Translate

Minggu, 28 Oktober 2012

Negara Gerakan Paska Reformasi: Refleksi Sumpah Pemuda untuk pemuda-pemudi Indonesia


Negara Gerakan Paska Reformasi: Refleksi Sumpah Pemuda untuk pemuda-pemudi Indonesia
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Sebenarnya artikel ini sudah mulai ditulis sejak tahun lalu. Cuma karena judulnya mengandung kata “gerakan”, saya memutuskan untuk menunda merilisnya. Alasan saya terutama terkait dengan pengalaman sendiri mengerti “negara gerakan”. Kata “gerakan” sudah saya hayati sebagai kehidupan sehari-hari dalam pelayanan saya kepada masyarakat sipil, yaitu anak-anak, pemuda dan perempuan terutama di DI.Yogyakarta. Tetapi Indonesia bukan hanya Daerah Istimewa Yogyakarta.  Saya perlu tahu bagaimana gerakan kemasyarakatan terjadi di daerah lain.

Saya sudah berjalan di semua pulau-pulau di mana mayoritas dari delapan teritori etnis membentuk ikatan budaya, ikatan kemasyarakatan dalam NKRI. Saya mengamati apa yang sedang terjadi dengan Indonesia. Kedelapan teritori etnis tersebut disinggung oleh Muhammad Yamin tentang pembentukan Indonesia yang terjadi dari delapan teritori etnis yaitu Sumatera, Melayu, Kalimatan, Jawa, Sulawesi, Sunda Lesser, Maluku dan Papua (Yamin: 1945:1-4).

Untuk merayakan Hari Sumpah Pemuda, saya memutuskan berjalan ke bagian utara pintu Indonesia, yaitu Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, Medan sekitarnya. Saya ingin menghayati kehidupan berbangsa dari perspektif teritori Melayu dan Minangkabau. Di sinilah, sejak perjalanan di Sumatera Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam saya menulis kembali artikel yang tertahan sejak tahun lalu, untuk Sumpah Pemuda 2011. Sejak tahun lalu, ternyata artikel ini juga sudah mengalami banyak perubahan.

Hari ini, 28 Oktober 2012, hari Sumpah Pemuda ke 84, saya memutuskan pergi ke pulau Weh, tempat km 0 untuk menghitung permulaan teritori Indonesia.  Mungkin KM 0 juga sangat simbolis untuk saya karena penghayatan tentang “gerakan” dari KM 0 meluas ke seluruh Indonesia, ke Merauke, Papua. Kedekatan hari Sumpah Pemuda dengan hari raya Idul Adha 1433 H yang saya rayakan bersama satu keluarga muslim di Padang, juga memberikan inspirasi kepada saya untuk menguatkan pemahaman saya tentang kata “gerakan”.

Negara gerakan. Sebagai suatu judul, “negara gerakan” sengaja dipilih untuk membedakan tentang NKRI sebelum reformasi. Regim Orde Baru menerima maklumat dari pejuang reformasi tentang negara yang otoriter. Berbagai kajian baik ilmiah maupun populer telah memberikan label tentang Orba sebagai jaman kevakuman demokrasi. Gerakan pro demokrasi berbangga hati tentang pengulingan regim Soeharto dan antek-anteknya pada saat Reformasi 1998. Sejak itu, harapan percepatan demokrasi dan cita-cita Reformasi yang digelarkan oleh mahasiswa/mahasiswi dalam pendudukan mereka atas gedung rakyat, gedung MPR/DPR RI menjadi tonggak sejarah baru.

Cita-cita Reformasi, sesudah penggulingan Soeharto adalah kembalikan Indonesia kepada visi awal pendirian NKRI, yaitu peneguhan persatuan dan kesatuan nasional, penegakan kedaulatan rakyat, penyelenggaraan pemerintahan otonomi daerah, penghapusan dwi fungsi ABRI, dan pengusutan KKN yang merugikan negara. Buah dari Reformasi telah meningkatkan partisipasi warganegara dalam penyelenggaraan negara seperti terlihat pada proses pemilihan langsung dimulai dari RI 1 sd Kepala Daerah Tingkat I dan II di seluruh Indonesia.

Memperhatikan pelaksanaan cita-cita Reformasi seperti digambarkan di atas, terasa bagi saya, seolah-olah pencapaiannya melepaskan pemuda-pemudi yang telah meletakkan momentum Reformasi. Mensejajarkan gerakan Reformasi dengan Sumpah Pemuda yang juga melibatkan pemuda-pemudi untuk merumuskan komitmen bersama terhadap kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa, setidaknya menghadirkan peran penting pemuda-pemudi dalam mengendalikan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Tetapi pemuda-pemudi ini bukan hanya mereka yang mempunyai kesempatan mengecap pendidikan kritis, sehingga berani terlibat dalam berbagai gerakan penyadaran diri bersama membangun masyarakat di sekitarnya.

Masih banyak pemuda-pemudi di seluruh Indonesia yang belum sepenuhnya menyadari perannya untuk mendorong perjalanan idealisme negara mewujudkan kehidupan yang adil dan demokratis. Mereka ini adalah pemuda-pemudi yang tidak terekspos oleh media karena jauh dari pusat pemerintah dan ibu kota negara. Pemuda-pemudi ini berada di mana-mana yang sedang bergumul dengan tantangan sekarang, mengatasi tekanan dari beban sosial yang makin tinggi. Pemuda-pemudi ini sedang bergumul untuk mengerti tentang identitas dirinya sebagai Indonesia.

Ketika Sumpah Pemuda 84 tahun lalu dicetuskan, kehidupan pemuda-pemudi sudah bertemu dengan pengaruh dari luar daerahnya, dari luar komunitasnya. Mereka sadar tentang dirinya sebagai warga kelas dua di alam Indonesia yang melahirkannya. Komitmen untuk menyatukan diri dalam Indonesia telah mengubah garis hidup mereka, meletakkan dasar bagi perjuangan kemerdekaan yang diraih 27 tahun kemudian.

Musuh yang dihadapi pemuda-pemudi saat itu sangat jelas, penjajah yang telah merampas alam raya dan hak dirinya untuk hidup. Sekarang Indonesia sudah merdeka, bahkan gerakan Reformasi telah mengantarkan kembali perjalanan bangsa kepada cita-cita bersama kemerdekaan. Akan tetapi, di mana-mana dalam perjalanan saya sekarang ini, semakin sadar adanya kegelisahan di antara pemuda-pemudi tentang identitas dirinya.

Menjadi pemuda-pemudi, secara psikologis akan berhadapan dengan pergolakan pencarian identitas diri. Delapan puluh empat tahun lalu, pencarian identitas diri terkait dengan siapakah pemuda-pemudi yang lahir di bumi kaya raya Indonesia sementara kenyataannya telah terjadi berbagai diskriminasi di tanah sendiri. Sumpah Pemuda terlahir dari kesadaran marginalisasi yang dialami berabad-abad terhadap insan-insan persada bangsa ini.

Sekarang ini, siapakah musuh bersama yang sedang di hadapi? Indonesia adalah negara merdeka yang masih berlimpah dengan susu dan madu. Pemuda-pemudi di mana-mana masih menikmati kelimpahan Indonesia tersebut. Walaupun demikian tidak semua pemuda-pemudi mempunyai kesempatan untuk sepenuhnya menikmati kelimpahan Indonesia tersebut, karena kemiskinan yang mengelilingi keluarganya. Di tengah keberadaan kemiskinan, kesederhanaan hidup yang dialaminya, pemuda-pemudi di seluruh Indonesia sedang berhadapan dengan tekanan bisnis, iklan yang terus memaksanya untuk membeli, membeli, membeli produk-produk “berkelas” yang bisa membuat mereka menjadi seorang yang disebut orang muda.
Iklan-iklan terkait dengan minuman, makanan, pakaian, dll menjadi incaran kepada pemuda-pemudi. Saya tinggal di kabupaten Sleman, DI.Yogyakarta yang memperoleh pendapatan daerah dari iklan-iklan, sehingga tidak terlalu terkejut dengan kehadiran iklan di daerah-daerah lain. Tetapi ketika saya memasuki Bukittinggi dari Padang, saya sungguh kaget melihat gambaran citra diri pemuda-pemudi terkait dengan mobil, minuman bir, pakaian levis, rokok dll. Terbesit dalam benak saya, di manakah gambar atau patung bung Hatta ketika memasuki Bukittinggi. Kecuali di istana Bung Hatta di areal Jam Gadang, sebuah patung dari sepuhan emas dengan wajah bung Hatta yang tersenyum berdiri tegak. Sebuah patung Bung Hatta berwarna hitam ditunjukkan oleh Uda Yus, yang membawa mobil memasuki pusat kota Bukittinggi, tetapi sangat gelap untuk menarik hati pelalu lalang di sana.

Di Bukittinggi, kota kedua sesudah DI.Yogyakarta sebagai ibukota RI, bersama dengan kota-kota lainnya, di mana-mana pemuda-pemudi di Indonesia sedang menjadi target dari kapitalisme. Iklan-iklan yang mengeksploitasi ketubuhan orang muda cenderung merangsang munculnya sikap jagoan sehingga menyebabkan banyak tawuran antara pemuda-pemuda terjadi bukan saja di pusat negara tetapi sampai ke pelosok-pelosok. Peningkatan kekerasan seperti pemerkosaan yang saya dengar dari teman-teman di Kabupaten Pariaman, Sumatera Barat, terjadi karena dampak dari eksploitasi secara publik iklan-iklan ketubuhan tsb maupun aksesitas film-film syuur dari media internet yang tersedia di warnet sampai ke pelosok-pelosok.

Pemandangan itu saya rekam dalam foto seperti terlihat di bawah ini, untuk membuktikan ketidakberpihakannya pemerintah terhadap keamanan warganya, terutama untuk melindung pemuda-pemudinya dari serangan eksploitasi iklan terhadap tubuh yang kuat, sehat dan indah dari seorang anak manusia. Musuh terselubung dari pemuda-pemudi Indonesia adalah iklan-iklan yang mencuci otak mereka untuk tertarik dan membeli produk-produk hedonisme tsb.

Foto memasuki kota Bukittinggi, Sumatera Barat (tanggal 25 Oktober 2012)

Foto memasuki kota Bukittinggi, Sumatera Barat (tanggal 25 Oktober 2012)
 
Foto memasuki kota Bukittinggi, Sumatera Barat (tanggal 25 Oktober 2012)
Foto memasuki kota Bukittinggi, Sumatera Barat (tanggal 25 Oktober 2012)


Pada sisi lain, reaksi terhadap gencarnya kapitalisme menyerbu pemuda-pemudi Indonesia malahan menguatkan penerimaan ajaran agama yang cenderung indoktrinasi.  Tarikan untuk menjadi pemuda-pemudi yang modern tetapi sekaligus beriman harusnya menjadikan pemuda-pemudi Indonesia semakin kritis sehingga bisa menyeleksi berbagai pengaruh iklan yang hendak mempengaruhinya. Iklan yang muncul di TV maupun pengaruh dari internet harusnya mendorong pemuda-pemudi Indonesia untuk menolak kehadirannya. Uang dari pemasangan iklan-iklan ini menguntungkan kepada pemerintah tetapi bukan untuk melindungi hak-hak dasar pemuda-pemudi untuk tidak diusik, dicekokin dengan iklan-iklan hedonisme tsb. 

Kadang-kadang pemuda-pemudi memerlukan kreatifitas untuk mengatasi ketegangan yang saling tarik menarik di antara tekanan kapitalisme dan kesetiaan kepada tradisinya. Selain kreatifitas, sangat penting adalah keyakinan untuk menjadi dirinya sendiri. Pemuda-pemudi Indonesia dalam pencarian dirinya perlu difasilitasi sehingga mereka bisa menentukan siapakah dirinya sendiri. Penetapan diri secara individu maupun kolektif sangatlah penting dihadapi oleh pemuda-pemudi Indonesia dengan dimulai dari apa yang ada di sekitarnya.

Dalam perjalanan pulang dari pulau Weh ke Banda Aceh, saya duduk di kapal Pulo Rondo bersebelahan dengan seorang pemudi yang sedang membaca majalah. Pemudi ini berjilbab. Ia begitu tertarik pada halaman yang memampang foto tata rias rambut. Sambil menggaguminya, si pemudi ini kemudian menjelaskan kepada saya bahwa foto tata rias rambut kepang dengan hiasan bagian depan pengganti poni sangat menarik hatinya. Katanya:”Saya mungkin akan mencoba membuatnya untuk menghadiri pesta HUT”. Kemudian ia menjelaskan bahwa pelaksanaan pesta di rumah, biasanya aman karena tidak ada sidak dari Wilayatul Hisbah (polisi syariah).

Menjadi diri sendiri sangat penting seperti diperlihatkan oleh si pemudi, si inong Aceh. Tampilannya sangat bersahaja, dengan jilbab yang akan selalu dipakainya sebagai seorang muslimah yang menghargai dirinya, diri seorang perempuan yang takut kepada Allah SWT. Pemudi, lulusan D3 yang sekarang bekerja di toko penyalur motor Suzuki, dengan sadar membutuhkan majalah-majalah fashion tetapi sekaligus bisa menyaring bagian mana yang cocok untuk kehidupan mudanya.

Pemuda-pemudi Indonesia diberikan anugerah lahir di bumi yang indah. Kesempatan untuk berjalan ke mana-mana di seluruh Indonesia untuk belajar dari masyarakat berbeda akan menguatkan visi dan kepemimpinannya di masa depan. Ketika seseorang berjalan bertemu dengan orang-orang lain yang berbeda, ada banyak permenungan dan ide-ide baru yang muncul menguatkan dirinya. Saya ingat membaca novel bestseller dari Ahmad Fuadi, yang berjudul Negeri 5 menara. Dorongan orang tua untuk seorang pemuda-pemudi keluar dari rumahnya menuntun ilmu di tanah seberang menjadi titik berangkat keberhasilan menemukan keunikan diri sendiri.
Keberhasilan ini menurut teman saya, seorang yang saya panggil Bundo, ternyata makin langka. Prinsip merantau yang merupakan ajaran dari masyarakat Padang, saat ini berhadapan dengan kenyataan baru yaitu pemuda-pemuda yang cenderung menerima dengan gampangan saja dukungan terus menerus dari orang tuanya. Kesibukan orang tuanya juga berpengaruh untuk membayar kehilangan waktu bersama dengan terus memberikan dukungan material kepada anaknya daripada penguatan kemandirian yang perlu dibangunkan ke dalam kehidupan anak-anaknya.

Terhadap perubahan-perubahan yang sedang terjadi dengan pemuda-pemudi Indonesia, sangatlah penting untuk terus memberikan kesempatan kepada pemuda-pemudi untuk bertumbuh. Motivasi untuk membangun dirinya sendiri yang bisa dilakukan di berbagai tingkatan dalam kehidupan masyarakat bisa dicapai melalui keterlibatan pemuda-pemudi dalam berbagai kompetisi untuk menguatkan kompetensinya. Semakin banyak pemerintah dan masyarakat memberikan ruang terhadap perluasan gerakan menguatkan kompetensi dan kualitas pemuda, semakin bermakna esensi dari karakteristik pemuda-pemudi di Indonesia dalam menegakkan identitasnya.

Negara gerakan adalah kesempatan yang lebih luas diberikan oleh masyarakat dan pemerintah dalam memposisikan pemuda-pemudi untuk terus membangun kekuatan dirinya yang unik bermanfaat bagi banyak orang di sekitarnya. Perlindungan negara untuk memberikan rasa aman bagi pemuda-pemudi Indonesia adalah prioritas sehingga mereka tidak merasa terancam dalam kehidupannya. Negara gerakan akan mengupayakan pemuda-pemudi Indonesia untuk dilindungi dari musuh-musuh terselubung seperti iklan di TV, internet, dan di jalan-jalan. Hanya dengan cara inilah, pemuda-pemudi di Indonesia bisa berbangga hati bahwa mereka punya pemerintah yang peduli kepadanya.

Negara gerakan adalah memfasilitasi pemuda-pemudi untuk keluar dari sikap egosentrisnya, menoleh ke alam yang memerlukan uluran tangannya. Isu-isu terkait dengan lingkungan, kepedulian untuk pelayanan bagi masyarakat miskin di bidang kesehatan, pengurangan resiko HIV/Aids, pengolahan pangan dstnya masih terbuka untuk keterlibatan pemuda-pemudi Indonesia. Pemuda-pemudi dengan kapasitas kerja  bersama, baik melalui organisasi mahasiswa maupun organisasi massa pemuda-pemudi bisa terus berkarya untuk bangsa dan negara. Tubuh sehat dan kuat dari pemuda-pemudi Indonesia sudah saatnya dipersembahkan untuk membangun bangsa dan negara, melayani warga masyarakat yang membutuhkan. Selamat merayakan Sumpah Pemuda 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar