Translate

Minggu, 01 Mei 2011

Bisakah kemartabatan orang miskin membebaskannya dari jebakan terorisme?

Bisakah kemartabatan orang miskin membebaskannya dari jebakan terorisme?
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Tanggapan banyak ahli tentang menjamurnya terorisme dan fanatisme di Indonesia dihubungkan dengan masalah ketidakadilan, ketimpangan ekonomi yang ada di masyarakat. Berkali-kali kesimpulan dari berbagai ahli berakhir pada anggapan bahwa tanpa keterlibatan pemerintah untuk membangun keadilan ekonomi, gerakan terorisme akan terus menguat di Indonesia.  Tetapi saya bertanya apakah ini alasannya? Apakah fakta kemiskinan bisa menjadi alasan seseorang menjadi teroris? Ataukah sebenarnya orang miskin sedang diperalat oleh kepentingan mereka yang berkuasa?

Membaca cerita pelaku bom di mesjid Cirebon, yang berpamitan untuk mencari uang tambahan bagi persiapan persalinan istrinya yang sedang hamil tua, akan membenarkan anggapan tentang minimnya kesejahteraan yang dimiliki oleh masyarakat biasa. Kita tidak tahu apakah kemudian pilihan melakukan bom bunuh diri adalah caranya untuk mendapatkan upah. Tubuhnya sendiri adalah tembusan untuk menerima secuil uang tebusan yang akan diteruskan kepada isterinya sebagai dana persalinan yang bisa disiapkannya, dari calon ayah, suami yang bertanggungjawab.

Kita harus menunggu hasil penyelidikan lebih terperinci untuk mengunggapkan tidak saja motivasi tetapi "rewards" yang diterima oleh pelaku bom bunuh diri.

Pernikahan dalam Islam adalah pernikahan yang abadi.  Mirip dengan pernikahan dalam tradisi Katolik, sebagai sakramen. Pernikahan dalam Islam adalah iman sekaligus sunnah. Tugas suami adalah menyediakan seluruh kebutuhan keluarganya, isteri dan anak-anaknya.

Saya bayangan ketika suami, pelaku bom Cirebon berpamitan pada isterinya, mungkin ada ketegangan  dari sang isterinya yang juga punya hak untuk menahan suaminya supaya tidak berpergian. Keinginan untuk bersama dengan suami disaat sedang menunggu hari persalinannya. Tetapi pada saat yang sama isterinya harus melepaskan suaminya untuk menyediakan semua kebutuhan yang diperlukan. 
Dengan melakukan pekerjaan serabutan hampir bisa dibayangkan pelaku bom bunuh diri di Cirebon hidupnya pas-pasan.   Mereka, apabila tanpa dukungan anggota keluarga lain mungkin bisa digolongan sebagai keluarga dengan berpengasihan rendah. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam gerakan pemberantasan kemiskinan di abad milinium ini, menetapkan tentang batasan kemiskinan adalah mereka yang penghasilannya di bawah 1 dollars per hari.
Hidup di bawah penghasilan per hari kurang dari 1 dollars menyebabkan kemiskinan tampil mengerikan. Manusia yang mempertahankan kehidupannya harus menjalani kehidupan yang diluar batas kemanusiaannya. Ada banyak keterbatasan di sekitar kehidupan mereka dengan tingkat kemiskinan absolut seperti rendahnya akses terhadap bahan makanan/ pangan, sandang, kebutuhan perumahan, air bersih, kesehatan, penerangan dan transportasi.
Kesehatan dan proses persalinan memakan biaya besar. Indikator kemiskinan di Indonesia bisa terlihat dari tingginya kematian bayi dan ibu di Indonesia. Penyebabnya salah satu karena jaminan pengamanan proses kelahiran belum tersedia kepada keluarga-keluarga berpendapatan rendah. Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia adalah yang paling tertinggi di Asia seperti dicatat oleh Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak.  Adanya kehamilan yang tidak diinginkan, atau kehamilan yang direncanakan tetapi tidak ditopang dengan tersedianya dana.

Keterbatasan dana menyebabkan keterbatasan pilihan untuk melahirkan. Keluarga-keluarga Indonesia berpendapatan rendah tidak mendapat otomatis kepercayaan dari rumah sakit apabila tidak bisa menjaminkan pembayaran terhadap biaya perawatan sakit dan persalinan. Rumah sakit hanya akan bisa melakukan proses perawatannya apabila ada uang. Rumitnya prosedur Jaminan kesehatan daerah dan Jaminan kesehatan masyarakat menyebabkan masyarakat miskin mengalami kesulitan mengakses fasilitas publik ini yang disiapkan pemerintah.

Kondisi ketimpangan yang menimpa isterinya, ketidak berdayaan dirinya sendiri, mungkin menjadi penyebab bagi pelaku bom Cirebon untuk menerima penawaran penugasan pemboman.  Tubuhnya sendiri adalah  alat tembusan kepada kelahiran anaknya. Harapan sebagai suami yang dibangun dalam ajaran agama seolah-olah mendapat jawaban dengan memberikan dirinya sebagai pelaku bom bunuh diri.

Saya merenungkan perbincangan nurani dari pelaku dengan dirinya sendiri sebagai suatu imajinasi terhadap realitas yang tidak adil yang sedang terjadi di Indonesia. Sejak hari Kamis, 28 April 2011 saya berkesempatan merawat suami yang sedang sakit dan terbaring di RS Panti Rapih. Di sini saya melihat banyak  ibu-ibu hamil yang beruntung sedang bersama dengan anggota keluarganya menunggu kelahiran bayi-bayi mereka.

Tetapi ada banyak perempuan seperti isteri pelaku bom Cirebon yang harus berhadapan dengan pilihan berat, pilihan sulit. Mungkin mereka bertanya langsung kepada Allah, “Tuhan, Tuhan di manakah keadilanmu? Mengapa ada orang yang begitu sangat beruntung dengan kekayaannya, kesehatannya bisa terjamin melalui pengobatan di dalam dan di luar negeri. Sementara kesehatan bagi kaum duafa hampir tidak tersedia di rumahnya sendiri, di tanah airnya sendiri.

Kemiskinan bagi mereka adalah realitas tanpa punya harta benda.  Realitas yang menunjukkan adanya kebutuhan paling mendesak secara fisik untuk makan, minum, berteduh dan sehat. Kemiskinan adalah suatu realitas yang sudah diupayakan dengan segala cara, termasuk kerja keras tetapi penghasilannya hanya bisa membiayai kebutuhan hidup untuk bertahan dari hari Senin sampai Kamis. Bahkan kemiskinan menyebabkan pemenuhan ajaran agama tentang fungsi suami harus dipenuhi dengan cara yang dramatis. Pemenuhan tanggungjawab suami bergandengan dengan menaruh tanggungjawabnya pada kepastian harapan dalam Allah. Merindukan  kepada Allah yang dipercayai, adalah memastikan kesetiaannya yang memberikan keadilan sejati kepada fakir miskin.

Pandangan terhadap kepastian keadilan Allah dan ketenangan dalam tangan pemeliharaan Allah bisa memberikan dorongan secara psikologis kepada pelaku bom Cirebon untuk menyerahkan dirinya, demi isteri dan anak untuk suatu misi yang dipercayai akan memberikan kehidupan baru kepada mereka.   Tolehan itu tersedia dalam jawaban pada agama yang memberikan ketenangan dari kepastian tentang penghukuman pada kehidupan yang tidak adil. Allah memberikan jaminan keadilan kepada fakir miskin.

Dalam kepolosan hati kaum duafa dan fakir miskin gambaran tentang Allah yang adil bisa diisi dengan penampakan kepastian pertolongan Allah dalam bentuk perjuangan memberantas kemiskinan.  Akar perjuangan itu ada pada pemenuhan kehidupan materi. Suatu kebutuhan yang paling esensi yang harus tersedia untuk seorang anak manusia. Kepada Allahlah kepolosan ratapan tangis terhadap ketidakadilan struktur sosial dinyatakan dalam doa-doa. Ketika doa-doa menjadi suatu kesadaran bersama, kepolosan hati ini berubah menjadi realitas sosial yang dengan sengaja bisa dipergunakan sebagai alat pergerakan, mobilisasi untuk pencapaian kepentingan politik tertentu. Banyak penelitian tentang kemiskinan mengidentikan adanya proses pemeliharaan kemiskinan di kalangan warga dilakukan secara struktural sebagai cara yang paling mudah untuk diperalat berbagai pihak. 

Saya bertanya, mengapa Tuhan membiarkan kaum miskin diperangkap oleh kepentingan politik yang lebih besar dari kebutuhan dan eksistensi diri mereka sendiri?  Saya percaya orang miskin mempunyai martabat terhadap dirinya sendiri. Seperti tertulis dalam kitab suci, “Lebih baik orang miskin yang bersih kelakuannya daripada orang yang berliku-liku jalannya sekalipun ia kaya (Amsal 28: 6). Sifat-sifat kemartabatan orang miskin terlihat pada keramahtamahannya yang menampilkan kebersahajaan yang polos. Berbeda dengan kepongahan orang kaya walaupun sumber kekayaannya adalah hasil rampasan, curian dengan cara canggih atau tindakan korupsi lainnya.

Ketika orang miskin menjadi  korban dari mereka yang kaya, mereka adalah korban dari struktur politik yang coba memperalat mereka. Mereka didorong untuk  tetaplah mempercayai Allah dalam cara yang benar, karena keadilanNya akan tiba untuk mereka yang mempercayaiNya. Mempercayai keadilan nanti tanpa buktinya saat ini di dunia sekarang. Mereka mempercayai keadilan  Allah untuk menghukum orang-orang yang menyebabkan dirinya miskin.

Muncul pertanyaan saya. Bisakah orang miskin berjuang dengan kemiskinannya, mengubah realitasnya menjadi kemakmuran melalui cara-cara kehidupan yang bersih? Karena kalau mereka bersedia diperalat maka perjuangan mereka yang bermartabat seolah-olah dirusakkan oleh kepentingan mereka yang kaya, mereka yang punya kepentingan politik. Sesudah target politik tercapai, orang miskin dilupakan! Orang miskin adalah mereka yang paling siap melakukan tindakan radikal, demi sesuap roti! Mereka dipasang sebagai barisan paling terdepan yang kalau terbunuh tidak akan ada ratapan dan upacara kepahlawanan. Mereka bisa sewaktu-waktu ditangkap, dijadikan sasaran pelaku kejahatan, sementara otak dari kejahatan bisa bebas ke mana-mana tanpa dijerat tindakan hukum.

Apakah dengan cara berpikir ini, cara di mana ada kemartabatan dari orang miskin untuk mempercayai perjuangan dalam cara Allah yang adil bisa menghindari mereka dari perangkap terorisme yang dirancang untuk menjaringnya? Mewaspadai penguatan orang miskin untuk kepentingan orang kaya bisa dilakukan atas nama agama bukan untuk keadilan yang mau dicapai tetapi hanya untuk kepentingan perjuangan orang kaya. Mengkritisi bentukan perjuangan yang mencelakaan orang miskin harus dilakukan karena orang miskin juga punya hak untuk hidup. 

Inilah kekuatan yang masih belum tergali bahwa orang miskin mempunyai martabat untuk mengubah dunia menjadi adil dengan cara keadilan yang memelihara kehidupan. Suatu kekuatan kemartabatan yang menahan mereka pada jebakan-jebakan kekuasaan. Jebakan yang menyebabkan mereka kehilangan kemanusiaan dirinya sebagai umat yang bisa berpikir tenang, kritis terhadap kemungkinan diperalat oleh kekuasaan di luar dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar