Translate

Jumat, 30 Desember 2011

Dua belas hari Natal 2011: Bersama Sang bayi kudus memasuki Tahun Baru 2012


Dua belas hari Natal 2011: Bersama Sang bayi kudus memasuki Tahun Baru 2012
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)

Masa Natal diapit oleh masa Advent dan masa Epifania. Masa advent adalah masa persiapan sebelum Natal, yaitu kira-kira 4 minggu sebelum tanggal 25 Desember. Sedang masa Epifania dimulai sesudah Tahun Baru.  Epifania terkait dengan perayaan kedatangan orang Majus melihat bayi Yesus. Dalam tradisi gereja timur, epifania berkaitan dengan tradisi baptisan yang terjadi pada Yesus Kristus, sesudah perayaan hari Natal pada tanggal 6 Januari.

Memasuki Natal 2011 hingga menjelang Tahun Baru, saya memikirkannya, mengapa ada Natal dan Tahun Baru? Mengapa Natal dan Tahun Baru bersisian sebagai satu paket?  

Umat Kristiani mewarisi Natal dalam tulisan-tulisan Injil di Perjanjian Kedua.  Injil Matius dan Lukas menuliskan cerita tentang kelahiran Yesus Kristus. Hanya Injil Yohanes menuliskan kelahiran sebagai pemaknaan logos yaitu firman yang menjadi manusia. Bentuk penyajian tulisan dalam Injil Yohanes lebih filosofis untuk menjelaskan iman Kristiani kepada masyarakat berlatar belakang gnosis yaitu aliran pengetahuan yang mengintegrasi berbagai ajaran tentang kehidupan.

Kedua Injil, Matius dan Lukas menutur tentang kelahiran Yesus Kristus sebagai bagian dari kronologis sejarah seorang manusia.  Terlahir dari darah biru Raja Daud yang berakar pada tradisi kerajaan Israel, Yesus Kristus sekaligus adalah messiah yang dinantikan untuk melakukan pembaharuan perjanjian Allah dengan manusia. 

Berbeda dari kebanyakan realitas kebiruaan seorang keturunan raja, Yesus Kristus dilahirkan dari darah perawan Maryam di kandang hewan di Betlehem.  Lokasi yang sering dianggap hina, ternyata adalah tempat yang maha penting dalam sejarah kelahiran bayi Yesus Kristus.  Karena di tempat inilah, kelahiran Yesus Kristus ternyata mempertemukan tiga orang Majus, mewakili kaum kerajaan, intelektual dan pedagang dengan para gembala yang kehidupan sehari-harinya berada di padang belantara.

Mereka yang datang menemukan keajaiban Allah dalam diri sang bayi kudus, Yesus Kristus  yang mengenainya masing-masing menerima tanda yang berbeda-beda. Para gembala mengetahui tentang kelahiran Yesus karena didatangi sendiri oleh malaikat-malaikat ketika mereka sedang mengembalakan ternaknya di padang.  Sedangkan para Majus dari Timur melihat tanda kemahakuasaan Allah melalui petunjuk dari bintang yang besar membiru lain dari biasanya. Mereka mengikuti bintang sebagai petunjuk sampai tiba di kandang di mana sang bayi sedang dibaringkan di dalam palungannya di kota Betlehem.

Cerita kisah kelahiran bayi kudus ini masih direnungkan sesudah 2000 tahun silam sejak peristiwa sejarah dari kelahiran Yesus Kristus. Dalam tradisi Kristiani, kisah kelahiran bayi Yesus Kristus diabadikan melalui perayaan Natal. Natal sebagai kata berakar pada bahasa Latin, Natalis, yang berarti kelahiran.  Kitab-kitab Injil tidak mencatat secara pasti kapan Yesus Kristus dilahirkan. Tetapi narasi kelahiran seperti yang dijelaskan di atas, dengan dimulai dari pemilihan ibunda Yesus, Maryam yang dilakukan sendiri oleh Allah merupakan tradisi yang dipercayai di kalangan umat Kristiani maupun umat Muslim sebagaimana kisahnya dituliskan dalam buku Maryam dalam Al Quran. 

Tulisan saya lainnya pernah menjelaskan tentang perbandingan peran Maryam dalam kelahiran Yesus Kristus sebagaimana digambarkan oleh Injil maupun dalam Al Quran (lihat Natal Perbandingan Alkitab dan Al Quran untuk analisis konspirasi advent di Amerika Serikat   <old.nabble.com/Natal:-Perbandingan-pemberitaan-dalam-Alkitab-dan...>).  Walaupun Gus Dur pernah menulis tentang adanya perbedaan maksud perayaan Natal dan Maulid di kalangan umat Muslim (Harlah, Natal dan Maulid, di dalam media.isnet.org/antar/etc/GusDurNatal.html).   Argumentasi Gus Dur terkait dengan kepercayaan umat Kristiani bahwa Natal diperlukan karena kelahiran Yesus Kristus sebagai upaya penebusan dosa asal yang diwarisi manusia sejak kejatuhan manusia pertama (Adam) dalam dosa.  Sedangkan perayaan  Maulid Nabi Muhammad SAW mulai dilakukan pada masa perang salib di tanah suci Yerusalem untuk menguatkan kaum muslim dalam perjuangan mereka bersama melawan infidal.

Pada sisi tertentu, saya bahkan berpendapat bahwa tentang tanggal kelahiran Yesus yang tidak dicatat oleh penulis Injil sebenarnya menunjukkan upaya untuk tidak terjebak pada berbagai bentuk perayaan yang serupa dengan perayaan hari ulang tahun raja yang sangat meriah diupacarakan pada saat itu.  Alasan gereja kemudian menetapkan perayaan Natal pada kira-kira abad 6 M adalah untuk mempersatukan umat Kristiani sebagai suatu oikus, rumah yang berada dan tersebar dimana-mana.  Jadi alasan ini hampir mirip dengan penetapan perayaan Maulid di kalangan muslim.

Pilihan tanggal perayaannya dilakukan oleh Gereja dengan mengadopsi hari perayaan keberadaan matahari terpanjang pada bulan Desember di musim dingin. Pilihan hari perayaan tanggal 25 Desember adalah upaya kontektualisasi dalam teologi Kristen terkait dengan kelahiran Yesus Kristus.  Secara historis, gerakan penolakan kontekstualisasi teologi kelahiran bayi Yesus pernah terjadi di kalangan puritan Inggeris di sekitar abad 15 M. Tetapi gerakan puritan ini terlalu lemah untuk mengubah wacana gerakan kontektualisasi teologi Kelahiran Yesus Kristus karena kemudian diakui bersama tentang lamanya perayaan Natal yaitu 12 hari terhitung dari tanggal 25 Desember sampai tanggal 6 Januari. Gereja-gereja Katolik dan Protestan merayakan Natal pada tanggal 25 Desember. Gereja-gereja Timur (Ortodoks) merayakan Natal pada tanggal 6 Januari.

Perbedaan tanggal perayaan tidak menghilangkan maksud dari pekerjaan penyelamatan Allah kepada manusia dan alam semesta seluruh melalui kelahiran Yesus Kristus. Yesus lahir mempertemukan berbagai lapisan masyarakat mulai dari kalangan ningrat, terpelajar, pedagang sampai dengan mereka yang papah dan terpinggirkan. Kelahirannya adalah bagian dari rencana penyelamatan Allah untuk memperbaharui relasi sosial yang terputus dan kebijakan bersama yang tidak adil untuk mendatangkan kesejahteraan bagi semua.

Fenomena sang bayi pembawa damai, keadilan, penghiburan dan ketenangan sudah dinantikan sejak  jaman nabi-nabi seperti dijelaskan dalam Kitab Yesaya pada Perjanjian Pertama (Yesaya 61: 1-2). Bunyinya: “ Roh Tuhan Allah ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan..”

Gambaran penugasan Sang juru selamat, messiah yang dinantikan digenapi dalam kelahiran Yesus Kristus. Sang bayi berdarah biru, adalah pelayan manusia. Tugas pelayanan terhadap manusia, seringkali bukan merupakan agenda dari para raja-raja yang berkuasa di dunia. Kekuasaan manusia adalah kekuasaan untuk menaklukan, mengalahkan, memenangkan pertarungan, meminggirkan mereka yang kalah dan memelihara kebencian sebagai akibat dari derita kekerasan yang pernah diterimanya. Bayi Yesus, sang Pendamai dibutuhkan untuk meluruskan kembali jalan Allah dalam dunia ini untuk mengiring pembuat kebijakan, kaum aristoraksi, kaum intelektual, kaum politikus, kaum pedagang, kaum birokrat untuk mengingat tentang tujuan pelayanan abadi yang mereka emban. 

Bayi Yesus tidak cukup diposisikan dalam tradisi untuk memberikan legitimasi terhadap penampakan luar dari kehidupan bermasyarakat yang dapat terlihat bersama, tentang ketulusan politik seseorang atau sekelompok orang.  Perayaan Natal adalah memberikan kesempatan kepada diri sendiri maupun kelompok, atau umat untuk melakukan dengan sungguh perjuangan pembebasan sebagai rahmat Allah yang merupakan hak dari semua makluk di mana semua umat manusia yang dikasih Allah hidup dan berada. Tanpa pembebasan diri kita dari berbagai tujuan hidup yang akhirnya mengorbankan menyebakan ketidakadilan ketiadaan bahagiaan, damai sejahtera, ketenangan, perayaan Natal akan tampil sebagai cara memuaskan ego spiritualitas pribadi dan umat yang cenderung bersifat semu semata. 

Disinilah maknanya terhadap persiapan memasuki Tahun Baru 2012. Tahun Baru, yaitu 1 Januari menurut kalender Gregorian adalah suatu tanda penyertaan Allah kepada umat manusia.  Tahun Baru adalah bagian dari rangkaian perayaan 12 hari Natal. Dalam tradisi, menurut perhitungan Gereja, 1 Januari adalah delapan hari sesudah kelahiran Yesus yang kemudian diserahkan kepada Allah. Yesus dibawah ke dalam Sinagoge untuk diterima oleh umat sebagai tanda kesediaan orang tua dan jemaat membimbingNya menuju pada jalan Allah.  Umat Kristiani khususnya belajar untuk mengantarkan dirinya kepada Allah membimbingnya menjalani lagi 365 hari yang masih misteri untuknya.

Tahun Baru adalah tanda tindakan penyertaan Allah dalam hidup manusia. Menyatakan diri mengikuti jalan Allah, bisa dilakukan oleh berbagai agama, menurut pemahamannya masing-masing. Mengikuti dan menyerahkan diri kepada Allah merupakan inti dari kehidupan iman yang nampak pada ajaran agama-agama di muka bumi, sebagaimana juga bagian dari iman Kristiani dengan keunikan ajaran dan penafsirannya.

Perayaan Tahun Baru bukan sekedar penerimaan otoritas pergantian tahun menurut kalender Gregorian, tetapi telah menjadi bagian dari pergumulan iman setiap insan manusia. Kemisterian tentang masa depan, dikembalikan lagi kepada sang Pencipta, yang dipercayai dapat menuntun kehidupan manusia ciptaanNya. Kepastian tentang tangan Sang Pencipta, tangan Allah yang mengasihi umatNya memberikan peneguhan penerusan langkah kehidupan dari mereka yang percaya penuh kepadaNya.  Tanpa ramalan-ramalan, termasuk adanya ramalan kiamat di tahun 2012,  mereka merasa tenang melakukan apa yang diwajibkan demi mencapai kehidupan yang adil berdamai sejahteraan dengan alam semesta dan seluruh ciptaanNya.  

Selamat Natal 2011 dan  Tahun Baru 2012.

*) Seorang aktivis akar rumput, antropolog, dan teolog tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar