Jakarta berikanlah Jokowi kepada Indonesia!
Mengkritisi Ahok: Logika SARA Menyesatkan!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Masih segar dalam diri saya merasakan getaran pemilukada
(pemilihan kepala daerah) di Jakarta tanggal 20 September 2012. Saya pernah menulis
untuk "Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua", pemilukada tersebut seolah
menghadirkan kesejukan demokrasi yang sudah lama mati. Pemilukada Jakarta
membawa kembali harapan kepada demokrasi di Indonesia. Ketika itu, ekskalasi
isu SARA menjulang tinggi. SARA kepanjangan dari Suku, Agama, Ras dan antar golong. Jokowi seorang muslim menggandeng seorang nasrani. Masyarakat
tidak dikacaukan hatinya, tidak dibuatkan bimbang karena PDIP bergandengan
dengan Gerinda, melawan Fauzi Bowo dan Nara yang didukung oleh partai Demokrat
dan partai-partai lainnya yang oleh tokoh partai Demokrat dikatakan didukung
semua partai (Republika, 21 Juli 2012). Ketika itu, SARA menjadi bom waktu
untuk menghancurkan cagub dan cawagub yang diusung oleh hanya partai PDIP dan
Gerinda. Sekalipun isu SARA gencar menghantam pemilihan gubernur dan wakil
gubernur, malahan Jokowi yang menggandeng Ahok seorang Kristen ternyatalah yang
dipilih oleh warga Jakarta.
Dihantam badai SARA menyebabkan Jokowi sebagai Kepala Daerah
terpilih, gubernur sah meneruskan pendidikan politik untuk mendidik warga
Jakarta sebagai masyarakat Pancasila yang menjadi cita-cita bersama di
Indonesia. Ketika Lurah Susan Jasmine Zulkifli terpilih menjadi kepala daerah
di desa Lenteng Agung, beliau ditolak masyarakat karena alasannya seorang
Kristiani. Dialog yang digagaskan Jokowi dengan masyarakat telah mengubah
persepsi mereka sehingga akhirnya menerima ibu Susan sebagai Lurah di Lenteng Agung.
Tadi malam kami mendiskusikannya di timeline saya di Facebook. Saya senang
mengangkat kemajuan pluralisme yang sedang mengubah Jakarta tetapi kemudian
juga sekarang sedang dihancurkan oleh politik minoritas yang menggunakan isu SARA baik oleh Ahok,sebagai pejabat sementara
Gubernur Jakarta maupun Prabowo Subianto, yang menjadi calon presiden. Pemberitaan Tempo mengagetkan saya yang
sedang jauh dari tanah air. Tempo tgl 17 Juni 2014 menuliskan artkel dengan
judul "Elektabilitas Jokowi Turun di DKI, Ini Kata Ahok", dipublikasikan
bertepatan dengan tersebarnya spanduk-spanduk yang menulis: “Jokowi tetap
Gubernur, Pilih Nomor 1” seperti diberitakan oleh Detikcom dan media elektronik
lainnya.
Saya katakan kepada masyarakat dunia maya, bahwa politik
minoritas yang dimainkan oleh Ahok menunjukkan kemunduran Jakarta, karena
pencapaiannya sudah lebih maju dengan kasus Lurah Susan. Ahok sendiri terlibat
dalam kebijakan gubernur Jokowi untuk penempatan pejabat sebagai pelayan publik
tidak berdasarkan agama, ras, tetapi kapasitasnya (right person in the right
place). Ahok menggunakan keminoritasnya
untuk mendukung kepentingan partainya, Gerinda, yang mencalonkan Prabowo
Subianto menjadi presiden RI. Jadi
sebenarnya Ahok sedang menghancurkan cita-cita Pancasila karena lebih melayani
kepentingan partainya daripada keIndonesiaan yang katanya diperjuangkan oleh
partainya sendiri.
Spanduk-spanduk ini yang diserbarkan dengan sekaligus
didukung oleh "masyarakat" Jakarta adalah bentuk dari kampanye hitam. Mengapa
spanduk-spanduk ini baru muncul sekarang sesudah Debat Presiden kedua tanggal 15 Juni 2014? Mengapa ia tidak muncul ketika
pejabat dari Kementerian Dalam Negeri bertemu Jokowi di rumah dinas gubernur
untuk menyerahkan Keppres yang ditandatangani oleh Presiden SBY tentang
pemberhentian sementara Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta sampai pengumuman
resmi dikeluarkan oleh Komite Pemilihan Umum tentang pejabat Presiden dan Wakil
Presiden. Keppress yang ditandatangani tanggal 31 Mei disampaikan langsung
kepada Jokowi tanggal 1 Juni 2014.
Dengan melihat kronologis pemberhentian sementara Jokowi
sebagai gubernur Jakarta, sangat jelas kepada saya, bahwa pejabat gubernur
Jakarta, Ahok sebagai pejabat negara sedang bermain-main dengan isu SARA yang bertujuan untuk kepentingannya sendiri
dan sekaligus memecahkan keindonesiaan yang sudah dibangunnya sendiri dengan
gubernur Jokowi. Ini adalah bentuk kampanye hitam karena mencantumkan kata
gubernur untuk Jokowi padahal sekarang ini yang menjadi gubernur adalah Ahok.
Sebagai seorang penjaga Indonesia dari upaya oknom yang sengaja menggunakan
SARA untuk memecahkan bangsa, saya mohon Bawaslu menindak dan menurunkan
spanduk-spanduk tersebut.
Bulan madu PDIP- Gerinda seolah-olah sudah berakhir.
Pencalonan Jokowi , gubernur Jakarta sebagai calon presiden RI periode 2014-2019 yang diusung oleh PDIP,
Nasdem, Hanura, PKB ternyata harus memisahkan Jokowi dari pasangan wakil
gubernurnya, Ahok yang didukung oleh Gerinda. Pencalonan Jokowi sebagai calon presiden
yang berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden harus
berhadapan dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan Hatta Rajasa
sebagai calon wakil presiden diusung oleh partai Gerinda dengan mendapat
dukungan dari Partai Golkar, PPP, PAN, PKS, PBB. Untuk melakukan masa kampanye,
Jokowi harus melakukan cuti dan telah mendapat surat pemberhentian sementara
seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Jadi Indonesia sedang dalam sorotan dunia saat ini. Pemilu presiden dan wakil presiden untuk
periode 2014-2019 akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014. Sejak tanggal 4
Juni sampai dengan tanggal 5 Juli 2014, kedua kubu calon presiden dan wakil presiden
sedang melakukan kampanye untuk menjelaskan kepada warga masyarakat tentang
visi dan misi dari masing-masing untuk bisa didukung oleh warga masyarakat di
seluruh Indonesia. Jalannya kampanye
seru. Masing-masing kubu harus bertemu dengan konstituennya di seluruh
Indonesia. Selama masa kampanye Komite Pemilihan Umum menetapkan 5 kali
penyelenggaraan debat presiden.
Tetapi kampanye dengan menggunakan isu SARA menunjukkan
warga Indonesia belum matang dalam berdemokrasi. Ahok sebagai pejabat Gubernur Jakarta pantas mendapat
teguran dari Bawaslu karena dalam UU Pemilu sebagai pejabat negara dilarang
melakukan kampanye. Ahok ketika memberikan pernyataan di Tempo bukan dalam
kapasitas sebagai seorang anggota Gerinda, tetapi adalah pejabat untuk melayani
seluruh masyarakat Jakarta. Penyataan
itu bersifat kampanye terselubung yang harus mendapat teguran dari
Bawaslu. Kalau Ahok mau berkampanye
harus mundur dari pejabat gubernur sebagaimana diatur dalam UU Pemilu yang
telah dilakukan oleh Jokowi. Karena itu sangat penting rakyat Indonesia
mengerti tentang politik yang bertujuan untuk melayani bangsa dan negara bukan
untuk memecah belahkan rakyat.
Sekalipun elektibalitas Jokowi menurun seperti dikatakan
oleh Ahok, tetapi menurut
saya, Indonesia bukan hanya Jakarta.
Indonesia ada pada 32 propinsi lainnya yang hak perhitungan suaranya
sama karena tidak menggunakan sistem elektoral seperti di Amerika Serikat. Jadi
seharusnya Jakarta melepaskan Jokowi untuk Indonesia.
Indonesia membutuhkan
Jokowi untuk membangun bangsa dan negara
ke jalan yang benar bukan sekedar demi kekuasaan dan kerakusan para politikus.
Pencalonan Jokowi adalah kehendak rakyat bukan sekedar pilihan Megawati
Soekarnoputri. Jakarta tidak bisa menahan Indonesia untuk mendapatkan puteranya
yang terbaik memimpinnya. Bukankah
Gerinda kecewa karena PDI-P tidak mendukung Prabowo Subianto menjadi capres?
Jadi sekarang jelas, politik SARA dimain-mainkan untuk memenangkan Prabowo
Subianto yang baru saja mengomentari tentang orang-orang Indonesia Timur cocok
jadi tentara? Tentang ini saya akan bahas pada tulisan terpisah, tetapi kedua
pemimpin ini, baik Ahok dan Prabowo Subianto bermain-main dengan SARA untuk
memecahkan bangsa pantas dipertanyakan sekarang. Apakah mereka pantas menjadi pelayanan publik bagi
masyarakat di Jakarta dan di Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar