Translate

Senin, 25 Juli 2011

Anak-anak Tanoker Ledokombo untuk Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua

Anak-anak Tanoker Ledokombo untuk Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Sebelum ke Ledokombo, saya membayangkan suasana pedesaan seperti di Yogyakarta. Topografi Ledokombo mengombinasikan kelimpahan dari alam mendatar seperti di Bantul, dengan kelimpahan air seperti di Sleman, dan perbukitan seperti di Kulon Progo dan Gunung Kidul. Ledokombo menampilkan berbagai kombinasi keberuntungan alam yang indah, subur dan berlimpah dengan air. Perbukitan di Gunung Kidul dan Kulon Progo indah dan subur di musim hujan, tetapi ketika kemarau tiba menjadi kering keronta. Pada saat itu, masyarakat akan menjual binatang piaraannya seperti kambing untuk membeli air supaya bisa hidup selama masa paceklik.

Ledokombo di ujung utara dari kabupaten Jember yang terkenal dengan perkebunan tembakau.Karena daerahnya yang berbukitan, kebanyakan masyarakat di Ledokombo menanam tembakau daripada padi. Tembakau adalah tanaman warisan penjajahan Belanda. Kelimpahan air tidak sendirinya mencerminkan kemakmuran rakyat Ledokombo. Di sini ternyata banyak penduduk yang bekerja sebagai buruh tani. Seperti di Yogyakarta, di Bantul, banyak petani juga adalah buruh tani. Lahan pertanian mereka sudah terbagi-bagi sebagai bagian dari pewarisan. Tanah menyempit untuk bertani. Berhadapan dengan dilema penimpisan pemilikan lahan pertanian, petani di Yogya, seperti di Bantul cenderung bekerja ganda sebagai buruh bangunan sambil menunggu musim panen tiba. Petani dari Kulon Progo bahkan sesudah musim tanam akan memilih tinggal di kota Yogyakarta sebagai pemulung dari pada di desa tanpa pekerjaan.

Kesan yang sama terlihat di Ledokombo. Keterbatasan tanah pertanian menyebabkan warga melakukan migrasi ke Bali, terutama kaum lelaki untuk bekerja sebagai buruh bangunan dan pekerja lainnya. Sementara hampir sebagian besar perempuan memilih menjadi TKI ke luar negeri. Desy, gadis cilik yang cantik dan cerdas, yang memberikan nama tante Neli artinya tante nenek lincah kepada mba Julia Suryakusuma, harus berpisah dengan ibundanya karena pekerjaannya sebagai TKI ke Arab Saudi. Desy berumur 12 tahun sehari-hari adalah anggota komunitas belajar di Tanoker, Ledokombo.

Sukarelawan yang mengajar Desy dan teman-temannya, seperti mas Faruq adalah sarjana jebolan Universitas Jember fakultas Ilmu Pendidikan. Sayangnya ia bernasib sama dengan hampir semua lulusan universitas, yang harus bersaing untuk mendapat pekerjaan di sekitar Jawa Timur. Mas Faruq adalah seorang guru madrasah yang dibayar setiap bulan kurang lebih Rp 100.000.- Rendahnya bayaran kepada seorang sarjana seperti mas Faruq karena terkena berbagai potongan mulai dari kabupaten, kecamatan sampai dengan di desa. Tetapi mas Faruq masih beruntung, karena ada sekitar 8000 luluasan PT yang tahun ini berlomba untuk ujian PNS yang hanya menerima sekitar 100 orang.

Inilah wajah Ledokombo di kabupaten Jember yang mempunyai Universitas Jember ternyata masih menimbulkan persoalan kepada masyarakat sendiri. Ketersediaan Universitas belum menyelesaikan masalah banyaknya pengangguran terdidik di daerah ini. Keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan keluar daerah menjadi alternatif yang paling menjanjikan. Keluarga-keluarga yang dulu utuh mulai terpisah. Anak-anak dibesarkan oleh seorang ayah, atau seorang ibu dengan ditemanin oleh nenek dan kakek. Ciri khas keluarga besar yang tinggal bersama mulai berubah menjadi keluarga-keluarga atom, yaitu keluarga yang terpecah-pecah.

Di dalam konteks masyarakat pedesaan bercirikan keluarga-keluarga atom inilah mba Ciciek Farha dan mas Supoharjo dipanggil pulang ke Ledokombo. Ibunda mas Supo semakin menua. Sebagai anak tunggal muncul tanggungjawab merawat ibunda yang mencintai tanah kelahirannya di mana air sungai mengalir di kebun belakang rumahnya. Saya menikmati mandi dari pancuran di hari panas sesudah tiba di Ledokombo. Pancuran alam meninggalkan kesan kehidupan bersahaja masyarakat yang jauh dari penggambaran UU pornografi dan pornoaksi dimana lelaki dan perempuan bukan dari satu keluarga bisa mandi dari masing-masing akses sumber air yang mengalir. Di desa yang berlimpah air, ditemanin oleh Moksha dan Nezo, kedua anak lelaki mba Ciciek dan mas Supo, mereka sekarang sesudah dua tahun mulai membawa harapan baru kepada masyarakat di sana.

Tanoker adalah kelompok belajar untuk anak-anak. Kata "tanoker" berasal dari bahasa Madura yang berarti kepompong. Banyaknya orang Madura dan Jawa yang tinggal di Jember menghasilkan perpaduan budaya yang menarik, yang disebut Pendalungan dengan tampilan bahasa dan keseniannya yang sangat khas. Kekhasan inilah yang hendak dilestarikan oleh kelompok belajar Tanoker. Di tanoker, selain anak-anak belajar, mereka juga bermain bersama. Moksha ketika masih di Jakarta, menjalani pendidikan di rumah. Home schooling yang dibimbing oleh kedua orang tuanya, mba Ciciek dan mas Supo, bisa bersaing dengan anak-anak lainnya. Moksha sekarang kembali ke sekolah di kelas I SMU. Tetapi semangat dari pola belajar mandiri membentuknya menjadi pemimpin sehingga bisa mengorganiser kegiatan belajar Tanoker. Anak-anak di sekitar desa Ledokombo bahkan dari desa-desa terdekat bergabung dengan kelompok Tanoker.

Ada sekitar 200 anak yang terkabung dengan Tanoker. Mereka bertemu rutin untuk belajar berbagai materi tambahan dari sekolah sambil menari. Pada festival anak nasional di Jember tahun lalu, 2010 anak-anak Tanoker keluar sebagai pemenang juara umum untuk semua jenis pertandingan. Keberhasilan anak-anak Tanoker ini mulai menarik perhatian seorang mahasiswa sosiologi dari Universitas Brawijaya untuk meneliti dampak perubahan sosial yang sedang terjadi di sini.

Bunyi-bunyi patahan bambu dan kayu menghentak berirama. Tanah seolah-olah hendak terbuka memberikan kembali kelimpahan yang ada dibalik rerumputan. Kelincahan kaki dan kekuatan ketegapan kaki menampilan ketrampilan tarian egrang yang sangat dinamis. Anak-anak ini adalah anak-anak yang rata-rata terlahir dari keluarga Indonesia masa kini. Pekerjaan menjadi masalah, sehingga orang tua terpisah dan meninggalkan keluarganya untuk mencari sesuap roti. Tanoker memberikan harapan dan cinta kasih kepada anak-anak ini. Yoga, seorang anak SD yang kekar, kalau sedang menari egrang mengingatkan saya kepada penampilan Hanoman, sang monyet sakti, tetapi ini adalah Hanoman ala Ledokombo. Kira-kira berumur 7 tahun dari muka Yoga terpancar kharisma keteguhan hatinya. Yoga ingin mengubah masa depan anak-anak di Ledokombo.

Karena anak-anak inilah, saya memutuskan ke Ledokombo. Festival Egrang kedua 2011 diikuti oleh 47 peserta kelompok anak-anak di seluruh kecamatan Ledokombo. Mba Ciciek dan mas Supo mulai sedikit lega ketika melihat perhatian pemerintah untuk mempertimbangkan egrang sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Keterlibatan anak-anak dari berbagai sekolah mewarnai kompetisi yang berlangsung dengan meriah. Sebagai seorang juri, bersama dengan teman-teman lain, seperti mba Julia Suryakusuma, Columinst Jakarta Post, Emma Baulch dari Australia National University, Yati Kaprawi dari Malaysia, saya menikmati kegerakan kebangkitan harapan dari anak-anak ini (Koran Surya Minggu, 24 Juli 2011, hal.6)

Mereka adalah anak-anak yang akan mengubah Indonesia. Mereka akan memberikan inspirasi bagi anak-anak lain di seluruh Indonesia. Mereka juga bahkan akan menyatukan orang tuanya yang berpisah, dan masyarakatnya yang terpecah-pecah karena garis politik dan aliran agama yang berbeda-beda.

Ketika saya menulis catatan tentang mereka, saya terikat bersama dengan mereka naik truk, barengan dengan mba Ciciek menemani anak-anak untuk membawa mereka pentas di kantor Kabupaten. Di sinilah mereka mempresentasikan tarian egrang yang sebelumnya dipentaskan di lapangan kecamatan Ledokombo pada tanggal 23 Juli, tetapi pada tanggal 24 Juli sebelum Jember Fashion Carnaval berlangsung, anak-anak menari di hadapan bupati, Akbar Tanjung, Nina Akbar Tanjung dan ibu-ibu dan bapak-bapak dari WWI (yayasan Warna Warni).

Mey sedang dirias dan di belakangnya berdiri Desy memang tulisan berjudul Jember Jiwaku


Anak-anak inilah yang telah merebut hati Mey, anak dari Prof Emma yang ingin berdandan seperti penari-penari perempuan cilik. Jadi di atas truk ketika sedang berjalan, saya mengabadikan ketenangan seorang anak Australia yang membiarkan mukanya dirias oleh seorang ibu dari Ledokombo. Inilah bukti persahabatan antar bangsa yang terbangun dari ketulusan anak-anak Ledokombo. Mengingat mereka, mengingat anak-anak saya yang ada di mana-mana, kepada mereka saya ingin menulis dan bekerja untuk Indonesia. Terima kasih mba Ciciek dan mas Supo yang mendorong saya memasuki keindahan kehidupan di sana. Persahabatan dan persaudaraan kita menguatkan perjalanan bersama melayani untuk semua, Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia untuk semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar