Translate

Minggu, 29 Mei 2011

Turisme dan Konservasi Alam Tantangan Pembangunan Ekonomi

Turisme dan Konservasi Alam Tantangan Pembangunan Ekonomi
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta


Ide untuk menulis dengan judul “turisme dan konservasi alam tantangan pembangunan ekonomi” muncul ketika kami sedang di pulau Penyu pada hari Sabtu pagi, 28 Mei 2011. Mencapai Pulau Penyu harus melalui Nusa Dua yang terletak di tanjung di sebelah selatan pulau Bali. Di Nusa Dua, industri wisata air mulai dikembangkan terutama sesudah tragedi bom di Bali pertama tahun 2002 dan Bali kedua tahun 2005. Organiser tur kami bekerjasama dengan pemilik water sport yang dulunya mempunyai bisnis biro perjalanan. Bom Bali mengubah dan menciptakan orientasi bisnis baru. Pemilik water sport, ketika memutuskan mengubah haluan usahanya, terinspirasi dengan kata kebangkitan Bali. Bali yang dihancurkan akan bangun lagi.

Saya ingat bencana tsunami di Aceh yang juga berdampak bagi turisme di Phuket, Thailand, menyebabkan salah satu kegiatan pertemuan internasional meminta saya untuk mengorganiser kegiatannya di Bali. Semula kegiatan mereka direncanakan dilaksanakan di Phuket, Thailand. Saya menyanggupi, kemudian kami mempersiapkannya di Bali pada bulan Maret 2005. Jadi pelaksanaannya jauh sebelum terjadi lagi bom Bali kedua, pada bulan Oktober 2005.

Namun suasana dari dampak bom Bali pertama, 2002 masih terasa di tahun 2005 ketika kami kembali ke Bali. Turisme masih terpuruk. Suasana lenggang terasa di mana-mana. Hotel-hotel harus memberikan harga promosi untuk menarik minat turis domestik. Saya pikir upaya itu cukup berhasil karena minat turis domestik meningkat sesudah bom Bali pertama. Banyak orang ingin tahu ada apa dengan Bali.

Turisme merupakan andalan Bali yang paling utama, termasuk juga primadona pendapatan nasional untuk Indonesia. Dalam laporan PBB (2009) tentang turisme di dunia, Bali dikategorikan sebagai leisure travel dan wisata daerah tropis. Alam, budaya, praktek kehidupan sehari-hari orang Bali menjadi nilai tambah tujuan wisata orang dari seluruh dunia. Kadang-kadang nama Bali lebih terkenal dari nama Indonesia. Penerbangan langsung ke Bali bisa jadi menyebabkan banyak turis menyangka Bali adalah negari sendiri di dalam NKRI.

Sejarah Bali sebagai pulau dengan keunikan agama Hindu bercampur dengan kepercayaan pada nenek moyangnya menjadi daya tarik bagi turis. Turis ingin belajar sesuatu yang berbeda dari kehidupannya sendiri, entah alamnya, manusia, makanannya, bahasanya, ritual agamanya atau apa saja yang menyebabkan terlihat ada perbedaan dengan dirinya sendiri. Pertama kali saya ke Bali ketika masih remaja. Saya menghabiskan masa remaja di Yogya sebagai kota yang sederhana. Romantisme Yogya di era 80-an dengan banyaknya penduduk bersepeda membentuk diri saya.

Jadi sesudah mengunjungi Bali dengan kompleksitas budaya dan keramaian arsitekturnya, saya harus belajar lama sebelum bisa merasa damai dalam diri sendiri. Saya pikir pada saat pertama kali berjumpa dengan kehidupan masyarakat dan alam di Bali, keresahan saya menandakan bahwa saya pada waktu cukup shok. Mungkin karena tur yang saya ikut adalah tur sekolahan sehingga kami dibawa di jalan-jalan yang sibuk dan ramai.

Satu dekade kemudian saya memutuskan kembali lagi ke Bali bukan pertama-tama sebagai turis tetapi sebagai seorang pengembang masyarakat yang mau belajar dari masyarakat Bali. Pada waktu itu saya masih kerja di pelosok pulau Halmahera, di Tobelo. Bos saya seorang Belgia dan bekerja dengan Pusat Pengkajian Pengembangan Pedesaan di Tobelo hanya setiap 3 bulan untuk waktu seminggu di Tobelo sisa waktunya di Bali di mana kantor FADO berada. Sesudah masa ini saya mulai sering mengunjungi Bali untuk terus belajar darinya.

Bos saya ini mendorong saya belajar sistem perekonomian rakyat di Bali. Saya memutuskan untuk tinggal di desa Kapal untuk belajar tentang Bank Perkreditan Rakyat sebagai salah satu sistem ekonomi akar rumput yang berhasil karena pro poor dalam mengimplementasi kebijakan turisme. Hasil dari studi banding inilah yang kemudian membantu saya menerapkan kegiatan mikro fund melalui kredit union di Tobelo ketika saya masih bekerja di sana.

Kembali kepada persentuhan dengan Bali yaitu memulai pengenalan saya dari dalam masyarakat sendiri, saya mulai terbuka untuk mengerti strategi dan mekanisme pasar yang harus dihadapi masyarakat supaya mereka bisa terus menjalankan kehidupannya secara mandiri. Saya ingat tulisan Clifford Geertz tentang cookfight dan bagaimana sebenarnya maksudnya bagi masyarakat Bali. Cookfight merupakan mekanisme pertahanan ekonomi lokal untuk menjaga supaya dana yang berada dalam masyarakat tidak dibawa keluar tetapi cukup beredar di kalangan mereka sendiri. Kesatuan dalam komunitas menjadi satu pencirian solidaritas masyarakat di sana.

Tetapi analisis Geertz di era tahun 1960an juga Margaret Mead cs harus dikaji kembali. Relasi sosial terbangun dari setiap partisipasi anggota masyarakat dalam desa adat mereka yang sedang mengubah karena posisi Bali sebagai pulau target industri turisme dunia. Pencarian saya untuk mengerti tentang Bali mendapat banyak pertolongan dari Frederik Bart yang menulis buku tentang Balinese Worlds.

Melalui buku ini, saya dibantu untuk mengerti kompleksitas struktur masyarakat Bali. Bali tampil dengan berbagai lapisan peradaban yang tidak bisa disederhanakan hanya sebagai suatu sistem budaya yang berbagai bagian yang dapat dijelaskan secara terpisah-pisah. Menurut Bart, sumber budaya di Bali terbentuk dari individu-individu yang mengkonstruksikan makna dan tampilan praktek simbol sekaligus memberikan interpretasi kepadanya. Proses ini melibatkan interaksi antara ingatan dengan relasi sosial yang mendalam untuk membangun suatu pengetahuan yang baru yang menyifati kedinamisan dalam konteks yang mengubah karena keterikatannya dengan berbagai dunia di luar dirinya.

Lokasi penelitian Bart di Bali Utara, daerah Buleleng memang menunjukkan kejalinan Bali sebagai bagian dari struktur para raja yang kemudian berhadapan dengan pedagang luar seperti Portugis dan kemudian Belanda. Upaya kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda misalkan berdampak pada peristiwa yang sangat penting dalam ingatan bersama orang Bali, yaitu “bunuh diri masal Puputan”. Peristiwa ini terjadi di Sanur pada tahun 1906 ketika Belanda memulai intervensi kekuasaannya di Bali. Dibandingkan dengan daerah lain di East Indies waktu itu, Bali cukup kuat bertahan terhadap invasi Belanda. Saya ingat tahun lalu bertemu dengan salah seorang bangsawan dari Puri dalem Kerambitan di Tabanan yang dengan bangganya menjelaskan tentang jati diri orang Bali. Sebagai keturunan dari Majapahit, orang Bali bangga bahwa ia bisa sampai saat ini bebas dari penindasan budaya lain yang ingin mengubah diri mereka.

Banyak analisis menginterpretasi bom Bali sebagai peringatan bagi orang Bali karena mereka seolah-olah dijajah oleh turisme. Pembelaan dari pelaku bom Bali sendiri sebagaimana disampaikan dalam berbagai analisis tersebut terkait dengan upaya mereka untuk membayar rasa harga diri Indonesia yang sudah dihilangkan oleh kapitalisme turisme dunia yang menggerogoti Bali. Mencermati Bali memang tidak bisa hanya berhenti di Kuta, Legian sebagai pusat keramaian turis.

Walaupun demikian, pemimpin berbagai agama yang berada di Bali, di tahun 2005 ketika kami bertemu mereka, mengakui bahwa peristiwa bom Bali terjadi karena Bali sudah kehilangan keseimbangan. Suami saya menilai perbedaan cara refleksi dari peristiwa bom yang terjadi di Bali dibandingkan dengan paska September eleven di Amerika Serikat sangat menarik dicermati. Sesudah September eleven, sikap AS adalah keluar mencari musuhnya yang membawa bencana ke sana. Tetapi pemuka agama-agama di Bali (terdiri dari Hindu, Islam dan Kristen) melakukan refleksi untuk menguji jati diri mereka.

Secara historis terlihat juga keberadaan resistensi dalam masyarakat Bali terhadap kedatangan kekuasaan dari luar masih sangat kuat. Misalkan di sekitar danau Batur, kita bisa bertemu masyarakat Bali yang berperilaku berbeda dari orang Bali kebanyakan. Mereka inilah orang asli, menggunakan istilah suku Indian Amerika Utara, the first nation of Bali. Mereka menolak dikuasai oleh pelarian kaum bangsawan Majapahit dari Jawa Timur sesudah didesak oleh Mataram Islam di awal abad 12, sehingga bangsawan Majapahit ini berbondong-bondong pindah ke daerah koloninya pada waktu itu yaitu pulau Bali. Kedatangan ini malahan mendesakan pendudukan asli dan mereka dibiarkan menjadi dirinya sendiri seperti bisa terlihat di desa Trunyan di sekitar danau Batur.

Dari penjelasan di atas saya lihat kekuatan diri orang Bali untuk mengambil jarak dari kegemerlapan turisme dan tidak membiarkan dirinya menjadi budak dari industri turisme. Kemampuannya untuk merefleksikan diri tanpa harus menyalahkan orang lain merupakan modal utama untuk kebangkitan Bali. Di kalangan generasi muda Bali terutama dari lingkungan bangsawan, keterbukaan untuk mengoreksi falsafah diri yang berhubungan dengan budaya dogma yang sengaja ditanamkan oleh para bangsawan Bali supaya rakyat jelata tidak perlu memamerkan dirinya yaitu de ngaden awak bisa yang berarti tidak memamerkan kemampuannya. Koreksi ini diperlukan supaya seluruh lapisan masyarakat Bali bisa berani tampil memberikan argumentasi dalam pertarungan wacana terhadap berbagai kebijakan yang datang dari luar atas nama pembangunan dan pengembangan turisme. Komitmen ini disampaikan oleh presiden dari Sukarno Center, Drs. Shri. I Gusti Ngurah Arya Wedakarna, seperti yang dipaparkan pada tabloid Tokoh (29 Mei - 4 Juni 2011, hal.5).

Ketakutan tentang hilangnya jati diri orang Bali di kalangan banyak analisis sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan. Saya sendiri memandang Bali dalam perspektif analisis Bart yang menempatkan perkembangan kedinamisan diri Bali dalam ingatan sejarah kolektif sebagai inspirasi untuk reinterpretasi dan reorientasi. Dalam hal kontektualisasi budaya Bali, saya berpendapat Bali mampu menghadapi sepak terjang gurita kapitalisme turisme tanpa tercabut dari akar budayanya sendiri. Proses ini malahan hilang dari beberapa daerah di Indonesia yang melupakan kebijakan dalam tradisinya dan lebih mengambil ide-ide pengembangan turisme seperti Disney land yang akan diterapkan di Makassar seperti di laporkan beberapa minggu lalu dalam tulisan wartawan Kompas, Maria Hartiningsih.

Tetapi ketika saya di pulau Penyu, saya makin sadar tentang cela dalam terapan turisme di Bali yang mungkin belum tergarap mendalam sebagai pemikiran dari strategi budaya mereka. Di Facebook, saya post foto-foto tentang konservasi penyu yang dilakukan dengan mendapat izin dari Departemen Kehutanan, Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali. Turtle park yang kami kunjungi memasang aturan konservasi dari Departemen Kehutanan, tetapi dalam pelaksanaannya, malahan pawangnya sendiri menyeret mother penyu keluar dari penakarannya supaya bisa disentuh dan difoto bareng oleh pengunjung. Saya juga melihat ada seorang pengunjung yang tanpa bersalah mengangkat penyu yang ada di bak sambil tertawa-tawa ketika difoto oleh anggota keluarga/teman lainnya.

Perilaku mengeksplotasi penyu seharusnya tidak terjadi apabila dalam sistem budaya Bali, pemahaman konservasi penyu dimasukan sebagai bagian dari konsep budayanya. Memang penyu bukan binatang suci di Bali. Binatang suci adalah sapi. Di Cina, Xian ketika kami ke sana, saya baru sadar bahwa penyu dianggap suci karena mempunyai kemampuan tinggal di dasar lautan. Karena itu dalam mitologi Cina, penyu adalah penggendong bumi, bukan seperti yang dimengerti di dalam mitologi barat, penggendong bumi adalah Atlas.

Salah satu cara untuk menghindari perlakuan eksploitasi pada penyu dengan tetap memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk mengekspresikan dirinya bersama penyu dalam foto adalah membuat patung penyu raksasa di pulau penyu. Mungkin dengan adanya patung penyu raksasa, godaan pengunjung untuk berfoto langsung dengan penyu bisa terobati. Di Kopenhagen, di pantai tertentu dibuatkan patung putri duyung karena mitologi terkenal di dunia barat tentang putri duyung, ceritanya dipopulerkan oleh Christian Anderson, penulis legendaris dari Kopenhagen, Denmark.

Turisme memang mendatangkan uang bagi berbagai jaringan lapisan masyarakat di Bali. Tetapi membangun pemahaman turisme yang berkelanjutan dan ramah pada lingkungan juga merupakan cara untuk memelihara keberlanjutan kehidupan dari berbagai habitat di Bali. Turisme pertualangan binatang masih baru di Bali, karena itu masih dapat dibangunkan sistem penanganannya yang masuk dalam hati orang Bali. Seperti konservasi hutan, air, burung-burung yang sudah berjalan baik di Bali, bahan menjadi bagian dari sistem budaya masyarakat.

Walaupun saya juga sadar ada banyak pengalihan lahan-lahan rakyat demi pembangunan hotel dan resort sehingga tanah kosong bukan berarti tanah yang belum digarap, tetapi menunggu proses pembangunan. Contoh seperti tanahnya Tommy Soeharto, dengan cerita miring tentang pemaksaan pelepasan tanah yang pelaksanaannya pada jam Soeharto masih berkuasa. Sekarang ia memiliki areal yang disebut Dream Land beratus hektar. Pembangunannya sempat terhenti paska reformasi,tetapi sejak beberapa tahun lalu mulai diteruskan perencanaan pembangunan resort ini. Namun sistem pengaturan penggunaan tanah dan bangunan di Bali dikaitkan dengan kepentingan penjagaan daerah-daerah suci sebagai bagian dari teritori Pura kiranya akan mengontrol kebijakan pembangunan yang berorientasi bisnis semata.

Di atas semuanya, bagi saya, konservasi binatang dan alam di bawah air memang masih merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar. Kebanggaan daerah untuk snorking dan diving makin sempit di Bali. Bali tidak bisa saja menjadi pusat pengembangan daerah discovery baru dengan membuka perluasan ruang bawah laut di pulau-pulau di sekitar tiga Gili di Lombok, atau ke Sulawesi Utara (Bunaken), ke Wakatobi (Sulawesi Tenggara) atau ke Raja Ampat di Papua. Bagaimanapun kehancuran alam bawah laut di perairan Bali harus menjadi tanggungjawab pemerintah, swasta (hotel dan biro-biro perjalanan) serta masyarakat luas. Melibatkan inventor asing dalam bisnis turisme memang tidak bisa dihindari, tetapi infrastruktur daerah dalam bentuk produk hukum untuk melindungi aset sumber daya lokal harus dipersiapkan dengan baik.

Saya mengamati aturan konservasi alam bawah laut ketika berada di Gili Trawangan. Ketentuannya adalah setiap hotel yang berada langsung di depan pantai berkewajiban untuk melakukan pemulihan kembali kehidupan terumbu karang dengan mengalirkan aliran listrik lemah untuk menghangatkan proses pertumbuhan dan perkembangbiakan ekosistem laut di sana. Upaya ini masih belum terlihat di Bali. Di Gili Trawangan bahkan masyarakat mengatur supaya tidak ada kendaraan berbensin berkeliaran di pulau ini. Sepeda, andong dan kereta tarik merupakan alat transportasi ramah lingkungan yang sangat menarik banyak turis ke sana.

Saya ngak tahu apakah suara saya didengar oleh pemerintah Bali. Saya juga ngak yakin kalau tulisan ini dibaca oleh orang-orang yang langsung berkepentingan dengan isu yang saya jelaskan. Tetapi saya percaya teman-teman saya di Facebook yang tinggal di Bali, apabila tertarik dengan keprihatinan saya ini bisa melakukan sesuatu di sana. Bali hanya bisa diselamatkan oleh orang Bali dan orang Indonesia, yang cinta Bali. Supaya Bali tidak menjadi korban dari kapitalisme turisme dunia. Inilah harapan saya dan sekarang saya lega sesudah mengakhiri tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar