Translate

Sabtu, 10 September 2011

Membaringkan jasad grandma


Membaringkan jasad grandma
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Rina, Carol dan saya sedang masak. Sambil memasak, Rina memutar lagu kesayangannya yang ditulis oleh penyanyi sekaligus pencipta lagu, Reuben Morgan. Judul lagunya “This is my desire” (1995)
Saya mengutip liriknya.
This is my desire to honor you
Lord with all my heart
I worship you
All I have within me
I give you praise
All that I adore
Is in you

Chorus:
Lord I give you my heart
I give you my soul
I live for you alone
Every breath that I take
Every moment I’m awake
Lord, have your way in me

Lagu ini kami bernyanyi berulang ulang. Saya terutama sesudah menulis semua liriknya mulai bernyanyi sendiri juga ketika semua sudah menghilang dari dapur. Ada banyak hal yang saya tidak mengerti dari upacara kematian grandma. Ketika ayah saya meninggal, kami memandikan dan mendadaninya.
Jadi selama hampir seminggu di rumah grandma kami belum melihat jasadnya, lagu “This is my desire”  menjadi penghiburan kepada saya. Penutupan dari lagu ini indah karena mengingatkan saya terhadap doa Yesus di taman Getsemani yang meminta Allah mengangkat semua bebanNya tetapi bukan dalam jalanNya melainkan dalam  jalan Allah sendiri. 
Sampai beberapa jam sebelum kami ke pemakaman di Mountain View Cemetery,  jasad grandma baru tiba di tengah-tengah keluarga.  Ketika kami tiba di Berkeley, saya sangat sedih sesudah diberitahu kami tidak bisa melihat jasad grandma lagi. Tiba telat di Berkeley, hanya Glen, Rina dan anak-anak yang bisa melihat jasad grandma. Sebelum dikramasi, jasadnya dibawa ke County Morgue. Untuk melihat jasad grandma sebelum kramasi dilakukan ada ongkos yang besar, dua kali lipat dari total biaya yang harus dibayarkan, demikian penjelasan dari Glen.
Saya terdiam dan membayangkan kebiasaan di Indonesia, tanpa pandang bulu, setiap agama apapun ketika menghadapi kematian ternyata memperlakukan jasad sebagai pribadi yang diurus oleh anggota keluarga. Di AS, jasad seorang yang meninggal seolah-olah adalah urusan dari pasar. Penguburan orang meninggal melibatkan jaringan bisnis yang besar di AS dan mahal. 
Kenyataan ini berbeda dengan apa yang saya dengar dari pak Kadus Karanggayam di mana kami tinggal di Yogyakarta. Penjelasannya kami terima ketika melakukan slamatan  menempati rumah kami di kampung Karanggayam pada tahun 1998 dengan mengundang  tetangga-tetangga dan mementaskan wayang dan campur sari.  Pak Kadus yang hadir pada waktu itu mengatakan bahwa kalau kami meninggal kami bisa dimakamkan di perkuburan di kampung Karanggayam. Muslim dan Kristen bisa dikuburkan dalam satu kompleks penguburan di kampung.
Untuk Indonesia, persoalan “hidup” dan “mati” adalah sama penting karena melibatkan komitmen dari setiap anggota keluarga dan masyarakat untuk turut terlibat.   Kalau bisa hidup bersama ketika masih bernapas, maka masa sesudah kematianpun harusnya bisa dihadapi dengan baik.  Kematian melebihi  pesta pernikahan, tanpa undangan hanya dengan mendengar pengumuman semua orang  akan melayat apabila ada tetangga yang meninggal. Menghadiri upacara kematian adalah menunjukkan penghormatan yang datangnya dari luar lingkaran keluarga.

Memang logika hidup sesudah kematian yang dipraktekkan di Indonesia, juga sedang mengalami perubahan. Mulai ada pengelompokan tempat pemakaman menurut agama masing-masing.  Di Jakarta, lokasi penguburan dibedakan untuk masyarakat dengan perbedaan agama, walaupun sebenarnya ada dalam satu lokasi. Sementara tanda penghormatan melalui kehadiran tidak berubah.
Ketika grandma meninggal, Glen mendapat pertanyaan dari Boni. Kapan grandma akan dimakamkan? Glen katakan akan menunggu anak-anaknya dan sementara sebelum dikramasi, jasad grandma akan dibawa ke County Morgue. Boni yang praktek agama Yahudi menjelaskan bahwa dalam tradisi Yahudi, lamanya jasad sebelum dimakamkan adalah kurang dari 48 jam.  Aturan pemakaman bersifat fleksibel dalam ajaran kristiani di Indonesia. Jasad bisa dimakamkan menunggu keluarga tiba kurang dari 48 jam. Sementara Islam mengharuskan jasad dimakamkan sebelum  24 jam. Sebelum matahari terbenam, pada hari meninggal seseorang di hari yang sama ia harus dimakamkan.
Kelonggaran tafsiran dalam ajaran Kristiani memungkinkan penguburan grandma dilakukan dengan menggunakan kombinasi tradisi kramasi dan teknologi modern dimana jasad sebelum dikramasi bisa diletakkan pada ruang dingin yang menahan proses pelelehan jenasah. Dengan cara ini anggota keluarga bisa datang dari berbagai penjuru dunia untuk penguburan grandma. 
Kematian dan kerinduan memberikan penghormatan terakhir kepada jasad berbeda-beda di setiap tempat.  Berpikir tentang hal ini saya menjadi tenang. Dalam tradisi di AS, penguburan jasad hanya dilakukan untuk anggota keluarga saja.  Izin bisa diberikan kepada teman keluarga yang sudah diterima sebagai anggota keluarga seperti yang terjadi dengan Dr Choi dan isterinya, Aurita. Mereka hadir dalam pemakaman grandma.
Tetapi pengalaman tradisi pemakaman di Indonesia masih mempengaruhi saya. Kerinduan itu mendalam. Rindu menyentuh jasad grandma.  Kerinduan ini didengar Tuhan. Karena sehari sebelum abu kramasi dari jasad grandma di bawa ke rumahnya, kami diundang untuk menghadiri acara makan siang untuk menghormati  Virginia Hadsell.  

Virginia Hadsell berusia 90 tahun dan sedang mempersiapkan diri untuk meninggal.  Ketika kami masih di Indonesia, seorang anaknya, yang sekarang menjabat sebagai Presiden Harford Seminary, Heidi Hadsell menulis surat mengatakan apabila kami mau bertemu dengan Virginia untuk menyampaikan "goodbye". Kanker kulit yang pernah dideritanya, kembali kambuh.
Ia pernah menjadi ketua yayasan dari  Presbyterian Mission Homes di Berkeley. Pada waktu itu, Virginia membuat kebijakan tentang Indonesian House di mana saya dan beberapa teman bisa tinggal untuk belajar di AS.  Kebijakan Virginia ini telah menghadirkan banyak pemimpin-pemimpin Kristiani dari dunia ketiga untuk belajar di AS.  Dengan mengundang mereka tinggal di Presbyterian Mision Homes di Berkeley mereka mempunyai komunitas yang dapat mendorong menyelesaikan tugas belajar di AS dengan baik.
Pelaksanaan makan siang ini dilakukan bersamaan dengan pemberian beasiswa yang terbaru kepada calon penghuni Presbyterian Mission Homes di Berkeley yang khusus bekerja dalam arena hubungan antar agama. Dalam makan siang itu, Pdt Izak Lattu dosen dari UKSW yang sedang belajar S3 di GTU diumumkan sebagai penerima beasiswa dengan nama Scholarship of Virginia Hadsell.  Pdt Izak Lattu adalah lulusan angkatan pertama program S2 CRCS UGM di bidang studi antara agama dan budaya. 

Virginia belajar tentang hidup antara agama dan budaya dari anak-anaknya sendiri. Anak perempuannya menikah dengan seorang Iran, yang beragama Islam dan seorang lain yang menikah dengan seorang lelaki dari Brazil beragama Katolik. Virginia dikayakan dengan pengalaman hubungan antar agama dalam keluarganya sendiri.
Pada makan siang itu saya bisa melihat bagaimana seorang yang akan meninggalkan dirayakan bersama. Ketika semua sudah berkumpul di ruang pertemuan dari Piedmont Gardens di mana Virginia dan John, suaminya tinggal di rumah yang terawat baik untuk orang tua, Virginia dibawa turun dengan tubuh lemah yang berbaring di atas tempat setengah kursi roda. Kadang-kadang ia dibaringkan mendatar tetapi posisi kursi dibuat supaya ia bisa duduk ketika menerima  setiap orang yang datang menyampaikan pesan kepadanya.
Saya makin kenal Virginia sesudah diundang ke New York City, setahun setelah 11 September 2001 untuk mengunjungi berbagai komunitas muslim di New York City. Pada waktu itu saya masih belajar di Amsterdam. Virginia mengusulkan saya untuk menjadi anggota yang disebut Bi Nasional Service yaitu mereka yang punya pengalaman setidaknya tinggal di tiga macam negara yang berbeda dari budaya aslinya. 

Bulan Oktober 2002 saya berangkat ke New York City untuk belajar bersama dengan anggota Bi Nasional Service lainnya dari berbagai negara tentang Islam. Kami mengunjungi mesjid Afrika Amerika yang mempraktekkan teologi dan ritual Islam berbeda dengan tradisi Sunni dan Shiah. Kami juga mengunjungi mesjid Asia di New York City dan saya bertemu dengan beberapa orang Indonesia di sana.
Sepanjang perjalanan di New York City saya bersama dengan Virginia duduk bersampingan di bus. Saya makin mengerti tentang semangat pembelaannya kepada perempuan dan anak-anak. Virginia menginisiasi berdirinya pusat turisme yang khusus melindungi perempun dan anak-anak dari trafiking. Ia mengunjungi negara-negara terutama di Asia untuk melakukan kampanye perlindungan perempuan dan anak-anak dari trafiking. Kepeduliannya mengundang gerakan anti trafiking di kalangan gereja-gereja Presbyterian untuk membangun kesadaran juga tentang produk turisme yang dibeli di AS.
Saya lihat kadang-kadang Virginia tertidur ketika seseorang datang untuk menyampaikan penghargaan mereka kepadanya. Tetapi sesudah semua tamu-tamu mulai pulang, sebelum Virginia dibawa kembali  ke apartemennya, Bernie meminta John dan Virginia berfoto bersama. Ketika itu, kami terharu melihat mata Virginia yang terbuka lebar bersinar biru memandang suaminya. Ada semangat yang keluar dari cinta  kasih mendalam kepada suaminya, yang juga adalah seorang teolog yang pernah bekerja di Korea Selatan dan beberapa negara lainnya. Virginia hidupmu dirayakan oleh kita semua.
Saya terutama merasa seolah-olah Tuhan menghibur hati saya karena ketiadaan jasad grandma diganti dengan kesempatan memberikan penghormatan pada hari Kamis tanggal 8 September 2011 siang hari kepada Virginia yang sedang menuju kematian. Virginia sehari-hari dirawat oleh petugas khusus dari Vitas, the Innovative Hospice Care di Berkeley.  Saya bisa menyentuh tubuh Virginia yang lemah. Saya mencium Virginia yang membuka matanya lebar-lebar. Ia tersenyum, matanya berbinar ketika saya menyebut nama sendiri: “I am Farsijana”. Air mata berlinang.
Bersyukur untuk hari yang diberikan Tuhan dengan perayaan penghormatan kepada Virginia, ada terang di hati saya ketika saya bangun di pagi 9 September 2011.  Hari ini adalah hari grandma.  Abu grandma akan dipulangkan ke rumahnya sebelum kami membawanya ke tempat di mana ia akan dibaringkan bersama suaminya, David  Adeney di Mountain View Cemetery.  Saya ingin grandma berada di rumah ini dengan rasa syukur dan penghiburan yang sedang saya rasakan. 
Jadi pagi-pagi saya bertanya sama Glen untuk mempersiapkan tempat di mana abu grandma akan diletakkan sebelum di bawa ke Mountain View Cemetary.  Saya membersihkan rumah dan memilih rak buku di tengah ruang makan yang di atasnya bisa diletakkan kotak plastik berisi abu grandma. Selendang biru yang saya bawa khusus untuk grandma saya jadikan taplak meja.  Foto keluarga, yang dibuat ketika perayaan 50 tahun pernikahan David dan Ruth Adeney yang diambil dengan semua anak-anaknya diletakkan di sebelah kiri pada rak itu.  Ada enam tempat lilin yang menyala dengan bunga indah dari kiriman orang tua Glen di Oregan.
Robbie, anak Glen berumur 4 tahun bertanya, "Why are you arranging this shelf?". Dia bertanya karena melihat saya memindahkan beberapa foto yang sedang terpasang di sana, termasuk foto saya sedang memeluk David dan Isabel dengan latar belakang pemandangan laut selatan di Alas Wegode.  Saya menjawab: "I am making a place for putting the ashes of grandma to honour her". Robbie terdiam. Kira-kira jam 11 siang, seorang mengetuk pintu. Saya tahu abu grandma sudah tiba di rumahnya. Kami sudah siap menerima grandma. Petugas itu, bernama Robert menyatakan belangsungkawa dengan mengatakan : "Have a good time to celebrate the life of Ruth Adeney". Kemudian ia meletakkan kotak abu grandma pada tempat yang sudah saya siapkan.
Hati saya bergetar.  Jasad grandma sekarang adalah serpihan abu yang bisa dikumpulkan dalam wadah yang kecil berukuran 20 cm panjang, 10 cm lebar dan 30 cm tinggi. Tidak ada lagu-lagu ketika abu grandma di sana. Saya pikir perasaan keluarga bercampur aduk. Perasaan sakit tidak dinyatakan. Air mata saya menetes. Saya memeluk suami erat.  Saya menyentuh lembut kotak bertulisan “Cremated Remains of Ruth Winifred Adeney. Date of Cremation 09/08/2011. ID # 05473. Oceanview Cremations, Hayward, CA.  Saya membisik, “Grandma welcomes home! Kemudian saya keluar rumah.
"I needed to go for a walk", saya membisik sendiri.  Saya sudah berencana ke toko bunga untuk memesan kran bunga yang akan dibawa ke Mountain View Cemetery. Jalan kaki ke toko bunga kira-kira 30 menit sangat menolong saya untuk menghayati perjalanan seorang manusia. Berjalan sendiri untuk mendekat dengan tanah dan langit. Setiap manusia akan pulang sendiri ke sang Pencipta. Berjalan  seperti berziarah, merenungkan tapak tilas diri. Di daerah University Ave, kira-kira 9 blok dari rumah grandma di daerah pertokoan saya menemukan toko bunga Darling Flower shop. Saya masuk dan bertanya apakah mereka bisa membuat kran bunga dalam waktu 30 menit. Mereka katakan bisa.  Saya tenang.
Toko ini adalah toko tiga generasi yang memulai bisnisnya sejak tahun 1932.  Pemiliknya adalah keturunan Italia, dari Sicilia yang tiba di AS tahun 1913 lebih muda setahun sebelum grandma lahir di tahun 1912. Saya memilih bunga chrysanthemum  tipe bunga tropis berwarna ungu, jingga dan putih dengan meminta diselipkan bunga-bunga kecil dan daunan hijau membentuk krans melingkar untuk grandma.  Kemudian saya meminta disiapkan kurang lebih 20 kartu kosong putih dengan amplop kecil yang akan saya berikan kepada setiap anggota keluarga yang hadir untuk menuliskan sesuatu kepada grandma.  Sambil menunggu saya bercakap dengan pemilik dari generasi ketiga, Michelle Assia, seorang mahasiswa sejarah yang sedang belajar di San Fransisco State University.
Sebelum jam 2 siang pada tanggal 9 September 2011 saya keluar dari toko bunga menggendong kotak berisi bunga berukuran panjang 70 cm dengan lebar 50 cm di bahu kiri berjalan pulang ke rumah grandma. 30 menit pulang memberikan pengalaman yang lain kepada saya. Untuk pertama kalinya seumur hidup saya menggendong barang di bahu sambil berjalan sepanjang trotoar yang ramai.  Beberapa kali saya mengubah posisi gendongan kotak bunga dari bahu kiri ke kanan kemudian diletakkan di atas kepala.
Saya seperti sudah dipersiapkan dengan pengalaman ketika bertemu petani-petani di Alas Wegode di Gunung Kidul. Saya berjalan sambil bersenandung lagu-lagu  "Kuberbahagia", lagu yang kami nyanyikan kepada ayahanda ketika ia meninggal 22 tahun lalu di Jakarta. Tiba di rumah semua anggota keluarga sudah bersiap akan ke Cemetery.  Ada kekuatiran di dalam hati mereka, bahwa saya tersesat. Tetapi saya tiba di rumah sebelum semua panik. Saya mempersiapkan diri dan berangkat bersama-sama mereka.
Iring-iringan mobil ke pemakaman menaiki bukit di mana jasad grandma akan dimakamkan. Dari Mountain View Cemetery bisa terlihat jembatan Golden Gate di teluk yang menghubungkan  San Francisco dengan Marine County. Ada 17 orang yang hadiri pemakaman grandma. Mereka adalah semua anaknya, sebagian cucu-cucu, semua cicit-cicit, menantu-menantu bersama dengan Dr Choi dan isteri. Setiap anggota keluarga memasukan amplop khusus dalam peti "fiberglass" yang sama berisi kotak abu grandma. Hanya grandma yang tahu apa yang ditulis masing-masing anggota keluarga. 
Bernie memimpin liturgi mengikuti The Book of Common Prayer yang diterbitkan oleh Church of England yang sangat mendalam dan indah.  Semua orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan kenangan tentang grandma.  Krans bundar mungil terbaring di atas makam.  Satu kembang lili yang sedang mekar disiapkan khusus oleh Jen Marion dibaringkan melintasi nama grandma. Serpihan bunga-bunga mawar dari kebun Rina ditaburkan dalam liang lahat.  Bunga-bunga lain dari keluarga diletakkan  sekitar makan grandma dan David Adeney.

Bernie mencintai grandma sebagai ibu yang pemaaf dan suka mengampuni. Ia tidak menyimpan kemarahan sampai mata hari terbit. Ketika Bernie masih muda grandma menyatakan keberatan kepadanya  karena memelihara  rambut gondrong.  Tetapi Bernie tetap gondrong selama bertahun-tahun. Grandma memaafkan dan mengasihinya. Ketika saya sedang berjuang untuk menyelesaikan S3, Bernie juga meneguhkan diri saya dengan menggondrongkan kembali rambutnya.  Ia baru memotongnya sesudah menyelesaikan lari marathon tahun 2005 di New York ING Marathon.
Keramahtamahan grandma dikenang oleh cucu-cucunya. Peter terutama membagikan refleksi mendalam tentang ketegangannya untuk tetap mengasihi dan mencintai grandma ketika dalam situasi demensia grandma seringkali tampil marah dan frustasi. Penuh emosi diri, ketika sharing Peter mengatakan  pengalaman demensia grandma mengajarkannya untuk menerima dirinya sendiri. Manusia memulai hidup dengan keindahan anak-anak tetapi bisa mengakhir kehidupan dengan ketidakberdayaan, kemarahan dan frustasi. Peter belajar untuk memaafkan dirinya dan mempersiapkan dirinya menerima grandma  sebagai bagian dari kehidupan yang mengalir dari awal hingga akhir. 

Saya terharu mendengar pengakuan Peter. Ketegangan dalam dirinya bisa dibahasakan mendalam yang mungkin sulit diungkapkan oleh Glen dan Rina yang sehari-hari selama 14 tahun berhadapan dengan kefrustasian dan kemarahan grandma atas ketergantungan dirinya pada orang lain. Kira-kira 3 tahun terakhir sebelum grandma meninggal, ia mulai tenang dan bisa menerima keberadaan dirinya. 

Mengabadikan kenangan bersama dilakukan dengan berfoto. Saya mengundang masing-masing keluarga dengan anak-anak berfoto bersama grandma di rumahnya terakhir. Ketika saya meminta Frances, bergabung dengan Bernie, Jen, Rina dan Peter, banyak  yang kaget.  Kematian grandma menyembuhkan kita semua, itu pikiran saya. Jen, Rina dan Peter merasa tenang bisa berfoto bersama orang tua mereka.  Sesudah semua berfoto, terakhir giliran Bernie berfoto dengan saya. Hati saya bahagia.    

Tadi malam, Minggu 11 September 2011 jam 19.30-22.00 dilakukan   “memorial service”  untuk grandma. Ada kurang lebih 200 orang hadir di gereja Covenant, gerejanya grandma.  Gereja ini mengenal David dan Ruth melalui salah satu bangunan untuk pusat belajar jemaat yang diberikan nama David dan Ruth Adeney.
Liturgi penuh dengan lagu-lagu yang disukai oleh grandma. Kami bernyanyi dan saya sangat bersyukur. The three brothers memainkan foto-foto slides tentang grandma sejak masa kecil hingga kesakitan masa tua. Suaminya, David Adeney karena tugas-tugasnya keliling dunia, sering meninggalkan grandma sendiri bersama anak-anak mereka. Grandma, perempuan kuat yang memelihara empat anaknya dalam berbagai perjalanan sendiri bersama mereka menyeberang dari satu benua ke benua lain.   Ada foto yang menunjukkan persiapan grandma dengan anak-anak kembali ke Cina. Mereka harus naik kereta dari pantai timur ke pantai barat kemudian dengan kapal ke Hongkong baru ke Cina daratan.
Orang-orang yang hadir diundang untuk membagikan cerita mereka tentang grandma.  Saya bersyukur bisa mendengar cerita-cerita yang belum pernah saya tahu sebelumnya. Seorang perempuan tua berbahasa Mandarin menyampaikan perasaannya kira-kira lima menit. Ia tidak mau berhenti. Kemudian seorang lelaki Cina menterjemahkan dalam bahasa Inggeris. David dan Ruth menyentuh hati orang-orang Asia, dan pemimpin Kristen Asia seperti dikatakan oleh salah satu mahasiswa David Adeney di DTC Singapore Dr Seyoon Kim.  Ia sekarang adalah dosen di Fuller Seminary di Pasadena, Los Angeles.
Sesudah semua refleksi selesai  Peter tampil memainkan tarian bola kristal sambil menceritakan terpatah-patah tentang perjalanan jiwa neneknya kembali ke Tuhan. Khaterine bermain piano dan Peter menari kira-kira 5 menit. Persiapan mereka untuk pementasan hanya 5 menit dilakukan di gereja ketika kami belum tiba. Khaterine melakukan improvisasi dengan lagu yang dimainkannya untuk menyeleraskan dengan gerakan tubuh Peter. 

Khaterine, gadis 24 tahun yang berasal dari Stuttgart Jerman, adalah calon dokter.  Pertama kali Peter bertemunya di kereta kemudian cinta kasih mereka bertumbuh sampai sekarang. Semula Khaterine menyesal grandma pergi sebelum bertemunya.  Michael, oom dari Peter menghibur Khaterine katanya mungkin lebih baik mengenal grandma melalui cerita-cerita tentang kehidupannya sebelum demensia daripada bertemu dengannya dalam keadaan menyedihkan. Pergolakan dalam bathin untuk menjawab tindakan mana yang tepat buat grandma membuat Khaterine meleburkan dirinya dalam nada-nada piano yang mencekamkan perjalanan dirinya  bertemu grandma. 

Banyak mata terpaku, berkaca-kaca membentuk danau kemudian menetes ketika Peter mulai berkata-kata bergetar. “Ruth is my grandmother. …  Peter melafalkan doa yang kenalnya sejak masih kecil. Doa ini diajarkan ayahnya Bernie. " Now I lay me down to sleep. I pray thee Lord my soul to keep. If I should die before I wake. I pray thee Lord my soul to take. …Doa disebutkan sambil melemparkan, menangkap  dan menyentuh bola kristal lembut.  Pdt Adrew menyampaikan khotbah tentang kebangkitan yang sudah dimenangkan oleh Kristus sehingga Ruth sudah berbahagia bersamaNya. Kematian ditelan oleh kebangkitan Yesus.
Peter menarikan iman Ruth dengan indah. Dalam tarian bola kristal,  Peter seolah-olah sedang memeluk lembut kemudian mengangkat tubuh neneknya mengangkasa ke langit.  Empat belas tahun lalu, berat badan grandma 90 kg tetapi ketika meninggal beratnya cuma 45 kg. Setiap gerakan Peter seolah-olah ia sedang terbang bersama jiwa neneknya. Kemudian saya tahu tentang pengalaman misteri kira-kira 7 hari sebelum berita kematian neneknya diterima Peter. Ketika itu Peter sedang di kota Vordingborg di Denmark untuk menghadiri workshop artis teater yang datang dari seluruh Eropa. 

Dalam workshop itu Peter menerima pertanyaan tentang bagaimana merasakan wajah dengan perasaan. Kemudian ia mendapat ruangan yang disebut "wisdom" untuk menghayati kehidupan seorang  lansia. Dalam ruangan itu ada lemari pakaian. Ada suara yang meminta Peter untuk membuka lemari tersebut dan membayangkan pakaian mana yang disukai orang tua itu. Memasuki ruangan itu langsung Peter mengingat kepada neneknya, Ruth. Hatinya sangat tertekan. 

Rindu mendalam tiba-tiba datang kepada neneknya ketika diminta membayangkan dari berbagai permen yang ada dalam ruangan itu akan dimakan oleh neneknya. Terbesit, kalau ia ke Berkeley ingin langsung ke rumah neneknya untuk membelainya. Peter ingat, nenek Ruth yang selalu menyediakan kue-kue enak dalam tradisi minum teh sore.  Di ruangan yang menghadap ke pemandangan danau yang bening  Peter menulis perasaan hatinya kepada neneknya.  Peter berharap membacakan  tulisan itu kepada neneknya.

Workshop itu mempersiapkan Peter menyelesaikan pergumulannya menerima kelemahan tubuh manusia. Peter, seorang profesional menjadikan tubuh sebagai alat untuk menampilkan perasaan dan keindahan.  Bisakah  kerapuhan tubuh seorang lansia dihayati dalam keindahan gerak tubuhnya? Tersirat  pertanyaan itu datang padanya ketika pintu cinta dalam ketulusan kepada neneknya terbentang lebar di depan dirinya. 

Menghayati penderitaan nenek, merenungkan kekuatan yang pernah ada padanya menolong menghadirkan penerimaan diri. Kerapuhan dan kemerosotan fisik adalah bagian dari kemanusian. Cinta abadi dan kasih sayang menghidupkan jiwa yang hidup dalam kerapuhan fisik.  Vordingborg menolongnya menghubungkan kerentanan neneknya dengan dirinya sendiri yang akan merapuh termakan usia.

Resepsi yang dilakukan sesudah ibadah mengendapkan pengertian kami semua tentang hidup grandma ketika satu per satu tamu-tamu saling membagi cerita mereka  mengenai grandma dan David Adeney. Jam 10 malam tiba, masih beberapa orang yang sedang membersihkan ruang pertemuan di gereja.  Bernie dan saya berjalan pulang di malam sejuk awal musim gugur di Berkeley.  Setiap tiupan lembut angin menebarkan bau dedaunan pinus ke wajah saya. Bau khas yang selalu dirindukan.  

Kami menjinjing  foto berukuran 1 meter kali 70 cm yaitu foto grandma dan suaminya berpakaian Cina yang  selama "memorial service" diletakkan di bawah altar dalam ruang ibadah. Langit biru. Bulan mengirimkan cahayanya ke bumi. Perjalanan grandma sudah selesai dan beristirahat di rumah Allah.  Tinggal kami yang terus berjalan di bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar