Translate

Selasa, 26 April 2011

Wajah Indonesia dari Yogyakarta. Hutang Indonesia untuk Yogyakarta!

Wajah Indonesia dari Yogyakarta. Hutang Indonesia untuk Yogyakarta!
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Saya sudah lama mendiskusikan posisi saya di manakah saya dalam perdebatan masyarakat dan pemerintah pusat-daerah tentang keistemewaan Yogyakarta. Saya mendiskusikan dengan teman-teman di Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DI. Yogyakarta.  Beberapa dari mereka mendorong saya menuliskan tentang pemikiran tersebut. Tetapi saya sadar, saya bukan politisi. Apa tujuan saya menulis kalau dampaknya hanya untuk menunjukkan bahwa perempuan juga bisa berpikir? 
Ketika saya menjadi kritis untuk diri sendiri, saya balik bertanya, jadi apa yang saya pikirkan? Sekarang saya menulis saja apa yang saya pikirkan. Ada alasannya. Pertama-tama apa yang saya pikirkan saat ini sudah saya katakan  pada orasi hari Kartini ketika Forum  Silaturahmi Perempuan untuk Keistimewaan Yogyakarta melakukan hayatan besar-besaran dengan menghadirkan kurang lebih 2000 perempuan di podium dan halaman gedung DPRD Propinsi DIY.  
Saya ingin pertama-tama meletakkan perspektif saya dalam membedah keistimewaan Yogyakarta. Teman-teman mungkin sudah mengerti dengan jelas bahwa tulisan-tulisan saya dibentuk dalam kerangka perspektif perdamaian. Bersama teman-teman Koalisi Perempuan Indonesia, diskusi tajam sering dilakukan, tetapi proses bersama yang paling dipentingkan. Mencari kebenaran dari setiap kebijakan perlu dilakukan tanpa bertujuan untuk menjelekan orang lain.  Apalagi dengan sengaja membunuh karakter seseorang demi kepentingan kekuasaan yang ingin diraihnya.  Perempuan tidak luput dari perilaku politik kepentingan yang mengkristal pada pembunuhan karakter bahkan adu fisik.  Menghadirkan diri tanpa kepentingan hampir sulit dipercayai banyak orang. Tapi kita bisa lihat seseorang dari buah yang dihasilkannya. Perlu waktu dan tidak tergesa-gesa. Saya pikir ini adalah sikap dan posisi saya. Mungkin dengan cara ini, pemikiran tentang jalan keluar menjadi lebih kuat penampakannya.
Jadi kembali ke keistimewaan Yogyakarta, menurut saya kembali ke prasasti sejarah diri Yogyakarta. Ketika Indonesia belum terbentuk, Yogyakarta menyumbangkan kepada calon bangsa berbagai perkumpulan mahasiswa dan perempuan. Gerakan Taman Siswa yang sangat mempengaruhi tata cara pendidikan di masa depan dari Indonesia muda, sejak dulu di awal kemerdekaan hingga kini.  Yogyakarta memberikan sumbangan yang sangat penting bagi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia.
Gerakan Taman Siswa inilah juga yang mendorong terbentuknya kongres perempuan pertama tanggal 22 Desember 1928. Sesudah kemerdekaan RI, landasan historis diperlukan untuk menelusuri tapak silak perjalanan pemikiran dan aksi kemerdekaan Indonesia, maka berbagai kongres yang pernah digagaskan ditetapkan sebagai dasar perjuangan Indonesia selanjutnya. Penetapannya diformulasikan sebagai hari nasional. Tujuan penetapan bersifat historis terutama untuk mengakarkan perjuangan Indonesia pada sejarah diri dan sejarah daerah-daerah.  Hal ini harus dilakukan karena Indonesia sebagai bangsa belum terbentuk.
Hilangnya pemaknaan hari Ibu, sebagai hari perempuan Indonesia dalam mendukung perjuangan pembebasan dari penjajahan terasa selama regim Orde Baru. Domestifikasi perempuan melalui gerakan PKK melukai banyak perempuan aktivis di Indonesia. Muncullah nama-nama seperti Nursyahbani Katjasukana yang bersama-sama dengan berbagai perempuan mendeklarasikan gerakan perempuan baru Indonesia melalui koalisi perempuan Indonesia. Tujuannya mengembalikan semangat perjuangan hari Ibu dalam domain politik. Artinya perempuan juga bisa terlibat menata jalanannya pemerintah negara seperti keterlibatannya dalam suatu rumah tangga.  Hasil reformasi ini turut mencatat Yogyakarta sebagai propinsi bersejarah di Indonesia dalam mengikatkan kembali ingatan bersama tentang suatu cita-cita yang sudah lama dihilangkan sekarang ditemukan dihidupkan kembali.
Mengapa Yogyakarta sebagai sumber inspirasi pergerakan di Indonesia? Saya ingat dengan jelas, pergerakan reformasi sebenarnya dimulai dari Yogyakarta sebelum berpindah ke Jakarta. Kota tanpa batas ketika semua pemuda/I bersatu untuk menghentikan penerusan regim Orde Baru.
Kesejarahan Yogyakarta adalah suatu berkat untuk Indonesia.  Semua orang mau tinggal di Yogyakarta karena di sinilah tempat perdamaian. Saya ingat di Yogyakarta saya menemukan selebaran yang diedarkan laskar jihad tentang RMS di Maluku Utara padahal di sana tidak ada sedikitpun indikasi penyebaran RMS seperti saya jelaskan dalam disertasi saya. Tetapi di sini baik radikal dari titik liberal ke titik fanatik bisa tinggal bersama-sama.  Ketika berbagai upaya untuk memfasilitasi perdamaian di Maluku gagal, di Yogyakartalah, saya bisa berjejaring dengan pemuda/I muslim dan Kristen dari Maluku untuk merencanakan kegiatan dialog budaya Maluku. Bahkan Sri Sultan dan keluarganya membuka pintu kraton untuk menjamu 30 raja dari negeri Muslim dan 30 raja dari negeri Kristen. Semua kegiatan ini dilakukan tanpa publikasi untuk menjaga penerusan perdamaian di Maluku.
Pertanyaan saya adalah, apakah kebijakan pemerintah pusat untuk mengubah status keistimewaan Yogyakarta melalui proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur bisa menjaminkan perdamaian bagi seluruh masyarakat di Yogyakarta termasuk juga bagi masyarakat di seluruh Indonesia. Yogyakarta adalah tempat di mana terpampang barometer untuk perdamaian di Indonesia.  Hanya di Yogyakarta sajalah, saudara/I saya, kaum muslim dari Ahmadiyah bisa hidup dengan tenang.  Mereka hidup bersama Front Pembela Islam yang juga ada di kota ini, termasuk juga berbagai gerakan agama lainnya, seperti Laskar Jihad al sunnah wa jamaah.
Ketika kita memerlukan model kerukunan hidup umat beragama, berbagai etnis dari berbagai daerah, berbagai lapisan masyarakat dengan aliran-aliaran agama dan kepercayaan, kaum marjinal karena subordinasi jendernya, di sinilah, di Yogyakarta harapan untuk suatu visi mulia dari kehidupan bersama bisa terlihat.  Kita semua perlu kewibawaan dari pengayom masyarakat. Yogyakarta melalui kewibawaan kraton Yogyakarta dan Paku Alam menampilkannya dengan sangat bersahaya. Ketulusan mereka tanpa keberpihakan kepada kelompok-kelompok yang difavoritkannya merupakan suatu inspirasi bagi kita semua di Indonesia.
Kita perlukan ketenangan dan kedamaian. Pemimpin yang bijaksana dalam negara Indonesia perlu menyediakannya supaya ia tetap dikenang sebagai negarawan bangsa ini. Perempuan perlu memikirkan tentang perdamaian daripada perdebatan kusir tentang penetapan dan pemilihan. Karena hanya dengan situasi damai, kita bisa membesarkan anak-anak dan keluarga. Siapapun perempuan hati nuraninya menjerit ketika melihat kekerasan,  kehancuran untuk memecahkan anak-anaknya sendiri dan anak-anak bangsanya.
Maka ketika hak atas kerukunan, hak untuk hidup damai hilang atau mau dihilangkan, maka perempuan perlu mempertanyakannya pada pemerintah. Saya mempertanyakannya sekarang kepada pemerintah. Saya tidak mengikutkan anggota organisasi saya ketika pertanyaan ini disampaikan dalam pidato saya pada hari Kartini. Saya lakukannya untuk menyentuh hati perempuan. Supaya perempuan berani berubah, bisa memutuskan sendiri pilihan politiknya, termasuk berani bersama-sama bertanya kepada pemerintah. Pertanyaan yang paling esensi, dapatkah pemerintah menjaminkan perdamaian di Yogyakarta apabila pilihan pemilihan gubernur /wkl gubernur sebagai tanda penampakan dari apa yang disebutkan “demokrasi”. Demokrasi menurut siapa? Kita harus balik bertanya. Termasuk bertanya apakah demokrasi bisa dicapai tanpa kekerasan mengingat Yogyakarta adalah kota miniature Indonesia. Kota Bhineka Tunggal Ika adalah Yogyakarta.  
Biarkanlah Yogyakarta mendapat haknya untuk tetap tenang. Kerukunan antara mahasiswa dari berbagai daerah adalah contoh yang sangat baik untuk diperlihatkan kepada Menteri Dalam Negeri, Presiden RI dan seluruh anggota DPR RI. Tanpa kewibawaan Sri Sultan dan Paku Alam, miniatur kecil Indonesia akan menjadi neraka untuk semua.  Budaya kerukunan dari kraton sudah menjiwai semua orang Yogyakarta. Dampaknya terlihat pada alumni Yogyakarta yang kembali ke daerah dengan perspektif kerukunan yang sangat alamiah. Mereka tidak berteori tentang perdamaian, tetapi mereka sendiri mengalami hidup kerukunan itu.
Yogyakarta sudah memberikan terbanyak, termanis untuk Indonesia. Maka marilah kita terus mendorong pemerintah eksekutif dan legislatif untuk segera menuntaskan tugas mereka menghasilkan RUUK yang memelihara kepentingan rakyat banyak bukan sekedar kepentingan kekuasaan kelompok tertentu. Itulah ringkasan orasi saya pada hari Kartini, 21 April 2011 di podium yang tersedia di gedung DPRD  I propinsi DIY.
Hidup Yogyakartaku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar