Menarasikan
tindakan di tahun 2011 Oleh:
Farsijana Adeney-Risakotta*)
Tindakan
adalah perbuatan untuk mengalami perasaan dan kesadaran dari apa yang
dipikirkan, apa yang dirasakan, apa yang diinginkan dan apa pernah dialami.
Tindakan bukanlah semata-mata suatu pengalaman. Sebagai perbuatan yang
dilakukan dalam kesadaran, tindakan bisa terasa bukan hanya untuk diri sendiri
tetapi juga di sekitar diri kita. Gambaran visualisasi tindakan bisa dijelaskan
seperti lemparan batu yang tenggelam dalam genangan air sesudah
meninggalkan efek getaran melingkar memutar yang melebar keluar dari pusaran ke
pinggiran.
Tindakan
meninggalkan efek sensasi dalam kesadaran diri yang bisa membekas menjadi ingatan
untuk setiap saat dapat tampil kembali dalam perjumpaan sentuhan jaringan
kenangan yang hampir mirip. Tindakan bisa merindukan tetapi juga dapat
mendorong pada amnesia, upaya untuk melupakan karena perbuatan yang terjadi
menimbulkan kesakitan mendalam pada diri sendiri.
Menarasikan
tindakan bisa menjadi pilihan yang paling bijaksana untuk mendewasakan diri
sendiri sehingga mampu menerima dalam ketabahan dampak perbuatan yang membekas
baik sebagai sensasi kebahagiaan maupun kesakitan. Narasi dan tindakan
seperti satu kepingan uang berwajah dua. Tindakan bisa memanipulasi kebenaran
yang dipercayai dalam diri ketika diupayakan suatu penjelasan untuk menguraikan
perbuatan yang terjadi. Tindakan sulit ditipu kecuali dalam cara penuturannya
kembali untuk menjelaskan perbuatan yang dilakukan.
Saya ingin
menyederhanakan dialog dalam diri tentang tarikan narasi dan tindakan.
Setidaknya narasi yang sedang diupayakan ini bukan suatu kajian akademik yang
rumit. Narasi yang sedang dibiarkan mengalir saat ini adalah upaya menuturkan
kembali jejak-jejak perbuatan yang akan ditinggalkan dalam kenangan tahun 2011.
Ketika narasi terbentuk, ingatan membangunkan kekuatan sejarah diri dari suatu
peristiwa perbuatan yang patut dihargai diterima karena ia sudah pernah
dilahirkan sebagai bagian dari diri sendiri. Ia bahkan bersejarah dalam ingatan
bersama sebagai komunitas.
Cinta
sudah sangat kuat menjadikan diri sendiri ingin hidup terus dalam kemudaan
kebahagiaan jejak-jejak perbuatan yang menggembirakan diri dan sesama.
Pesona cinta adalah bagian dari rahasia pengetahuan semesta. Inilah yang hendak
saya ukirkan dalam tahun 2011. Cinta adalah kehidupan yang berbagi dengan
sesama. Bukan karena saya seorang perempuan, sehingga rela memilih untuk
mendahulukan cinta dalam hati. Getaran cinta telah dipancarkan oleh semesta
raya, diberikan kepada diri saya untuk menyentuhnya dengan tampilan yang terus
bergerak mengubah.
Cinta
membiduk perahu kehidupan diri berlayar dalam badai, ketersesatan arah,
sebelumnya tiba dilabuhan yang pernah ditargetkannya. Perhitungan perjalanan
dipikirkan matang-matang, strategi diturunkan seperti anak tangga dibentangkan
menitik jalan pencapaian. Tetapi cinta mengajarkan kelapangan tangan
membuka untuk menyerahkan perjalanan dalam tangan Sang Pencipta dan semesta
raya.
Ada banyak
yang dilakukan karena cinta. Cinta pengetahuan untuk berbagi seperti membagikan
napas hidup sesudah menerima ruang untuk bernapas mendalam. Ada banyak
yang belum bisa dilakukan sekalipun cinta menguat untuk berbagi. Cinta menolong
menepiskan rasa frustasi. Sesama manusia adalah mereka, bukan diri saya
sendiri. Saya mensyukuri kesempatan untuk mengalami tindakan kehidupan yang
terpancar dari setiap perjumpaan saya dengan mereka yang berada di berbagai
tempat di mana saya datang menjumpainya.
Mereka ada
di sekitar tempat tidur saya, di ruang makan, di dapur. Mereka ada di mulut
jalan dan sepanjang lintasan jalan ketika saya jogging. Mereka memberikan
inspirasi tentang kehidupan. Mereka ada di kereta api, di pesawat, di
bus, di kapal, di mobil pribadi. Mereka ada di mana-mana. Mereka mungkin jarang
bertanya tetapi ekspresi muka, tatapan matanya, gerakan tubuhnya, dan ketika
suaranya terpecah, mereka berkata-kata, saya terngangah. Dari mata seolah-olah
mereka sedang berada dalam pesta, atau mereka sedang memikul batu nisan. Mereka
dijumpai di pelosok pedesaan di Kulon Progo, Gunung Kidul, Sleman, Bantul dan
Kota Yogya. Mereka menanti saya dengan ketulusan diri yang menyentuh mendalam
membawa pulang kembali ke rumah diri. Kehidupan
dari cinta membuka misteri diri mengeliat menyusuri lorong gelap tak terumuskan
dalam makna mengubah dirinya menjadi pengertian yang mengherani diri sendiri.
Cinta memastikan kehidupan bukan sekedar panggung sandiwara. Kehidupan adalah
pergolakan pergulatan pergeliatan pembebasan cinta mengubah dunia menjadi
bahagia supaya bisa tertidur menyenyak.
Mungkin
karena diri saya bergolak dengan kerja fisik, menolong seseorang bukan hanya
dengan kata-kata himbauan, tetapi melakukan tindakan yang dapat diingat bersama
sebagai proses kerja akal budi. Mungkin karena konsistensi gerakan tubuh
sebagai tanda kepedulian dari tindakan cinta, sebelum terlalu malam saya sudah
tertidur terlelap.
Kecapaian
seharian menggunakan akal, otot dan budi untuk menghadirkan kehidupan,
mengubahnya menjadi tindakan yang menggelora dari angan-angan yang dimimpikan.
Saya sudah tertidur dengan getaran ingatan tentang keluasan perbuatan yang
terjadi sebelum rumusan narasi terbentuk. Ada banyak bolong-bolong hari-hari
tanpa narasi walaupun tindakan terus terukir dalam derap langkah dan pengalaman
yang dibuat bersama dengan berbagai orang dan kelompok.
Kesakitan sesama, kematian, kemiskinan mereka,
kepapahannya memilukan diri sendiri yang membawa semuanya dalam rasa capek
mendalam sehingga tertidur memulas sambil mendengungkan narasi dalam rasa diri.
Sudah saya syukur tahun 2011 sehingga sekarang saya dipenghujungnya.
Sudah saya serahkan diri semua tindakan diri diselimuti dalam kebajikan tahun
2011. Sudah saya upayakan supaya gerakan kehidupan yang kuat dalam diri
ditularkan memancar mengena seperti lingkaran lemparan batu meninggal dalam
bekasnya di permukaan air.
Efek
putarannya belum terlalu kuat terasa, sebaiknya diakui saja. Keprihatinan
bangsa terhadap kemiskinan, kekayaan, korupsi, tingkat bunuh diri, kekerasan
HAM di berbagai daerah, keprihatinan HIV/Aids masih meninggalkan
kegelisahan diri secara intelektual maupun kemanusiaan. Memikirkan ulang
cara terbaik untuk merespons semua penderitaan bersama sebagai bangsa,
menjadikan pekerjaan rumah yang masih terus harus dilanjutkan di tahun 2012.
Sendiri
saja mengubah dunia adalah kesia-siaan. Sudah saya akui kebenaran itu sehingga
membangun gerakan meluas menyentuh mereka yang perlu. Ketika
mahasiswi-mahasiswi membawa anak bayinya ke kelas, anaknya bermain dengan
ibunya yang sudah selesai presentasi tugas, saya terhidup bahwa mereka tetap
memberikan keseimbangan kepada dirinya dan anaknya. Semuanya terjadi dalam
kelas saya. Ketika seorang bapak mengambil peran membuat minuman sementara
isterinya sedang berbincang-bincang dengan saya dan teman lainnya, makin jelas
tentang perjuangan kami kaum perempuan adalah bagian dari kehidupan bersama
kaum lelaki.
Ketika anak-anak
mementaskan karya tarian mereka membayangkan dunia para dewa dewi sedang
menetes dalam dirinya sendiri. Keindahan sebagai impian putri keraton ternyata
juga adalah tindakan dari perbuatan bersama yang menghadirkan impian anak-anak
sederhana dari keluarga di desa yang sehari-hari berlumpuran di sawah. Tampil
anggun, perkasa, mereka juga adalah putri-putri kehidupan yang menjadikan
rekaman tindakan tahun 2011 mengngayakan.
Bersama
mereka kita telah berjalan sejauh perbukitan di pantai selatan, di daerah
ziarah untuk meletakan jejak penemuan dirinya sendiri. Kupandangi sekarang
semuanya dengan syukur, kalau hal itu bisa terjadi sekalipun dalam
kesederhanaan alam semesta. Mereka sudah mengerti cara menjejaki dirinya.
Duduk
bersama dengan kolega dan mahasiswa-mahasiswi di akhir perkuliahan pada meja
bundar di ruang makan keluarga. Pertanyaan tetap penting, tetapi yang paling
penting adalah tindakan kepedulian kepada mereka tentang jalan yang pernah saya
juga tempuh. Pertanyaan bukanlah suatu pembantaian! Pertanyaan untuk mendorong
mereka menemukan pertanyaannya sendiri. Bisakah dilakukan sambil menikmati
masakan saya?
Inilah yang saya syukuri! Pengetahuan tidak cukup hanya sebagai
pengetahuan, ia bisa diubah menjadi makanan yang enak untuk dibagikan bersama.
Pengetahuan adalah keinginan dialogis mendalami pertanyaan yang bisa dijawab
melalui cara memproses yang unik seperti sharing sambil menikmati santapan
bareng. Saya membagikannya dengan keluarga, mahasiswa/I, teman-teman gerakan,
kolega. Saya bahagia.
Dalam
tradisi Kristiani, Yesus mengubah air menjadi anggur pada pernikahan di Kana.
Sesudah persiapan 9 bulan, di bulan November tanggal 10 tahun 2011,
keajaiban terjadi. Saya dengan keluarga bisa memasak kepada tamu-tamu dalam
pernikahan adik. Termasuk menyajikan menu bakso yang kemudian menjadi titik
awal usaha mereka. Sekarang Bakso Obama sudah memasuki usia sebulan. Obama
dalam bahasa Jawa punya singkatan seperti ini: ora obah ora mangan, tidak
bekerja tidak makan. Pernikahan selalu menghadirkan keajaiban kepada diri
sendiri dan semua orang yang datang mensyukurinya.
Hari ini
adalah hari ulang tahun pernikahan ke-14 tahun saya dengan suami. Kami semua
makin menua. Bumi lebih tua tetapi tetap memelihara kehidupan. Bumi adalah
inspirasi dari kehidupan yang mengairahkan diri mencapai komitmen bersama di
tahun-tahun mendatang. Biarlah saya diberikan melihat mentari dalam
keajaibannya. Saya sudah diberikan kesempatan oleh semesta raya. Ketika terlalu
banyak kelabu, awan di musim penghujan. Keajaiban semesta terjadi di sore
tanggal 28-12-2012 ketika mentari sore membentuk payudara terbalik tampil di
batas horizon di lautan selatan yang bisa ditatapi dari Pondok Jati Rasa.
Keajaiban dan keabadiannya saya bagikan kepada jejaring saya di Facebook.
Ibu bumi ilahi sedang menyusui semesta raya.
Tetapi
haruskah narasi payudara ilahi diperbesar-besar dengan menafsir tentang apa
maknanya? Mungkin alam semesta hendak berbicara kepada saya supaya meniru
lakunya yang terus merawat bumi. Bencana kapan saja bisa terjadi dalam
hidup manusia. Perempuan adalah sosok yang sudah siap untuk menjadi tiang
penghiburan dan perawatan bagi keluarga dan masyarakat. Merawat anak-anak
saya! Mereka yang tersebar di mana-mana, mereka anak-anak kehidupan!
Mungkin itu yang bisa saya simpulkan menutup narasi tahun ini. Setiap tiang
bisa berbeda bentuk, dalam keindahan dan kekuatannya. Jadi inikah
sebabnya saya berbahagia? Saya bahagia! Terpujilah Allah semesta raya.
*) seorang
aktivis akar rumput, antropolog dan teolog tinggal di Yogyakarta
Dua belas
hari Natal 2011: Bersama Sang bayi kudus memasuki Tahun Baru 2012
Oleh:
Farsijana Adeney-Risakotta*)
Masa Natal
diapit oleh masa Advent dan masa Epifania. Masa advent adalah masa persiapan
sebelum Natal, yaitu kira-kira 4 minggu sebelum tanggal 25 Desember. Sedang
masa Epifania dimulai sesudah Tahun Baru. Epifania terkait dengan perayaan kedatangan orang Majus
melihat bayi Yesus. Dalam tradisi gereja timur, epifania berkaitan dengan
tradisi baptisan yang terjadi pada Yesus Kristus, sesudah perayaan hari Natal pada tanggal 6 Januari.
Memasuki
Natal 2011 hingga menjelang Tahun Baru, saya memikirkannya, mengapa ada Natal
dan Tahun Baru? Mengapa Natal dan Tahun Baru bersisian sebagai satu paket?
Umat
Kristiani mewarisi Natal dalam tulisan-tulisan Injil di Perjanjian Kedua. Injil Matius dan Lukas menuliskan cerita
tentang kelahiran Yesus Kristus. Hanya Injil Yohanes menuliskan kelahiran
sebagai pemaknaan logos yaitu firman yang menjadi manusia. Bentuk penyajian
tulisan dalam Injil Yohanes lebih filosofis untuk menjelaskan iman Kristiani
kepada masyarakat berlatar belakang gnosis yaitu aliran pengetahuan yang
mengintegrasi berbagai ajaran tentang kehidupan.
Kedua Injil,
Matius dan Lukas menutur tentang kelahiran Yesus Kristus sebagai bagian dari
kronologis sejarah seorang manusia. Terlahir dari darah biru Raja Daud yang
berakar pada tradisi kerajaan Israel, Yesus Kristus sekaligus adalah messiah
yang dinantikan untuk melakukan pembaharuan perjanjian Allah dengan manusia.
Berbeda
dari kebanyakan realitas kebiruaan seorang keturunan raja, Yesus Kristus
dilahirkan dari darah perawan Maryam di kandang hewan di Betlehem. Lokasi yang sering dianggap hina, ternyata
adalah tempat yang maha penting dalam sejarah kelahiran bayi Yesus
Kristus. Karena di tempat inilah,
kelahiran Yesus Kristus ternyata mempertemukan tiga orang Majus, mewakili kaum
kerajaan, intelektual dan pedagang dengan para gembala yang kehidupan
sehari-harinya berada di padang belantara.
Mereka yang
datang menemukan keajaiban Allah dalam diri sang bayi kudus, Yesus Kristus yang mengenainya masing-masing menerima tanda
yang berbeda-beda. Para gembala mengetahui tentang kelahiran Yesus karena
didatangi sendiri oleh malaikat-malaikat ketika mereka sedang mengembalakan
ternaknya di padang. Sedangkan para Majus dari Timur melihat tanda
kemahakuasaan Allah melalui petunjuk dari bintang yang besar membiru lain dari
biasanya. Mereka mengikuti bintang sebagai petunjuk sampai tiba di kandang di
mana sang bayi sedang dibaringkan di dalam palungannya di kota Betlehem.
Cerita
kisah kelahiran bayi kudus ini masih direnungkan sesudah 2000 tahun silam sejak
peristiwa sejarah dari kelahiran Yesus Kristus. Dalam tradisi Kristiani, kisah
kelahiran bayi Yesus Kristus diabadikan melalui perayaan Natal. Natal sebagai
kata berakar pada bahasa Latin, Natalis, yang berarti kelahiran. Kitab-kitab Injil tidak mencatat secara pasti
kapan Yesus Kristus dilahirkan. Tetapi narasi kelahiran seperti yang dijelaskan
di atas, dengan dimulai dari pemilihan ibunda Yesus, Maryam yang dilakukan
sendiri oleh Allah merupakan tradisi yang dipercayai di kalangan umat Kristiani
maupun umat Muslim sebagaimana kisahnya dituliskan dalam buku Maryam dalam Al
Quran.
Tulisan
saya lainnya pernah menjelaskan tentang perbandingan peran Maryam dalam
kelahiran Yesus Kristus sebagaimana digambarkan oleh Injil maupun dalam Al Quran
(lihat Natal Perbandingan Alkitab dan Al Quran untuk analisis konspirasi advent
di Amerika Serikat <old.nabble.com/Natal:-Perbandingan-pemberitaan-dalam-Alkitab-dan...>).
Walaupun Gus Dur pernah menulis tentang adanya perbedaan maksud perayaan
Natal dan Maulid di kalangan umat Muslim (Harlah, Natal dan Maulid, di dalam media.isnet.org/antar/etc/GusDurNatal.html).
Argumentasi Gus Dur terkait dengan kepercayaan umat Kristiani bahwa Natal diperlukan karena kelahiran Yesus Kristus sebagai upaya penebusan dosa asal yang diwarisi manusia sejak kejatuhan manusia pertama (Adam) dalam dosa. Sedangkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW mulai dilakukan pada masa perang salib di tanah suci
Yerusalem untuk menguatkan kaum muslim dalam perjuangan mereka bersama melawan infidal.
Pada sisi
tertentu, saya bahkan berpendapat bahwa tentang tanggal kelahiran Yesus yang
tidak dicatat oleh penulis Injil sebenarnya menunjukkan upaya untuk tidak
terjebak pada berbagai bentuk perayaan yang serupa dengan perayaan hari ulang
tahun raja yang sangat meriah diupacarakan pada saat itu. Alasan gereja kemudian menetapkan perayaan
Natal pada kira-kira abad 6 M adalah untuk mempersatukan umat Kristiani sebagai suatu oikus, rumah yang
berada dan tersebar dimana-mana. Jadi
alasan ini hampir mirip dengan penetapan perayaan Maulid di kalangan muslim.
Pilihan tanggal perayaannya dilakukan oleh
Gereja dengan mengadopsi hari perayaan keberadaan matahari terpanjang pada
bulan Desember di musim dingin. Pilihan hari perayaan tanggal 25 Desember
adalah upaya kontektualisasi dalam teologi Kristen terkait dengan kelahiran
Yesus Kristus. Secara historis, gerakan
penolakan kontekstualisasi teologi kelahiran bayi Yesus pernah terjadi di
kalangan puritan Inggeris di sekitar abad 15 M. Tetapi gerakan puritan ini terlalu lemah untuk
mengubah wacana gerakan kontektualisasi teologi Kelahiran Yesus Kristus karena
kemudian diakui bersama tentang lamanya perayaan Natal yaitu 12 hari terhitung
dari tanggal 25 Desember sampai tanggal 6 Januari. Gereja-gereja Katolik dan
Protestan merayakan Natal pada tanggal 25 Desember. Gereja-gereja Timur
(Ortodoks) merayakan Natal pada tanggal 6 Januari.
Perbedaan
tanggal perayaan tidak menghilangkan maksud dari pekerjaan penyelamatan Allah
kepada manusia dan alam semesta seluruh melalui kelahiran Yesus Kristus. Yesus
lahir mempertemukan berbagai lapisan masyarakat mulai dari kalangan ningrat,
terpelajar, pedagang sampai dengan mereka yang papah dan terpinggirkan.
Kelahirannya adalah bagian dari rencana penyelamatan Allah untuk memperbaharui
relasi sosial yang terputus dan kebijakan bersama yang tidak adil untuk
mendatangkan kesejahteraan bagi semua.
Fenomena
sang bayi pembawa damai, keadilan, penghiburan dan ketenangan sudah dinantikan
sejak jaman nabi-nabi seperti dijelaskan
dalam Kitab Yesaya pada Perjanjian Pertama (Yesaya 61: 1-2). Bunyinya: “ Roh
Tuhan Allah ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah
mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan
merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada
orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari
penjara, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan..”
Gambaran
penugasan Sang juru selamat, messiah yang dinantikan digenapi dalam kelahiran
Yesus Kristus. Sang bayi berdarah biru, adalah pelayan manusia. Tugas pelayanan
terhadap manusia, seringkali bukan merupakan agenda dari para raja-raja yang
berkuasa di dunia. Kekuasaan manusia adalah kekuasaan untuk menaklukan,
mengalahkan, memenangkan pertarungan, meminggirkan mereka yang kalah dan
memelihara kebencian sebagai akibat dari derita kekerasan yang pernah
diterimanya. Bayi Yesus, sang Pendamai dibutuhkan untuk meluruskan kembali
jalan Allah dalam dunia ini untuk mengiring pembuat kebijakan, kaum
aristoraksi, kaum intelektual, kaum politikus, kaum pedagang, kaum birokrat
untuk mengingat tentang tujuan pelayanan abadi yang mereka emban.
Bayi Yesus
tidak cukup diposisikan dalam tradisi untuk memberikan legitimasi terhadap
penampakan luar dari kehidupan bermasyarakat yang dapat terlihat bersama,
tentang ketulusan politik seseorang atau sekelompok orang. Perayaan Natal adalah memberikan kesempatan
kepada diri sendiri maupun kelompok, atau umat untuk melakukan dengan sungguh
perjuangan pembebasan sebagai rahmat Allah yang merupakan hak dari semua makluk
di mana semua umat manusia yang dikasih Allah hidup dan berada. Tanpa
pembebasan diri kita dari berbagai tujuan hidup yang akhirnya mengorbankan
menyebakan ketidakadilan ketiadaan bahagiaan, damai sejahtera, ketenangan,
perayaan Natal akan tampil sebagai cara memuaskan ego spiritualitas pribadi dan
umat yang cenderung bersifat semu semata.
Disinilah
maknanya terhadap persiapan memasuki Tahun Baru 2012. Tahun Baru, yaitu 1 Januari menurut kalender Gregorian adalah suatu
tanda penyertaan Allah kepada umat manusia. Tahun Baru adalah bagian dari rangkaian perayaan 12 hari Natal. Dalam tradisi, menurut perhitungan
Gereja, 1 Januari adalah delapan hari sesudah kelahiran Yesus yang kemudian
diserahkan kepada Allah. Yesus dibawah ke dalam Sinagoge untuk diterima oleh
umat sebagai tanda kesediaan orang tua dan jemaat membimbingNya menuju pada
jalan Allah. Umat Kristiani khususnya
belajar untuk mengantarkan dirinya kepada Allah membimbingnya menjalani lagi
365 hari yang masih misteri untuknya.
Tahun Baru
adalah tanda tindakan penyertaan Allah dalam hidup manusia. Menyatakan diri
mengikuti jalan Allah, bisa dilakukan oleh berbagai agama, menurut pemahamannya
masing-masing. Mengikuti dan menyerahkan diri kepada Allah merupakan inti dari
kehidupan iman yang nampak pada ajaran agama-agama di muka bumi, sebagaimana juga bagian dari iman Kristiani dengan keunikan ajaran dan penafsirannya.
Perayaan Tahun Baru
bukan sekedar penerimaan otoritas pergantian tahun menurut kalender Gregorian, tetapi telah
menjadi bagian dari pergumulan iman setiap insan manusia. Kemisterian tentang
masa depan, dikembalikan lagi kepada sang Pencipta, yang dipercayai dapat
menuntun kehidupan manusia ciptaanNya. Kepastian tentang tangan Sang Pencipta,
tangan Allah yang mengasihi umatNya memberikan peneguhan penerusan langkah
kehidupan dari mereka yang percaya penuh kepadaNya.
Tanpa ramalan-ramalan, termasuk adanya ramalan kiamat di tahun 2012, mereka merasa tenang melakukan apa yang diwajibkan
demi mencapai kehidupan yang adil berdamai sejahteraan dengan alam semesta dan seluruh
ciptaanNya.
Selamat Natal 2011 dan
Tahun Baru 2012.
*) Seorang aktivis
akar rumput, antropolog, dan teolog tinggal di Yogyakarta
Pertanggungjawaban
Representasi Perempuan Politik.
Refleksi
83 tahun perjuangan perempuan Indonesia
Oleh:
Farsijana Adeney-Risakotta*)
Pemikir
politik, Hanna Pitkin (1967) meneliti
tentang sejarah representasi sejak jaman Yunani sampai dengan pemerintahan
demokrasi Amerika Serikat di abad 20. Penelitian ini mendefinisikan
representasi sebagai aktivitas untuk
menghadirkan suara warganegara baik dalam bentuk perspektif, opini melalui
proses pembuatan kebijakan publik. Representasi politik terjadi apabila
pelaku-pelaku politik berbicara, mengadvokasi, bertindak atas nama yang lain.
Istilah politik
menjelaskan tentang pengaturan relasi kekuasaan dalam suatu sistem yang
disepakati bersama. Asal usul kata politik dalam bahasa Yunani berkaitan dengan
tata cara pengaturan kehidupan di kota. Mereka yang terlibat dalam pengaturan
kota disebut warganegara. Melalui buku
ke-2 Aristoteles, Politics: A Treatise on
Government yang ditulis 2400 tahun
lalu, penjelasan tentang warganegara dipaparkan bersandingan dengan diskursus
tentang representasi mereka dalam pengaturan kota melalui pemilihan umum. Kemajuan demokrasi terlihat karena keputusan
penyelenggaraan kota bukan semata wewenang dari kaum aristokrasi. Warganegara
pada jaman itu adalah para lelaki yang bebas,
pengrajin, birokrat pemerintah, pemilik tanah dan bangsawan.
Perempuan dan
budak belum termasuk dalam kategori warganegara dan partisipasi mereka belum
ada dalam pengaturan kota. Jadi keterlibatan perempuan dalam politik merupakan perubahan panjang dari sejarah
pergerakan berabad-abad, rentangnya masih muda dan terus harus diperjuangkan.
Mekanisme politik representasi menunjukkan keterlibatan semua warganegara tanpa
perbedaan gender dan status sosial dalam pengurusan kepentingan-kepentingan
bersama di dalam masyarakat dan negara.
Di Indonesia,
dampak dari Reformasi mengubah dan mengembalikan spirit gerakan perempuan di
awal perjuangan kemerdekaan Indonesia seperti terjadi pada Kongres Perempuan
Pertama pada tanggal 22 Desember 1928 yang perayaannya dilakukan sebagai hari Ibu. Kongres ini adalah contoh dari politik
kolektif perempuan memperjuangkan hak-haknya dan hak bersama merebut
kemerdekaan. Stagnasi dari pergerakan
perempuan semasa Orde Lama dan domestiksasi gerakan PKK pada masa Orde Baru
mendapat perubahan yang signifikan pada masa Reformasi.
Keterwakilan
perempuan berkaitan dengan argumentasi bahwa hanya perempuan yang dapat
memperjuangkan kepentingannya. Dari
masalah air, listrik, pangan , pendidikan, kesehatan, KDRT, akses kepada
fasilitas umum, sandang dan partisipasi ekonomi yang adil memerlukan
keterlibatan perempuan merumuskan kebijakan-kebijakan yang berperspektif adil
gender. Kontribusi perempuan tidak cukup
hanya sebagai pembayar pajak kepada negara.
Hasil penelitian
UNDP di berbagai negara menunjukkan korelasi antara tingginya partisipasi
perempuan sebagai legislator terhadap pencapaian pembangunan di semua ranah.
Dampak Reformasi dengan hadirnya berbagai perundangan yang terkait dengan
keterwakilan perempuan sampai 30% yang adalah produk dari kebijakan tindakan
khusus sementara (Instruksi Presiden No 2/2000, UU no 12/2003, UU no 10/2008,
UU no 31/2002) ternyata turut berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas
perempuan dan kepercayaan masyarakat untuk memilih perempuan sebagai wakil
rakyatnya. Presentasi dan prestasi keterlibatan perempuan bisa terlihat pada
penambahan representasi perempuan baik di DPR ( 18,04% ), DPD ( 26,52% ) sampai pada tingkat DPRD Tingkat I dan
Tingkat II. Perempuan juga mulai dipercayai masuk dalam kepengurusan partai
politik pada jabatan-jabatan yang strategis.
Search for Common Ground memfasilitasi Refleksi Politik Perempuna Parlemen dengan menghadirkan anggota legislatif perempuan DPRD dari beberapa propinsi, DPD RI (GKR Hemas), aktivis Koalisi Perempuan Indonesia dari beberapa daerah dan aktivis dari Solidaritas Perempuan.
Transformasi
politik representasi yang menguntungkan perempuan ini mengundang kewaspadaan kritis dari perempuan politik
maupun seluruh lapisan gerakan perempuan di Indonesia. Tantangan itu terutama berkaitan dengan
pertanggungjawaban politisi perempuan terhadap agenda keberpihakan
memperjuangkan isu-isu yang sangat dekat dengan realitas perempuan Indonesia
saat ini. Menurut BPS RI jumlah penduduk
perempuan tahun 2001 lebih banyak dari lelaki (51%).
Pertumbuhan
populasi perempuan ini belum sejalan dengan pencapaian tingkat kesejahteraan
yang dinikmatinya. Kemiskinan masih mendominasi warna kehidupan perempuan di
Indonesia. Berbagai faktor kemiskinan
yang terkait dengan rendahnya pendidikan, hambatan sumber-sumber alam yang
dapat dikelola dan kebijakan pemerintah yang tidak sensitif gender. Rata-rata penghasilan perempuan masih belum
memenuhi syarat dari ketentuan PBB untuk mencapai pembangunan milinium yaitu $2
per hari atau kurang dari Rp 20.000 per hari.
Seorang wakil
rakyat yang mewakili dirinya sebagai bagian dari politik representasi perempuan
seharusnya membawa kesadaran tentang kenyataan banyaknya perempuan Indonesia
yang miskin. Adalah suatu malapetaka apabila representasi politik perempuan
semata-mata dicapai untuk memenuhi
strategi kepartaian terutama apabila perempuan menjadi jalan pintas penyaluran
dana-dana proyek kepada partai. Kasus yang sedang kita semua amati terkait
dengan kemungkinan keterlibatan politisi Angelina Sondakh dalam dugaan korupsi
bersama di jajaran Partai Demokrat bukan saja melemahkan partai itu sendiri
tetapi perjuangan bersama gerakan perempuan untuk mewujudkan keadilan sosial,
kesejahteraan dan perdamaian dalam pembangunan di Indonesia. Deretan nama
perempuan lain yang diduga terlibat korupsi juga bisa ditambahkan dalam daftar
panjang korupsi di Indonesia saat ini.
Kasus-kasus
keterlibatan perempuan dalam korupsi patut direfleksikan mendalam oleh gerakan
perempuan di Indonesia terutama memikirkan bentuk penguatan kapasitas politisi
perempuan supaya bisa resisten terhadap sistem konspirasi korupsi di
sekitarnya. Bahkan dari resistensi ini, diharapkan korupsi sebagai epidemik
dari penyakit bersama bisa diberantas.
*) Akitivis akar
rumput, antropolog dan teolog tinggal di Yogyakarta
Satu dekade 11 September 2011 dan Tarikan Kerusuhan Ambon
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Ketika
masyarakat Amerika Serikat memperingati 10 tahun 11 September, kami pada hari
itu melakukan ibadah syukur (memorial service) untuk ibunda suami saya, Bernie.
Grandma Ruth, biasa saya memanggilnya
meninggal 1 September 2011. Bernie adalah anak bungsu dari Ruth dan David
Adeney. Lahir di Shanghai, Cina dari keluarga Pendeta, Bernie sejak kecil
terbiasa hidup dengan banyak orang. Rumah orang tuanya penuh dengan mahasiswa/I
ketika mereka masih di berbagai tempat di Cina juga sesudah mereka pensiun dan
menetap di Berkeley di mana Bernie dan keluarga tinggal.
Sekarang
ini Bernie sudah hampir 21 tahun tinggal dan kerja di Indonesia. Kecintaannya
kepada manusia, budaya dan agama-agama menarik hatinya. Ia belajar tentang
budaya Asia di Universitas Winsconsin. Kesadaran terhadap ketidakadilan dan
upaya mengatasinya membentuk Bernie menjadi aktivis anti perang Vietnam,
rasisme dan feminism dari tahun 1966-1970.
Sesudah empat tahun hidup di Eropa, Bernie kembali ke AS dan menetap di Berkeley
untuk memulai pelayanan bagi orang miskin.
Di sini, di
pantai barat California, dari tahun 1978-1982 Bernie disadarkan tentang ancaman
kebijakan pemerintah AS mengenai pengembangan reaktor nuklir terhadap
masyarakat dan dunia. Kebijakan ini menakutkan karena membawa dunia
kepada kehancuran. Pada era itu belum banyak orang sadar tentang bahaya nuklir.
Sebagai aktivis perdamaian, Bernie melakukan gerakan penyadaran dampak
nuklir melalui publikasi, mengorganisir demonstrasi yang dihadiri banyak orang
untuk sekaligus mendengar pidato-pidatonya. Semuanya dilaku di Berkeley dan di berbagai tempat di USA sebelum belajar S3 dengan meneliti
kebijakan pemerintah AS terkait dengan nuklir.
Keprihatinan
itulah yang mendorong Bernie menekuni riset S3 untuk mengerti bagaimana
kekerasan dan perang dalam pemikiran sejarah pemikiran barat. Kajian yang mempertemukan kebijakan keamanan dengan pandangan dan praktek moral keagamaan. Di bawah
bimbingan beberapa professor dari UCB, yaitu Prof. Ernst Haas (Political
Science dan International Relations) dan Prof. Kenneth Walz (UCB- International
Relations), dan tiga Prof lainnya dari Graduate Theological Union yaitu Prof.
John C. Benneth (GTU-Political Ethics), Prof.Robert McAfee Brown (GTU-Liberal Theology and Ethics), dan Prof
William Spohn SJ (GTU-Religion and Societyt), akhirnya sebuah disertasi dengan
judul “Just War, Political Realism, and Faith diterbitkan pada tahun 1988.
Ingatan
kami dibawa kepada pandangan mata dari tragedi World Trade Center yang muncul
berkali-kali sebagai berita utama selama berminggu-minggu di TV. Ketika
peristiwa itu terjadi kami sedang tinggal di Amsterdam. Saya menyelesaikan
penulisan disertasi dan Bernie melakukan penelitian di IIAS di Amsterdam.
Tetapi pada saat tragedi 11 September 2001 Bernie sedang berada di AS menghadiri American Academy of Religions. Rencana
kepulangannya harus ditunda beberapa minggu sebelum akhirnya bisa tiba dengan
selamat di Amsterdam.
Saya
membaca buku Bernie yang mengisahkan tentang dampak pengembangan teknologi yang
cenderung menghancurkan dunia. Tetapi ternyata penguasaan teknologi tinggi yang dimiliki oleh
AS masih belum memberikan jaminan bagi keselamatan warga negara di AS.
Malapetaka hadir sebagai tragedi yang malahan menghancurkan AS. World Trade
Center dihancurkan karena pesawat bunuh diri menjadi senjata untuk
menghancurkan pusat bisnis dunia termasuk mengorbankan ribuan orang yang berada
di sana. Trauma dari kehancuran WTC dan New York City masih ada dalam benak
penduduk di sana.
Tahun 2007,
saya menjadi representasi Fulbright untuk program pertamanya yang disebut
Interfaith Community Action Program. Sesudah tiga minggu kami berada di UC
Santa Barbara, di California, saya pindah ke Barnard College, University Columbia
untuk mengajar bersama Janet Jacbson. Tinggal selama hampir 3 bulan di New York
City, memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenal dari dekat upaya
masyarakat mengatasi trauma dari tragedi 11 September.
Saya
beberapa kali ke Ground Zero di mana dulu berdiri bangunan World Trade Center. Ground
Zero terletak di Lower Manhattan, New
York City, sekarang sedang dibangun kembali. Kalau dulu WTC semata-mata adalah
gedung bisnis, diharapkan Ground Zero paska 11 September 2011 akan menghadirkan
dirinya sebagai gedung yang holistic. Pada dirinya ada catatan sejarah dari
tragedi yang menyebabkan meninggalkan lhampir 3000 orang, ratus ribu orang
yang mengalami trauma petaka itu. Sebenarnya tahun 1993, Ground Zero juga sudah
menjadi sasaran peledakan bom.
Perubahan
wajah Ground Zero paska 11 September merepresentasikan perubahan wajah AS baik
secara politik, sosial ekonomi dan budaya. Ketika tragedi itu terjadi istilah
teroris muncul dalam wacana politik AS. Menurut Mark Juerensmeyer (2003)
penamaan pelaku tragedi 11 September dapat tampil berbeda-beda karena
latarbelakang pandangan dan praktek politik yang berbeda. Untuk mereka yang
menghendaki damai, tragedi 11 September merupakan perbuatan dari kelompok yang
disebut teroris. Sedang bagi mereka yang mempersoalkan kedamaian, dengan
menggugat langsung ketidakadilan, tragedi 11 September merupakan bukti dari
legitimasi melawan dominasi politik luarnegeri Amerika Serikat.
Pandangan
pemikiran Mark Juerensmeyer dibangun dengan mempelajari secara berimbang sejarah
bangkitnya perlawanan para legitimator terhadap kebijakan politik luarnegeri
pemerintah AS yang tampil menjalankan “islamophobia”. Tetapi pada saat yang sama, kehancuran USSR
sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik luarnegeri AS yang melatih
kelompok-kelompok fighter di berbagai daerah caplokan USSR seperti dilakukan di
Afganistan. Saya pernah dalam artikel “Mahalnya Perdamaian Dunia”
menggambarkan hubungan antara pemerintah
AS dengan mantan fighter, seperti Osama bin Laden sebagai anak dan orang tua di
mana sang anak akhirnya memerontak setelah mengerti dirinya sedang diperangkap
oleh orang tuanya.
Kebinasaan
sudah terjadi. Osama bin Laden sudah dimusnakan. AS sudah dihancurkan dalam
tragedi 11 September. Apakah AS berubah? Ke arah mana AS mengubah? Itu
pertanyaan saya sejak tragedi 11 September 2001. Setahun sesudah tragedi 11 September, saya diundang
datang ke AS dua kali. Pertama dengan mba Syafatun Al-mirzanah, dosen UIN Sunan
Kalijaga yang pada waktu itu sedang belajar S3 di Lutheran School of Theologi
di Chicago. Kedua, ketika saya diundang oleh Bi Nasional Service. Cerita
tentang ini sudah saya singgung sedikit dalam tulisan tentang Virginia Hadsell
(Membaringkan jasad grandma).
Bersama mba
Syafatun, kami diundang oleh Presbyterian Church USA untuk menjadi peserta
pertama program Interfaith Listening, Christian-Muslim Dialogue. Kami memulai perjalanan dari Stony Point, NY, di mana kami bertemu dengan
berbagai delegasi sepasang, Muslim dan Kristen dari berbagai negara di Afrika,
India, Timur Tengah, Eropa dan Asia. Saya ingat mendiskusikan bersama Al-Hajj
Yussuf Murigu dari Kenya tentang buku penggangan perdamaian yang mengikutkan
doa-doa dari berbagai agama. Sesudah itu
kami berdua terbang ke Pittsburgh, kemudian ke Seattle, dan kembali lagi ke Stony Point di NY
untuk evaluasi.
Gereja
melakukan program khusus untuk membangun dialog dengan orang AS muslim yang
pada saat itu sesudah 11 September tampil seperti tertuduh. Diskriminasi dan
tekanan kepada komunitas Muslim dan mereka yang berwajah Arab sangat kuat.
Banyak ahli mengakui, tragedi 11 September ternyata membantu Islam keluar dari
bawah tempurungnya. Mesjid-mesjid
membuka diri untuk menerima kunjungan dari berbagai orang yang hendak belajar
tentang Islam. Orang ingin tahu apakah
benar Islam seperti yang dipotretkan sebagai teroris? Apakah Islam mengajarkan
kekerasan? Bahkan banyak orang di AS menjadi Muslim melalui keterbukaan mesjid
dan kaum Muslimin yang penuh dengan cinta kasih. Islam bertumbuh menjadi agama
yang berkembang pesat sesudah Kristen di AS.
Saya ingat
tanggal 11 September 2002, umat Muslim, Kristen dan Yahudi berdoa bersama di
East Liberty Presbyterian Church di Pittsburgh. Sholat secara jemaah bahkan
dilaksanakan dalam gereja berarsitektur ghotik yang dibangun tahun 1819 ketika
industri biji besi yang sedang booming di AS pada waktu itu. Gereja ini juga
disebut sebagai Cathedral of Hope. Dalam
setiap kesempatan menjelaskan tentang hubungan Islam dan Kristen di Indonesia
adalah menceritakan sejarah Indonesia sebagai suatu bangsa. Pergolakan Islam Indonesia
untuk menerima sesama warganegara lain dengan menjaminkan kesamaan dan keadilan
kepada semua berdasarkan iman dalam ajaran Islam menjadikan Indonesia tampil
berbeda dengan negara-negara Islam lainnya di dunia.
Kekerasan
yang melibatkan nama agama dan pengikutnya perlu dijelaskan secara hati-hati.
Penelitian yang saya lakukan di Maluku Utara tiba pada kesimpulan bahwa gerakan
perubahan politik di tingkat internasional, nasional bisa bergandengan bahkan
berpengaruh terhadap penguatan gerakan solidaritas yang memisahkan diri
berdasarkan etnis dan agama pada tingkat yang paling kecil seperti di
desa. Secara teori politik bisa
dijelaskan terutama mengingat tentang alat penyatu yang bisa dipakai untuk
menggerakan dan mengelompokan orang-orang dalam kepentingan dan kesadaran yang
mengikat loyalitas di masing-masing pihak.
Isu agama
menjadi alat yang paling jitu untuk memisahkan kelompok-kelompok masyarakat di
Indonesia. Berbeda dengan konteks di AS di mana isu rasis dan gender bisa
dipakai untuk melakukan pemisahan dalam pengelompokan di masyarakat. Di
Indonesia, agama tampil kuat untuk membangun loyalitas dan sentimen permusuhan
karena dalam dirinya sudah mengandung teologi yang saling menggugat
keorisinalitas, keortodoksian dan legitimasi keilahian Sang Pencipta yang dipercayainya.
Dalam kasus
konflik Ambon misalkan, sentimen etnis dipakai sebagai alat loncatan untuk
membangun kesadaran pengelompokan sebelum penggarisan agama tampil menguatkan
perbedaan di dalam masyarakat. Misalkan istilah BBM yang berarti Bugis Buton
Makassar tampil mengawali konflik antara orang Maluku (Ambon) dengan orang luar
yang terkait dengan perebutan sumber-sumber ekonomi. Tetapi kemudian muncul isu
pembedaan kelompok yang terkait dengan Islam dan Kristen. Pada babak berikut
tampil kemudian pengelompokan konflik yang disebut RMS, artinya Republik Maluku
Selatan dengan penunjukkan langsung pada kaum Kristen/nasrani dan kelompok
Muslim atau Republik (Farsijana Adeney-Risakotta, 2005, 254). Fantasi dari konstruksi konflik dengan
pengelompokkan ini sudah pernah saya bahas dalam tulisan saya tentang Fantasi
Separatisme (Kompas, 2004).
Ketika AS
sedang menyelenggarakan 1 dekade 11 September, kami masih di Berkeley, saya
sangat sedih mendengar dari beberapa teman tentang pecahnya kerusuhan di Ambon
pada tanggal yang sama. Dua tulisan di internet yang saya baca bahkan mulai
mengembangkan peristilahan yang sebelumnya tidak muncul dalam konflik Ambon.
Istilah kelompok salibis merupakan istilah yang didalam analisa saya coba
mempertentangkan dengan istilah sabilis yang merupakan nama dari majalah muslim, Sabili
dan banyak melaporkan tentang kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh kelompok
nasrani terhadap kelompok muslim. Salibis berasal dari kata salib, yaitu
kelompok penganut salib. Sedangkan istilah sabilis diambil dari rangkaian
kalimat “mujahid fi sabilis” yaitu mereka yang meninggal karena melakukan
jihad.
Dunia yang saling terhubungkan meretak karena perang.
Koleksi pribadi dari perjalanan ke gedung PBB pada tahun 2007
Konflik
Ambon pernah mengangkat istilah lokal untuk membedakan kaum Muslim dengan
menyebut kaum Acang dan kaum nasrani yang dipanggil Obed. Kedua nama ini adalah
nama tokoh rekaan dari siaran RRI di awal
tahun 1980an ketika saya masih bersama orang tua tinggal di Ambon, yaitu
obrolan Oom Obed dan Oom Acang. Keduanya ditampilkan sebagai teman yang selalu mengomentari kehidupan sehari-hari di sekitar
pulau Ambon. Tetapi kerusuhan Maluku, pertemanan oom Obed dan oom Acang malahan
dijadikan tanda permusuhan.
Tahun 2004
pernah ada upaya kerusuhan yang terjadi bertepatan dengan hari ulang tahun RMS.
Tetapi syukurlah kerusuhan tersebut ditanggapi kritis oleh masyarakat yang
sudah bosan dengan kekerasan, yang setiap saat berhadapan dengan kematian dari
pada kehidupan. Dalam beberapa jam kerusuhan tersebut bisa diisolasikan
sehingga tidak menyebar ke berbagai tempat. Terkesan hal yang sama terjadi
dengan kerusuhan pada tanggal 11 September 2011. Laporan dari teman-teman di
lapangan yang sudah dapat mengidentifikasi pemain-pemain yang memicu kekerasan
tersebut cukup melegakan hati saya (lihat tulisan Jacky Manuputti-Facebook).
Akan tetapi
bagi saya, kerusuhan 11 September 2011 di Ambon perlu dipergunakan untuk
meluruskan berbagai pandangan yang coba dimentahkan terkait dengan anggapan
bahwa kekristenan di Maluku adalah produk dari kolonialisasi sama halnya dengan
praktek Pela. Pandangan yang mempersoalkan pela dan kekristenan sebagai produk
kolonialisasi sama saja dengan mengatakan Islam adalah produk dari Arabisasi. Hindu
dan Budha adalah produk dari Indianisasi. Indonesia sebagai daerah kepulauan
yang kaya sumber-sumber alamnya sejak dulu dipengaruhi oleh berbagai pengaruh
politik, budaya dan ekonomi dari luar.
Istilah Indonesia untuk negara kita sendiri bukan kata asli dari sini,
tetapi bahasa Junani yang menunjukkan kepulauan di bagian selatan dari India.
Jadi
sebaiknya saya menjelaskan sendikit tentang Pela. Pela adalah tata cara hidup
saling tolong menolong karena ikatan darah maupun adopsi. Pela merupakan
praktek kehidupan yang melibatkan hubungan tolong menolong di antara desa. Ada desa muslim yang berpela dengan desa
Kristen karena terkait dengan ikatan darah. Bentuk pela ini disebut pela
gandong. Misalkan kakek saya, Risakotta
berasal dari desa Hatu mempunyai pela dengan negeri Lima yang muslim. Ikatan
pelanya adalah pela gandong karena negeri lima adalah saudari perempuan yang
muslim dan desa Hatu adalah saudara lelaki yang Kristen.
Dalam
penelitian saya di Maluku Utara, di mana praktek tukar menukar ada dalam
hubungan keluarga, memang tidak disebutkan pela. Tetapi praktek saling tolong diantara keluarga
disebutkan “teke si dohawa” (Farsijana Adeney-Risakotta, 2005, 88). Istilah pela diartikan oleh Leirissa sebagai “berakhir”
atau “diselesaikan” dengan menunjukkan pada pertengkaran yang terjadi diantara
dua captain. Pembahasan Leirissa ini saya bahas dalam disertasi. Akan tetapi saya masih bertanya keterkaitan
pela yang melibatkan praktek hubungan di antara dua atau lebih desa. Bagaimana
hal tersebut terjadi?
Hanya
beberapa dua tahun lalu ketika kami di Iowa, saya belajar tentang kota kecil
yang bernama Pella. Kota ini adalah kota miniature dari Belanda. Ternyata
penduduknya adalah imigran dari Belanda di awal abad ke-19. Kepada salah
seorang teman di Pella saya bertanya mengapa kota ini diberikan nama Pella.
Sambil menerangkan bahwa di Ambon ada praktek cara hidup tolong menolong yang
disebut Pela, saya menunjukkan perbedaan dalam ejaan tertulis yang ketika
diperdengarkan berbunyi sama: “Pela”. Kemudian
dijelaskan bahwa kata tersebut diambil untuk menunjukkan situasi dari para
imigran yang baru pindah ke AS, yang pada waktu itu berstatus seperti kelompok
pengungsi. Jadi dengan menggunakan kata Pella, mereka, kaum imigran Belanda
diingatkan untuk hidup dalam janji untuk saling tolong menolong.
Kata Pella
disebut dalam prasasti-prasasti Mesir awal bahkan dalam catatan Amarna, yang
menyebut Pehel di Kanaan, yaitu suatu lokasi di sebelah timur Palestina. Kota
ini dibangun kembali dengan diberikan nama Pella dalam bahasa Yunani yang
merupakan salah satu dari dua kota Yunani tertua. Ia menjadi salah satu dari
Dekapolis, pusat Kristen dan pengungsi dari Yudea. Ketika saya mendapat
penjelasan tersebut, saya bayangkan situasi di mana terjadi perjanjian antara
komunitas muslim dan nasrani untuk mereka saling membantu sekalipun mereka
berbeda agama seperti yang dimaksudkan dalam konteks Maluku.
Sejarah Ambon adalah sejarah kepahitan karena kekayaan rempah-rempah yang membawa berbagai pedagang dari mana-mana bersaingan dan saling memperebutkan. Perang Hitu dan pengusiran orang-orang Portugis meninggalkan luka dan trauma bagi penduduk setempat. Mungkin saja pada waktu itu kelompok pemenang yaitu pedagang Belanda dan Kesultanan Ternate- Tidore harus melakukan proses perdamaian. Kemudian perjanjian damai muncul dengan menggunakan pengalaman dari "Pella", yang penerapan peristilahan dilakukan memperhatikan konteks paska perang di Maluku Tengah (Ambon) saat itu. Catatan-catatan sejarah tentang proses perdamaian tidak tersedia, tetapi konstruksinya bisa dibayangkan seperti yang dijelaskan.
Kalaupun istilah ini
muncul dari ajaran Kristiani yang merujuk kepada nama tempat di Yunani, Pella
yang artinya membuat janji, saya merasa tindakan membuat janji bersama sebagai
Indonesia untuk sama menyatakan setia kepada Pancasila. Pancasila sebagai istilah saja aslinya bukan
Indonesia.
Ketika
memikirkan tentang gugatan berbagai pihak tentang makna dan praktek pela, saya
teringat cerita dari suami ketika menghadiri ceramah pak Amin Abdullah yang
disampaikan pada panel di American Academy of Religions pada tahun 2006 di
Washington D.C. Ketika itu ada protes besar terhadap karikatur yang dibuat Jyllands-Posten
dari koran Denmark. Menanggapi
kontroversi itu, Prof Amin Abdullah yang pada waktu itu adalah Rektor UIN Sunan
Kalijaga menjelaskan bahwa ada dua hal yang nampak dari peristiwa itu. Pertama,
kartunis dari Denmark yang menunjukkan dunianya yang tidak beradab dan kedua, kelompok
yang bereaksi, protes dengan menggunakan kekerasan yang tampil menunjukkan
dunianya yang juga tidak beradab. Jadi kedua reaksi yang tidak saling
menghormati agama dari masing-masing kelompok menunjukkan ketidakberadaban.
Rumusan
pemahaman dari Prof Amin Abdullah ini sangat penting untuk didengar oleh
masyarakat dunia, terutama di Amerika Serikat.
Dampak dari 11 September telah mengubah wajah politik dan sosial
keagamaan di AS. 10 tahun peringatan 11
September adalah sebenarnya memperingati keterbukaan Amerika Serikat untuk
menerima warganegaranya dari agama lain, selain seorang Kristiani. Berbagai kelompok-kelompok muslim berdiri
untuk mengadvokasi hak-hak dan kepentingannya. Kaum muslim sama saja dengan
warga negara Amerika Serikat yang lain. Mereka bertanggungjawab untuk
memelihara masyarakat. Mereka terlibat memberikan makan kepada homeless. Mereka
mengekspresikan imannya dalam bentuk seni, budaya bahkan dengan ilmu
pengetahuan yang dipelajarinya.
Saya ingat
ketika berada di AS, ketika itu sedang bersama suami menjadi visiting scholar
di Pusat Studi Islam dari Graduate Theological Union di Berkeley, saya menulis
artikel tentang "Rahmat Ramadhan bagi bumi" untuk jaringan saya di Facebook.
Komentar yang saya terima dari seorang sahabat Spritualitas Indonesia, bahwa
Islam AS terbentuk menyerupai Kristen dalam cara menghayati kehidupan.
Sedangkan Kristen di Indonesia membentuk diri dalam pengaruh Islam. Sahabat saya ini, menggambarkan apa yang
disebut secara teknis dalam studi agama-agama sebagai istilah “adopsi” dan “adaptasi”.
Saya pernah
katakan kepada kelompok-kelompok Kristen dan Islam di mana mba Syafatun dan
saya berbicara, bahwa karena budaya, sebagai seorang Kristiani, saya merasa
lebih dekat dengan seorang muslim di Indonesia daripada seorang Kristen di
Amerika Utara dan Eropa. Mungkin saja pandangan ini bisa sama dengan seorang
Muslim di AS yang merasa dekat dengan seorang Kristen di sana daripada dengan
seorang Muslim di Indonesia. Kepedulian dalam berjuang bersama untuk kesetaraan
dan keadilan dalam negara seringkali mendekatkan berbagai kelompok yang ada
dalam negara tersebut.
Masa depan
agama-agama sesudah 11 September sangat penting untuk memelihara perdamaian di
dunia. Agama-agama harus terus mampu memberikan kesaksian dalam dunia tentang apa
yang harus dilakukan manusia supaya tetap hidup. Metode misi dan dakwah yang
memaksa orang untuk mengikuti agama yang dilakukan melalui kebijakan dari
kekuasaan negara atau kelompok dominan akan berakhir. Metode ini menyerumuskan
manusia untuk melakukan kekerasan yang akan berakibatkan kepada kepunahan
bersama.
Ketika 11
September 2001 mencekamkan dunia, Bernie menulis artikel yang menjelaskan
reaksi dari masyarakat Indonesia terhadap tragedi tersebut. Bahkan ada
mahasiswanya yang mengatakan bahwa tragedi 11 September adalah hasil kerja dari
CIA. Teori konspirasi diterima di berbagai kalangan di Indonesia. Reaksi
tentang pan Islam sebagai alternatif daripada nasionalisme muncul untuk
menghadapi dominasi barat. Tragedi 11
September dilihat sebagai jihad terhadap Amerika Serikat atas dosa-dosanya. 11
September dipandang sebagai bagian dari rencana Allah (dalam Nathan dan
Muhammad Hashim Kamali: 2005, 332).
Tetapi
peristiwa bom Bali menggegerkan masyarakat Indonesia. Ada dugaan keterlibatan
CIA dalam bom Bali. Tetapi yang paling menyentuh hati adalah kesediaan dari
masyarakat Bali sendiri untuk merefleksikan dirinya. Mereka bertanya kearah
mana perubahan yang sudah terjadi yang menjauhkan mereka dari kebaikan.
Perbedaan ini terasa dengan AS yang cenderung bereaksi termasuk menjatuhkan
semua kesalahan dari kekerasan tersebut pada terorisme.
Perbedaan
tanggapan ini pada akhirnya bermuara pada ujung yang sama. Karena anggota masyarakat baik di AS dan di
Bali berusaha untuk membangun pengertian di antara mereka, sehingga
tuduhan-tuduhan malahan berubah menjadi refleksi. Masyarakat memutuskan untuk
saling belajar satu sama lain daripada saling menuduh. Seperti terlihat pada
berbagai aktivitas bersama di antara umat beragama untuk saling mengupaya
pengertian, pengampunan dan mengembangkan saling kepercayaan satu terhadap
lainnya.
Makna 11
September 2011 yang diperingati di AS kiranya bisa menjadi inspirasi kepada
komunitas agama-agama di Indonesia. Termasuk juga masyarakat di tempat-tempat
di mana trauma dari konflik sebelumnya masih ada. Upaya untuk menjangkau ke
luar sesama manusia dari agama yang berbeda merupakan berkat untuk mengerti dan
saling menghargai perbedaan di antara kita. Untuk tujuan ini, pemerintah harus
terus didorong menjaminkan rasa aman dari warga negaranya. Termasuk
memfasilitasi terbentuknya RUU penanganan konflik yang memberikan jaminan
kepada warga biasa untuk tidak dijadikan tumbal dalam berbagai konflik sosial.
Rina, Carol dan saya sedang masak. Sambil memasak, Rina memutar lagu kesayangannya yang ditulis oleh penyanyi sekaligus pencipta lagu, Reuben Morgan. Judul lagunya “This is my desire” (1995)
Saya mengutip liriknya.
This is my desire to honor you
Lord with all my heart
I worship you
All I have within me
I give you praise
All that I adore
Is in you
Chorus:
Lord I give you my heart
I give you my soul
I live for you alone
Every breath that I take
Every moment I’m awake
Lord, have your way in me
Lagu ini kami bernyanyi berulang ulang. Saya terutama sesudah menulis semua liriknya mulai bernyanyi sendiri juga ketika semua sudah menghilang dari dapur. Ada banyak hal yang saya tidak mengerti dari upacara kematian grandma. Ketika ayah saya meninggal, kami memandikan dan mendadaninya.
Jadi selama hampir seminggu di rumah grandma kami belum melihat jasadnya, lagu “This is my desire” menjadi penghiburan kepada saya. Penutupan dari lagu ini indah karena mengingatkan saya terhadap doa Yesus di taman Getsemani yang meminta Allah mengangkat semua bebanNya tetapi bukan dalam jalanNya melainkan dalam jalan Allah sendiri.
Sampai beberapa jam sebelum kami ke pemakaman di Mountain View Cemetery, jasad grandma baru tiba di tengah-tengah keluarga. Ketika kami tiba di Berkeley, saya sangat sedih sesudah diberitahu kami tidak bisa melihat jasad grandma lagi. Tiba telat di Berkeley, hanya Glen, Rina dan anak-anak yang bisa melihat jasad grandma. Sebelum dikramasi, jasadnya dibawa ke County Morgue. Untuk melihat jasad grandma sebelum kramasi dilakukan ada ongkos yang besar, dua kali lipat dari total biaya yang harus dibayarkan, demikian penjelasan dari Glen.
Saya terdiam dan membayangkan kebiasaan di Indonesia, tanpa pandang bulu, setiap agama apapun ketika menghadapi kematian ternyata memperlakukan jasad sebagai pribadi yang diurus oleh anggota keluarga. Di AS, jasad seorang yang meninggal seolah-olah adalah urusan dari pasar. Penguburan orang meninggal melibatkan jaringan bisnis yang besar di AS dan mahal.
Kenyataan ini berbeda dengan apa yang saya dengar dari pak Kadus Karanggayam di mana kami tinggal di Yogyakarta. Penjelasannya kami terima ketika melakukan slamatan menempati rumah kami di kampung Karanggayam pada tahun 1998 dengan mengundang tetangga-tetangga dan mementaskan wayang dan campur sari. Pak Kadus yang hadir pada waktu itu mengatakan bahwa kalau kami meninggal kami bisa dimakamkan di perkuburan di kampung Karanggayam. Muslim dan Kristen bisa dikuburkan dalam satu kompleks penguburan di kampung.
Untuk Indonesia, persoalan “hidup” dan “mati” adalah sama penting karena melibatkan komitmen dari setiap anggota keluarga dan masyarakat untuk turut terlibat. Kalau bisa hidup bersama ketika masih bernapas, maka masa sesudah kematianpun harusnya bisa dihadapi dengan baik. Kematian melebihi pesta pernikahan, tanpa undangan hanya dengan mendengar pengumuman semua orang akan melayat apabila ada tetangga yang meninggal. Menghadiri upacara kematian adalah menunjukkan penghormatan yang datangnya dari luar lingkaran keluarga.
Memang logika hidup sesudah kematian yang dipraktekkan di Indonesia, juga sedang mengalami perubahan. Mulai ada pengelompokan tempat pemakaman menurut agama masing-masing. Di Jakarta, lokasi penguburan dibedakan untuk masyarakat dengan perbedaan agama, walaupun sebenarnya ada dalam satu lokasi. Sementara tanda penghormatan melalui kehadiran tidak berubah.
Ketika grandma meninggal, Glen mendapat pertanyaan dari Boni. Kapan grandma akan dimakamkan? Glen katakan akan menunggu anak-anaknya dan sementara sebelum dikramasi, jasad grandma akan dibawa ke County Morgue. Boni yang praktek agama Yahudi menjelaskan bahwa dalam tradisi Yahudi, lamanya jasad sebelum dimakamkan adalah kurang dari 48 jam. Aturan pemakaman bersifat fleksibel dalam ajaran kristiani di Indonesia. Jasad bisa dimakamkan menunggu keluarga tiba kurang dari 48 jam. Sementara Islam mengharuskan jasad dimakamkan sebelum 24 jam. Sebelum matahari terbenam, pada hari meninggal seseorang di hari yang sama ia harus dimakamkan.
Kelonggaran tafsiran dalam ajaran Kristiani memungkinkan penguburan grandma dilakukan dengan menggunakan kombinasi tradisi kramasi dan teknologi modern dimana jasad sebelum dikramasi bisa diletakkan pada ruang dingin yang menahan proses pelelehan jenasah. Dengan cara ini anggota keluarga bisa datang dari berbagai penjuru dunia untuk penguburan grandma.
Kematian dan kerinduan memberikan penghormatan terakhir kepada jasad berbeda-beda di setiap tempat. Berpikir tentang hal ini saya menjadi tenang. Dalam tradisi di AS, penguburan jasad hanya dilakukan untuk anggota keluarga saja. Izin bisa diberikan kepada teman keluarga yang sudah diterima sebagai anggota keluarga seperti yang terjadi dengan Dr Choi dan isterinya, Aurita. Mereka hadir dalam pemakaman grandma.
Tetapi pengalaman tradisi pemakaman di Indonesia masih mempengaruhi saya. Kerinduan itu mendalam. Rindu menyentuh jasad grandma. Kerinduan ini didengar Tuhan. Karena sehari sebelum abu kramasi dari jasad grandma di bawa ke rumahnya, kami diundang untuk menghadiri acara makan siang untuk menghormati Virginia Hadsell.
Virginia Hadsell berusia 90 tahun dan sedang mempersiapkan diri untuk meninggal. Ketika kami masih di Indonesia, seorang anaknya, yang sekarang menjabat sebagai Presiden Harford Seminary, Heidi Hadsell menulis surat mengatakan apabila kami mau bertemu dengan Virginia untuk menyampaikan "goodbye". Kanker kulit yang pernah dideritanya, kembali kambuh.
Ia pernah menjadi ketua yayasan dari Presbyterian Mission Homes di Berkeley. Pada waktu itu, Virginia membuat kebijakan tentang Indonesian House di mana saya dan beberapa teman bisa tinggal untuk belajar di AS. Kebijakan Virginia ini telah menghadirkan banyak pemimpin-pemimpin Kristiani dari dunia ketiga untuk belajar di AS. Dengan mengundang mereka tinggal di Presbyterian Mision Homes di Berkeley mereka mempunyai komunitas yang dapat mendorong menyelesaikan tugas belajar di AS dengan baik.
Pelaksanaan makan siang ini dilakukan bersamaan dengan pemberian beasiswa yang terbaru kepada calon penghuni Presbyterian Mission Homes di Berkeley yang khusus bekerja dalam arena hubungan antar agama. Dalam makan siang itu, Pdt Izak Lattu dosen dari UKSW yang sedang belajar S3 di GTU diumumkan sebagai penerima beasiswa dengan nama Scholarship of Virginia Hadsell. Pdt Izak Lattu adalah lulusan angkatan pertama program S2 CRCS UGM di bidang studi antara agama dan budaya.
Virginia belajar tentang hidup antara agama dan budaya dari anak-anaknya sendiri. Anak perempuannya menikah dengan seorang Iran, yang beragama Islam dan seorang lain yang menikah dengan seorang lelaki dari Brazil beragama Katolik. Virginia dikayakan dengan pengalaman hubungan antar agama dalam keluarganya sendiri.
Pada makan siang itu saya bisa melihat bagaimana seorang yang akan meninggalkan dirayakan bersama. Ketika semua sudah berkumpul di ruang pertemuan dari Piedmont Gardens di mana Virginia dan John, suaminya tinggal di rumah yang terawat baik untuk orang tua, Virginia dibawa turun dengan tubuh lemah yang berbaring di atas tempat setengah kursi roda. Kadang-kadang ia dibaringkan mendatar tetapi posisi kursi dibuat supaya ia bisa duduk ketika menerima setiap orang yang datang menyampaikan pesan kepadanya.
Saya makin kenal Virginia sesudah diundang ke New York City, setahun setelah 11 September 2001 untuk mengunjungi berbagai komunitas muslim di New York City. Pada waktu itu saya masih belajar di Amsterdam. Virginia mengusulkan saya untuk menjadi anggota yang disebut Bi Nasional Service yaitu mereka yang punya pengalaman setidaknya tinggal di tiga macam negara yang berbeda dari budaya aslinya.
Bulan Oktober 2002 saya berangkat ke New York City untuk belajar bersama dengan anggota Bi Nasional Service lainnya dari berbagai negara tentang Islam. Kami mengunjungi mesjid Afrika Amerika yang mempraktekkan teologi dan ritual Islam berbeda dengan tradisi Sunni dan Shiah. Kami juga mengunjungi mesjid Asia di New York City dan saya bertemu dengan beberapa orang Indonesia di sana.
Sepanjang perjalanan di New York City saya bersama dengan Virginia duduk bersampingan di bus. Saya makin mengerti tentang semangat pembelaannya kepada perempuan dan anak-anak. Virginia menginisiasi berdirinya pusat turisme yang khusus melindungi perempun dan anak-anak dari trafiking. Ia mengunjungi negara-negara terutama di Asia untuk melakukan kampanye perlindungan perempuan dan anak-anak dari trafiking. Kepeduliannya mengundang gerakan anti trafiking di kalangan gereja-gereja Presbyterian untuk membangun kesadaran juga tentang produk turisme yang dibeli di AS.
Saya lihat kadang-kadang Virginia tertidur ketika seseorang datang untuk menyampaikan penghargaan mereka kepadanya. Tetapi sesudah semua tamu-tamu mulai pulang, sebelum Virginia dibawa kembali ke apartemennya, Bernie meminta John dan Virginia berfoto bersama. Ketika itu, kami terharu melihat mata Virginia yang terbuka lebar bersinar biru memandang suaminya. Ada semangat yang keluar dari cinta kasih mendalam kepada suaminya, yang juga adalah seorang teolog yang pernah bekerja di Korea Selatan dan beberapa negara lainnya. Virginia hidupmu dirayakan oleh kita semua.
Saya terutama merasa seolah-olah Tuhan menghibur hati saya karena ketiadaan jasad grandma diganti dengan kesempatan memberikan penghormatan pada hari Kamis tanggal 8 September 2011 siang hari kepada Virginia yang sedang menuju kematian. Virginia sehari-hari dirawat oleh petugas khusus dari Vitas, the Innovative Hospice Care di Berkeley. Saya bisa menyentuh tubuh Virginia yang lemah. Saya mencium Virginia yang membuka matanya lebar-lebar. Ia tersenyum, matanya berbinar ketika saya menyebut nama sendiri: “I am Farsijana”. Air mata berlinang.
Bersyukur untuk hari yang diberikan Tuhan dengan perayaan penghormatan kepada Virginia, ada terang di hati saya ketika saya bangun di pagi 9 September 2011. Hari ini adalah hari grandma. Abu grandma akan dipulangkan ke rumahnya sebelum kami membawanya ke tempat di mana ia akan dibaringkan bersama suaminya, David Adeney di Mountain View Cemetery. Saya ingin grandma berada di rumah ini dengan rasa syukur dan penghiburan yang sedang saya rasakan.
Jadi pagi-pagi saya bertanya sama Glen untuk mempersiapkan tempat di mana abu grandma akan diletakkan sebelum di bawa ke Mountain View Cemetary. Saya membersihkan rumah dan memilih rak buku di tengah ruang makan yang di atasnya bisa diletakkan kotak plastik berisi abu grandma. Selendang biru yang saya bawa khusus untuk grandma saya jadikan taplak meja. Foto keluarga, yang dibuat ketika perayaan 50 tahun pernikahan David dan Ruth Adeney yang diambil dengan semua anak-anaknya diletakkan di sebelah kiri pada rak itu. Ada enam tempat lilin yang menyala dengan bunga indah dari kiriman orang tua Glen di Oregan.
Robbie, anak Glen berumur 4 tahun bertanya, "Why are you arranging this shelf?". Dia bertanya karena melihat saya memindahkan beberapa foto yang sedang terpasang di sana, termasuk foto saya sedang memeluk David dan Isabel dengan latar belakang pemandangan laut selatan di Alas Wegode. Saya menjawab: "I am making a place for putting the ashes of grandma to honour her". Robbie terdiam. Kira-kira jam 11 siang, seorang mengetuk pintu. Saya tahu abu grandma sudah tiba di rumahnya. Kami sudah siap menerima grandma. Petugas itu, bernama Robert menyatakan belangsungkawa dengan mengatakan : "Have a good time to celebrate the life of Ruth Adeney". Kemudian ia meletakkan kotak abu grandma pada tempat yang sudah saya siapkan.
Hati saya bergetar. Jasad grandma sekarang adalah serpihan abu yang bisa dikumpulkan dalam wadah yang kecil berukuran 20 cm panjang, 10 cm lebar dan 30 cm tinggi. Tidak ada lagu-lagu ketika abu grandma di sana. Saya pikir perasaan keluarga bercampur aduk. Perasaan sakit tidak dinyatakan. Air mata saya menetes. Saya memeluk suami erat. Saya menyentuh lembut kotak bertulisan “Cremated Remains of Ruth Winifred Adeney. Date of Cremation 09/08/2011. ID # 05473. Oceanview Cremations, Hayward, CA. Saya membisik, “Grandma welcomes home! Kemudian saya keluar rumah.
"I needed to go for a walk", saya membisik sendiri. Saya sudah berencana ke toko bunga untuk memesan kran bunga yang akan dibawa ke Mountain View Cemetery. Jalan kaki ke toko bunga kira-kira 30 menit sangat menolong saya untuk menghayati perjalanan seorang manusia. Berjalan sendiri untuk mendekat dengan tanah dan langit. Setiap manusia akan pulang sendiri ke sang Pencipta. Berjalan seperti berziarah, merenungkan tapak tilas diri. Di daerah University Ave, kira-kira 9 blok dari rumah grandma di daerah pertokoan saya menemukan toko bunga Darling Flower shop. Saya masuk dan bertanya apakah mereka bisa membuat kran bunga dalam waktu 30 menit. Mereka katakan bisa. Saya tenang.
Toko ini adalah toko tiga generasi yang memulai bisnisnya sejak tahun 1932. Pemiliknya adalah keturunan Italia, dari Sicilia yang tiba di AS tahun 1913 lebih muda setahun sebelum grandma lahir di tahun 1912. Saya memilih bunga chrysanthemum tipe bunga tropis berwarna ungu, jingga dan putih dengan meminta diselipkan bunga-bunga kecil dan daunan hijau membentuk krans melingkar untuk grandma. Kemudian saya meminta disiapkan kurang lebih 20 kartu kosong putih dengan amplop kecil yang akan saya berikan kepada setiap anggota keluarga yang hadir untuk menuliskan sesuatu kepada grandma. Sambil menunggu saya bercakap dengan pemilik dari generasi ketiga, Michelle Assia, seorang mahasiswa sejarah yang sedang belajar di San Fransisco State University.
Sebelum jam 2 siang pada tanggal 9 September 2011 saya keluar dari toko bunga menggendong kotak berisi bunga berukuran panjang 70 cm dengan lebar 50 cm di bahu kiri berjalan pulang ke rumah grandma. 30 menit pulang memberikan pengalaman yang lain kepada saya. Untuk pertama kalinya seumur hidup saya menggendong barang di bahu sambil berjalan sepanjang trotoar yang ramai. Beberapa kali saya mengubah posisi gendongan kotak bunga dari bahu kiri ke kanan kemudian diletakkan di atas kepala.
Saya seperti sudah dipersiapkan dengan pengalaman ketika bertemu petani-petani di Alas Wegode di Gunung Kidul. Saya berjalan sambil bersenandung lagu-lagu "Kuberbahagia", lagu yang kami nyanyikan kepada ayahanda ketika ia meninggal 22 tahun lalu di Jakarta. Tiba di rumah semua anggota keluarga sudah bersiap akan ke Cemetery. Ada kekuatiran di dalam hati mereka, bahwa saya tersesat. Tetapi saya tiba di rumah sebelum semua panik. Saya mempersiapkan diri dan berangkat bersama-sama mereka.
Iring-iringan mobil ke pemakaman menaiki bukit di mana jasad grandma akan dimakamkan. Dari Mountain View Cemetery bisa terlihat jembatan Golden Gate di teluk yang menghubungkan San Francisco dengan Marine County. Ada 17 orang yang hadiri pemakaman grandma. Mereka adalah semua anaknya, sebagian cucu-cucu, semua cicit-cicit, menantu-menantu bersama dengan Dr Choi dan isteri. Setiap anggota keluarga memasukan amplop khusus dalam peti "fiberglass" yang sama berisi kotak abu grandma. Hanya grandma yang tahu apa yang ditulis masing-masing anggota keluarga.
Bernie memimpin liturgi mengikuti The Book of Common Prayer yang diterbitkan oleh Church of England yang sangat mendalam dan indah. Semua orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan kenangan tentang grandma. Krans bundar mungil terbaring di atas makam. Satu kembang lili yang sedang mekar disiapkan khusus oleh Jen Marion dibaringkan melintasi nama grandma. Serpihan bunga-bunga mawar dari kebun Rina ditaburkan dalam liang lahat. Bunga-bunga lain dari keluarga diletakkan sekitar makan grandma dan David Adeney.
Bernie mencintai grandma sebagai ibu yang pemaaf dan suka mengampuni. Ia tidak menyimpan kemarahan sampai mata hari terbit. Ketika Bernie masih muda grandma menyatakan keberatan kepadanya karena memelihara rambut gondrong. Tetapi Bernie tetap gondrong selama bertahun-tahun. Grandma memaafkan dan mengasihinya. Ketika saya sedang berjuang untuk menyelesaikan S3, Bernie juga meneguhkan diri saya dengan menggondrongkan kembali rambutnya. Ia baru memotongnya sesudah menyelesaikan lari marathon tahun 2005 di New York ING Marathon.
Keramahtamahan grandma dikenang oleh cucu-cucunya. Peter terutama membagikan refleksi mendalam tentang ketegangannya untuk tetap mengasihi dan mencintai grandma ketika dalam situasi demensia grandma seringkali tampil marah dan frustasi. Penuh emosi diri, ketika sharing Peter mengatakan pengalaman demensia grandma mengajarkannya untuk menerima dirinya sendiri. Manusia memulai hidup dengan keindahan anak-anak tetapi bisa mengakhir kehidupan dengan ketidakberdayaan, kemarahan dan frustasi. Peter belajar untuk memaafkan dirinya dan mempersiapkan dirinya menerima grandma sebagai bagian dari kehidupan yang mengalir dari awal hingga akhir.
Saya terharu mendengar pengakuan Peter. Ketegangan dalam dirinya bisa dibahasakan mendalam yang mungkin sulit diungkapkan oleh Glen dan Rina yang sehari-hari selama 14 tahun berhadapan dengan kefrustasian dan kemarahan grandma atas ketergantungan dirinya pada orang lain. Kira-kira 3 tahun terakhir sebelum grandma meninggal, ia mulai tenang dan bisa menerima keberadaan dirinya.
Mengabadikan kenangan bersama dilakukan dengan berfoto. Saya mengundang masing-masing keluarga dengan anak-anak berfoto bersama grandma di rumahnya terakhir. Ketika saya meminta Frances, bergabung dengan Bernie, Jen, Rina dan Peter, banyak yang kaget. Kematian grandma menyembuhkan kita semua, itu pikiran saya. Jen, Rina dan Peter merasa tenang bisa berfoto bersama orang tua mereka. Sesudah semua berfoto, terakhir giliran Bernie berfoto dengan saya. Hati saya bahagia.
Tadi malam, Minggu 11 September 2011 jam 19.30-22.00 dilakukan “memorial service” untuk grandma. Ada kurang lebih 200 orang hadir di gereja Covenant, gerejanya grandma. Gereja ini mengenal David dan Ruth melalui salah satu bangunan untuk pusat belajar jemaat yang diberikan nama David dan Ruth Adeney.
Liturgi penuh dengan lagu-lagu yang disukai oleh grandma. Kami bernyanyi dan saya sangat bersyukur. The three brothers memainkan foto-foto slides tentang grandma sejak masa kecil hingga kesakitan masa tua. Suaminya, David Adeney karena tugas-tugasnya keliling dunia, sering meninggalkan grandma sendiri bersama anak-anak mereka. Grandma, perempuan kuat yang memelihara empat anaknya dalam berbagai perjalanan sendiri bersama mereka menyeberang dari satu benua ke benua lain. Ada foto yang menunjukkan persiapan grandma dengan anak-anak kembali ke Cina. Mereka harus naik kereta dari pantai timur ke pantai barat kemudian dengan kapal ke Hongkong baru ke Cina daratan.
Orang-orang yang hadir diundang untuk membagikan cerita mereka tentang grandma. Saya bersyukur bisa mendengar cerita-cerita yang belum pernah saya tahu sebelumnya. Seorang perempuan tua berbahasa Mandarin menyampaikan perasaannya kira-kira lima menit. Ia tidak mau berhenti. Kemudian seorang lelaki Cina menterjemahkan dalam bahasa Inggeris. David dan Ruth menyentuh hati orang-orang Asia, dan pemimpin Kristen Asia seperti dikatakan oleh salah satu mahasiswa David Adeney di DTC Singapore Dr Seyoon Kim. Ia sekarang adalah dosen di Fuller Seminary di Pasadena, Los Angeles.
Sesudah semua refleksi selesai Peter tampil memainkan tarian bola kristal sambil menceritakan terpatah-patah tentang perjalanan jiwa neneknya kembali ke Tuhan. Khaterine bermain piano dan Peter menari kira-kira 5 menit. Persiapan mereka untuk pementasan hanya 5 menit dilakukan di gereja ketika kami belum tiba. Khaterine melakukan improvisasi dengan lagu yang dimainkannya untuk menyeleraskan dengan gerakan tubuh Peter.
Khaterine, gadis 24 tahun yang berasal dari Stuttgart Jerman, adalah calon dokter. Pertama kali Peter bertemunya di kereta kemudian cinta kasih mereka bertumbuh sampai sekarang. Semula Khaterine menyesal grandma pergi sebelum bertemunya. Michael, oom dari Peter menghibur Khaterine katanya mungkin lebih baik mengenal grandma melalui cerita-cerita tentang kehidupannya sebelum demensia daripada bertemu dengannya dalam keadaan menyedihkan. Pergolakan dalam bathin untuk menjawab tindakan mana yang tepat buat grandma membuat Khaterine meleburkan dirinya dalam nada-nada piano yang mencekamkan perjalanan dirinya bertemu grandma.
Banyak mata terpaku, berkaca-kaca membentuk danau kemudian menetes ketika Peter mulai berkata-kata bergetar. “Ruth is my grandmother. … Peter melafalkan doa yang kenalnya sejak masih kecil. Doa ini diajarkan ayahnya Bernie. " Now I lay me down to sleep. I pray thee Lord my soul to keep. If I should die before I wake. I pray thee Lord my soul to take. …Doa disebutkan sambil melemparkan, menangkap dan menyentuh bola kristal lembut. Pdt Adrew menyampaikan khotbah tentang kebangkitan yang sudah dimenangkan oleh Kristus sehingga Ruth sudah berbahagia bersamaNya. Kematian ditelan oleh kebangkitan Yesus.
Peter menarikan iman Ruth dengan indah. Dalam tarian bola kristal, Peter seolah-olah sedang memeluk lembut kemudian mengangkat tubuh neneknya mengangkasa ke langit. Empat belas tahun lalu, berat badan grandma 90 kg tetapi ketika meninggal beratnya cuma 45 kg. Setiap gerakan Peter seolah-olah ia sedang terbang bersama jiwa neneknya. Kemudian saya tahu tentang pengalaman misteri kira-kira 7 hari sebelum berita kematian neneknya diterima Peter. Ketika itu Peter sedang di kota Vordingborg di Denmark untuk menghadiri workshop artis teater yang datang dari seluruh Eropa.
Dalam workshop itu Peter menerima pertanyaan tentang bagaimana merasakan wajah dengan perasaan. Kemudian ia mendapat ruangan yang disebut "wisdom" untuk menghayati kehidupan seorang lansia. Dalam ruangan itu ada lemari pakaian. Ada suara yang meminta Peter untuk membuka lemari tersebut dan membayangkan pakaian mana yang disukai orang tua itu. Memasuki ruangan itu langsung Peter mengingat kepada neneknya, Ruth. Hatinya sangat tertekan.
Rindu mendalam tiba-tiba datang kepada neneknya ketika diminta membayangkan dari berbagai permen yang ada dalam ruangan itu akan dimakan oleh neneknya. Terbesit, kalau ia ke Berkeley ingin langsung ke rumah neneknya untuk membelainya. Peter ingat, nenek Ruth yang selalu menyediakan kue-kue enak dalam tradisi minum teh sore. Di ruangan yang menghadap ke pemandangan danau yang bening Peter menulis perasaan hatinya kepada neneknya. Peter berharap membacakan tulisan itu kepada neneknya.
Workshop itu mempersiapkan Peter menyelesaikan pergumulannya menerima kelemahan tubuh manusia. Peter, seorang profesional menjadikan tubuh sebagai alat untuk menampilkan perasaan dan keindahan. Bisakah kerapuhan tubuh seorang lansia dihayati dalam keindahan gerak tubuhnya? Tersirat pertanyaan itu datang padanya ketika pintu cinta dalam ketulusan kepada neneknya terbentang lebar di depan dirinya.
Menghayati penderitaan nenek, merenungkan kekuatan yang pernah ada padanya menolong menghadirkan penerimaan diri. Kerapuhan dan kemerosotan fisik adalah bagian dari kemanusian. Cinta abadi dan kasih sayang menghidupkan jiwa yang hidup dalam kerapuhan fisik. Vordingborg menolongnya menghubungkan kerentanan neneknya dengan dirinya sendiri yang akan merapuh termakan usia.
Resepsi yang dilakukan sesudah ibadah mengendapkan pengertian kami semua tentang hidup grandma ketika satu per satu tamu-tamu saling membagi cerita mereka mengenai grandma dan David Adeney. Jam 10 malam tiba, masih beberapa orang yang sedang membersihkan ruang pertemuan di gereja. Bernie dan saya berjalan pulang di malam sejuk awal musim gugur di Berkeley. Setiap tiupan lembut angin menebarkan bau dedaunan pinus ke wajah saya. Bau khas yang selalu dirindukan.
Kami menjinjing foto berukuran 1 meter kali 70 cm yaitu foto grandma dan suaminya berpakaian Cina yang selama "memorial service" diletakkan di bawah altar dalam ruang ibadah. Langit biru. Bulan mengirimkan cahayanya ke bumi. Perjalanan grandma sudah selesai dan beristirahat di rumah Allah. Tinggal kami yang terus berjalan di bumi.