Translate

Selasa, 19 Juli 2011

Tudung kepala dan penerusan pergerakan perempuan

Tudung kepala dan penerusan pergerakan perempuan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)

Koalisi Perempuan Indonesia bukan pondok pesantren di mana para santri putri tinggal bareng-bareng. Tetapi selama 10 hari kami tinggal bersama di sini, mungkin mirip seperti tinggal di pesantren. Pendidikan Kader Lanjutan bukan sekolah. Sepuluh hari hidup bersama teman-teman memberikan pengalaman lain bagi saya. Hidup bersama perempuan menyatukan kami semua tanpa perbedaan kelas, latar belakang pendidikan dan pengalaman. Ini pengalaman pertama berkamar dengan dua teman Muslim dari Aceh dan Nusa Tenggara Barat.

Menuliskan tentang pengalaman perempuan merupakan titik berangkat membangun kesadaran siapakah seorang perempuan. Umur saya 46 tahun. Kesadaran tentang eksistensi keperempuaan makin menggetarkan dalam hidup saya sesudah menyaksikan tentang kekerasan massa di tahun 1999 sd 2003 dalam perang saudara di Maluku yang memisahkan warga berdasarkan agamanya. Ketika itu, perempuan yang biasanya menggunakan tutup kepala sebagai tradisi yang lazim ditemukan di pedesaan Maluku harus bersedia melepaskan tradisinya ini.

Perempuan-perempuan Kristiani diteror apabila mereka mengenakan tutup kepalanya, mereka akan ditembak oleh penembak gelap. Pengalaman ini sangat mendalam mempengaruhi perubahan arah perjuangan saya. Saya berjanji untuk diri sendiri bahwa saya akan selalu bersama perempuan.

Kekuatan militer menjadikan perempuan Kristiani takut dan mengubah kebiasaannya untuk menutupi kepalanya. Hanya perempuan-perempuan Muslim yang dibolehkan untuk meneruskan tradisinya karena dianggap sebagai bagian dari ibadah.

Intervensi militer terhadap tubuh perempuan menyusup bersama dalam ajaran agama. Upaya memecahkan kesatuan masyarakat dari tradisi terjadi ketika tubuh perempuan dipandang sebagai sarana identitas berbasis agama. Peristiwa kekerasan di Maluku menampilkan kepada saya suatu gambaran tentang intervensi negara terhadap pengubahan cara ekspresi perempuan.

Tiba pada kenyataan ini saya kemudian memutuskan untuk menggunakan tutup kepala supaya mendorong perempuan-perempuan kristiani kembali melakukan kebiasaannya. Sekitar 7 tahun gerakan menutup kepala saya lakukan dalam solidaritas dengan perempuan-perempuan korban perang di Maluku.

Keputusan saya menggunakan tutup kepala ternyata juga tidak mudah. Perempuan-perempuan Kristiani menunjukkan keprihatinan mereka karena keberanian saya memasuki wilayah mereka sambil menggenakan tutup kepala. Tutup kepala itu bukan jilbab. Tetapi konstruksi militer yang sudah terbangun dalam masyarakat bahwa seorang yang menutup kepalanya adalah seorang Muslim ternyata harus berhadapan dengan saya.

Kunjungan-kunjungan saya ke kampung-kampung Kristiani dicurigai sebagai seorang Muslim yang sedang menyusup. Saya pernah ditahan untuk dimintai keterangan tentang identitas saya ketika saya memasuki satu desa di pulau Ambon di propinsi Maluku. Mereka ingin memastikan tentang siapakah perempuan bertudung itu?

Bertudung kepala merupakan strategi awal membangun pergerakan saya tentang menjadi seorang Indonesia. Indonesia saat ini adalah Indonesia tentang kebangsaan. Reformasi membawa kebebasan meraih keadilan dan demokrasi bagi Indonesia, tetapi pada saat yang sama Indonesia ternyata terikat dengan kenyataan-kenyataan pemisahan yang dengan sengaja dibentuk dalam negara.

Pemisahan warga masyarakat termasuk pembentukan identitas perempuan dari apa yang digunakannya merupakan proses reduksi yang sedang terjadi dalam politik Indonesia saat ini. Saya merefleksikan titik awal pergerakan saya dengan pengalaman belajar bersama selama hampir 10 hari. Kesempatan hidup bersama dengan teman-teman saya yang Muslim membangun keyakinan saya tentang solidaritas mendalam yang dapat dikembangkan karena kita bersama ingin pengalaman tersebut ada.

Salah satu pengalaman yang selalu akan saya kenang adalah ucapan akrab dari bu Khaidir setiap kali memasuki kamar kami. Saya biasanya ada di kamar sedang membaca atau mengetik ketika bu Khaidir mengatakan “assalamailakum”. Saya membalas: “walaikum salam”. Kemudian kami mendiskusikan tentang apa yang pernah saya dengar tentang larangan mengucapkan kalimat assalamailakum kepada seorang non Muslim.

Saya menanyakan mengapa bu Khaidir menyapa saya dengan itu, padahal saya seorang Kristiani. Jawabannya sungguh mengharukan hati saya. Bu Khaidir mengatakan bahwa ia menyapa saya karena saya seorang sahabatnya. Tinggal satu kamar membuat ia merasa saya seperti saudarinya. Kalimat “assalaimailakum” merupakan kalimat yang dekat di hatinya. Menyapanya kepada saya adalah suatu rahmat kepada dirinya sendiri.

Pengalaman membuat kita berbicara melintasi kata-kata. Pengalaman mendorong kita melintasi sekat ciptaan manusia dan negara. Pengalaman feminis ini adalah keinginan kami semua untuk melepaskan sekat-sekat perbedaan yang ada pada kami. Negara bisa memisahkan warganya. Agama mengisolasikan umat dari sesamanya. Tetapi saya percaya visi bersama yang mengalir dalam semangat Koalisi Perempuan Indonesia menyatukan kita semua. Terima kasih banyak sahabat-sahabat saya.

*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java dan empowering women transforming myself

Tidak ada komentar:

Posting Komentar