Kitab suci, Kidung Agung tentang cinta
Oleh Farsijana Adeney-RisakottaCatatan:
Saya
memutuskan untuk merilis tulisan ini dalam blog Indonesiaku Indonesiamu
Indonesia untuk semua sebagai bagian dari catatan saya tentang makna cinta
kasih. Manusia diberikan hati untuk saling mengasihi. Kitab suci dari
agama-agama menjelaskan bagaimana cinta kasih diturunkan dari cara manusia
belajar mencintai melalui merefleksikan cara Sang Pencipta mencintai. Sebagai
seorang Kristen, saya ingin berbagi sebagian kecil dari kekayaan tradisi
Kristiani tentang cinta kasih. Tulisan ini tidak ditulis khusus untuk blog
saya, tetapi muncul pertama kali ketika saya diminta untuk menanggapi salah
satu penelahaan Alkitab (PA) yang diselenggarakan oleh Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana.
Monumen cinta pada Park of Aceh thanks the world di Blang Padang, Banda Aceh. Foto diambil tanggal 30 Oktober 2012 |
Kidung Agung adalah salah satu buku yang saya
sangat sukai ketika mulai bisa membaca Alkitab sendiri. Sambil mengagumi
kekuatan bahasa sastera dalam Kidung Agung, saya selalu bertanya tentang
ketersediaan ruang dalam kanonisasi Alkitab untuk sastera cinta religis
diletakan setara dengan tulisan-tulisan para nabi, sejarawan dan kaum
bijaksana. Penggambaran cinta dalam bahasa romantisme ketubuhan apabila dibaca
dari kacamata UU Pornografi dan Pornoaksi, bisa disita.
Kidung
Agung dapat dianggap mengandung unsur-unsur pornografi. Penggambaran cinta
kasih yang sensual ternyata dibiarkan masuk dalam kanonisasi Alkitab untuk juga
menunjukkan kebahagiaan sekaligus kerentanan dari cinta yang terlihat dalam
kemanusiaan manusia. Kidung Agung mengungkapkan dialog antara pengantin
perempuan dan pengantin lelaki. Pengantin perempuan merepresentasikan Israel
dan pengantin lelaki adalah Allah sendiri.
Hubungan antara manusia dan Allah digambarkan seperti
pengantin. Kadang-kadang Allah dekat dengan manusia, sering kali terasa
menjauh. Penggambaran hubungan Allah dengan manusia seperti kedua pengantin
yang saling menyesuaikan diri dalam pernikahan baru. Ketika “mood” lagi baik,
manusia bisa merasa dekat dengan Allah, tetapi ketika ada banyak kekecewaan
yang terjadi manusia bisa memposisikan Allah yang terasa sangat jauh, bahkan
seolah-olah menjauh dari manusia.
Seluruh pasal dalam Kidung Agung merepresentasikan dialog
pengantin perempuan dan lelaki, yang menjadi bagian dari dialog liturgi jemaat.
Cinta dirayakan bukan saja oleh sang
raja tetapi juga warga biasa. Dalam Kidung Agung pasal 8 ayat 11-12 dijelaskan
bahwa mereka yang berbahagia melebihi kebahagiaan Salomo adalah mereka yang
mendapat kebun anggur dari raja, merawatnya sendiri dengan cinta sehingga semua
orang yang berada di dalamnya bisa merasakannya (ayat 13). Memposisikan
kebahagiaan cinta termasuk juga menunjukan kerentanan cinta antara manusia
dengan Allah.
Merayakan cinta adalah merayakan pengalaman mendalam,
pengalaman sakit, pengalaman mistis. Pada pasal 8:5-7 digambarkan tentang cinta
yang kuat seperti maut. Cinta yang menyatukan adalah jiwa yang merindukan dalam
keterpisahan tubuh. Cinta menyatukan sekaligus memisahkan karena ia bernyala
seperti api, seperti nyala api TUHAN.
Kata “cinta” menjadi tak berarti karena
tindakan-tindakan yang tampil menggambarkan “cinta” melebihi makna kata “cinta”
itu sendiri. Relasi cinta bisa digambarkan sebagai kekasih sekaligus seorang
teman.
Tetapi
cinta juga ternyata bisa digambarkan dengan sangat mengagetkan! Pada Kidung
Agung pasal 5: 7 menggambarkan kekerasan
menimpa sang mempelai perempuan ketika keluar dari pintu pergi mencari
kekasihnya. “Aku ditemui peronda-peronda kota, dipukulinya aku, dilukainya,
selendangku dirampas oleh penjaga-penjaga tembok”.
Mengapakah
peronda-peronda kota memukuli sang mempelai perempuan? Apakah mereka menemukan
sang mempelai perempuan tampil sebagai seorang yang histeris, mungkin tanpa
pakaian keliling kota mencari kekasihnya yang menghilang? Ayat ini sangat membingungkan kepada saya.
Apakah maksud yang terungkap dari penggambaran ekstrim situasi kekerasan yang
menimpa sang mempelai perempuan.
Memikirkan tentang penggambaran kekerasan dalam Kidung
Agung yang penuh dengan kata-kata cinta adalah menjelaskan tentang suatu
realitas dari ketubuhan perempuan yang dikontrol oleh lelaki. Mata feminisme
saya langsung bereaksi untuk menjelaskan bahwa sang kekasih yang mungkin dalam
ketergesaannya mencari kekasihnya, dengan hanya menggunakan pakaian tidur yang
ditutupi oleh selendang, langsung dilepaskan. Tubuhnya dikebukin mungkin
sekaligus ditertawai, kalau belum dikerjain, supaya sang kekasih tahu bahwa
ekspresi cinta yang bersifat privat sekalipun mendalam tidak bisa seenaknya dilampiaskan
pada ruang publik. Ruang publik penuh dengan aturan untuk mengontrol tubuh sang
pengantin perempuan.
Pada sisi lain, apabila penggambaran pengantin perempuan
sebagai seorang yang tidak setia kepada pengantin lelakinya sehingga ia
dilecehkan, apakah bisa disejajarkan dengan situasi iman Israel yang sering
kali dipandang tidak setia kepada Allah. Seorang sang pengantin yang tidak
setia layak diperlakukan seperti seorang pelacur. Pakaiannya dilucuti kemudian
ramai-ramai bisa ditiduri.
Kesetiaan kepada Allah adalah kesetiaan yang absolut,
yang menunggu sampai kekasih, sang pengantin lelaki datang tanpa harus pergi
mencari sehingga akhirnya dipandang sebagai sedang tertarik untuk menggodakan
dirinya kepada ilah lain. Diluar penggambaran pelacur untuk meilustrasikan
tentang Israel, membacanya dengan perspektif feminis bisa menimbulkan kesadaran
tentang di manakah penghargaan terhadap pelacur. Bukankah pelacurpun adalah
seorang manusia yang patut dihargai secara utuh?
Tindakan cinta ternyata lebih kuat dari kata cinta itu
sendiri. Kata cinta dalam bahasa Ibrani
“Ahava” ternyata dalam pembacaaan Kidung Agung 5: 2-6:3 tidak perlu
dimunculkan karena representasinya sudah diwakili dalam tindakan sang mempelai
perempuan yang menunjukkan makna dari kata Ahava.
Selain itu kata cinta bisa tampil sangat
abstrak apabila tiada penggambaran yang menunjukkan pengalaman tindakan cinta.
Kata “cinta” dalam seantero Kidung Agung, nampak dari
tindakan memberi, tindakan penyerahan absolut yang sangat ideal, sekuat
kehidupan seorang mempelai perempuan.
Tetapi apabila pembacaaan pasal 5:7 dibaca terpisah dari kesatuan
pengertian dalam keseluruhan Kidung Agung, maka sebenarnya makna yang
sebenarnya dari kata Ahava tidak
pernah tercapai seutuhnya. Mengapa bisa terjadi bahwa kata “Ahava” tidak
terwakili dalam pembacaan pilihan bahasan ini?
Kata “Ahava” sebenarnya menunjukkan suatu pengertian
tentang tersedianya kondisi yang setara di mana tindakan mencintai, memberi
mendapat sambutan, bisa mendalam saling terhubung. Ahava merepresentasikan kondisi yang memungkinkan dua orang dalam cinta bisa saling
membagi afeksi, kejiwaan, kesatuan ketubuhan, pelayanan seperti terakomodasi dalam kata tsb. Dalam
“Ahava” ada tindakan yang saling memberi, mencintai.
Kebingungan saya agaknya segera terjawab karena pada
pasal berikutnya, terlihat langsung puji-pujian sang mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan. Penggambaran ini melegakan saya, karena cinta tidak
bertepuk tangan sebelah. Walaupun
kemudian, saya juga melihat dalam pembacaan terkait dengan pujian-pujian sang
mempelai lelaki dan sang mempelai perempuan, penggambaran tindakan-tindakan
cinta dilakukan dengan sangat manusiawi, dekat dengan kerentanan kemanusiaan
manusia yang ternyata juga masih memusatkan dirinya dalam mencintai. Mencintai
ternyata belum bisa sekaligus membebaskan. Mencintai ternyata masih tampil
dalam bentuk-bentuk ekspetasi yang menunjukkan kedagingan manusia, ada tuntutan
timbal balik.
Tetapi kesatuan pembacaan bisa menjelaskan bahwa
kekuatan kata Ahava, cinta ternyata
merepresentasikan dirinya dalam relasi tindakan yang bersalingan, berhubungan,
berbagi, bertukaran sebagai penggambaran tindakan mencintai yang sangat
manusiawi.
Mungkin malahan Kidung Agung, ternyata hendak
menjelaskan makna “Ahava” melebihi
dari penggambaran kemanusiaan, cara mencintai seperti biasanya, mencintai
dengan ekspetasi tindakan kesetaraan, timbal balik. Cinta, mencintai ternyata tidak berhenti
ketika ada tanggapan, atau cinta, mencintai tampil menuntut. Kepolosan cinta
mencintai, terwakili dalam kedirian sang mempelai perempuan yang mempercayai
dengan bertindak melebihi konstruksi kemanusiaan manusia dalam melakoni cinta,
mencintai. Tindakan cintanya,
seolah-olah mengandung magis, karena tindakan ini tampil begitu kuat sehingga
seorang manusiapun hampir luput tak mampu melakukannya.
Pengalaman mencintai sang mempelai perempuan, mungkin
tampil menyempurnakan sisi idealisme dari kata Ahava sebagai pengertian yang diberikan juga untuk menggambarkan
cinta kasih Allah yang tak bersyarat. Dengan cintaNya, Allah membentuk alam
semesta, menciptakan manusia, hanya untuk semata-mata kecintaanNya kepada
kehidupan, terang, keteraturan, keindahan di tengah-tengah kerentaan, ketiadaan
kekekalan dalam kontrolNya terhadap manusia dan semua makhluk ciptaanNya untuk
bersama-sama dalam kemahakuasaan Allah.
Penggambaran tindakan cinta, mencintai seperti terlihat
dalam Kidung Agung menghadirkan pengalaman manusia yang retan, yang dari sini
sedang berjalan berziarah memaknai “cinta” yang mengeluar dari pemusatan
dirinya, menuju, meraih kepada orang lain, ke luar menjangkau lebih luas,
seperti cara sang Pencipta, Allah memperlakukan, melakoni cinta mencintai.
Dalam cinta kasih ada kepedihan, ada tanggungjawab, ada
penderitaan, ada komitmen. Memberi dalam mencintai terbangun dari komitmen,
kesetiaan untuk memperjuangkan kesepakatan dan kedinamisannya yang terus
berkembang sesuai dengan pertambahan pengertian manusia yang berelasi dalam
cinta mencintai.
Tingkatan komitmen berbeda-beda dalam mengaktualisasikan
cinta. Tingkat cinta berperan berbeda-beda di setiap relasi manusia. Pembedaan
ini disadari dalam pengertian kata Ahava
walaupun bentukan penamaannya hadir dalam istilah tunggal yang berbeda
dibandingkan dengan penjelasan cinta dalam bahasa Yunani.
Bahasa Yunani membedakan cinta untuk kata agape, filia, eros. Sekalipun demikian, Ahava sebenarnya menunjukkan tentang
sumber cinta ada pada Allah. Dengan kerentanan yang ada pada manusia, memandang,
mengalami cara Allah mencintai akan sekaligus membebaskan manusia dari
keterperangkapannya mencintai, yang mungkin sedang mengelilingi memusatkan
cinta pada dirinya sendiri.
Ketika manusia dibanjiri oleh berbagai kesadaran tentang
ketercukupan penghargaan pada dirinya sendiri, seperti pentingnya aspek HAM
dalam membangun relasi cinta, mencintai, saya menduga, cinta menjadi tampil
lebih memberatkan, bahkan kaku, menyeret-nyeret. Pembiasaan kesadaran
kesetaraan perlu dilakukan sejak dini, sehingga tampilan tindakan cinta
diterima sebagai bagian dari memperlakukan menerapkan kesetaraan, keadilan
dalam tindakan konkrit mencintai sekaligus membebaskan.
Inilah tantangan saya ketika membaca Kidung Agung,
dengan mendengar maksud teks apa adanya sekalipun sangat mencurigai cara-cara
penggambaran yang seolah-olah sedang mengeksploitasikan sisi kerentanan,
ketidakberdayaan, keterperangkapan sang mempelai perempuan pada tindakan cinta
dan mencintainya.
Di atas semua kecurigaan itu, pengalaman cinta dan
mencintai ternyata bisa lebih mendewasakan dari sekedar meletakkan nilai
perjuangan kesetaraan untuk memahami berbagai bentuk ekspresi cinta dan
mencintai. Kenyataan ini sekaligus
mengingatkan saya tentang pentingnya melepaskan “ideologi” untuk merefleksikan
posisi diri dalam membawa pengalaman tindakan cinta untuk dihayati sebagai
suatu dinamika yang memberikan kesempatan kepada semua pihak saling
menegosiasikan keberadaannya sehingga tampil indah, mengharukan, menyatukan
sekaligus membebaskan. Mungkin inilah makna sejati cinta dan mencintai, seperti
cara Yesus mencintai yaitu memberikan diriNya kepada sahabat-sahabatNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar