Translate

Rabu, 18 Juni 2014

Jakarta berikanlah Jokowi kepada Indonesia! Mengkritisi Ahok: Logika SARA Menyesatkan!


Jakarta berikanlah Jokowi kepada Indonesia!

Mengkritisi Ahok: Logika SARA Menyesatkan!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Masih segar dalam diri saya merasakan getaran pemilukada (pemilihan kepala daerah) di Jakarta tanggal 20 September 2012. Saya pernah menulis untuk "Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua", pemilukada tersebut seolah menghadirkan kesejukan demokrasi yang sudah lama mati. Pemilukada Jakarta membawa kembali harapan kepada demokrasi di Indonesia. Ketika itu, ekskalasi isu SARA menjulang tinggi.  SARA kepanjangan dari Suku, Agama, Ras dan antar golong. Jokowi seorang muslim menggandeng seorang nasrani. Masyarakat tidak dikacaukan hatinya, tidak dibuatkan bimbang karena PDIP bergandengan dengan Gerinda, melawan Fauzi Bowo dan Nara yang didukung oleh partai Demokrat dan partai-partai lainnya yang oleh tokoh partai Demokrat dikatakan didukung semua partai (Republika, 21 Juli 2012). Ketika itu, SARA menjadi bom waktu untuk menghancurkan cagub dan cawagub yang diusung oleh hanya partai PDIP dan Gerinda. Sekalipun isu SARA gencar menghantam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, malahan Jokowi yang menggandeng Ahok seorang Kristen ternyatalah yang dipilih oleh warga Jakarta.

 

Dihantam badai SARA menyebabkan Jokowi sebagai Kepala Daerah terpilih, gubernur sah meneruskan pendidikan politik untuk mendidik warga Jakarta sebagai masyarakat Pancasila yang menjadi cita-cita bersama di Indonesia. Ketika Lurah Susan Jasmine Zulkifli terpilih menjadi kepala daerah di desa Lenteng Agung, beliau ditolak masyarakat karena alasannya seorang Kristiani. Dialog yang digagaskan Jokowi dengan masyarakat telah mengubah persepsi mereka sehingga akhirnya menerima ibu Susan sebagai Lurah di Lenteng Agung.

Tadi malam kami mendiskusikannya di  timeline saya di Facebook. Saya senang mengangkat kemajuan pluralisme yang sedang mengubah Jakarta tetapi kemudian juga sekarang sedang dihancurkan oleh politik minoritas yang menggunakan isu SARA  baik oleh Ahok,sebagai pejabat sementara Gubernur Jakarta maupun Prabowo Subianto, yang menjadi calon presiden.  Pemberitaan Tempo mengagetkan saya yang sedang jauh dari tanah air. Tempo tgl 17 Juni 2014 menuliskan artkel dengan judul "Elektabilitas Jokowi Turun di DKI, Ini Kata Ahok", dipublikasikan bertepatan dengan tersebarnya spanduk-spanduk yang menulis: “Jokowi tetap Gubernur, Pilih Nomor 1” seperti diberitakan oleh Detikcom dan media elektronik lainnya.

Saya katakan kepada masyarakat dunia maya, bahwa politik minoritas yang dimainkan oleh Ahok menunjukkan kemunduran Jakarta, karena pencapaiannya sudah lebih maju dengan kasus Lurah Susan. Ahok sendiri terlibat dalam kebijakan gubernur Jokowi untuk penempatan pejabat sebagai pelayan publik tidak berdasarkan agama, ras, tetapi kapasitasnya (right person in the right place).  Ahok menggunakan keminoritasnya untuk mendukung kepentingan partainya, Gerinda, yang mencalonkan Prabowo Subianto menjadi presiden RI.  Jadi sebenarnya Ahok sedang menghancurkan cita-cita Pancasila karena lebih melayani kepentingan partainya daripada keIndonesiaan yang katanya diperjuangkan oleh partainya sendiri.

Spanduk-spanduk ini yang diserbarkan dengan sekaligus didukung oleh "masyarakat" Jakarta adalah bentuk dari kampanye hitam. Mengapa spanduk-spanduk ini baru muncul sekarang sesudah Debat Presiden kedua tanggal 15 Juni 2014? Mengapa ia tidak muncul ketika pejabat dari Kementerian Dalam Negeri bertemu Jokowi di rumah dinas gubernur untuk menyerahkan Keppres yang ditandatangani oleh Presiden SBY tentang pemberhentian sementara Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta sampai pengumuman resmi dikeluarkan oleh Komite Pemilihan Umum tentang pejabat Presiden dan Wakil Presiden. Keppress yang ditandatangani tanggal 31 Mei disampaikan langsung kepada Jokowi tanggal 1 Juni 2014.

Dengan melihat kronologis pemberhentian sementara Jokowi sebagai gubernur Jakarta, sangat jelas kepada saya, bahwa pejabat gubernur Jakarta, Ahok sebagai pejabat negara sedang bermain-main dengan isu SARA  yang bertujuan untuk kepentingannya sendiri dan sekaligus memecahkan keindonesiaan yang sudah dibangunnya sendiri dengan gubernur Jokowi. Ini adalah bentuk kampanye hitam karena mencantumkan kata gubernur untuk Jokowi padahal sekarang ini yang menjadi gubernur adalah Ahok. Sebagai seorang penjaga Indonesia dari upaya oknom yang sengaja menggunakan SARA untuk memecahkan bangsa, saya mohon Bawaslu menindak dan menurunkan spanduk-spanduk tersebut.

Bulan madu PDIP- Gerinda seolah-olah sudah berakhir. Pencalonan Jokowi , gubernur Jakarta sebagai calon presiden  RI periode 2014-2019 yang diusung oleh PDIP, Nasdem, Hanura, PKB ternyata harus memisahkan Jokowi dari pasangan wakil gubernurnya, Ahok yang didukung oleh Gerinda. Pencalonan Jokowi sebagai calon presiden yang berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden harus berhadapan dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden diusung oleh partai Gerinda dengan mendapat dukungan dari Partai Golkar, PPP, PAN, PKS, PBB. Untuk melakukan masa kampanye, Jokowi harus melakukan cuti dan telah mendapat surat pemberhentian sementara seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Jadi Indonesia sedang dalam sorotan dunia saat ini.  Pemilu presiden dan wakil presiden untuk periode 2014-2019 akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014. Sejak tanggal 4 Juni sampai dengan tanggal 5 Juli 2014, kedua kubu calon presiden dan wakil presiden sedang melakukan kampanye untuk menjelaskan kepada warga masyarakat tentang visi dan misi dari masing-masing untuk bisa didukung oleh warga masyarakat di seluruh Indonesia.  Jalannya kampanye seru. Masing-masing kubu harus bertemu dengan konstituennya di seluruh Indonesia. Selama masa kampanye Komite Pemilihan Umum menetapkan 5 kali penyelenggaraan debat presiden.  

Tetapi kampanye dengan menggunakan isu SARA menunjukkan warga Indonesia belum matang dalam berdemokrasi.  Ahok sebagai pejabat Gubernur Jakarta pantas mendapat teguran dari Bawaslu karena dalam UU Pemilu sebagai pejabat negara dilarang melakukan kampanye. Ahok ketika memberikan pernyataan di Tempo bukan dalam kapasitas sebagai seorang anggota Gerinda, tetapi adalah pejabat untuk melayani seluruh masyarakat Jakarta.  Penyataan itu bersifat kampanye terselubung yang harus mendapat teguran dari Bawaslu.  Kalau Ahok mau berkampanye harus mundur dari pejabat gubernur sebagaimana diatur dalam UU Pemilu yang telah dilakukan oleh Jokowi. Karena itu sangat penting rakyat Indonesia mengerti tentang politik yang bertujuan untuk melayani bangsa dan negara bukan untuk memecah belahkan rakyat.

Sekalipun elektibalitas Jokowi menurun seperti dikatakan oleh Ahok,  tetapi menurut saya, Indonesia bukan hanya Jakarta.  Indonesia ada pada 32 propinsi lainnya yang hak perhitungan suaranya sama karena tidak menggunakan sistem elektoral seperti di Amerika Serikat. Jadi seharusnya Jakarta melepaskan Jokowi untuk Indonesia.

 Indonesia membutuhkan Jokowi  untuk membangun bangsa dan negara ke jalan yang benar bukan sekedar demi kekuasaan dan kerakusan para politikus. Pencalonan Jokowi adalah kehendak rakyat bukan sekedar pilihan Megawati Soekarnoputri. Jakarta tidak bisa menahan Indonesia untuk mendapatkan puteranya yang terbaik memimpinnya.  Bukankah Gerinda kecewa karena PDI-P tidak mendukung Prabowo Subianto menjadi capres? Jadi sekarang jelas, politik SARA dimain-mainkan untuk memenangkan Prabowo Subianto yang baru saja mengomentari tentang orang-orang Indonesia Timur cocok jadi tentara? Tentang ini saya akan bahas pada tulisan terpisah, tetapi kedua pemimpin ini, baik Ahok dan Prabowo Subianto bermain-main dengan SARA untuk memecahkan bangsa pantas dipertanyakan sekarang. Apakah mereka pantas menjadi pelayanan publik bagi masyarakat di Jakarta dan di Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar