Translate

Rabu, 17 April 2013

Memperbandingkan Papua-Aceh-Yogyakarta: Bagian Pertama



Petisi Warganegara NKRI untuk Papua (Morning News, 18 April 2013).

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Memperbandingkan Papua-Aceh-Yogyakarta: Bagian Pertama

Sebagai daerah dengan otonomi khusus, Papua sangat penting dibandingkan dengan Aceh dan Yogyakarta. Baru-baru ini, Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk Semua merilis artikel berjudul “Premanisme dan Busung Lapar: Aib Pemerintah dan Kelas Menengah”. Argumentasinya, terkait dengan kejadian luar biasa terjadi di Yogyakarta yaitu penyerangan Lapas di Cebongan oleh Kopassus sehingga memunculkan gerakan anti premanisme yang terkesan digiring untuk memecah belah warga masyarakat. Sementara kematian busung lapar di Papua sekalipun dalam jumlah rendah merupakan bagian dari bencana nasional yang harusnya mendorong perhatian pemerintah RI untuk mengatasi keterisolasian tanpa fasiltitas mendasar, kesehatan dan pendidikan untuk masyarakat di daerah pertambangan di pegunung Tambrauw. Baik premanisme maupun busung lapar tampil menguatkan menunjukkan kecenderungan kelas menengah maupun pemerintah dalam penyelesaiannya dilakukan dengan pembasmian, penyingkiran terhadap kedua fenomena sosial ini karena dianggap sampah dalam masyarakat.

Untuk mengerti lebih mendalam pandangan-pandangan kelas menengah terkait dengan keberadaan Papua, maka menarik memperhatikan dua cara berpikir yang merepresentasikan perbedaan titik berangkat. Pertama, pandangan berdasarkan argumentasi berbasis budaya bahwa kemiskinan di Papua disebabkan karena kemalasan orang asli Papua. Pandangan ini bisa dilihat pada pendapat yang disampaikan oleh Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI periode 2004-2009. Sementara pandangan berbeda, berbasis kemiskinan sebagai penyebab dari kegagalan struktur, sehingga menyebabkan munculnya pemiskinan di Papua, bisa dilihat dalam argumentasi yang disampaikan oleh Andreas Harsono seorang aktivis HAM yang sejak lama meneliti tentang Papua. Kedua pandangan ini mengalir dalam kedirian pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia.

Mengawali diskusi berseri mendatang yang akan dirilis oleh Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk Semua, pagi ini diterbitkan kembali publikasi dari Voice of America berbahasa Indonesia yang menerbitkan artikel dengan judul “Meskipun Berstatus Otonomi, Papua Berbeda dengan Aceh”  yang dirilis pada hari Rabu, 17 April 2013.

Berita selengkapnya bisa dilihat pada tulisan di bawah ini atau dapat diakses langsung ke link VOA Indonesia;

Meskipun Berstatus Otonomi, Papua Berbeda dengan Aceh
Oleh Brian Padden

Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, adalah perantara perjanjian daerah otonomi Aceh tahun 2005. Namun, ia memperingatkan agar jangan berharap ia akan memainkan peran serupa di Papua, yang memperoleh status daerah otonomi tahun 2001 setelah negosiasi yang melibatkan tiga presiden di Indonesia.
Ia mengatakan, "Papua sudah mendapatkan kesepakatan sepuluh tahun lalu. Jadi sudah begitu banyak diskusi dan dialog. Ketika itu Soeharto, Habibie dan Gus Dur menjadi presiden, dan akhirnya kita sepakat untuk memberi status daerah otonomi khusus."
Namun, pemberontakan separatis Papua masih belum reda. Bulan Oktober, para aktivis merilis video tindakan keras polisi dalam sebuah rapat gerakan separatis Papua yang berlangsung damai. Polisi itu termasuk dalam pasukan yang terdiri dari 30.000 polisi dan tentara yang ditempatkan di Papua.
Meskipun polisi setempat kini menjaga keamanan di Aceh, pasukan keamanan dari luar Papua tampak menegakkan keamanan di provinsi Papua dan dipandang oleh banyak orang sebagai kekuatan pendudukan.
Andreas Harsono, seorang peneliti untuk Human Rights Watch mengatakan pemerintah Indonesia mempertegas kesan itu dengan membatasi kegiatan partai-partai politik lokal. "Salah satu perbedaan utama adalah Aceh memiliki partai-partai politik lokal. Di Papua tidak ada. Jika ada partai politik lokal, penduduk dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan mengendalikan para politisi mereka. Di Papua, hal itu tidak ada," ujar Harsono.
Meskipun Jusuf Kalla berpandangan Papua merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia, seperti kebanyakan rakyat Indonesia lainnya, ia berbicara tentang penduduk Papua yang memiliki budaya berbeda, di mana etos kerjanya buruk dan membuat mereka tergantung pada bantuan dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Ia mengatakan, "Karena semua yang mereka perlukan berasal dari luar daerah. Mereka membutuhkan jalan, mereka mendapat kontraktor dari Jawa atau Sulawesi, sekolah-sekolah dibangun oleh orang Bugis, beras dan barang-barang toko semuanya berasal dari luar."
Ia mengatakan ini menjelaskan mengapa Papua memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Harsono dari organisasi Human Rights Watch tidak sependapat dan mengajukan argumen bahwa aksi pemogokan buruh di tambang emas dan tembaga terbesar di dunia sebagai gambaran bagaimana Papua tidak memperoleh bagian kekayaan dari sumber daya alam mereka. Ia mengatakan stereotip yang mengatakan penduduk Papua malas tidak hanya salah, tapi tidak manusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar