Translate

Selasa, 16 April 2013

Premanisme: Preman dan Perlente?

Premanisme: Preman dan Perlente?
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Preman adalah ucapan gaul untuk “freeman”.  Istilah ini sangat macho, tetapi bisa juga digunakan untuk menunjuk kepada perempuan. Sebagai istilah, preman menjadi terkenal sesudah peristiwa penyerangan Lapas di Cebongan Sleman. Sejatinya, preman sudah lama ada dalam masyarakat Yogyakarta. Istilahnya bukan preman tetapi galih-galih, jagoan, atau bandar yaitu mereka yang biasa menguasai areal tertentu seperti pasar, menerima setoran  ekstra dari pemilik-pemilik kios, sekalipun sudah ada pungutan resmi dari pengelola pasar.  Fungsi mereka ada mengamankan lokasi sehingga ada kenyaman bagi penjual dan pembeli.

Saya ingat dulu pernah, anjing kesayangan terlepas dan keluar halaman tanpa sepengetahuan siapapun, kemudian kami menghubungi seorang pemuda, sahabat kami. Pemuda ini tersenyum ketika mendengar cerita kami tentang anjing yang sedang jalan-jalan tanpa permisi, sudah menghilang kira-kira dua jam lalu. Kurang dari tiga jam kemudian, pemuda ini sudah kembali dengan anjing kami. Kami sangat senang dan berterima kasih dengannya. Sampai sekarang pemuda ini tidak pernah bercerita di mana menemukan anjing tsb. Ia hanya menjelaskan, seseorang yang dihormati di kampung karena berjejaring dengan berbagai kelompok pemuda “jagoan”, menolongnya mendapatkan anjing kami lagi.

Di suatu malam tahun baru, suami dan saya bersama dengan klub tennisnya berkonvoi  dengan puluhan orang menjelang pergantian tahun. Pada malam itu, saya belajar tentang berbagai macam kelompok-kelompok, mereka yang menyebut dirinya “geng”. Ada geng pemuda berambut cepak, ada geng pemuda bermotor besar, ada geng pemuda  bercelana koko, ada berbagai macam orang dengan atribut yang berbeda-beda. Kami berkonvoi tanpa ada keonaran, sangat tertib dalam antrian kemacetan di setiap perempatan.

Sangat jarang, tetapi satu dua kali, kami mengunjungi Cafe untuk makan malam. Saya suka menari, jadi kami mencari Cafe yang mempunyai lantai luas bisa digunakan untuk menari sambil menikmati musik indah. Di sini, saya mengamati orang-orang muda yang datang ke sana. Sangat jarang, seseorang ke Cafe sendirian. Pengunjung datang berduaan atau berkelompok. Pernah saya lihat mereka datang sebagai rombongan dari kelompok pencinta salah satu kendaraan bermotor atau mobil tertentu.  Cafe menjadi pilihan orang-orang muda di Yogyakarta untuk menonton bersama misalkan siaran olahraga atau sekedar film yang diputar rutin di Cafe tertentu.

Gambaran geng yang nampak dari gerombolan pemuda-pemudi tsb sedang menggantikan pemahaman lama tentang jagoan.  Model geng-gengan ternyata menunjukkan kekuasaannya melalui spesifikasi klub yang menyaring pengikut secara khusus. Misalkan geng pencinta mobil VW. Geng-geng ini tidak bermain di ranah kekuasaan teritorial tetapi pada “persona” dan identitas yang merepresentasikan diri pada gaya hidup tertentu.

Sangat berbeda dengan taksi yang beroperasi di Yogyakarta. Kami sering harus memanggil taksi ketika teman-teman harus pulang sesudah "dinner" bersama di  rumah kami.  Saking biasanya dengan taksi-taksi yang suka ngetem di perempatan Cemara 7, sebelum perempatan ring road utara dengan jalan Kaliurang, saya pernah bertanya kepada pak sopir-sopir tsb tentang daerah operasinya.  Dikatakan, setiap sudut kota, tanpa ada peraturan tertulis sebenarnya dikuasai oleh kelompok taksi tertentu. Perempatan Cemara 7 sangat cepat dapat penumpang. Daerah  ngetem ini sudah dikuasai oleh taksi X, sehingga taksi lain tidak bisa ikut-ikutan menunggu penumpang di sana. Taksi lain juga dilarang untuk mengambil penumpang di sekitar tsb. Misalkan ketika penumpang muncul bersamaan dengan lewatnya jenis taksi dengan nama lain, maka penumpang tsb hanya bisa diangkut oleh taksi yang sedang ngetem.

Penguasaan teritori taksi mengingatkan saya tentang daerah teritori binatang di hutan rimba di Pangandaran, Jawa Barat. Di sini, pernah kami mengembalikan seorang eeh seekor monyet, piaraan keluarga yang diberikan nama Solo. Solo dilepaskan kembali ke alam bebas, karena tidak ada yang mau menjaganya ketika kami harus ke luar negeri untuk waktu yang lama. Singkat ceritanya, membawa Solo ke Pangandaran tidak mudah, karena di sana sudah ada geng monyet-monyet.  Sambutan terhadap Solo dilakukan dengan perang antara dua klan monyet. Dunia monyet gempar karena hadir seekor monyet yang bentuk fisiknya berbeda. Solo punya lapisan alas perut seperti perempuan yang menunjukkan pola dietnya menyerupai manusia. Solo dibesarkan dalam  keluarga selama beberapa tahun. Ketika dikembalikan ke dunia aslinya, diperlukan penyesuaian, ujian sebelum akhirnya Solo, monyet betina ini diterima dan kawin dengan monyet raja dari klan terkuat hasil pertarungan dari perang penyambutannya.  Baik manusia maupun binatang ternyata menunjukkan keserupaan dalam persaingan, pengklaiman teritori dan kepemilikannya.  

Sebagai kota pelajar, Yogyakarta menjadi sasaran dari berbagai bentuk pemuda/i dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di sini ditemukan pendatang artinya mereka yang “boten boso”, tidak berbahasa Jawa dari usia anak sampai dengan pemuda/i.  Orang asli Ngayogjakarta juga sekarang jarang berbahasa Jawa halus, "kromo inggil"  dengan sesama anggota keluarganya. Jadi ukuran bahasa untuk menyebut seseorang asli Yogya juga bisa membingungkan. Tetapi yang penting, Yogya sudah sangat berubah. Perubahan terutama terjadi di wilayah utara, di daerah Sleman, di mana pusat pendidikan, dan perhotelan dibangun di Yogyakarta.

Istilah preman yang dulu dikaitkan dengan teritori penguasaan di pasar, ternyata bisa bergeser menjadi daerah penguasaan dalam keahlian, sebagaimana ditunjukan pada kelompok hobi maupun profesional. Kesan preman yang dekil, bertato juga mulai bergeser. Preman sekarang bermobil seperti berbagai geng-geng mobil, termasuk juga angkutan taksi. Preman dan perlente adalah dua istilah yang telah mengubah pencitraan geng-geng dari konotasi kumuh, kumal menjadi keren, gaya, berotot dan dompet tebal.  Untuk menjaga pencitraannya supaya tidak “stone” setiap saat, preman-preman modern ini merekrut anggotanya yang bebas dari pengaruh narkoba. Tetapi di sisi lain, ada pilihan-pilihan kesenangan yang perlu dilindungi misalkan terkait dengan gonta ganti pasangan.  Preman-preman perlente ini sering kali bangga dengan pasangan-pasangan yang berubah-ubah. Dalam advokasi hidup bebas HIV/AIDS yang pernah saya ikuti, tingkat kerawanannya muncul bukan dari jarum suntikan tetapi dari pergantian pasangan.

Perwajahan preman perlente di Yogyakarta ternyata tidak bebas dari persaingan di antara geng-geng. Mereka bersaing untuk mendapatkan pasangan yang paling mahal. Transaksi-transaksi mirip “trafficking” terjadi dengan “bermerek” artinya mereka yang terlibat saling berganti-gantian pasangan tanpa terkesan kusut dan kumuh. Pencitraan  preman perlente ini tidak jauh berbeda dengan preman-preman yang bertugas sebagai petugas sekuriti di pub-pub atau cafe-cafe. Setiap cafe punya petugas sekuriti yang diangkat dengan menggunakan konsep sama, “keren, kuat, muda, dan gaya.  Kasus Hugos Cafe menjelaskan tentang pertemuan antara berbagai kelompok dengan klaim-klaim yang sangat beragam. Catatan kejadian kekerasan di Hugos Cafe  dalam tahun terakhir ini sudah ada dua kasus pembunuhan, pertama seorang pengikut geng mobil Lavina dan kedua seorang anggota Kopassus. Pertama, perkelahian antara geng dan geng. Kedua perkelahian antara seorang Kopassus dengan seorang sekuriti Hugos Cafe yang dibantu oleh rekan-rekan lainnya.

Dari penggambaran ini, sangat penting kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada pemuda-pemudi karena mereka adalah aset bangsa. Ada tanggungjawab yang perlu dipikul bersama oleh pemuda/i ini. Peristiwa Hugos Cafe kiranya memberikan refleksi mendalam kepada masyarakat sipil di Yogyakarta untuk turut peduli terhadap situasi hidup malam yang bisa mengancam pemuda/i. Selama mereka bisa dibina, saya pikir preman perlente bukanlah ancaman untuk negara kecuali diantara preman sendiri yang sedang saling mengancam. Apabila terjadi seperti ini, maka sangat penting peristiwa kasus per kasus hendaknya tidak dijadikan alasan untuk menakut-nakuti warga masyarakat dengan ancaman premanisme di kota Yogyakarta. Seperti yang saya amati, sekelompok geng mobil melakukan pemasangan poster dan spanduk  di seantero Yogya yang berisi “aspirasi” menolak premanisme. Pertanyaan saya, apakah mereka tidak sadar menjadi bagian dari premanisme tsb, preman dan perlente?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar