Translate

Kamis, 05 Mei 2011

Harga mahal dari perdamaian dunia!



Harga mahal dari perdamaian dunia!
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)

Perdamaian dunia sekarang ini seperti emas, bahkan nilainya melebihi minyak bumi. Amerika Serikat yang dituduhkan sedang mengejar penguasaan sumber-sumber minyak bumi di timur tengah, ternyata membayar sangat mahal ongkos perang anti teroris. Rakyat biasa menanggung beban dari ambisi negara adidaya ini untuk menjadi polisi dunia. Krisis ekonomi yang melanda AS banyak dipengaruhi oleh pembelanjaan negara terhadap operasionalisasi perang anti teroris.

Kalkulasi harga suatu perang memang bisa dihitung dalam dollars. Tetapi prediksi kapan perang anti teroris selesai tidak bisa dikalkulasikan. Kematian Osama bin Ladin tidak dengan sendirinya menghentikan perang anti teroris dan perang anti AS.

Dalam perang, nyawa manusia tak berarti. Kerugian ada di dua belah pihak, yaitu mereka yang berada pada kubu masing-masing.

Pengumuman Presiden Obama tanggal 1 Mei 2011 tentang kematian Osama bin Ladin dan keberhasilan 24 anggota pasukan Navy Seal membobolkan ketahanan pemimpin Al Qaeda di  Abbottabad, 60 km dari Islamabad,  Pakistan memunculkan permenungan mendalam dalam diri saya.

Mempelajari sejarah perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin, perang anti teroris seolah-olah membentangkan di hadapan dunia suatu wilayah kekuasaan yang sungguh menggerikan. Wilayah kekuasaan ini membara membakar setiap orang sekaligus menakutkan mendorong pemunculan mekanisme pertahanan diri manusia secara alamiah.

Kekuasaan sebagai isu yang didiskusikan di mulai dari kajian filsafat, politik, budaya, sosiologi, keamanan ternyata bisa didefinisikan secara gamblang. Kekuasaan adalah luapan kesadaran seseorang atau sekelompok terhadap kemampuannya mengisi celaan untuk mempengaruhi, menundukkan, mengubah orang atau kelompok lain.

Dalam tindakan kekuasaan ada ketegangan, tarik menarik sekaligus penaklukan.  Kegamangan kekuasaan terlihat dari momen pengumuman yang bersejarah yang dilakukan Presiden Obama terhadap pembunuhan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden. Hasil kekuasaan bisa mengembirakan atau memilukan. Kekuasaan mengidenfikasi tentang apa yang diperoleh mengurangi apa yang dimiliki dari orang lain.

Wajah kekuasaan sebagai tirani membinasakan, menghancurkan dan melenyapkan jejak sesama yang juga punya hak untuk hidup. Kekuasaan pada tingkat ektrim mengatas namakan dirinya sebagai perengut nyawa, seolah-olah malaikat lusifer yang melawat seseorang untuk mengambil haknya hidup.

Agama-agama Abrahamik merefleksikan kekuasaan seperti ketika manusia menghadapkan dirinya kepada Allah, menongkakan dirinya, berkata siapkah engkau Allahku?

Menurut saya, pengumuman Presiden Obama tentang pembunuhan Osama menunjukkan ketidakberdayaan manusia untuk membangun keseimbangan kehidupan. Sebagai oknum yang dibentuk AS, Osama berjumpa dengan kepentingan AS dan disadarkan. Perlawanannya membuat Osama kalang kabut, seolah-olah di mana-mana pengaruh dan representasi AS adalah kezaliman yang harus dibinakan.

Kekalutan mencapai puncak sehingga wujudnya dalam bentuk perlawanan tidak bisa dihindari sama sekali. Termasuk harus mengorbankan manusia-manusia di World Trade Center karena baginya di sinilah sarang neraka. Tidak saja simbolnya dihancurkan, termasuk juga manusianya. Harga yang mahal yang kemudian harus dibayar dengan nyawanya sendiri. 1 Mei 2011 bagi AS itu adalah momentum pembayaran semua kebinasaan yang sudah dilakukan Osama. Lonceng kematian itu harus terjadi supaya kepuasaan dari pihak yang teraniaya terbayar.

Psikologi kekerasan memotretkan Osama  seperti seorang remaja yang memberontak terhadap orang tuanya. Pada satu sisi, seolah-olah terbaca bahwa orang tua mencipta segala cara untuk memunculkan kekalutan, kemarahan anak yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Pencitraan yang dibangun sang anak atas nama perjuangan berdasarkan Islam malahan menokohkan wajah Islam yang angker, sadis dan jauh dari eksistensinya yang menyelamatkan bumi.

Saya merenungkan setiap jebakan yang sedang dipasangkan orang tua kepada sang anak. AS menyimbolkan potret orang tua dan Osama tampil sebagai anak. Ketika jebakan itu mulai bekerja, ternyata keduanya terseret dan hancur bersama-sama.

Perang apapun tidak menguntungkan kepada manusia dan alam semesta. Kesadaran AS sebagai polisi dunia harus berubah terutama karena setiap insan manusia dan negara punya kedaulatannya sendiri. Kiritik dari warga negaranya, para intelektual, tokoh agama terhadap praktek politik internasional AS yang egois dan menang sendiri tiada hentinya.

Mereka semua bertanya mengapa AS dibenci? Mereka berkaca pada dirinya! Mereka tahu tidak ada cara lain kecuali memulai menghentikan kekerasan termasuk yang tampil dari politik kepentingan yang terselubung. Mereka ingin keadilan dinyatakan tanpa pandang bulu. Pengalaman diskriminasi dalam ras dan warna kulit menjadi suatu indekasi pertarungan kekuasaan yang belum selesai di AS, yang masih harus juga diperjuangkan setiap saat dengan berbagai bangsa lain di dunia.

Bukankah dunia ini sudah terlalu tua untuk terus dihancurkan oleh manusia-manusia yang egois? Seolah-olah baik para pejuang yang menggunakan nama Tuhan dan mereka yang memilih menyebut dirinya manusia sekuler, mereka semua sedang terbelit dengan perjuangan untuk meraih kebebasan sebebas-bebasnya yang ternyata harus menyebabkan kebebasan dari orang lain tercuri.

Semoga Obama masih punya hati nurani untuk segera menghentikan apapun bentuk perang yang menurut saya merendahkan AS sebagai negara dengan seabreg pengetahuan tetapi telah kehilangan kecerdasan masa depan untuk membangun diplomasi damai untuk semua insan manusia.

Keburukan Osama seburuk apapun, ia adalah seorang Arab yang sedang mencoba membangun demokrasi di Timur Tengah tetapi hanya kurang cerdas untuk menghindari dari perangkap-perangkap intelejen AS yang menjebakkannya.

Jadi saya mendengar pengumuman Presiden Obama dengan wajah duka mendalam. Pembalasan yang harus dilakukan oleh Allah sudah dilakukan oleh mereka yang percaya gigi harus dibalas dengan gigi.

Inilah mahalnya suatu perdamaian dunia. Kita harus tidak kehilangan harapan untuk membayar apapun untuk perdamaian dunia, kecuali melakukan balasan dendam dengan kekerasan. Ketika saya memikirkan hal ini, saya ingat patung simbol Perang Dunia II yaitu sepuncuk pistol diikat moncongnya berdiri di pintu masuk dari Gedung PBB di New York City.

Senjata Diikat Melambangkan Patung Perdamaian Dunia. Foto Koleksi Pribadi dari gedung PBB, tahun 2007

Kayaknya manusia belum juga kapok! Bayangan darah segar seperti dosa yang mengintai manusia. Kiranya Allah melawat umatNya demi visiMu sendiri...mewariskan kehidupan bagi anak-anak manusia. Inilah harapan kita semua!
*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java, dan empowering women transforming myself

Tidak ada komentar:

Posting Komentar