Pertanggungjawaban
Representasi Perempuan Politik.
Refleksi
83 tahun perjuangan perempuan Indonesia
Oleh:
Farsijana Adeney-Risakotta*)
Pemikir
politik, Hanna Pitkin (1967) meneliti
tentang sejarah representasi sejak jaman Yunani sampai dengan pemerintahan
demokrasi Amerika Serikat di abad 20. Penelitian ini mendefinisikan
representasi sebagai aktivitas untuk
menghadirkan suara warganegara baik dalam bentuk perspektif, opini melalui
proses pembuatan kebijakan publik. Representasi politik terjadi apabila
pelaku-pelaku politik berbicara, mengadvokasi, bertindak atas nama yang lain.
Istilah politik
menjelaskan tentang pengaturan relasi kekuasaan dalam suatu sistem yang
disepakati bersama. Asal usul kata politik dalam bahasa Yunani berkaitan dengan
tata cara pengaturan kehidupan di kota. Mereka yang terlibat dalam pengaturan
kota disebut warganegara. Melalui buku
ke-2 Aristoteles, Politics: A Treatise on
Government yang ditulis 2400 tahun
lalu, penjelasan tentang warganegara dipaparkan bersandingan dengan diskursus
tentang representasi mereka dalam pengaturan kota melalui pemilihan umum. Kemajuan demokrasi terlihat karena keputusan
penyelenggaraan kota bukan semata wewenang dari kaum aristokrasi. Warganegara
pada jaman itu adalah para lelaki yang bebas,
pengrajin, birokrat pemerintah, pemilik tanah dan bangsawan.
Perempuan dan
budak belum termasuk dalam kategori warganegara dan partisipasi mereka belum
ada dalam pengaturan kota. Jadi keterlibatan perempuan dalam politik merupakan perubahan panjang dari sejarah
pergerakan berabad-abad, rentangnya masih muda dan terus harus diperjuangkan.
Mekanisme politik representasi menunjukkan keterlibatan semua warganegara tanpa
perbedaan gender dan status sosial dalam pengurusan kepentingan-kepentingan
bersama di dalam masyarakat dan negara.
Di Indonesia,
dampak dari Reformasi mengubah dan mengembalikan spirit gerakan perempuan di
awal perjuangan kemerdekaan Indonesia seperti terjadi pada Kongres Perempuan
Pertama pada tanggal 22 Desember 1928 yang perayaannya dilakukan sebagai hari Ibu. Kongres ini adalah contoh dari politik
kolektif perempuan memperjuangkan hak-haknya dan hak bersama merebut
kemerdekaan. Stagnasi dari pergerakan
perempuan semasa Orde Lama dan domestiksasi gerakan PKK pada masa Orde Baru
mendapat perubahan yang signifikan pada masa Reformasi.
Keterwakilan
perempuan berkaitan dengan argumentasi bahwa hanya perempuan yang dapat
memperjuangkan kepentingannya. Dari
masalah air, listrik, pangan , pendidikan, kesehatan, KDRT, akses kepada
fasilitas umum, sandang dan partisipasi ekonomi yang adil memerlukan
keterlibatan perempuan merumuskan kebijakan-kebijakan yang berperspektif adil
gender. Kontribusi perempuan tidak cukup
hanya sebagai pembayar pajak kepada negara.
Hasil penelitian
UNDP di berbagai negara menunjukkan korelasi antara tingginya partisipasi
perempuan sebagai legislator terhadap pencapaian pembangunan di semua ranah.
Dampak Reformasi dengan hadirnya berbagai perundangan yang terkait dengan
keterwakilan perempuan sampai 30% yang adalah produk dari kebijakan tindakan
khusus sementara (Instruksi Presiden No 2/2000, UU no 12/2003, UU no 10/2008,
UU no 31/2002) ternyata turut berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas
perempuan dan kepercayaan masyarakat untuk memilih perempuan sebagai wakil
rakyatnya. Presentasi dan prestasi keterlibatan perempuan bisa terlihat pada
penambahan representasi perempuan baik di DPR ( 18,04% ), DPD ( 26,52% ) sampai pada tingkat DPRD Tingkat I dan
Tingkat II. Perempuan juga mulai dipercayai masuk dalam kepengurusan partai
politik pada jabatan-jabatan yang strategis.
Transformasi
politik representasi yang menguntungkan perempuan ini mengundang kewaspadaan kritis dari perempuan politik
maupun seluruh lapisan gerakan perempuan di Indonesia. Tantangan itu terutama berkaitan dengan
pertanggungjawaban politisi perempuan terhadap agenda keberpihakan
memperjuangkan isu-isu yang sangat dekat dengan realitas perempuan Indonesia
saat ini. Menurut BPS RI jumlah penduduk
perempuan tahun 2001 lebih banyak dari lelaki (51%).
Pertumbuhan
populasi perempuan ini belum sejalan dengan pencapaian tingkat kesejahteraan
yang dinikmatinya. Kemiskinan masih mendominasi warna kehidupan perempuan di
Indonesia. Berbagai faktor kemiskinan
yang terkait dengan rendahnya pendidikan, hambatan sumber-sumber alam yang
dapat dikelola dan kebijakan pemerintah yang tidak sensitif gender. Rata-rata penghasilan perempuan masih belum
memenuhi syarat dari ketentuan PBB untuk mencapai pembangunan milinium yaitu $2
per hari atau kurang dari Rp 20.000 per hari.
Seorang wakil
rakyat yang mewakili dirinya sebagai bagian dari politik representasi perempuan
seharusnya membawa kesadaran tentang kenyataan banyaknya perempuan Indonesia
yang miskin. Adalah suatu malapetaka apabila representasi politik perempuan
semata-mata dicapai untuk memenuhi
strategi kepartaian terutama apabila perempuan menjadi jalan pintas penyaluran
dana-dana proyek kepada partai. Kasus yang sedang kita semua amati terkait
dengan kemungkinan keterlibatan politisi Angelina Sondakh dalam dugaan korupsi
bersama di jajaran Partai Demokrat bukan saja melemahkan partai itu sendiri
tetapi perjuangan bersama gerakan perempuan untuk mewujudkan keadilan sosial,
kesejahteraan dan perdamaian dalam pembangunan di Indonesia. Deretan nama
perempuan lain yang diduga terlibat korupsi juga bisa ditambahkan dalam daftar
panjang korupsi di Indonesia saat ini.
Kasus-kasus
keterlibatan perempuan dalam korupsi patut direfleksikan mendalam oleh gerakan
perempuan di Indonesia terutama memikirkan bentuk penguatan kapasitas politisi
perempuan supaya bisa resisten terhadap sistem konspirasi korupsi di
sekitarnya. Bahkan dari resistensi ini, diharapkan korupsi sebagai epidemik
dari penyakit bersama bisa diberantas.
*) Akitivis akar
rumput, antropolog dan teolog tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar