Translate

Sabtu, 10 September 2011

Keramahtamahan grandma dan kehidupan di AS


 Keramahtamahan grandma dan kehidupan di AS
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta 

Minum teh panas menolong mengurangi rasa dingin di Berkeley. Saya selalu merasa dingin kemana saja saya pergi melewati atmosfir tropis. Ketika di Amsterdam, di musim dingin, saya pulang dari kantor ASSR-UVA di Kloveniersburgwal bersepeda kembali ke apartemen saya di Kinkerstraat, tiba di rumah segera saya ke kamar mandi. Air panas langsung mengucuri seluruh tubuh. Kemudian secepatnya saya menyusup masuk di bawah selimut tebal di mana terbaring kasur yang sudah panas. Ketika sudah merasa tenang sebelum tertidur, alat pemanas kasur dimatikan.
Di rumah grandma, di Grant Street adalah pertama kali saya menikmati teh sore dengan kue-kue enak.  Rasa kuenya masih tertinggal dalam ingat. Hanya ketika saya sedang menyelesaikan tulisan ini, Peter dan Katherine datang ke rumah grandma membawa kue-kue yang dulu sering disajikan grandma dalam tradisi minum teh sore. Tertulis di bungkusan plastiknya, Mother’s cookies, California cookies since 1914.
Pertama kali disajikan teh oleh grandma ketika saya mengunjunginya sendiri. Saat itu  saya sedang mengikuti kuliah seminar dari Prof. Peter Evans di Fakultas Sosiologi University California di Berkeley (UC Berkeley).  Sebelumnya saya sedang belajar bahasa Inggeris di Syrcuse University Upper New York dan tinggal bersama Peter, Debra, Luara dan Natalie Bell.  Di rumah mereka, Bernie datang untuk melakukan upacara pertunangan dengan saya. Kemudian Bernie membawa saya ke Berkeley, kami berangkat dari pantai timur ke pantai barat dengan kereta  Amtrak.  

Di Berkeley, kami tinggal bersama beberapa orang di rumah yang disebut "Indonesian House" di  Presbyterian Mission Homes di Berkeley.  Grandma ingin kenal saya, sehingga ia mengundang saya ke rumahnya pada sore itu. Grandma membuat teh yang diletakkan pada “fine porcelain China” kemudian didorong dengan trolley ke ruang tamu.  Meja bertaplak putih berenda sudah disiapkan sebelumnya. Grandma meletakkan di atas meja tersebut. Saya diundang duduk di samping meja.
Tetapi grandma keluar melalui pintu depan. Saya bertanya-tanya. Tidak lama grandma kembali dengan seorang perempuan yang lebih muda dari dirinya. Saya diperkenalkan dengan Febe, yaitu tetangga disamping rumahnya. Kami menikmati sore yang indah. Grandma banyak bertanya tentang kehidupan di Indonesia walaupun bersama suaminya, David Adeney pernah ke Indonesia untuk mengunjungi anaknya Bernie dan keluarga yang tinggal di Salatiga.
Sekarang saya menikmati teh sambil semua ingatan dengan grandma memutar balik dan datang ke bayangan saya. Setiap orang sedang mengingat sesuatu tentang grandma dan keluarganya. Bernie sedang mempersiapkan liturgi untuk ibadah pemakaman di Mountain View cemetery pada hari Jumat, tanggal 9 September 2011 dan ibadah di gereja hari Minggu tanggal 11 September 2011.
Kakaknya, John sedang menyeleksi foto-foto untuk mempersiapkan foto slides pada ibadah syukur besok Minggu. Dua tahun lalu, John dan Carol tinggal di apartement kami dan selama tiga minggu melakukan scan untuk foto-foto keluarga yang berkarton-karton. Sekarang mereka bisa menggunakan foto-foto tersebut dari kerja keras John dan Carol. 

Michael sedang mempersiapkan obituary dari grandma.   Perjalanan kehidupan 99 tahun grandma seperti film yang menyeleraskan antara gambar dan kata-kata yang keluar dari setiap anak-anaknya.  Foto-foto menyimpan sekaligus meringkas kenangan dalam bahasa  yang bisa menghadirkan kembali perasaan mendalam ketika peristiwa itu terjadi. 
Sambil memegang erat cangkir panas saya sedang mengalihkan kenangan suami dan saudara-saudaranya ke dalam pengertian sendiri. Kekayaan kehidupan diakui ketika seseorang masih kuat. Tetapi grandma yang saya kenal sebagai seorang yang ramah penuh kasih sayang tiba-tiba makin menyusut kesehatannya sehingga akhirnya seperti hidup dalam dirinya sendiri. Saya ingat beberapa kali merawatnya bersama suami supaya memberikan waktu liburan kepada Glen dan Rina serta anak-anak mereka sesudah waktu yang lama memelihara grandma.
Giliran saya merawatnya, saya menggunting kuku kaki dan tangannya. Memandikan dan mempersiapkan makanan sesuai dengan ukuran yang diatur oleh Glen. Ia menyerahkan dirinya untuk dirawat. Tetapi kadang-kadang ada penolakan ketika tiba-tiba ia sadar tentang dirinya.   Perubahan dari  seorang perempuan yang penuh kharisma dan mandiri menjadi seorang yang tak berdaya menyalurkan kemarahan tetap menyimpan keistimewaan di hati  semua anggota keluarga.  Cerita-cerita ketika grandma sebelum mengalami demensia makin kuat muncul dalam rangkaian kenangan keluarga daripada cerita kepahitan kefrustasian grandma sesudah ia menjadi sangat tergantung pada orang lain. 
Saya menarik napas mendalam. Saya mensyukuri kesempatan bisa mengalami keramahtamahan grandma.  Grandma membongkar bayangan saya tentang siapa orang Amerika.  Orang Amerika sama dengan manusia lainnya di seluruh dunia. Tradisi minum teh ini merupakan tradisi di kalangan keluarga Adeney di Norfolk, Inggeris seperti saya ingat bersama suami mengunjungi Uncle Harold, saudara lelaki dari David Adeney dan isterinya, Isabel. Keduanya adalah dokter yang lama kerja di Rwanda, Afrika. 
Aunt Isabel menyajikan teh dengan kue-kue yang waktu dimakan menggunakan sendok dan garpu. Minum teh dipandang setara dengan makan malam seperti yang saya alami di Inggeris.  Pada sisi tertentu, makna dari tradisi minum teh ini bisa disejajarkan dengan keramahtamahan dari makan sirih dan pinang yang selalu disajikan oleh orang-orang di pedesaan Halmahera di Maluku Utara ketika saya masih kerja di sana. Mereka tidak mempunyai apa-apa tetapi akan menawarkan sirih pinang sebagai pengganti minuman. Saya belajar makan sirih pinang di sana. Tanda keramahtamahan ada di mana-mana dari pedesaan di Halmahera, Amerika Serikat,  Inggeris dan di seluruh dunia.
Keramahtamahan grandma sekarang sedang dibayar kembali oleh orang-orang yang pernah dilayaninya. Sejak kami tiba, belum pernah seharipun kami tanpa kiriman makanan. Setiap malam ada satu keluarga dari gereja, tetangga atau sekolah Rina yang datang untuk mengantar makanan kepada kami.  Hari Rabu saya memasak karena makin banyak anggota keluarga yang mulai berdatangan. Saya buat nasi ala Spanyol dicampur dengan ayam, sosis;  sup wortel dimasak dengan celery kemudian diblender, roti dengan campuran cairan tomat yang dipanen dari kebun Rina dan sayuran baby buncis bawang putih dengan variasi kacang almond.
Tetapi malam itu ada satu keluarga, sahabat Rina dan Glen, Sharon dan Bil  yang memanggil grandma “Mrs Adeney” karena mereka kedua pernah bekerja membantu grandma, mengantarkan sepanci sup ala Cina yang berisi nasi dan roti.  Sebelum mereka pulang saya memberikan “kopi luwak” kepada mereka. Satu cangkir dari kopi luwak di daerah bay area harganya  $10. Malam sebelumnya guru-guru dari sekolah Rina membuat satu set "turkey dinner". Rina katakan kami lebih awal merayakan thanksgiving karena mencicipi sajian dinner kalkun  yang sangat enak.
Teman suami saya, Marry Ann, seorang Amerika Jepang yang juga kemudian menjadi teman saya, membawa daging,  tomat-tomat dan ubi jalar yang dipanggang. Ketika kami menikah Marry Ann membantu menterjemahkan puisi kami ke dalam gambar yang menggambarkan dua aliran sungai yang bertemu mengalirkan air ke seluruh bumi. Ini tentang cerita kami yang mempertemukan budaya Indonesia dan Amerika Serikat.  Sampai sekarang pun saya masih terus belajar mengerti budaya dan kehidupan orang Amerika. 

Rumah penuh dengan makanan dan sukacita. Sebelum makan bersama, kami menyanyikan setiap malam lagu-lagu yang disukai dari grandma. Doa makan dalam bentuk lagu berganti-gantian keluar dari ingatan anggota keluarga dan dinyanyikan bersama. Anak-anak Rina belajar lagu-lagu dalam bentuk doa sambil mendengarkan jetusan-jetusan dari grandpanesia tentang masa kecil mereka. Ada satu lagu yang sering dinyanyikan oleh David Adeney, hanya John mengingatnya. Lagu itu seperti lagu plesetan dalam bahasa Inggeris tentang David dan Ruth naik mobil bersama dengan anak-anaknya berjalan ke seluruh Amerika Serikat. Sesudah John selesai bernyanyi semua tertawa.
Karena anggota keluarga datang dari seluruh dunia, rumah grandma terbatas menampung semuanya untuk tidur di sini. Kakak John dan isterinya Carol bermalam di rumah Boni dan Paul,tetangga grandma yang sudah dua puluh tahun kenal dengan David Adeney. Boni dan Paul ke mana-mana harus menggunakan kursi roda.  Boni seorang Yahudi, dengan hati lembut menerima keluarga Protestan, kakak dari Bernie tinggal di rumahnya selama masa duka ini. 

Sebagian yang lain tinggal di rumah teman Peter, Anandamai. Suami dan saya tidur di kamar yang biasa digunakan grandma  sejak menempati rumah itu 35 tahun lalu.  Di kamar terpampang kutipan ayat kesayangannya di tempelkan di atas tulisan nama Adeney yang diukir pada sebidang kayu. "Trust in the Lord with all your heart and lean on your own understanding: in all your ways acknowledge him, and he will make your paths straight (Proverb 3:5-6).
Kami masak bersama. Kami membersihkan rumah bersama. Saya memijat anggota keluarga yang merasa capek. Ketika baru tiba, anak Rina, David dan Isabel sedang pergi mendaki. Sesudah mereka kembali, di malam itu David meminta dipijat. Saya masih capek jadi baru memijatnya besok hari. Carol menikmati pijatan saya ketika baru tiba dari Jerman. Frances dan saya mencuci barang-barang kotor bersama ketika mesin pencuci sudah penuh.
Peter dan Khaterine memilih satu malam untuk memasak makanan yang enak kepada anggota keluarga. Ketika Peter kerja di dapur, saya seperti melihat Peter sedang menari. Caranya memarut keju seolah-olah menunjukkan Peter sedang juggling dengan bola-bola di kedua tangannya. Peter pernah memberikan hadiah yang indah ketika ia berjuggling dengan bola-bola berwarna-warna yang bermuatan listrik pada pesta pernikahan kami pada New Year Eve di tahun 1997 di Berkeley. Peter membaca  tulisan Einstein’s dream sambil berjuggling. Ketika kata-kata terkait dengan waktu yang berlari cepat, bola-bola berwarna membentuk garis-garis waktu yang berserakan. Kemudian waktu berjalan melambat maka bola-bola berwarna mengulir indah dalam tarian diri Peter yang mempesona.
Malam tanggal 9 September 2011  sesudah abu grandma dimakamkan di Mountain View kami diundang makan malam oleh keluarga Choi, seorang pensiunan dokter dan isterinya di restoran  Hongkong East Ocean seafood Restaurant di Emeryville.  Dr Choi dan isterinya Aurita meminta izin supaya bisa bersama keluarga inti menghadiri upacara pemakaman grandma. 
Tujuh belas tahun lalu, Dr Choi juga hadir dalam pemakaman David Adeney kemudian membawa grandma dan semua anggota keluarga ke restaurant yang sama untuk makan malam. Sesudah 17 tahun kemudian, ada 17 orang yang hadir tadi malam dalam makan malam di restaurant itu. Keramahtamahan grandma dibalas oleh keluarga Dr Choi yang sudah mengenal David dan Ruth sejak tahun 1950an di Hongkong.
Wajah Amerika Serikat yang sering digambarkan di film-film Hollywood di mana masyarakat terpecah-pecah karena cara hidup individualistis tampil berbeda. Kebersahajaan dari sesama manusia di waktu kesusahan menimpa seseorang dan keluarganya ternyata membentuk orang-orang Amerika Serikat untuk membuka rumah dan dirinya membantu sesamanya.  
Ruang untuk keluarga disediakan oleh masyarakat.  Keluarga dibiarkan menyelesaikan dan mengurus semua proses penguburan, tetapi disela-sela kesibukan berbagai pengurusannya ada anggota keluarga lain dalam komunitas yang akan berpartisipasi meringankan beban dari yang berkesusahan. Tanda-tanda kasih terlihat ketika mereka mengirimkan makanan. Seolah-olah makanan merupakan tanda solidaritas yang paling dibutuhkan ketika kesusahan dari kematian menimpa suatu keluarga.  

Membebaskan keluarga berduka dari kewajiban memasak memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengurus semua proses penguburan jasad dan proses hukum lainnya yang harus diselesaikan. Ini mengingatkan saya kepada tradisi di Indonesia. Ketika ibunda bu Wati, pekerja rumah tangga kami, meninggal, kami mengizinkannya berada di rumahnya selama 40 hari.  Kesempatan itu penting bagi bu Wati sehingga ia bersama anggota keluarga lain bisa mengurus semua warisan ibundanya. 

Kami karena tugas masing-masing di berbagai negara, hanya bisa berada di Berkeley untuk seminggu. Sehingga tanda-tanda  belangsungkawa dihadirkan dengan perhatian yang lembut dan kemurahan yang menyentuh hati dari berbagai teman membantu berbagai urusan sesudah kematian grandma terasa ringan.  Saya menyimpan semua getaran belangsungkawa yang unik.  Kadang-kadang kemurahan, kebaikan tampil sangat personal menghadirkan makna tentang orang-orang beriman yang sedang  menghayati  dirinya sendiri.  

Melalui berbagi kasih  kepada mereka yang sedang berduka sebenarnya diri sendiri sedang dihiburkan.  Kasih menenangkan diri mereka yang beriman dalam tindakan berbagi untuk siap menghadapi misteri kematian yang datang kapan saja menjemput manusia. Seperti dikatakan dalam Alkitab, dalam spirit bersama Kristus ada kehidupan  sehingga kematian dengan sengatnya sudah dikalahkan. Ketakutan sudah berganti dengan damai sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar