Menggugat takdir Kekerasan Massa,menolak RUU Keamanan
Nasional
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Tega! Tak berhati manusia!
Sampai hati, warganegara dipermainkan! Betapa bodohnya warganegara terperangkap
dalam kemarahan yang dipicu! Kok bisa, kami selalu hidup saling membutuhkan,
menghormati! Kami buktikan sudah hidup
bersama dengan damai sejak tahun-tahun awal ketika mengikuti transmigrasi
nasional maupun lokal! Tapi sekarang sudah ludes! Semuanya yang dibangun bertahun-tahun
habis dalam sekejap! Mau bikin apa? Sudah takdir Tuhan, kampung terbakar!
Parafrase ungkapan-ungkapan
yang saya ringkaskan di atas mungkin mewakili kegundahan dari para pengungsi dan
tokoh-tokoh masyarakat di Lampung Selatan dan Lampung Tengah. Mereka yang tahu
warganya diadudombakan. Mereka yang menyesal begitu gampang kemarahan manusia
membakar kebaikan hatinya sendiri. Mereka yang sulit menerima kenyataan
sekarang bahwa telah terjadi kekerasan massa di antara kedua kelompok
masyarakat. Mereka yang hampir bingung dengan pengenalan dirinya sendiri,
siapakah kami, manusia atau binatang? Mereka yang bertanya-tanya apakah Tuhan
punya maksud dengan bencana yang dialami bersama?
Manusia menerima dengan
iklas, supaya bisa kuat bertahan, ketika bencana tiba. Kata “takdir” dipilih
untuk mewakili kondisi pribadi seseorang tanpa harus melewati penelusuran
kompleksitas pemahaman terhadap situasi yang edan mengelilinginya. Tragedi,
sebagai kata bisa tercetus dengan mudah ketika kepahitan diterima sebagai kesadaran
dalam penyesalan diri akibat kesalahan terjadi dalam realitas nasib. Kesalahan
yang tidak dibayangkan sebelumnya tetapi sering tampil dalam perasaan was-was,
kemungkinan akan tiba, waktunya lonceng kematian berdetak menghampiri manusia. Tragedi membuat manusia tunduk terhadap nasib
yang sedang dihadapinya.
Saya membaca berbagai berita
koran tentang reaksi masyarakat di Lampung Selatan yang menjadi korban dari pertikaian
antara kampung. Saya menggaris bawahi pengalimatan mereka. Contoh: “Kami dan
orang Lampung sejak dulu hidup berdampingan. Orang Lampung sering datang ke
sini, mengantar janur, untuk kami gunakan saat hari raya. Tidak jarang kami
datang langsung ke kampung mereka untuk membeli (janur), ungkap Wayan (63) yang
merupakan generasi pertama, sejak 1958 di Lampung (Kompas, 8 November 2012, hal
23).
Suara Karya Online (akses tanggal 13 November
2012) menuliskan tentang penyebab kekerasan komunal. Saya mengutipnya seperti
tersaji di bawah ini.
“Menanggapi bentrok yang terjadi
antara warga Buyut Udik, Kecamatan Gunung Sugih dengan warga Kesumadadi,
Kecamatan Bekri di Lampung Tengah, dia (Juniardi, Ketua Komisi Informasi
Propinsi Lampung-red) mengingatkan adanya bias informasi di dalamnya yang
menjadi pemicu bentrokan tersebut. Informasi yang berkembang, kata dia, ada
warga Kampung Buyut Udik itu diduga terlibat pencurian sapi, kemudian dihakimi
warga Kesumadadi dan akhirnya tewas dibakar massa.
Warga Kampung Buyut Udik pun tidak
terima, dan bermaksud membalas. Namun, ujar dia lagi, informasi lainnya
menyebutkan bahwa ternyata pemuda itu tidak mencuri sapi, tapi terlibat
keributan dengan pemuda setempat. Karena kalah, pemuda itu kabur, dan diteriaki
maling, sehingga dikepung massa, dan akhirnya dibakar hingga tewas".
Peristiwa pertikaian yang
berlangsung pada akhir bulan Oktober 2012 ini memang disadari oleh masyarakat
Lampung sebagai upaya kepentingan dari kelompok tertentu. Dalam acara penandatangan perdamaian antara
warga yang terlibat pertikaian komunal di Lampung Selatan, disepakati untuk
mendorong TNI dan Polisi bersikap netral dan menjunjung supremasi hukum.
Dijelaskan bahwa konflik yang terjadi karena ada kepentingan dari sekelompok
orang (Kompas, 5 November hal.22).
Memperhatikan kemudian
peristiwa yang mirip dengan pertikaian di Lampung Selatan, ketika pembakaran
desa-desa kembali terjadi di Lampung Tengah,
muncul kemudian pertanyaan apakah ada sekelompok orang yang mempunyai
kepentingan mengadudombakan warga masyarakat sehingga kekerasan massa kembali
berulang tidak lama sesudah kesepakatan perdamaian dilakukan. Temu perdamaian untuk menyelesaikan bencana kekerasan massa diadakan di Lampung Selatan pada tanggal 5 November 2012, berselang tiga
hari kemudian bakar membakar telah bergeser ke Lampung Tengah.
Berita kekerasan massa
seolah-olah sedang berpacu dengan upaya perdamaian yang baru dibangun kembali
oleh masyarakat sipil. Pada tanggal 6
November 2012, hal.1, headline Kompas
menurunkan berita tentang “Sai Bumi Ruwa Juai”, semangat kebhinekaan” dalam
ulasannya tentang "Dinamika Lampung".
Kemudian Kompas , 8 November 2012
(hal.23) memberitakan ulasan dengan topik "Damai di Lampung. Merajut Kembali
Kebinekaan". Tetapi pada hari yang sama
telah pecah kekerasan komunal di Lampung Tengah. Sampai sekarang ulasan tentang
sebab penyebab dan proses perdamaian di Lampung Tengah masih belum muncul
dalam laporan Kompas. Seperti pembaca lainnya, mungkin mediapun sedang
bertanya-tanya ada apa dengan Lampung? Ada apa dengan Indonesia saat ini?
Berita "Konflik Lampung. Warga Sepakat Berdamai" diambil dari Kompas, 6 November 2012 |
Apakah perdamaian sedang
dipermainkan oleh sekelompok orang yang disinggung oleh para tokoh di Lampung
seperti yang sudah dilaporkan di atas. Memperhatikan modus operandi dari
kekerasan komunal ini mengingatkan saya terhadap cara memobilisasi massa yang
terjadi di Sampit, Kalimatan, Maluku, Poso, Temanggung dan Sampang di Madura. Kelemahan, yang disebut-sebut
oleh berbagai ahli konflik, sebagai potensi konflik dalam masyarakat sekarang
sedang dimainkan oleh sekelompok orang yang sudah tercium oleh masyarakat. Masih belum tahu siapakah mereka? Apakah
Komisi Informasi Propinsi Lampung berani menjelaskan kepada publik siapakah
sekelompok orang yang menggunakan warga biasa sebagai alat pencapaian
kepentingannya. Apakah pemuka masyarakat di propinsi Lampung berani menjelaskan
kepada publik siapakah mereka itu?
Ketika warganegara NKRI di
seluruh nusantara menonton peristiwa demi peristiwa terkait dengan kekerasan
komunal, terbesit segera apakah begitu mudah manusia Indonesia terpicu dengan
isu sehingga berubah menjadi ganas seperti binatang? Dalam penelitian saya di
Maluku Utara (Adeney-Risakotta, 2005), penyebaran isu memang dilakukan dengan
modus operandi seperti yang sedang didiskusikan saat ini. Jarak penyebaran isu
tersusun diselang seling dengan waktu sampai pada puncaknya ketika suatu
peristiwa penting dari kalender agama menjadi tumbal dari kekerasan komunal yang melahap habis kedua
kelompok yang bertikai.
Momentum penting bisa
dikaitkan dengan perayaan hari agama. Dalam konteks kekerasan massa di
Halmahera Utara (Tobelo dan daerah sekitarnya) permulaan konflik dimulai pada hari
Natal 1999, sedangkan di kota Ambon
terjadi pada saat Idul Fitri 1998. Tahun 2011, kekerasan massa pada tanggal 11 September terjadi lagi. Kekerasan ini bertepatan dengan perayaan satu dekade tragedi 11 September di AS. Tahun 2012, kekerasan massa kembali terjadi pada saat perayaan hari
Pattimura, 15 Mei di kota Ambon. Pemilihan hari-hari
penting memang disengaja karena pada saat itu akan ada banyak orang berkumpul
di suatu tempat. Selain itu, penggunaan simbol agama dan tanda-tanda ritualistik dari peristiwa yang bisa mengiring ingatan kolektif tampil sebagai pemicu yang bermanfaat untuk menghasut warga.
Kemudian kita semua bisa
membayangkan. Ketika konflik terjadi maka, masyarakat pontang panting,
berpencaran. Mereka menjadi pengungsi. Mereka kemudian membutuhkan “penjaga”,
yaitu TNI dan Polri untuk mengamankan situasi konflik. Kompas menggambarkan
situasi malam sesudah seminggu pertikaian di Wai Panji di desa Balinuraga, Kabupaten
Lampung Selatan seperti mirip “zona darurat militer”. Saking banyaknya TNI dan
Polri berjaga-jaga di mana-mana (Kompas, 23 November 2012, hal.23).
Keramaian tragedi kekerasan
komunal memang harus dipertanyakan oleh masyarakat sipil. Mengapa kekerasan
komunal ini terjadi di tengah-tengah seru-serunya DPR RI membahas RUU
Keamanan Nasional (RUU Kamnas)? Ulasan di berbagai media sedang menyoroti sepak terjang dari
wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin yang seolah-olah sedang berusaha
untuk melobi anggota DPR RI untuk meloloskan RUU tersebut. Padahal
RUU ini akan berdampak terhadap hilangnya kebebasan anggota masyarakat
dalam berpartisipasi membangun pembangunan yang berkeadilan dan demokratis.
RUU Kamnas ini tahun lalu sudah ditolak oleh anggota DPR RI tetapi sejak bulan Juni 2012 sampai sekarang
masih sedang dibahas lagi tanpa ada perubahan sedikitpun dari versi RUU Kamnas sebelumnya (versi yang sekarang hasil dari draf Maret 2011). Saya sertakan akses link ke dokumen RUU Kamnas.
http://file/145624894/eeab9ccc/Sandingan_RUU_Kamnas_Lengkap.html
http://file/145624894/eeab9ccc/Sandingan_RUU_Kamnas_Lengkap.html
RUU Kamnas ini
mengingatkan saya tentang pernyataan dari Sjafrie Sjamsoeddin yang mendorong
kami bergerak cepat untuk membentuk forum Petisi Warganegara NKRI untuk Papua.
Saya kutip pernyataannya yang dijelaskan dalam pengantar penjelasan menggagas
pembentukan Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Kutipan di bawah ini diambil dari “Profil” Petisi Warganegara NKRI untuk Papua
www.facebook.com/petisi.untuk.papua
“Ketika itu, saya (maksudnya: Farsijana-red) menulis status yang berbunyi begini:
“Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil
Menteri Pertahanan mengatakan potensi keamanan terhadap keamanan Indonesia
bukan lagi serangan militer negara lain, tetapi
terorisme, separatisme dan kegiatan ilegal sumber daya alam (Kompas, 19 Juni
2012, hal.4)...jadi inikah alasan untuk membunuh anak-anak pertiwi...ketika
fantasi separatisme dicekokin dalam benak manusia Indonesia diletakkan
setara dengan fantasi terorisme?.
Status ini ditempelkan ke dinding
profil saya pada hari Selasa, 19 Juni 2012 jam 9.03. Kemudian ada beberapa
tanggapan selain tampil jempol-jempol sebagai tanda dukungan
terhadap pernyataan di atas. Dari sinilah muncul gagasan untuk mengorganisir
warganegara Indonesia yang terjaring dalam media sosial maya
untuk memberikan masukan kepada pemerintah RI saat ini”.
Saya sekarang menulis kembali sejarah pemikiran Kementerian
Pertahanan seperti terlihat dari ucapan Wakil Menteri sebagaimana di kutip di
atas, juga karena dipicu oleh ucapan dari Presiden RI, SBY. Seperti diberitakan
oleh CentroOne Online, dengan judul
beritanya “SBY: Pencegahan Konflik Dimulai dari Daerah” (News, Jumat, 09 Nov 2012,
jam 20.05 WIB), yaitu mengenai keterangan Presiden SBY kepada pers di Nusa Dua Bali,
dikatakan: “Mengenai penanganan sejumlah
konflik horizontal antar kelompok masyarakat yang kerap terjadi akhir-akhir,
Presiden mengatakan telah menugasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan
Keamanan Djoko Suyanto untuk mengkaji hal tersebut sekaligus mencari
penyelesaiannya”.
Seringkali ketika kekerasan komunal
terjadi sangat gampang kesalahannya ditumpahkan kepada masyarakat. Tetapi
belajar dari kekerasan massa yang pernah terjadi di Sampit (Kalimantan), Maluku Utara,
Maluku, Poso,Temanggung maupun Madura, tanggungjawab tragedi kekerasan massa
ini harus juga dipikul oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Masyarakat yang bertikai bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah pusat dan
daerah. Penghentian konflik massa di
Maluku terjadi karena masyarakat sudah sadar bagaimana mereka sedang diadudombakan
oleh orang-orang yang mengerti tentang
seluk beluk keamanan.
Mereka yang mengamankan
masyarakat, TNI dan Polri belajar tentang budaya masyarakat membangun
perdamaian tetapi juga melakukan analisis tentang bagaimana konflik dan
kekerasan komunal terjadi. Siapapun yang mempunyai pengetahuan tentang konflik
dan kekerasan komunal bisa memakainya untuk membangun realitas di mana masyarakat dapat
terangsang membayangkan musuhnya sedang menuju kepada dirinya. Musuh yang
sedang mengancam dirinya dikembangkan dalam bentuk isu, rumor, gosip sehingga membuat
bulu kuduk terbangun, merangsang kemarahan tiba dipuncuk ubun-ubun dari mereka
yang ditargetkan untuk melawan, menyerang, menghabiskan!.
Jadi sebelum musuh menyentuh
mereka, lebih dulu, lebih cepat sudah ada serangan ke arah musuhnya. Secara
psikologis kebinalan kebinatangan manusia bisa dibentuk karena kuatnya sisi pertahanan
manusia sebagai bagian dari insting makluk hidup untuk bertahan. Misalkan bisa terlihat dari penjelasan di atas
dari Ketua Komisi Informasi Propinsi Lampung tentang pertikaian dua orang
pemuda yang kemudian menyebarkan isu memojokkan lawannya ketika memasuki
komunitasnya. Kalau ini penyebabnya, bisa dipertanyakan lebih lanjut apakah
benar kedua pemuda itu ada? Mengapa mereka tidak ditemukan dan dihadirkan
kepada publik untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi?
Penggambaran di atas
memperlihatkan dengan jelas adanya upaya kelompok-kelompok tertentu mengeksploitasi
kekerasan manusia dari orang-orang yang diduga sangat mudah terpancing secara
emosi karena ada potensi konflik. Pemanfaatan kelemahan
manusia untuk merangsang suatu konflik bisa dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan
yang dilakukan atas alasan memberikan keamanan kepada warga masyarakat. Untuk
kekerasan komunal di Lampung, kita bisa bertanya apa kepentingan saat ini
sehingga terkesan adanya upaya mengekspose dan mengekploitasi kekerasan komunal
dari masyarakat di sana.
Pertanyaan ini menurut saya
tidak bisa dijawab dengan menjelaskan konteks politik lokal tetapi harus
ditarik untuk diterangi dari gambaran penjelasan politik nasional. Jadi bisakah
dipertanyakan apakah dengan terjadi kekerasan yang seolah-olah murni dari
masyarakat menjelaskan tentang adanya bukti dari kebutuhan bersama terhadap
keamanan nasional? Kalau demikan maka pertanyaannya terkait dengan urgensi UU
Keamanan Nasional untuk mengamankan RI dari pencapaian demokrasisasi yang
cenderung makin tampil anarkis?
Bisakah dibenarkan apabila ada
pertanyaan lain yang lebih kritis misalkan, apakah kekerasan-kekerasan komunal
harus dinampakkan supaya dapat menunjukkan kepada wakil rakyat di DPR RI tentang urgensi
membahas dan meloloskan RUU Kamnas tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dilihat
sebagai kesimpulan yang harus dengan berani dibuat terutama menghubungkan
antara kejadian-kejadian kekerasan yang tampilnya pada momentum bersamaan
dengan pembahasan saat ini RUU Kamnas di DPR RI.
Kekerasan komunal ternyata
bukan takdir. Kekerasan komunal bisa dirancang bahkan dieksploitasi sebagai
komoditas untuk kepentingan institusi yang hendak memaksa dirinya supaya diterima
dalam masyarakat sebagai penjaga keamanan NKRI. Karena itu, warganegara NKRI
jangan mau dibodohkan untuk melakukan kekerasan massa karena ketika tindakan
tsb terjadi akan ada alasan untuk menghancurkan masyarakat itu sendiri. Selain
komunitas dan daerahnya porak poranda, masyarakat akan dibelenggu dengan
penjagaan TNI dan Polri yang memperlakukan daerah rusuh seperti “zona darurat
militer”.
Kalau benar, negara dengan
sengaja sedang mengeksploitasi warganegaranya untuk terlibat dalam kekerasan
komunal, maka sudah pantaslah warganegara NKRI tercelik matanya, sehingga bisa
menulis di dadanya sendiri, di dada saudaranya, di timeline FB, di statusnya di
FB, memperluas melalui tweeter, menulis setiap detik, menit, jam, dan hari untuk menolak ditakdirkan menjadi budak dari militer, TNI dan Polri.
Warganegara NKRI adalah warga negara dari dunia yang berdaulat, beradab dan
berTuhan. Jadi bersamalah kita mengatakan: “Hentikanlah kekerasan komunal
karena mengeksploitasi dan mengkomoditaskan masyarakat! Tolaklah RUU
Kamnas yang sedang diperjuangkan oleh pemerintah SBY untuk dapat disahkan oleh DPR RI!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar