Translate

Selasa, 13 November 2012

Menggugat takdir Kekerasan Massa, menolak RUU Keamanan Nasional

         
Menggugat takdir Kekerasan Massa,menolak RUU Keamanan Nasional
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Tega! Tak berhati manusia! Sampai hati, warganegara dipermainkan! Betapa bodohnya warganegara terperangkap dalam kemarahan yang dipicu! Kok bisa, kami selalu hidup saling membutuhkan, menghormati!  Kami buktikan sudah hidup bersama dengan damai sejak tahun-tahun awal ketika mengikuti transmigrasi nasional maupun lokal! Tapi sekarang sudah  ludes! Semuanya yang dibangun bertahun-tahun habis dalam sekejap! Mau bikin apa? Sudah takdir Tuhan, kampung terbakar!
Parafrase ungkapan-ungkapan yang saya ringkaskan di atas mungkin mewakili kegundahan dari para pengungsi dan tokoh-tokoh masyarakat di Lampung Selatan dan Lampung Tengah. Mereka yang tahu warganya diadudombakan. Mereka yang menyesal begitu gampang kemarahan manusia membakar kebaikan hatinya sendiri. Mereka yang sulit menerima kenyataan sekarang bahwa telah terjadi kekerasan massa di antara kedua kelompok masyarakat. Mereka yang hampir bingung dengan pengenalan dirinya sendiri, siapakah kami, manusia atau binatang? Mereka yang bertanya-tanya apakah Tuhan punya maksud dengan bencana yang dialami bersama?
Manusia menerima dengan iklas, supaya bisa kuat bertahan, ketika bencana tiba. Kata “takdir” dipilih untuk mewakili kondisi pribadi seseorang tanpa harus melewati penelusuran kompleksitas pemahaman terhadap situasi yang edan mengelilinginya. Tragedi, sebagai kata bisa tercetus dengan mudah ketika kepahitan diterima sebagai kesadaran dalam penyesalan diri akibat kesalahan terjadi dalam realitas nasib. Kesalahan yang tidak dibayangkan sebelumnya tetapi sering tampil dalam perasaan was-was, kemungkinan akan tiba, waktunya lonceng kematian berdetak menghampiri manusia. Tragedi membuat manusia tunduk terhadap nasib yang sedang dihadapinya.
Saya membaca berbagai berita koran tentang reaksi masyarakat di Lampung Selatan yang menjadi korban dari pertikaian antara kampung. Saya menggaris bawahi pengalimatan mereka. Contoh: “Kami dan orang Lampung sejak dulu hidup berdampingan. Orang Lampung sering datang ke sini, mengantar janur, untuk kami gunakan saat hari raya. Tidak jarang kami datang langsung ke kampung mereka untuk membeli (janur), ungkap Wayan (63) yang merupakan generasi pertama, sejak 1958 di Lampung (Kompas, 8 November 2012, hal 23).
Suara Karya Online (akses tanggal 13 November 2012) menuliskan tentang penyebab kekerasan komunal. Saya mengutipnya seperti tersaji di bawah ini.
“Menanggapi bentrok yang terjadi antara warga Buyut Udik, Kecamatan Gunung Sugih dengan warga Kesumadadi, Kecamatan Bekri di Lampung Tengah, dia (Juniardi, Ketua Komisi Informasi Propinsi Lampung-red) mengingatkan adanya bias informasi di dalamnya yang menjadi pemicu bentrokan tersebut. Informasi yang berkembang, kata dia, ada warga Kampung Buyut Udik itu diduga terlibat pencurian sapi, kemudian dihakimi warga Kesumadadi dan akhirnya tewas dibakar massa.  
 
Warga Kampung Buyut Udik pun tidak terima, dan bermaksud membalas. Namun, ujar dia lagi, informasi lainnya menyebutkan bahwa ternyata pemuda itu tidak mencuri sapi, tapi terlibat keributan dengan pemuda setempat. Karena kalah, pemuda itu kabur, dan diteriaki maling, sehingga dikepung massa, dan akhirnya dibakar hingga tewas".
 
Peristiwa pertikaian yang berlangsung pada akhir bulan Oktober 2012 ini memang disadari oleh masyarakat Lampung sebagai upaya kepentingan dari kelompok tertentu. Dalam acara penandatangan perdamaian antara warga yang terlibat pertikaian komunal di Lampung Selatan, disepakati untuk mendorong TNI dan Polisi bersikap netral dan menjunjung supremasi hukum. Dijelaskan bahwa konflik yang terjadi karena ada kepentingan dari sekelompok orang (Kompas, 5 November hal.22).
Memperhatikan kemudian peristiwa yang mirip dengan pertikaian di Lampung Selatan, ketika pembakaran desa-desa kembali terjadi di Lampung Tengah,  muncul kemudian pertanyaan apakah ada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan mengadudombakan warga masyarakat sehingga kekerasan massa kembali berulang tidak lama sesudah kesepakatan perdamaian dilakukan.  Temu perdamaian untuk menyelesaikan bencana kekerasan massa diadakan di Lampung Selatan pada tanggal 5 November 2012, berselang tiga hari kemudian bakar membakar telah  bergeser ke Lampung Tengah.

Berita "Konflik Lampung. Warga Sepakat Berdamai" diambil dari Kompas, 6 November 2012
 
Berita kekerasan massa seolah-olah sedang berpacu dengan upaya perdamaian yang baru dibangun kembali oleh masyarakat sipil.  Pada tanggal 6 November 2012, hal.1,  headline Kompas menurunkan berita tentang “Sai Bumi Ruwa Juai”, semangat kebhinekaan” dalam ulasannya tentang "Dinamika Lampung".  Kemudian Kompas ,  8 November 2012 (hal.23) memberitakan ulasan dengan topik "Damai di Lampung. Merajut Kembali Kebinekaan".  Tetapi pada hari yang sama telah pecah kekerasan komunal di Lampung Tengah. Sampai sekarang ulasan tentang sebab penyebab dan proses perdamaian di Lampung Tengah masih belum muncul dalam laporan Kompas. Seperti pembaca lainnya, mungkin mediapun sedang bertanya-tanya ada apa dengan Lampung? Ada apa dengan Indonesia saat ini?
Apakah perdamaian sedang dipermainkan oleh sekelompok orang yang disinggung oleh para tokoh di Lampung seperti yang sudah dilaporkan di atas. Memperhatikan modus operandi dari kekerasan komunal ini mengingatkan saya terhadap cara memobilisasi massa yang terjadi di Sampit, Kalimatan, Maluku, Poso, Temanggung dan Sampang di Madura. Kelemahan, yang disebut-sebut oleh berbagai ahli konflik, sebagai potensi konflik dalam masyarakat sekarang sedang dimainkan oleh sekelompok orang yang sudah tercium oleh masyarakat.  Masih belum tahu siapakah mereka? Apakah Komisi Informasi Propinsi Lampung berani menjelaskan kepada publik siapakah sekelompok orang yang menggunakan warga biasa sebagai alat pencapaian kepentingannya. Apakah pemuka masyarakat di propinsi Lampung berani menjelaskan kepada publik siapakah mereka itu?
Ketika warganegara NKRI di seluruh nusantara menonton peristiwa demi peristiwa terkait dengan kekerasan komunal, terbesit segera apakah begitu mudah manusia Indonesia terpicu dengan isu sehingga berubah menjadi ganas seperti binatang? Dalam penelitian saya di Maluku Utara (Adeney-Risakotta, 2005), penyebaran isu memang dilakukan dengan modus operandi seperti yang sedang didiskusikan saat ini. Jarak penyebaran isu tersusun diselang seling dengan waktu sampai pada puncaknya ketika suatu peristiwa penting dari kalender agama menjadi tumbal dari  kekerasan komunal yang melahap habis kedua kelompok yang bertikai.
Momentum penting bisa dikaitkan dengan perayaan hari agama. Dalam konteks kekerasan massa di Halmahera Utara (Tobelo dan daerah sekitarnya) permulaan konflik dimulai pada hari Natal 1999,  sedangkan di kota Ambon terjadi pada saat Idul Fitri 1998.  Tahun 2011,  kekerasan massa pada tanggal 11 September terjadi lagi. Kekerasan ini bertepatan dengan perayaan satu dekade tragedi 11 September di AS. Tahun  2012,  kekerasan massa kembali terjadi pada saat perayaan hari Pattimura, 15 Mei di kota Ambon.  Pemilihan hari-hari penting memang disengaja karena pada saat itu akan ada banyak orang berkumpul di suatu tempat. Selain itu, penggunaan simbol agama dan tanda-tanda ritualistik dari peristiwa yang bisa mengiring ingatan kolektif tampil sebagai pemicu yang bermanfaat untuk menghasut warga. 
Kemudian kita semua bisa membayangkan. Ketika konflik terjadi maka, masyarakat pontang panting, berpencaran. Mereka menjadi pengungsi. Mereka kemudian membutuhkan “penjaga”, yaitu TNI dan Polri untuk mengamankan situasi konflik. Kompas menggambarkan situasi malam sesudah seminggu pertikaian di  Wai Panji di desa Balinuraga, Kabupaten Lampung Selatan seperti mirip “zona darurat militer”. Saking banyaknya TNI dan Polri berjaga-jaga di mana-mana (Kompas, 23 November 2012, hal.23).
Keramaian tragedi kekerasan komunal memang harus dipertanyakan oleh masyarakat sipil. Mengapa kekerasan komunal ini terjadi di tengah-tengah seru-serunya DPR RI membahas RUU Keamanan Nasional (RUU Kamnas)? Ulasan di berbagai media sedang menyoroti sepak terjang dari wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin yang seolah-olah sedang berusaha untuk melobi anggota DPR RI untuk meloloskan RUU tersebut. Padahal RUU ini akan berdampak terhadap hilangnya kebebasan anggota masyarakat dalam berpartisipasi membangun pembangunan yang berkeadilan dan demokratis. RUU Kamnas ini tahun lalu sudah ditolak oleh anggota DPR RI tetapi sejak bulan Juni 2012 sampai sekarang masih sedang dibahas lagi tanpa ada perubahan sedikitpun dari versi RUU Kamnas sebelumnya (versi yang sekarang hasil dari draf Maret 2011). Saya sertakan akses link ke dokumen RUU Kamnas.

http://file/145624894/eeab9ccc/Sandingan_RUU_Kamnas_Lengkap.html
 
RUU Kamnas ini mengingatkan saya tentang pernyataan dari Sjafrie Sjamsoeddin yang mendorong kami bergerak cepat untuk membentuk forum Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Saya kutip pernyataannya yang dijelaskan dalam pengantar penjelasan menggagas pembentukan Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Kutipan di bawah ini diambil dari “Profil” Petisi Warganegara NKRI untuk Papua   www.facebook.com/petisi.untuk.papua
 

“Ketika itu, saya (maksudnya: Farsijana-red) menulis status yang berbunyi begini:   
 “Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil Menteri Pertahanan mengatakan potensi keamanan terhadap keamanan Indonesia bukan lagi serangan militer negara lain, tetapi terorisme, separatisme dan kegiatan ilegal sumber daya alam (Kompas, 19 Juni 2012, hal.4)...jadi inikah alasan untuk membunuh anak-anak pertiwi...ketika fantasi separatisme dicekokin dalam benak manusia Indonesia diletakkan setara dengan fantasi terorisme?. 
  
Status ini ditempelkan ke dinding profil saya pada hari Selasa, 19 Juni 2012 jam 9.03. Kemudian ada beberapa tanggapan selain tampil jempol-jempol sebagai tanda dukungan terhadap pernyataan di atas. Dari sinilah muncul gagasan untuk mengorganisir warganegara Indonesia yang terjaring dalam media sosial maya untuk memberikan masukan kepada pemerintah RI saat ini”.
 
Saya sekarang menulis kembali sejarah pemikiran Kementerian Pertahanan seperti terlihat dari ucapan Wakil Menteri sebagaimana di kutip di atas, juga karena dipicu oleh ucapan dari Presiden RI, SBY. Seperti diberitakan oleh CentroOne Online, dengan judul beritanya “SBY: Pencegahan Konflik Dimulai dari Daerah” (News, Jumat, 09 Nov 2012, jam 20.05 WIB), yaitu mengenai keterangan Presiden SBY kepada pers di Nusa Dua Bali, dikatakan: “Mengenai penanganan sejumlah konflik horizontal antar kelompok masyarakat yang kerap terjadi akhir-akhir, Presiden mengatakan telah menugasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto untuk mengkaji hal tersebut sekaligus mencari penyelesaiannya”.
Seringkali ketika kekerasan komunal terjadi sangat gampang kesalahannya ditumpahkan kepada masyarakat. Tetapi belajar dari kekerasan massa yang pernah terjadi di Sampit (Kalimantan), Maluku Utara, Maluku, Poso,Temanggung maupun Madura, tanggungjawab tragedi kekerasan massa ini harus juga dipikul oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Masyarakat yang bertikai bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah pusat dan daerah.  Penghentian konflik massa di Maluku terjadi karena masyarakat sudah sadar bagaimana mereka sedang diadudombakan oleh orang-orang yang mengerti tentang  seluk beluk keamanan. 
Mereka yang mengamankan masyarakat, TNI dan Polri belajar tentang budaya masyarakat membangun perdamaian tetapi juga melakukan analisis tentang bagaimana konflik dan kekerasan komunal terjadi. Siapapun yang mempunyai pengetahuan tentang konflik dan kekerasan komunal bisa memakainya  untuk membangun realitas di mana masyarakat dapat terangsang membayangkan musuhnya sedang menuju kepada dirinya. Musuh yang sedang mengancam dirinya dikembangkan dalam bentuk isu, rumor, gosip sehingga membuat bulu kuduk terbangun, merangsang kemarahan tiba dipuncuk ubun-ubun dari mereka yang ditargetkan untuk melawan, menyerang, menghabiskan!.
Jadi sebelum musuh menyentuh mereka, lebih dulu, lebih cepat sudah ada serangan ke arah musuhnya. Secara psikologis kebinalan kebinatangan manusia bisa dibentuk karena kuatnya sisi pertahanan manusia sebagai bagian dari insting makluk hidup untuk bertahan.  Misalkan bisa terlihat dari penjelasan di atas dari Ketua Komisi Informasi Propinsi Lampung tentang pertikaian dua orang pemuda yang kemudian menyebarkan isu memojokkan lawannya ketika memasuki komunitasnya. Kalau ini penyebabnya, bisa dipertanyakan lebih lanjut apakah benar kedua pemuda itu ada? Mengapa mereka tidak ditemukan dan dihadirkan kepada publik untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi?
Penggambaran di atas memperlihatkan dengan jelas adanya upaya kelompok-kelompok tertentu mengeksploitasi kekerasan manusia dari orang-orang yang diduga sangat mudah terpancing secara emosi karena ada potensi konflik. Pemanfaatan kelemahan manusia untuk merangsang suatu konflik bisa dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan atas alasan memberikan keamanan kepada warga masyarakat. Untuk kekerasan komunal di Lampung, kita bisa bertanya apa kepentingan saat ini sehingga terkesan adanya upaya mengekspose dan mengekploitasi kekerasan komunal dari masyarakat di sana.  
Pertanyaan ini menurut saya tidak bisa dijawab dengan menjelaskan konteks politik lokal tetapi harus ditarik untuk diterangi dari gambaran penjelasan politik nasional. Jadi bisakah dipertanyakan apakah dengan terjadi kekerasan yang seolah-olah murni dari masyarakat menjelaskan tentang adanya bukti dari kebutuhan bersama terhadap keamanan nasional? Kalau demikan maka pertanyaannya terkait dengan urgensi UU Keamanan Nasional untuk mengamankan RI dari pencapaian demokrasisasi yang cenderung makin tampil anarkis?
Bisakah dibenarkan apabila ada pertanyaan lain yang lebih kritis misalkan, apakah kekerasan-kekerasan komunal harus dinampakkan supaya dapat menunjukkan kepada wakil rakyat di DPR RI tentang urgensi membahas dan meloloskan RUU Kamnas tersebut.   Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dilihat sebagai kesimpulan yang harus dengan berani dibuat terutama menghubungkan antara kejadian-kejadian kekerasan yang tampilnya pada momentum bersamaan dengan pembahasan saat ini RUU Kamnas di DPR RI.
Kekerasan komunal ternyata bukan takdir. Kekerasan komunal bisa dirancang bahkan dieksploitasi sebagai komoditas untuk kepentingan institusi yang hendak memaksa dirinya supaya diterima dalam masyarakat sebagai penjaga keamanan NKRI. Karena itu, warganegara NKRI jangan mau dibodohkan untuk melakukan kekerasan massa karena ketika tindakan tsb terjadi akan ada alasan untuk menghancurkan masyarakat itu sendiri. Selain komunitas dan daerahnya porak poranda, masyarakat akan dibelenggu dengan penjagaan TNI dan Polri yang memperlakukan daerah rusuh seperti “zona darurat militer”.
Kalau benar, negara dengan sengaja sedang mengeksploitasi warganegaranya untuk terlibat dalam kekerasan komunal, maka sudah pantaslah warganegara NKRI tercelik matanya, sehingga bisa menulis di dadanya sendiri, di dada saudaranya, di timeline FB, di statusnya di FB, memperluas melalui tweeter, menulis setiap detik, menit, jam, dan hari untuk menolak ditakdirkan  menjadi budak dari militer, TNI dan Polri. Warganegara NKRI adalah warga negara dari dunia yang berdaulat, beradab dan berTuhan. Jadi bersamalah kita mengatakan: “Hentikanlah kekerasan komunal karena mengeksploitasi dan mengkomoditaskan masyarakat! Tolaklah RUU Kamnas yang sedang diperjuangkan oleh pemerintah SBY untuk dapat disahkan oleh DPR RI!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar