Translate

Minggu, 11 September 2011

Satu dekade 11 September 2011 dan Tarikan Kerusuhan Ambon

Satu dekade 11 September 2011 dan Tarikan Kerusuhan Ambon
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Ketika masyarakat Amerika Serikat memperingati 10 tahun 11 September, kami pada hari itu melakukan ibadah syukur (memorial service) untuk ibunda suami saya, Bernie.  Grandma Ruth, biasa saya memanggilnya meninggal 1 September 2011. Bernie adalah anak bungsu dari Ruth dan David Adeney. Lahir di Shanghai, Cina dari keluarga Pendeta, Bernie sejak kecil terbiasa hidup dengan banyak orang. Rumah orang tuanya penuh dengan mahasiswa/I ketika mereka masih di berbagai tempat di Cina juga sesudah mereka pensiun dan menetap di Berkeley di mana Bernie dan keluarga tinggal. 

Sekarang ini Bernie sudah hampir 21 tahun tinggal dan kerja di Indonesia. Kecintaannya kepada manusia, budaya dan agama-agama menarik hatinya. Ia belajar tentang budaya Asia di Universitas Winsconsin. Kesadaran terhadap ketidakadilan dan upaya mengatasinya membentuk Bernie menjadi aktivis anti perang Vietnam, rasisme dan feminism dari tahun 1966-1970.  Sesudah empat tahun hidup di Eropa, Bernie kembali ke AS dan menetap di Berkeley untuk memulai pelayanan bagi orang miskin.  

Di sini, di pantai barat California, dari tahun 1978-1982 Bernie disadarkan tentang ancaman kebijakan pemerintah AS mengenai pengembangan reaktor nuklir terhadap masyarakat dan dunia.    Kebijakan ini menakutkan karena membawa dunia kepada kehancuran. Pada era itu belum banyak orang sadar tentang bahaya nuklir.  Sebagai aktivis perdamaian,  Bernie melakukan gerakan penyadaran dampak nuklir melalui publikasi, mengorganisir demonstrasi yang dihadiri banyak orang untuk sekaligus mendengar pidato-pidatonya. Semuanya dilaku di Berkeley dan di berbagai tempat di USA sebelum belajar S3 dengan meneliti kebijakan pemerintah AS terkait dengan nuklir.

Keprihatinan itulah yang mendorong Bernie menekuni riset S3 untuk mengerti bagaimana kekerasan dan perang dalam pemikiran sejarah pemikiran barat. Kajian yang mempertemukan kebijakan keamanan dengan pandangan dan praktek moral keagamaan. Di bawah bimbingan beberapa professor dari UCB, yaitu Prof. Ernst Haas (Political Science dan International Relations) dan Prof. Kenneth Walz (UCB- International Relations), dan tiga Prof lainnya dari Graduate Theological Union yaitu Prof. John C. Benneth (GTU-Political Ethics), Prof.Robert McAfee Brown  (GTU-Liberal Theology and Ethics), dan Prof William Spohn SJ (GTU-Religion and Societyt), akhirnya sebuah disertasi dengan judul “Just War, Political Realism, and Faith diterbitkan pada tahun 1988. 

Ingatan kami dibawa kepada pandangan mata dari tragedi World Trade Center yang muncul berkali-kali sebagai berita utama selama berminggu-minggu di TV. Ketika peristiwa itu terjadi kami sedang tinggal di Amsterdam. Saya menyelesaikan penulisan disertasi dan Bernie melakukan penelitian di IIAS di Amsterdam. Tetapi pada saat tragedi 11 September 2001 Bernie sedang berada di AS menghadiri American Academy of Religions. Rencana kepulangannya harus ditunda beberapa minggu sebelum akhirnya bisa tiba dengan selamat di Amsterdam. 

Saya membaca buku Bernie yang mengisahkan tentang dampak pengembangan teknologi yang cenderung menghancurkan dunia. Tetapi ternyata  penguasaan teknologi tinggi yang dimiliki oleh AS masih belum memberikan jaminan bagi keselamatan warga negara di AS. Malapetaka hadir sebagai tragedi yang malahan menghancurkan AS. World Trade Center dihancurkan karena pesawat bunuh diri menjadi senjata untuk menghancurkan pusat bisnis dunia termasuk mengorbankan ribuan orang yang berada di sana. Trauma dari kehancuran WTC dan New York City masih ada dalam benak penduduk di sana. 

Tahun 2007, saya menjadi representasi Fulbright untuk program pertamanya yang disebut Interfaith Community Action Program. Sesudah tiga minggu kami berada di UC Santa Barbara, di California, saya pindah ke Barnard College, University Columbia untuk mengajar bersama Janet Jacbson. Tinggal selama hampir 3 bulan di New York City, memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenal dari dekat upaya masyarakat mengatasi trauma dari tragedi 11 September.  

Saya beberapa kali ke Ground Zero di mana dulu berdiri bangunan World Trade Center. Ground Zero terletak di Lower Manhattan, New York City, sekarang sedang dibangun kembali. Kalau dulu WTC semata-mata adalah gedung bisnis, diharapkan Ground Zero paska 11 September 2011 akan menghadirkan dirinya sebagai gedung yang holistic. Pada dirinya ada catatan sejarah dari tragedi yang menyebabkan meninggalkan lhampir 3000 orang, ratus ribu orang yang mengalami trauma petaka itu.  Sebenarnya tahun 1993, Ground Zero juga sudah menjadi sasaran peledakan bom. 

Perubahan wajah Ground Zero paska 11 September merepresentasikan perubahan wajah AS baik secara politik, sosial ekonomi dan budaya. Ketika tragedi itu terjadi istilah teroris muncul dalam wacana politik AS. Menurut Mark Juerensmeyer (2003) penamaan pelaku tragedi 11 September dapat tampil berbeda-beda karena latarbelakang pandangan dan praktek politik yang berbeda. Untuk mereka yang menghendaki damai, tragedi 11 September merupakan perbuatan dari kelompok yang disebut teroris. Sedang bagi mereka yang mempersoalkan kedamaian, dengan menggugat langsung ketidakadilan, tragedi 11 September merupakan bukti dari legitimasi melawan dominasi politik luarnegeri Amerika Serikat. 

Pandangan pemikiran Mark Juerensmeyer dibangun dengan mempelajari secara berimbang sejarah bangkitnya perlawanan para legitimator terhadap kebijakan politik luarnegeri pemerintah AS yang tampil menjalankan “islamophobia”.  Tetapi pada saat yang sama, kehancuran USSR sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik luarnegeri AS yang melatih kelompok-kelompok fighter di berbagai daerah caplokan USSR seperti dilakukan di Afganistan. Saya pernah dalam artikel “Mahalnya Perdamaian Dunia” menggambarkan  hubungan antara pemerintah AS dengan mantan fighter, seperti Osama bin Laden sebagai anak dan orang tua di mana sang anak akhirnya memerontak setelah mengerti dirinya sedang diperangkap oleh orang tuanya. 

Kebinasaan sudah terjadi. Osama bin Laden sudah dimusnakan. AS sudah dihancurkan dalam tragedi 11 September. Apakah AS berubah? Ke arah mana AS mengubah? Itu pertanyaan saya sejak tragedi 11 September 2001.  Setahun sesudah tragedi 11 September, saya diundang datang ke AS dua kali. Pertama dengan mba Syafatun Al-mirzanah, dosen UIN Sunan Kalijaga yang pada waktu itu sedang belajar S3 di Lutheran School of Theologi di Chicago. Kedua, ketika saya diundang oleh Bi Nasional Service. Cerita tentang ini sudah saya singgung sedikit dalam tulisan tentang Virginia Hadsell (Membaringkan jasad grandma). 

Bersama mba Syafatun, kami diundang oleh Presbyterian Church USA untuk menjadi peserta pertama program Interfaith Listening, Christian-Muslim Dialogue.  Kami memulai perjalanan dari  Stony Point, NY, di mana kami bertemu dengan berbagai delegasi sepasang, Muslim dan Kristen dari berbagai negara di Afrika, India, Timur Tengah, Eropa dan Asia. Saya ingat mendiskusikan bersama Al-Hajj Yussuf Murigu dari Kenya tentang buku penggangan perdamaian yang mengikutkan doa-doa dari berbagai agama.  Sesudah itu kami berdua terbang ke Pittsburgh, kemudian ke  Seattle, dan kembali lagi ke Stony Point di NY untuk evaluasi. 

Gereja melakukan program khusus untuk membangun dialog dengan orang AS muslim yang pada saat itu sesudah 11 September tampil seperti tertuduh. Diskriminasi dan tekanan kepada komunitas Muslim dan mereka yang berwajah Arab sangat kuat. Banyak ahli mengakui, tragedi 11 September ternyata membantu Islam keluar dari bawah tempurungnya.  Mesjid-mesjid membuka diri untuk menerima kunjungan dari berbagai orang yang hendak belajar tentang Islam.  Orang ingin tahu apakah benar Islam seperti yang dipotretkan sebagai teroris? Apakah Islam mengajarkan kekerasan? Bahkan banyak orang di AS menjadi Muslim melalui keterbukaan mesjid dan kaum Muslimin yang penuh dengan cinta kasih. Islam bertumbuh menjadi agama yang berkembang pesat sesudah Kristen di AS. 

Saya ingat tanggal 11 September 2002, umat Muslim, Kristen dan Yahudi berdoa bersama di East Liberty Presbyterian Church di Pittsburgh. Sholat secara jemaah bahkan dilaksanakan dalam gereja berarsitektur ghotik yang dibangun tahun 1819 ketika industri biji besi yang sedang booming di AS pada waktu itu. Gereja ini juga disebut sebagai Cathedral of Hope.  Dalam setiap kesempatan menjelaskan tentang hubungan Islam dan Kristen di Indonesia adalah menceritakan sejarah Indonesia sebagai suatu bangsa. Pergolakan Islam Indonesia untuk menerima sesama warganegara lain dengan menjaminkan kesamaan dan keadilan kepada semua berdasarkan iman dalam ajaran Islam menjadikan Indonesia tampil berbeda dengan negara-negara Islam lainnya di dunia. 

Kekerasan yang melibatkan nama agama dan pengikutnya perlu dijelaskan secara hati-hati. Penelitian yang saya lakukan di Maluku Utara tiba pada kesimpulan bahwa gerakan perubahan politik di tingkat internasional, nasional bisa bergandengan bahkan berpengaruh terhadap penguatan gerakan solidaritas yang memisahkan diri berdasarkan etnis dan agama pada tingkat yang paling kecil seperti di desa.  Secara teori politik bisa dijelaskan terutama mengingat tentang alat penyatu yang bisa dipakai untuk menggerakan dan mengelompokan orang-orang dalam kepentingan dan kesadaran yang mengikat loyalitas di masing-masing pihak. 

Isu agama menjadi alat yang paling jitu untuk memisahkan kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia. Berbeda dengan konteks di AS di mana isu rasis dan gender bisa dipakai untuk melakukan pemisahan dalam pengelompokan di masyarakat. Di Indonesia, agama tampil kuat untuk membangun loyalitas dan sentimen permusuhan karena dalam dirinya sudah mengandung teologi yang saling menggugat keorisinalitas, keortodoksian dan legitimasi keilahian Sang Pencipta yang dipercayainya.

Dalam kasus konflik Ambon misalkan, sentimen etnis dipakai sebagai alat loncatan untuk membangun kesadaran pengelompokan sebelum penggarisan agama tampil menguatkan perbedaan di dalam masyarakat. Misalkan istilah BBM yang berarti Bugis Buton Makassar tampil mengawali konflik antara orang Maluku (Ambon) dengan orang luar yang terkait dengan perebutan sumber-sumber ekonomi. Tetapi kemudian muncul isu pembedaan kelompok yang terkait dengan Islam dan Kristen. Pada babak berikut tampil kemudian pengelompokan konflik yang disebut RMS, artinya Republik Maluku Selatan dengan penunjukkan langsung pada kaum Kristen/nasrani dan kelompok Muslim atau Republik (Farsijana Adeney-Risakotta, 2005, 254). Fantasi dari konstruksi konflik dengan pengelompokkan ini sudah pernah saya bahas dalam tulisan saya tentang Fantasi Separatisme (Kompas, 2004). 

Ketika AS sedang menyelenggarakan 1 dekade 11 September, kami masih di Berkeley, saya sangat sedih mendengar dari beberapa teman tentang pecahnya kerusuhan di Ambon pada tanggal yang sama. Dua tulisan di internet yang saya baca bahkan mulai mengembangkan peristilahan yang sebelumnya tidak muncul dalam konflik Ambon. Istilah kelompok salibis merupakan istilah yang didalam analisa saya coba mempertentangkan dengan istilah sabilis yang merupakan nama dari majalah muslim, Sabili dan banyak melaporkan tentang kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh kelompok nasrani terhadap kelompok muslim. Salibis berasal dari kata salib, yaitu kelompok penganut salib. Sedangkan istilah sabilis diambil dari rangkaian kalimat “mujahid fi sabilis” yaitu mereka yang meninggal karena melakukan jihad. 

Dunia yang saling terhubungkan meretak karena perang. Koleksi pribadi dari perjalanan ke gedung PBB pada tahun 2007

Konflik Ambon pernah mengangkat istilah lokal untuk membedakan kaum Muslim dengan menyebut kaum Acang dan kaum nasrani yang dipanggil Obed. Kedua nama ini adalah nama tokoh rekaan dari siaran RRI di awal tahun 1980an ketika saya masih bersama orang tua tinggal di Ambon, yaitu obrolan Oom Obed dan Oom Acang. Keduanya ditampilkan sebagai  teman yang selalu  mengomentari kehidupan sehari-hari di sekitar pulau Ambon. Tetapi kerusuhan Maluku, pertemanan oom Obed dan oom Acang malahan dijadikan tanda permusuhan. 

Tahun 2004 pernah ada upaya kerusuhan yang terjadi bertepatan dengan hari ulang tahun RMS. Tetapi syukurlah kerusuhan tersebut ditanggapi kritis oleh masyarakat yang sudah bosan dengan kekerasan, yang setiap saat berhadapan dengan kematian dari pada kehidupan. Dalam beberapa jam kerusuhan tersebut bisa diisolasikan sehingga tidak menyebar ke berbagai tempat. Terkesan hal yang sama terjadi dengan kerusuhan pada tanggal 11 September 2011. Laporan dari teman-teman di lapangan yang sudah dapat mengidentifikasi pemain-pemain yang memicu kekerasan tersebut cukup melegakan hati saya (lihat tulisan Jacky Manuputti-Facebook).

Akan tetapi bagi saya, kerusuhan 11 September 2011 di Ambon perlu dipergunakan untuk meluruskan berbagai pandangan yang coba dimentahkan terkait dengan anggapan bahwa kekristenan di Maluku adalah produk dari kolonialisasi sama halnya dengan praktek Pela. Pandangan yang mempersoalkan pela dan kekristenan sebagai produk kolonialisasi sama saja dengan mengatakan Islam adalah produk dari Arabisasi. Hindu dan Budha adalah produk dari Indianisasi. Indonesia sebagai daerah kepulauan yang kaya sumber-sumber alamnya sejak dulu dipengaruhi oleh berbagai pengaruh politik, budaya dan ekonomi dari luar.  Istilah Indonesia untuk negara kita sendiri bukan kata asli dari sini, tetapi bahasa Junani yang menunjukkan kepulauan di bagian selatan dari India. 

Jadi sebaiknya saya menjelaskan sendikit tentang Pela. Pela adalah tata cara hidup saling tolong menolong karena ikatan darah maupun adopsi. Pela merupakan praktek kehidupan yang melibatkan hubungan tolong menolong di antara desa.  Ada desa muslim yang berpela dengan desa Kristen karena terkait dengan ikatan darah. Bentuk pela ini disebut pela gandong.  Misalkan kakek saya, Risakotta berasal dari desa Hatu mempunyai pela dengan negeri Lima yang muslim. Ikatan pelanya adalah pela gandong karena negeri lima adalah saudari perempuan yang muslim dan desa Hatu adalah saudara lelaki yang Kristen.

Dalam penelitian saya di Maluku Utara, di mana praktek tukar menukar ada dalam hubungan keluarga, memang tidak disebutkan pela.  Tetapi praktek saling tolong diantara keluarga disebutkan “teke si dohawa” (Farsijana Adeney-Risakotta, 2005, 88).  Istilah pela diartikan oleh Leirissa sebagai “berakhir” atau “diselesaikan” dengan menunjukkan pada pertengkaran yang terjadi diantara dua captain. Pembahasan Leirissa ini saya bahas dalam disertasi.  Akan tetapi saya masih bertanya keterkaitan pela yang melibatkan praktek hubungan di antara dua atau lebih desa. Bagaimana hal tersebut terjadi? 

Hanya beberapa dua tahun lalu ketika kami di Iowa, saya belajar tentang kota kecil yang bernama Pella. Kota ini adalah kota miniature dari Belanda. Ternyata penduduknya adalah imigran dari Belanda di awal abad ke-19. Kepada salah seorang teman di Pella saya bertanya mengapa kota ini diberikan nama Pella. Sambil menerangkan bahwa di Ambon ada praktek cara hidup tolong menolong yang disebut Pela, saya menunjukkan perbedaan dalam ejaan tertulis yang ketika diperdengarkan berbunyi sama: “Pela”.  Kemudian dijelaskan bahwa kata tersebut diambil untuk menunjukkan situasi dari para imigran yang baru pindah ke AS, yang pada waktu itu berstatus seperti kelompok pengungsi. Jadi dengan menggunakan kata Pella, mereka, kaum imigran Belanda diingatkan untuk hidup dalam janji untuk saling tolong menolong. 

Kata Pella disebut dalam prasasti-prasasti Mesir awal bahkan dalam catatan Amarna, yang menyebut Pehel di Kanaan, yaitu suatu lokasi di sebelah timur Palestina. Kota ini dibangun kembali dengan diberikan nama Pella dalam bahasa Yunani yang merupakan salah satu dari dua kota Yunani tertua. Ia menjadi salah satu dari Dekapolis, pusat Kristen dan pengungsi dari Yudea. Ketika saya mendapat penjelasan tersebut, saya bayangkan situasi di mana terjadi perjanjian antara komunitas muslim dan nasrani untuk mereka saling membantu sekalipun mereka berbeda agama seperti yang dimaksudkan dalam konteks Maluku. 

Sejarah Ambon adalah sejarah kepahitan karena kekayaan rempah-rempah yang membawa berbagai pedagang dari mana-mana bersaingan dan saling memperebutkan. Perang Hitu dan pengusiran orang-orang Portugis meninggalkan luka dan trauma bagi penduduk setempat. Mungkin saja pada waktu itu kelompok pemenang yaitu pedagang Belanda dan Kesultanan Ternate- Tidore harus melakukan proses perdamaian. Kemudian perjanjian damai muncul dengan menggunakan pengalaman dari "Pella", yang penerapan peristilahan dilakukan memperhatikan konteks paska perang di Maluku Tengah (Ambon) saat itu.  Catatan-catatan sejarah tentang proses perdamaian tidak tersedia, tetapi konstruksinya bisa dibayangkan seperti yang dijelaskan. 

Kalaupun istilah ini muncul dari ajaran Kristiani yang merujuk kepada nama tempat di Yunani, Pella yang artinya membuat janji, saya merasa tindakan membuat janji bersama sebagai Indonesia untuk sama menyatakan setia kepada Pancasila.  Pancasila sebagai istilah saja aslinya bukan Indonesia. 

Ketika memikirkan tentang gugatan berbagai pihak tentang makna dan praktek pela, saya teringat cerita dari suami ketika menghadiri ceramah pak Amin Abdullah yang disampaikan pada panel di American Academy of Religions pada tahun 2006 di Washington D.C. Ketika itu ada protes besar terhadap karikatur yang dibuat Jyllands-Posten dari koran Denmark.  Menanggapi kontroversi itu, Prof Amin Abdullah yang pada waktu itu adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa ada dua hal yang nampak dari peristiwa itu. Pertama, kartunis dari Denmark yang menunjukkan dunianya yang tidak beradab dan kedua, kelompok yang bereaksi, protes dengan menggunakan kekerasan yang tampil menunjukkan dunianya yang juga tidak beradab. Jadi kedua reaksi yang tidak saling menghormati agama dari masing-masing kelompok menunjukkan ketidakberadaban. 

Rumusan pemahaman dari Prof Amin Abdullah ini sangat penting untuk didengar oleh masyarakat dunia, terutama di Amerika Serikat.  Dampak dari 11 September telah mengubah wajah politik dan sosial keagamaan di AS.  10 tahun peringatan 11 September adalah sebenarnya memperingati keterbukaan Amerika Serikat untuk menerima warganegaranya dari agama lain, selain seorang Kristiani.  Berbagai kelompok-kelompok muslim berdiri untuk mengadvokasi hak-hak dan kepentingannya. Kaum muslim sama saja dengan warga negara Amerika Serikat yang lain. Mereka bertanggungjawab untuk memelihara masyarakat. Mereka terlibat memberikan makan kepada homeless. Mereka mengekspresikan imannya dalam bentuk seni, budaya bahkan dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.

Saya ingat ketika berada di AS, ketika itu sedang bersama suami menjadi visiting scholar di Pusat Studi Islam dari Graduate Theological Union di Berkeley, saya menulis artikel tentang "Rahmat Ramadhan bagi bumi" untuk jaringan saya di Facebook. Komentar yang saya terima dari seorang sahabat Spritualitas Indonesia, bahwa Islam AS terbentuk menyerupai Kristen dalam cara menghayati kehidupan. Sedangkan Kristen di Indonesia membentuk diri dalam pengaruh Islam.  Sahabat saya ini, menggambarkan apa yang disebut secara teknis dalam studi agama-agama sebagai istilah “adopsi” dan “adaptasi”. 

Saya pernah katakan kepada kelompok-kelompok Kristen dan Islam di mana mba Syafatun dan saya berbicara, bahwa karena budaya, sebagai seorang Kristiani, saya merasa lebih dekat dengan seorang muslim di Indonesia daripada seorang Kristen di Amerika Utara dan Eropa. Mungkin saja pandangan ini bisa sama dengan seorang Muslim di AS yang merasa dekat dengan seorang Kristen di sana daripada dengan seorang Muslim di Indonesia. Kepedulian dalam berjuang bersama untuk kesetaraan dan keadilan dalam negara seringkali mendekatkan berbagai kelompok yang ada dalam negara tersebut. 

Masa depan agama-agama sesudah 11 September sangat penting untuk memelihara perdamaian di dunia.  Agama-agama harus terus mampu  memberikan kesaksian dalam dunia tentang apa yang harus dilakukan manusia supaya tetap hidup. Metode misi dan dakwah yang memaksa orang untuk mengikuti agama yang dilakukan melalui kebijakan dari kekuasaan negara atau kelompok dominan akan berakhir. Metode ini menyerumuskan manusia untuk melakukan kekerasan yang akan berakibatkan kepada kepunahan bersama.

Ketika 11 September 2001 mencekamkan dunia, Bernie menulis artikel yang menjelaskan reaksi dari masyarakat Indonesia terhadap tragedi tersebut. Bahkan ada mahasiswanya yang mengatakan bahwa tragedi 11 September adalah hasil kerja dari CIA. Teori konspirasi diterima di berbagai kalangan di Indonesia. Reaksi tentang pan Islam sebagai alternatif daripada nasionalisme muncul untuk menghadapi dominasi barat.  Tragedi 11 September dilihat sebagai jihad terhadap Amerika Serikat atas dosa-dosanya. 11 September dipandang sebagai bagian dari rencana Allah (dalam Nathan dan Muhammad Hashim Kamali: 2005, 332).    

Tetapi peristiwa bom Bali menggegerkan masyarakat Indonesia. Ada dugaan keterlibatan CIA dalam bom Bali. Tetapi yang paling menyentuh hati adalah kesediaan dari masyarakat Bali sendiri untuk merefleksikan dirinya. Mereka bertanya kearah mana perubahan yang sudah terjadi yang menjauhkan mereka dari kebaikan. Perbedaan ini terasa dengan AS yang cenderung bereaksi termasuk menjatuhkan semua kesalahan dari kekerasan tersebut pada terorisme.

Perbedaan tanggapan ini pada akhirnya bermuara pada ujung yang sama.  Karena anggota masyarakat baik di AS dan di Bali berusaha untuk membangun pengertian di antara mereka, sehingga tuduhan-tuduhan malahan berubah menjadi refleksi. Masyarakat memutuskan untuk saling belajar satu sama lain daripada saling menuduh. Seperti terlihat pada berbagai aktivitas bersama di antara umat beragama untuk saling mengupaya pengertian, pengampunan dan mengembangkan saling kepercayaan satu terhadap lainnya.

Makna 11 September 2011 yang diperingati di AS kiranya bisa menjadi inspirasi kepada komunitas agama-agama di Indonesia. Termasuk juga masyarakat di tempat-tempat di mana trauma dari konflik sebelumnya masih ada. Upaya untuk menjangkau ke luar sesama manusia dari agama yang berbeda merupakan berkat untuk mengerti dan saling menghargai perbedaan di antara kita. Untuk tujuan ini, pemerintah harus terus didorong menjaminkan rasa aman dari warga negaranya. Termasuk memfasilitasi terbentuknya RUU penanganan konflik yang memberikan jaminan kepada warga biasa untuk tidak dijadikan tumbal dalam berbagai konflik sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar