Translate

Sabtu, 17 November 2012

Kitab suci, Kidung Agung tentang cinta


                                                             Kitab suci, Kidung Agung tentang cinta
                                                                  Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Catatan:

Saya memutuskan untuk merilis tulisan ini dalam blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua sebagai bagian dari catatan saya tentang makna cinta kasih. Manusia diberikan hati untuk saling mengasihi. Kitab suci dari agama-agama menjelaskan bagaimana cinta kasih diturunkan dari cara manusia belajar mencintai melalui merefleksikan cara Sang Pencipta mencintai. Sebagai seorang Kristen, saya ingin berbagi sebagian kecil dari kekayaan tradisi Kristiani tentang cinta kasih. Tulisan ini tidak ditulis khusus untuk blog saya, tetapi muncul pertama kali ketika saya diminta untuk menanggapi salah satu penelahaan Alkitab (PA) yang diselenggarakan oleh Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana.


Monumen cinta pada Park of Aceh thanks the world di Blang Padang, Banda Aceh. Foto diambil tanggal 30 Oktober 2012
 
Kidung Agung adalah salah satu buku yang saya sangat sukai ketika mulai bisa membaca Alkitab sendiri. Sambil mengagumi kekuatan bahasa sastera dalam Kidung Agung, saya selalu bertanya tentang ketersediaan ruang dalam kanonisasi Alkitab untuk sastera cinta religis diletakan setara dengan tulisan-tulisan para nabi, sejarawan dan kaum bijaksana. Penggambaran cinta dalam bahasa romantisme ketubuhan apabila dibaca dari kacamata UU Pornografi dan Pornoaksi, bisa disita.

Kidung Agung dapat dianggap mengandung unsur-unsur pornografi. Penggambaran cinta kasih yang sensual ternyata dibiarkan masuk dalam kanonisasi Alkitab untuk juga menunjukkan kebahagiaan sekaligus kerentanan dari cinta yang terlihat dalam kemanusiaan manusia. Kidung Agung mengungkapkan dialog antara pengantin perempuan dan pengantin lelaki. Pengantin perempuan merepresentasikan Israel dan pengantin lelaki adalah Allah sendiri. 

Hubungan antara manusia dan Allah digambarkan seperti pengantin. Kadang-kadang Allah dekat dengan manusia, sering kali terasa menjauh. Penggambaran hubungan Allah dengan manusia seperti kedua pengantin yang saling menyesuaikan diri dalam pernikahan baru. Ketika “mood” lagi baik, manusia bisa merasa dekat dengan Allah, tetapi ketika ada banyak kekecewaan yang terjadi manusia bisa memposisikan Allah yang terasa sangat jauh, bahkan seolah-olah menjauh dari manusia.
Seluruh pasal dalam Kidung Agung merepresentasikan dialog pengantin perempuan dan lelaki, yang menjadi bagian dari dialog liturgi jemaat.  Cinta dirayakan bukan saja oleh sang raja tetapi juga warga biasa. Dalam Kidung Agung pasal 8 ayat 11-12 dijelaskan bahwa mereka yang berbahagia melebihi kebahagiaan Salomo adalah mereka yang mendapat kebun anggur dari raja, merawatnya sendiri dengan cinta sehingga semua orang yang berada di dalamnya bisa merasakannya (ayat 13). Memposisikan kebahagiaan cinta termasuk juga menunjukan kerentanan cinta antara manusia dengan Allah.
Merayakan cinta adalah merayakan pengalaman mendalam, pengalaman sakit, pengalaman mistis. Pada pasal 8:5-7 digambarkan tentang cinta yang kuat seperti maut. Cinta yang menyatukan adalah jiwa yang merindukan dalam keterpisahan tubuh. Cinta menyatukan sekaligus memisahkan karena ia bernyala seperti api, seperti nyala api TUHAN.
Kata “cinta” menjadi tak berarti karena tindakan-tindakan yang tampil menggambarkan “cinta” melebihi makna kata “cinta” itu sendiri. Relasi cinta bisa digambarkan sebagai kekasih sekaligus seorang teman.
Tetapi cinta juga ternyata bisa digambarkan dengan sangat mengagetkan! Pada Kidung Agung pasal 5: 7  menggambarkan kekerasan menimpa sang mempelai perempuan ketika keluar dari pintu pergi mencari kekasihnya. “Aku ditemui peronda-peronda kota, dipukulinya aku, dilukainya, selendangku dirampas oleh penjaga-penjaga tembok”. 

Mengapakah peronda-peronda kota memukuli sang mempelai perempuan? Apakah mereka menemukan sang mempelai perempuan tampil sebagai seorang yang histeris, mungkin tanpa pakaian keliling kota mencari kekasihnya yang menghilang?  Ayat ini sangat membingungkan kepada saya. Apakah maksud yang terungkap dari penggambaran ekstrim situasi kekerasan yang menimpa sang mempelai perempuan.

Memikirkan tentang penggambaran kekerasan dalam Kidung Agung yang penuh dengan kata-kata cinta adalah menjelaskan tentang suatu realitas dari ketubuhan perempuan yang dikontrol oleh lelaki. Mata feminisme saya langsung bereaksi untuk menjelaskan bahwa sang kekasih yang mungkin dalam ketergesaannya mencari kekasihnya, dengan hanya menggunakan pakaian tidur yang ditutupi oleh selendang, langsung dilepaskan. Tubuhnya dikebukin mungkin sekaligus ditertawai, kalau belum dikerjain, supaya sang kekasih tahu bahwa ekspresi cinta yang bersifat privat sekalipun mendalam tidak bisa seenaknya dilampiaskan pada ruang publik. Ruang publik penuh dengan aturan untuk mengontrol tubuh sang pengantin perempuan.
Pada sisi lain, apabila penggambaran pengantin perempuan sebagai seorang yang tidak setia kepada pengantin lelakinya sehingga ia dilecehkan, apakah bisa disejajarkan dengan situasi iman Israel yang sering kali dipandang tidak setia kepada Allah. Seorang sang pengantin yang tidak setia layak diperlakukan seperti seorang pelacur. Pakaiannya dilucuti kemudian ramai-ramai bisa ditiduri.
Kesetiaan kepada Allah adalah kesetiaan yang absolut, yang menunggu sampai kekasih, sang pengantin lelaki datang tanpa harus pergi mencari sehingga akhirnya dipandang sebagai sedang tertarik untuk menggodakan dirinya kepada ilah lain. Diluar penggambaran pelacur untuk meilustrasikan tentang Israel, membacanya dengan perspektif feminis bisa menimbulkan kesadaran tentang di manakah penghargaan terhadap pelacur. Bukankah pelacurpun adalah seorang manusia yang patut dihargai secara utuh?
Tindakan cinta ternyata lebih kuat dari kata cinta itu sendiri. Kata cinta dalam bahasa Ibrani “Ahava” ternyata dalam pembacaaan Kidung Agung 5: 2-6:3 tidak perlu dimunculkan karena representasinya sudah diwakili dalam tindakan sang mempelai perempuan yang menunjukkan makna dari kata Ahava.  Selain itu kata cinta bisa tampil sangat abstrak apabila tiada penggambaran yang menunjukkan pengalaman tindakan cinta.
Kata “cinta” dalam seantero Kidung Agung, nampak dari tindakan memberi, tindakan penyerahan absolut yang sangat ideal, sekuat kehidupan seorang mempelai perempuan.  Tetapi apabila pembacaaan pasal 5:7 dibaca terpisah dari kesatuan pengertian dalam keseluruhan Kidung Agung, maka sebenarnya makna yang sebenarnya dari kata Ahava tidak pernah tercapai seutuhnya. Mengapa bisa terjadi bahwa kata “Ahava” tidak terwakili dalam pembacaan pilihan bahasan ini? 
Kata “Ahava” sebenarnya menunjukkan suatu pengertian tentang tersedianya kondisi yang setara di mana tindakan mencintai, memberi mendapat sambutan, bisa mendalam saling terhubung.  Ahava merepresentasikan kondisi yang memungkinkan dua orang dalam cinta bisa saling membagi afeksi, kejiwaan, kesatuan ketubuhan, pelayanan seperti terakomodasi dalam kata tsb. Dalam “Ahava” ada tindakan yang saling memberi, mencintai.
Kebingungan saya agaknya segera terjawab karena pada pasal berikutnya, terlihat langsung puji-pujian sang mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Penggambaran ini melegakan saya, karena cinta tidak bertepuk tangan sebelah.  Walaupun kemudian, saya juga melihat dalam pembacaan terkait dengan pujian-pujian sang mempelai lelaki dan sang mempelai perempuan, penggambaran tindakan-tindakan cinta dilakukan dengan sangat manusiawi, dekat dengan kerentanan kemanusiaan manusia yang ternyata juga masih memusatkan dirinya dalam mencintai. Mencintai ternyata belum bisa sekaligus membebaskan. Mencintai ternyata masih tampil dalam bentuk-bentuk ekspetasi yang menunjukkan kedagingan manusia, ada tuntutan timbal balik.
Tetapi kesatuan pembacaan bisa menjelaskan bahwa kekuatan kata Ahava, cinta ternyata merepresentasikan dirinya dalam relasi tindakan yang bersalingan, berhubungan, berbagi, bertukaran sebagai penggambaran tindakan mencintai yang sangat manusiawi.
Mungkin malahan Kidung Agung, ternyata hendak menjelaskan makna “Ahava” melebihi dari penggambaran kemanusiaan, cara mencintai seperti biasanya, mencintai dengan ekspetasi tindakan kesetaraan, timbal balik.  Cinta, mencintai ternyata tidak berhenti ketika ada tanggapan, atau cinta, mencintai tampil menuntut. Kepolosan cinta mencintai, terwakili dalam kedirian sang mempelai perempuan yang mempercayai dengan bertindak melebihi konstruksi kemanusiaan manusia dalam melakoni cinta, mencintai.  Tindakan cintanya, seolah-olah mengandung magis, karena tindakan ini tampil begitu kuat sehingga seorang manusiapun hampir luput tak mampu melakukannya.
Pengalaman mencintai sang mempelai perempuan, mungkin tampil menyempurnakan sisi idealisme dari kata Ahava sebagai pengertian yang diberikan juga untuk menggambarkan cinta kasih Allah yang tak bersyarat. Dengan cintaNya, Allah membentuk alam semesta, menciptakan manusia, hanya untuk semata-mata kecintaanNya kepada kehidupan, terang, keteraturan, keindahan di tengah-tengah kerentaan, ketiadaan kekekalan dalam kontrolNya terhadap manusia dan semua makhluk ciptaanNya untuk bersama-sama dalam kemahakuasaan Allah.
Penggambaran tindakan cinta, mencintai seperti terlihat dalam Kidung Agung menghadirkan pengalaman manusia yang retan, yang dari sini sedang berjalan berziarah memaknai “cinta” yang mengeluar dari pemusatan dirinya, menuju, meraih kepada orang lain, ke luar menjangkau lebih luas, seperti cara sang Pencipta, Allah memperlakukan, melakoni cinta mencintai.
Dalam cinta kasih ada kepedihan, ada tanggungjawab, ada penderitaan, ada komitmen. Memberi dalam mencintai terbangun dari komitmen, kesetiaan untuk memperjuangkan kesepakatan dan kedinamisannya yang terus berkembang sesuai dengan pertambahan pengertian manusia yang berelasi dalam cinta mencintai.
Tingkatan komitmen berbeda-beda dalam mengaktualisasikan cinta. Tingkat cinta berperan berbeda-beda di setiap relasi manusia. Pembedaan ini disadari dalam pengertian kata Ahava walaupun bentukan penamaannya hadir dalam istilah tunggal yang berbeda dibandingkan dengan penjelasan cinta dalam bahasa Yunani.
Bahasa Yunani membedakan cinta untuk kata agape, filia, eros. Sekalipun demikian, Ahava sebenarnya menunjukkan tentang sumber cinta ada pada Allah. Dengan kerentanan yang ada pada manusia, memandang, mengalami cara Allah mencintai akan sekaligus membebaskan manusia dari keterperangkapannya mencintai, yang mungkin sedang mengelilingi memusatkan cinta pada dirinya sendiri.
Ketika manusia dibanjiri oleh berbagai kesadaran tentang ketercukupan penghargaan pada dirinya sendiri, seperti pentingnya aspek HAM dalam membangun relasi cinta, mencintai, saya menduga, cinta menjadi tampil lebih memberatkan, bahkan kaku, menyeret-nyeret. Pembiasaan kesadaran kesetaraan perlu dilakukan sejak dini, sehingga tampilan tindakan cinta diterima sebagai bagian dari memperlakukan menerapkan kesetaraan, keadilan dalam tindakan konkrit mencintai sekaligus membebaskan.
Inilah tantangan saya ketika membaca Kidung Agung, dengan mendengar maksud teks apa adanya sekalipun sangat mencurigai cara-cara penggambaran yang seolah-olah sedang mengeksploitasikan sisi kerentanan, ketidakberdayaan, keterperangkapan sang mempelai perempuan pada tindakan cinta dan mencintainya.
Di atas semua kecurigaan itu, pengalaman cinta dan mencintai ternyata bisa lebih mendewasakan dari sekedar meletakkan nilai perjuangan kesetaraan untuk memahami berbagai bentuk ekspresi cinta dan mencintai.  Kenyataan ini sekaligus mengingatkan saya tentang pentingnya melepaskan “ideologi” untuk merefleksikan posisi diri dalam membawa pengalaman tindakan cinta untuk dihayati sebagai suatu dinamika yang memberikan kesempatan kepada semua pihak saling menegosiasikan keberadaannya sehingga tampil indah, mengharukan, menyatukan sekaligus membebaskan. Mungkin inilah makna sejati cinta dan mencintai, seperti cara Yesus mencintai yaitu memberikan diriNya kepada sahabat-sahabatNya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar