Translate

Rabu, 21 Desember 2011

Pertanggungjawaban Representasi Perempuan Politik


                                         Pertanggungjawaban Representasi Perempuan Politik.
                                           Refleksi 83 tahun perjuangan perempuan Indonesia

                                               Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)

Pemikir politik,  Hanna Pitkin (1967) meneliti tentang sejarah representasi sejak jaman Yunani sampai dengan pemerintahan demokrasi Amerika Serikat di abad 20. Penelitian ini mendefinisikan representasi  sebagai aktivitas untuk menghadirkan suara warganegara baik dalam bentuk perspektif, opini melalui proses pembuatan kebijakan publik. Representasi politik terjadi apabila pelaku-pelaku politik berbicara, mengadvokasi, bertindak atas nama yang lain. 

Istilah politik menjelaskan tentang pengaturan relasi kekuasaan dalam suatu sistem yang disepakati bersama. Asal usul kata politik dalam bahasa Yunani berkaitan dengan tata cara pengaturan kehidupan di kota. Mereka yang terlibat dalam pengaturan kota disebut warganegara.  Melalui buku ke-2 Aristoteles, Politics: A Treatise on Government  yang ditulis 2400 tahun lalu, penjelasan tentang warganegara dipaparkan bersandingan dengan diskursus tentang representasi mereka dalam pengaturan kota melalui pemilihan umum.  Kemajuan demokrasi terlihat karena keputusan penyelenggaraan kota bukan semata wewenang dari kaum aristokrasi. Warganegara pada jaman itu adalah para lelaki yang bebas,  pengrajin, birokrat pemerintah, pemilik tanah dan bangsawan. 

Perempuan dan budak belum termasuk dalam kategori warganegara dan partisipasi mereka belum ada dalam pengaturan kota. Jadi keterlibatan perempuan dalam politik  merupakan perubahan panjang dari sejarah pergerakan berabad-abad, rentangnya masih muda dan terus harus diperjuangkan. Mekanisme politik representasi menunjukkan keterlibatan semua warganegara tanpa perbedaan gender dan status sosial dalam pengurusan kepentingan-kepentingan bersama di dalam masyarakat dan negara. 

Di Indonesia, dampak dari Reformasi mengubah dan mengembalikan spirit gerakan perempuan di awal perjuangan kemerdekaan Indonesia seperti terjadi pada Kongres Perempuan Pertama pada tanggal 22 Desember 1928 yang  perayaannya dilakukan sebagai hari Ibu.  Kongres ini adalah contoh dari politik kolektif perempuan memperjuangkan hak-haknya dan hak bersama merebut kemerdekaan.  Stagnasi dari pergerakan perempuan semasa Orde Lama dan domestiksasi gerakan PKK pada masa Orde Baru mendapat perubahan yang signifikan pada masa Reformasi. 

Keterwakilan perempuan berkaitan dengan argumentasi bahwa hanya perempuan yang dapat memperjuangkan kepentingannya.  Dari masalah air, listrik, pangan , pendidikan, kesehatan, KDRT, akses kepada fasilitas umum, sandang dan partisipasi ekonomi yang adil memerlukan keterlibatan perempuan merumuskan kebijakan-kebijakan yang berperspektif adil gender.  Kontribusi perempuan tidak cukup hanya sebagai pembayar pajak kepada negara. 

Hasil penelitian UNDP di berbagai negara menunjukkan korelasi antara tingginya partisipasi perempuan sebagai legislator terhadap pencapaian pembangunan di semua ranah. Dampak Reformasi dengan hadirnya berbagai perundangan yang terkait dengan keterwakilan perempuan sampai 30% yang adalah produk dari kebijakan tindakan khusus sementara (Instruksi Presiden No 2/2000, UU no 12/2003, UU no 10/2008, UU no 31/2002) ternyata turut berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas perempuan dan kepercayaan masyarakat untuk memilih perempuan sebagai wakil rakyatnya. Presentasi dan prestasi keterlibatan perempuan bisa terlihat pada penambahan representasi perempuan baik di DPR ( 18,04%  ), DPD ( 26,52%  ) sampai pada tingkat DPRD Tingkat I dan Tingkat II. Perempuan juga mulai dipercayai masuk dalam kepengurusan partai politik pada jabatan-jabatan yang strategis.

Search for Common Ground memfasilitasi Refleksi Politik Perempuna Parlemen dengan menghadirkan anggota legislatif perempuan DPRD dari beberapa propinsi, DPD RI (GKR Hemas), aktivis Koalisi Perempuan Indonesia dari beberapa daerah dan aktivis dari Solidaritas Perempuan.

 
Transformasi politik representasi yang menguntungkan perempuan ini mengundang  kewaspadaan kritis dari perempuan politik maupun seluruh lapisan gerakan perempuan di Indonesia.  Tantangan itu terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban politisi perempuan terhadap agenda keberpihakan memperjuangkan isu-isu yang sangat dekat dengan realitas perempuan Indonesia saat ini.  Menurut BPS RI jumlah penduduk perempuan tahun 2001 lebih banyak dari lelaki (51%). 

Pertumbuhan populasi perempuan ini belum sejalan dengan pencapaian tingkat kesejahteraan yang dinikmatinya. Kemiskinan masih mendominasi warna kehidupan perempuan di Indonesia.   Berbagai faktor kemiskinan yang terkait dengan rendahnya pendidikan, hambatan sumber-sumber alam yang dapat dikelola dan kebijakan pemerintah yang tidak sensitif gender.  Rata-rata penghasilan perempuan masih belum memenuhi syarat dari ketentuan PBB untuk mencapai pembangunan milinium yaitu $2 per hari atau kurang dari Rp 20.000 per hari.

Seorang wakil rakyat yang mewakili dirinya sebagai bagian dari politik representasi perempuan seharusnya membawa kesadaran tentang kenyataan banyaknya perempuan Indonesia yang miskin. Adalah suatu malapetaka apabila representasi politik perempuan semata-mata dicapai  untuk memenuhi strategi kepartaian terutama apabila perempuan menjadi jalan pintas penyaluran dana-dana proyek kepada partai. Kasus yang sedang kita semua amati terkait dengan kemungkinan keterlibatan politisi Angelina Sondakh dalam dugaan korupsi bersama di jajaran Partai Demokrat bukan saja melemahkan partai itu sendiri tetapi perjuangan bersama gerakan perempuan untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan dan perdamaian dalam pembangunan di Indonesia. Deretan nama perempuan lain yang diduga terlibat korupsi juga bisa ditambahkan dalam daftar panjang korupsi di Indonesia saat ini.

Kasus-kasus keterlibatan perempuan dalam korupsi patut direfleksikan mendalam oleh gerakan perempuan di Indonesia terutama memikirkan bentuk penguatan kapasitas politisi perempuan supaya bisa resisten terhadap sistem konspirasi korupsi di sekitarnya. Bahkan dari resistensi ini, diharapkan korupsi sebagai epidemik dari penyakit bersama bisa diberantas. 

*) Akitivis akar rumput, antropolog dan teolog tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar