Nasional yang amburadul, harus menyebabkan siswa/i menunggu berjam-jam sebelum soal ujian tersedia. Di seluruh Indonesia, pelaksanaan Ujian Nasional yang tidak serentak, telah menuai permasalahan karena penantian dalam waktu yang lama bagi siswa/i terhadap ketersediaan  soal ujian. Pemusatan pelibatgandaan soal UN di Jakarta telah menyebabkan petaka kepada anak-anak bangsa di seluruh Indonesia.


Mengapakah UN harus dikontrol dari Jakarta? Engkau, Kartini, pasti segera bertanya!  Pak Menteri sudah menjawab, katanya pemusatan cetak soal UN di Jakarta  untuk menghindari kebocoran UN. Sayang, menghindari dari satu jebakan sekarang malahan Kementrian Pendidikan sedang terperosok pada kebijakan yang dibuatnya sendiri. Bisakah engkau, Kartini memberitahu saya,  ada apa dengan bangsa ini? 


Engkau, Kartini pasti gamang mengetahui alasannya kegagalan produksi dan distribusi soal UN karena pelaksanaan tender cetakan soal-soal UN yang dilakukan tidak adil penuh siasat kecurangan. Kongkalikong kebijakan yang mencari cela terhadap pelibatgandaan keuntungan malahan berbuah malapetaka. Sekarang para pejabat ketakutan karena pendidikan yang dijaminkan oleh negara seolah-olah sedang dipermain-mainkan.


Tukar ganti kurikulum nasional belum selesai diperdebatkan, sekarang Indonesia berhadapan dengan kegagalan UN. Ketakutan kegagalan UN yang semula pada kebocoran soal malahan sekarang terjebak pada pengamanan kebijakan sentralisasi yang sedang tersandung pada kepentingan penggelolaan dana cetak soal UN. Engkau, Kartini, mungkinkah bertanya, apakah yang ada dalam pemikiran pembuat kebijakan Pendidikan?  Kegairahan Presiden SBY untuk menggali ilmu ternyata belum bisa diturunkan kepada sistem yang dipimpinnya. Kementrian Pendidikan sebagai pengelola dengan anggaran besar seolah-olah lumpuh berhadapan dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri.


Memikirkannya malahan membuat engkau Kartini puyeng! Saya juga ingin menghindari memikirkan kesembrawutan pengelolaan kebijakan pendidikan di negeri ini. Mungkin saya banyak berangan-angan terhadap cara mengajar yang menimbulkan kegairahan, keterpesonaan dari peserta didik. Menghadirkan cara belajar yang dikangenin oleh siswa/i, mahasiswa/i, perempuan akar rumput dan anak-anak adalah “my passion”.  Saya tahu engkau, Kartini mewarisi “passion” itu kepada saya. 


Engkau, Kartini juga telah menginspirasikan begitu banyak guru-guru terbaik yang pernah lahir dari bumi Indonesia. Guru-guru yang memberikan waktu untuk meluaskan pengetahuannya sendiri di atas “ilmu spesifik” yang diajarkannya supaya membuka wawasan siswa/i sehingga tertarik untuk memasuki misteri ilmu pengetahuan. Mereka ini, guru-guru sedang disia-siakan, dipermainkan oleh Kementrian Pendidikan karena tukar pasang kebijakan kurikulum. Puncak kesengsaraan guru-guru adalah saat ini, penantian soal-soal UN, penyelesaian pelaksanaan UN yang melelahkan dari penantian soal-soal yang lambat tiba di daerah-daerah.


Keresahan terhadap kebijakan pendidikan mungkin akan menghasilkan apatisme dari peserta didik. Saya tahu “keresahan” ini berbeda dengan yang engkau, Kartini perlihatkan  pada jamanmu. Engkau, Kartini resah karena ketidakcocokan antara realitas yang dihadapi dengan ide-ide perjuangan yang diterima dalam kesadaran nilai. Misalkan realitas perempuan yang terbelakang pada saat itu, sehingga mendorong engkau, Kartini untuk mendirikan sekolah keputrian kepada mereka. Engkau bahkan memberi waktu mengajarkan mereka yang bisa berbahasa lisan tetapi tidak menulis yang dikatakannya. 


Dalam setiap kata-kata yang engkau, Kartini pilih untuk mengajar, ada rahasia yang engkau bukakan kepada mereka. Engkau, Kartini, memperkenalkan huruf sekaligus menjelaskan konsep dengan cara yang mempesonakan sampai mata indah dan mata hati dari perempuan-perempuan muda terbelalak dan tersentuh. Mereka tertawa bersamamu dirimu, Kartini.


Mereka bisa membayangkan tugas-tugas seorang ibu ada dalam kata “ibu, tetapi juga dari caramu mengajar, mereka mengenal sisi “ibu” yang cerdas ada pada dirinya sendiri. Engkau, Kartini, mengalirkan keyakinan baru dalam cara yang santun sekaligus kritis mengamalkan ajaran tradisi tentang “sorga di bawah telapak kaki ibu”. Mereka tahu, dalam kata “ibu”, sikap ketulusan adalah kekuatan yang menggetarkan untuk memelihara semangat anggota keluarga, termasuk anak-anak bangsa sehingga tidak gampang menyerah kepada keegoisan diri. 


Mereka mengerti dari kata “ibu”, ada proses yang harus dilewati setiap anak manusia. Sikap kesabaran muncul sebagai jawaban dari perjalanan ketekunan, berulang-ulang kali melakukan sesuatu sampai berhasil dengan diikuti sikap menunggu melihat buah keberhasilan sendiri tanpa cepat-cepat mencari jalan pintas. Mereka makin mengerti, dalam “ibu” tidak ada kepasifan, stagnasi tetapi kehidupan yang terus mengalir.


Engkau, Kartini sudah datang melawat saya di pagi ini. Engkau, Kartini telah menunjukkan rahasia kehidupan ada pada kata “ibu”. Manusia yang dilahirkan dari rahim perempuan, dikawal juga sang ibu sampai anak-anak bangsa mencapai cita-citanya setinggi gunung Merapi. Engkau, Kartini, mengajarkan sikap tapa dalam kata “ibu”, sehingga perjalanan meraih cita-cita dilakukan dalam kebersahajaan yang membebaskan.


Menarilah dalam kepedulian dengan sesama. Menarilah dalam pembebasan penggalian rahasia kehidupan dari lorong terang pengetahuan yang keluar dari kata “ibu”. Menarilah, engkau, Kartini bersama saya sampai semua anak-anak bangsa diangkat dari keputusasaan mentransformasikan keegoisan pemimpin bangsa mengkontruksikan pendidikan pembodohan yang sedang menjebak diri mereka sendiri. 


Menarilah, menarilah, engkau, Kartini bersama terang ilahi yang tetap ada di balik kelabu semesta membungkus duka perjalanan kebijakan pendidikan di negeri ini. Saya menari sampai engkau, Kartini menghilang, memberi istirahat kepada anak-anak bangsa menemukan jalannya kembali kepada kebajikan pengetahuan sejati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar