Translate

Selasa, 26 April 2011

Wajah Indonesia dari Papua. Cerita Pembangunan dari Pasar!

Wajah Indonesia dari Papua. Cerita Pembangunan dari Pasar!
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta


Tulisan ini saya khusus buat untuk sahabat saya, Pdt. Sostenes Sumihe.

Mengenal Papua melalui cerita kakek dan nenek membekas dalam ingatan saya.  Papua dalam cerita masa kecil saya adalah Papua yang polos. Kepolosan mereka sama seperti kepolosan kakek saya, orang Jawa yang kemudian sangat dicintai oleh masyarakat di Serui. Apabila operasi gagal, keluarga yang sanaknya meninggal akan turun dari gunung untuk membuat perhitungan dengan rumah sakit. 
Sebelum informasi tentang kegagalan operasi yang menyebabkan kematian bagi saudara mereka tiba di kampung, seluruh petugas RS bersama keluarganya sudah dipindahkan di tansi (kantor polisi) yang mempunyai tembok-tembok tinggi untuk melindungi diri dari gencaran panas yang melintasinya. Kakek saya, seorang yang lembut akan menunggu kedatangan rombongan dari gunung dan menceritakan kejadiannya kepada mereka. Kelembutannya akan menenangkan kepanasan dan kesedihan sanak keluarga tersebut. Kemudian sesudah semuanya tenang, warga bisa pulang lagi ke rumah masing-masing.  Ini cerita masa kecil saya.
Perjalanan ke Papua untuk tugas universitas saya gunakan untuk menelusuri tapak silak nenek dan kakek. Ibu saya dibesarkan sampai umur 5 tahun sebelum mereka pindah ke Ambon. Ia sudah lupa bahwa pernah punya teman Papua kecil yang selalu tidur bersamanya. Saya ke rumah di mana ia lahir darinya saya menelponnya ke Jakarta. Ia sangat terharu.
Mungkin karena kedekatan saya dalam kenangan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan LPPM UKDW dengan masyarakat di Waropen, Papua, maka saya dihubungi tim survey otonomi khusus Papua untuk mengevaluasi kerja-kerja tersebut. Kegiatan evaluasi baru saja dilakukan beberapa minggu lalu.
Dalam evaluasi yang saya isi, ada pertanyaan yang menarik. Pertanyaannya terkait dengan cerita apa yang menarik yang saya rekam dari pembangunan di Papua.  Paparan Freeport tentang kerja-kerja mereka pernah disampaikan pada seminar nasional tentang kebijakan lokal  dalam pembangunan nasional yang diselenggarakan di UKDW. Paparan tsb menunjukkan bagaimana tanggungjawab sosial yang terbangun dari kerja Freeport. Tanggungjawab tersebut terbatas hanya kepada beberapa suku yang kepemilikan tanahnya sekarang merupakan areal dari Freeport.  Saya tidak menuliskan tentang kesan keberhasilan Freeport dan rempah-rempah hasil ekplorasinya yang dibagikan kepada suku tertentu di Papua.
Sampai sekarang penelitian tentang dampak kerja-kerja pembangunan di Papua masih terus berproses.  Saya ingat mendiskusikan situasi ini dengan Pdt Benni Giay ketika hadiri seminar internasional di ICRS Yogya bulan Januari yang lalu.  Keberhasilan pembangunan di Indonesia dicatat dari perspektif kaum intelektual, pemerintah, swasta dan bukan perempuan serta masyarakat marjinalnya.  Kadang-kadang saya katakan kepada suami bahwa saya ingin kembali ke masyarakat kerja dengan mereka. Dulu ketika muda kerja di pedesaan di Halmahera Utara. Mungkin sekarang saya akan ke Papua. Berbagai tanggungjawab lainnya di Yogyakarta masih menahan keinginan ini.
Tetapi rekaman tentang pembangunan dan keberhasilannya saya simpan mendalam di benak saya. Apa yang masyarakat Papua pikirkan ketika saya berjalan di pasar-pasar untuk melihat apa yang mereka sedang menjual?  Pasar bisa dipakai sebagai ukuran untuk melihat dinamika pencapaian keberhasilan ekonomi di suatu masyarakat.  Keterbatasan produk yang dijual di pasar yang ditawarkan oleh orang-orang Papua asli terekam kuat dalam diri saya.  Mereka hanya menjual sirih pinang, ubi-ubian dan sayur-sayur yang tidak memerlukan proses pembudidayaan.   Tidak heran makanan segar jarang dan harganya mahal di Papua.
Tetapi segera keluar dari pasar, saya temukan berbagai motor yang menjual aneka ragam produk sayuran segar. Mereka berhenti dan ada di mana-mana. Saya menggunakan mikrolet untuk menelusuri seluruh jalan-jalan di Jayapura, Biak dan Serui. Membandingkan siapa yang ada di jalan raya sebagai penjual dan siapa yang ada di pasar. Apa yang mereka jual dan siapa yang membeli. Terlihat dengan jelas, ketidakjelasan arah kebijakan pembangunan di Papua yang menyediakan hanya infrastruktur seperti pasar tetapi tidak mempersiapkan sumber daya manusianya.
Apakah ini bagian dari negosiasi yang sedang dilakukan antara pemerintah dengan kaum pendatang yang diharapkan bisa mengisi percepatan pembangunan.  Roda perekonomian perlu digerakkan sehingga pengisian gap pembangunan di Papua bisa dilakukan oleh kaum pendatang. Ketika perekonomian semu ini berjalan dengan baik sesudah sistem bergerak dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada, maka target pembangunan untuk penguatan kapasitas orang Papua bisa saja terlupakan.
Jadi inilah cerita saya kepada surveyor tentang pembangunan dan kebijakan nasional untuk daerah operasi khusus di Papua. Saya mendorong para intelektual di Papua untuk membangun kepedulian dalam mengevaluasi produk pembangunan yang terhenti pada rupa infrastruktur. Keberhasilan pembangunan bukan pada infrastrukturnya tetapi terletak pada berapa persen dari anggaran belanja daerah dialokasikan untuk berbagai kegiatan pendidikan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan baik dilakukan secara formal maupun informal. Pembangunan infrastruktur dengan anggaran besar punya potensi korupsi di dalamnya.
Jadi teman-teman di Papua bisa membentuk aliansi peduli anggaran belanja pronvinsi dan mendiskusikan besaran dan mekanismenya. Mungkin tentang tata caranya saya harap menulis secara terpisah. Juga termasuk proses pengorganisasian kelompok peduli pembangunan di Papua perlu dibahas tersendiri. Pemikiran strategi pembangunan daerah harus merupakan proses kajian bersama antara masyarakat, legislatif dan eksekutif. Ini tantangan yang harus diselesaikan dibayar oleh para intelektual Papua yang peduli untuk mengawal pembangunan di sana.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar