Translate

Minggu, 11 Januari 2015

Teror Paris, pertarungan antara teroris berakhir tragis!



Teror Paris, pertarungan antara teroris berakhir tragis!
Pembelajaran penting untuk dunia.

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Kebebasan intelektual dan ekpresi bagian dari kreatifitas yang perlu dilindungi. Penganut pandangan demokrasi liberal berjuang untuk melindungi kebebasan berpendapat dalam  mengekspresikan dirinya. Kebebasan berpendapat adalah tanda demokrasi yang  membolehkan  opini pribadi dan kelompok bisa dibahas dalam ruang publik. Ketika pendapatnya harus dibela,  dilakukan secara terbuka melalui diskusi mendalam.  Kadang-kadang pembelaan disampaikan  sambil mengejek, menertawakan dan menghina. Praktek penyampaian pendapat ekstrim seperti ini bisa menyebabkan konflik dalam ruang publik. Terutama ketika tindakan-tindakan ekspresi terjadi sebagai representasi kenyataan sosial yang tidak berimbang. Pendapat yang vulgar mungkin didukung oleh budaya dominan yang perlu dibela dengan menggunakan  materi pembelaan yang meminggirkan, memojokkan komunitas lain. Ketika perlawanan dengan wacana tidak bisa dibangun, maka tindakan pembelaan dengan kekerasan menjadi alasan untuk membela kebanggaan diri yang dihina.

Saat ini dunia sedang terbagi karena, dunia dimana spirit kebebasa (liberte),  kesetaraan (egalite) dan persaudaraan (fraternite) yang ada dalam lagu nasional Perancis,  "La Marseillaise” sebagai motto demokrasi  seolah-olah sedang diombrak ambrik. Perancis sesudah teroris membunuh 12  jurnalis dan kartunis dari majalah Charlie Hebdo karena alasan menghina nabi Islam, Muhammad SAW,  apakah akan berubah?  Kekerasan dipicu karena majalah satire Charlie Hebdo menggunakan perlindungan kebebasan berekspresi dalam bentuk kartunis untuk menjadikan nabi Muhammad SA W sebagai bahan satire.    Para pembunuh yang adalah warganegara Perancis disebut sebagai teroris apalagi sesudah ada pengakuan dari jaringan Al-Qaeda yang mengaku berada di balik serangan pembunuhan para jurnalis dan kartunis ternama dari Charlie Hebdo. Menurut saya, istilah teroris, bukan saja ditujukan kepada para pembunuh, tetapi juga mereka yang dibunuh yang menggunakan kebebasan berpendapat dengan profesionalitas pengekspresian seni untuk membunuh karakter mereka yang berbeda secara agama dengannya. 

Relasi warganegara dalam kehidupan sosial di Paris menjadi satu tantangan, sebagai hubungan antara mayoritas dan minoritas. Sesudah tragedi pembunuhan para jurnalis, dunia menyaksikan persoalan mendasar dalam relasi sesama warganegara. Islam berkembang di Perancis sebagai bagian dari keragaman di Perancis, dengan jumlah  penganutnya kira-kira 4% dari total penduduk yang menganggap dirinya pemeluk Katolik (51%), 30% agnostik, 3% Protestan, dan 1% masing-masing untuk penganut agama Yahudi dan Budha.  Beragama di Perancis  harus menyesuaikan kepada ideologi  laïcité yang ditetapkan dalam UU tahun 1905 terkait dengan pemisahan antara gereja dan negara.  Intinya, kebijakan umum yang terlihat dalam ruang publik, didukung oleh  negara harus disterilkan dari pengaruh agama. Agama merupakan ruang pribadi yang hanya bisa berdampak secara privat di balik tembok-tembok institusi keagamaan dan keumatan.  

Umat Islam di Perancis adalah mereka yang berasal dari bekas negara jajahannya, yaitu dari Afrika Utara, seperti Aljazair, Moroko dan sebagian kecil dari Turki. Pengaruh Aljazair ke dalam kehidupan Perancis  sebenarnya sangat besar membentuk pola kebiasaan yang baru dalam cara pengolahan makanan yang lebih cerah karena sayuran berwarna menghiasi ekspresi kuliner Perancis. Pengaruhnya juga terlihat dalam penggunaan  seni geometris dengan sentuhan arsitektur yang indah dan megah. Keharusan warganegara untuk berbahasa Perancis dan menyesuaikan dengan cara hidup budaya Perancis, menyebabkan para imigran yang masuk ke Perancis membawa budaya mereka untuk secara bersama membangun kebudayaan Perancis yang lebih menekankan kepada ekspresi detial untuk menyingkapkan kemurnian  keindahan.  

Tetapi dalam mengekspresikan karyanya, seorang warganegara melepaskan pengaruh agama dari dirinya sehingga yang terlihat hanya semata-mata seorang manusia dengan rasionalitas yang membuatnya mandiri dalam berpikir dan berekspresi.  Tradisi filosofis yang panjang dimulai dari Descartes, telah menghasilkan pandangan tentang pemisahan kekuasaan antara agama dan negara (Montesquieu), dimana kekuasaan ada dalam tangan rakyat (Jean-Jacques Rousseau).  Manusia pada dirinya sendiri adalah sumber kekuatan untuk saling menegosiasikan relasi kekuasaan demi kehidupan bersama tanpa dikendalikan oleh pengaruh keagamaan yang menyusup dalam status keningratan seseorang. Basis moralitas hidup bersama tersedia dalam kehendak bebas manusia itu sendiri.  Filsuf Voltaire menggali pandangan tentang kemandirian manusia dalam memenuhi  hak-hak masyarakat sipil terkait dengan perlakuan yang setara di hadapan hukum dan kebebasan beragama.  

Sebagai negara dengan penganut agama Katolik yang mayoritas, Perancis tampil beda dalam mengoperasikan peran agama-agama di dalam negara. Hirarkis agama Katolik yang dikontrol langsung dari Vatikan merupakan wilayah kekuasaan yang hanya berpengaruh di sekitar kebijakan dan budaya gereja. Diskusi tentang penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam ruang publik, seperti sekolah, makin seru di Perancis karena sejak tahun 2004 sesudah upaya penggunaan jilbab oleh murid-murid muslim ditolak kemudian diikuti dengan penetapan hukum tahun 2010 tentang pelarangan penggunaan  “jilbab”, kalung salib dan turban  dalam kegiatan bersama di ruang publik yang didukung oleh negara.   Sekalipun dalam Deklarasi Hak-hak manusia dan warganegara, yang ditetapkan tahun 1789 mencantumkan kebebasan beragama, tetapi negara bebas dari intervensi agama dalam pembuatan kebijakan umum.  Jadi produk kartun satire yang menghadirkan simbol agama, oleh para seniman jurnalis lebih dianggap sebagai komoditas budaya yang berangkat dari  kebebasan berpikir.

Peniadaan UU penodai agama di Perancis terjadi pada tahun 1791,  tetapi pada tanggal 29 Juli 1881 ditetapkan peraturan kebebasan press yang menjaminkan kebebasan berpendapat dan mengekpresikan diri. Pasal 24, 32, 33 dari peraturan kebebasan press mengatur tentang pelarangan pemberitaan publik yang merendahkan, membenci, menyakiti dan menghina perorangan atau kelompok dari dirinya sendiri atau berbeda. Seorang penulis komik Perancis bernama M'bala M'bala dikenakan hukuman karena melanggar peraturan tsb. Ia dituduh menghina agama Yahudi. Sekalipun kecenderungan menggunakan simbol-simbol agama menjadi  komoditi dari para seniman jurnalis untuk diperjualkan karena menjadi sumber inspirasi untuk berpikir dengan cara menertawakannya masih terus dilakukan terutama oleh para kartunis Charlie Hebdo yang ternyata bebas dari cengkraman peraturan kebebasan press tsb. 

Konteks dan sejarah majalah satire Charlie Hebdo yang menghasilkan kartun nabi Muhammad SAW  terbit beberapa kali dan telah mendapat kecaman umat muslim dari seluruh dunia. Masyarakat Perancis juga merasa kebijakan pemerintahnya mengandung "standar ganda". Ternyata sangsi sosial tanpa sangsi hukum mendorong  lahirnya tindakan kekerasan dari kelompok Islam di Perancis yang sudah lama merasa agamanya dihina sehingga menghimpun kekuatan untuk menyerang bangunan Majalah Charlie Hebdo dan membunuh para jurnalis, kartunis terkenal yang sedang berapat.   Kemudian ada pengakuan dari Jaringan Al Qaeda tentang dukungan mereka dibalik serangan tragedi pembunuhan yang menewaskan 12 orang.  Oleh masyarakat dunia serangan ini dikenal sebagai serangan teroris. Melihat kronologis dari upaya para jurnalis kartunis untuk mempublikasikan karya-karya mereka yang menghina simbol agama lain, maka mereka inipun pantas disebut teroris.
Kebebasan berekspresi telah merampok simbol kesucian agama untuk dilemparkan sekedar menjadi komoditas yang bisa dipertontonkan secara publik. Mereka tidak dijerat oleh aturan tahun 2010 yang ditetapkan di Perancis tentang peniadaan penggunaan simbol agama dalam ruang publik. Kartunis sebagai karya berpikir dianggap berjarak dari identitas agama yang berpengaruh secara politik.   

Padahal menurut saya, simbol agama digunakan sebagai produk seni seperti dalam kartun tetap mengindikasikan  adanya identitas politik non agama yang mensandera tanda agama sehingga memicu reaksi pembelaan dari mereka yang identitas agamanya dihancurkan.  Apabila peraturan kebebasan press yang terkait dengan pelarangan penyampaian berita anti kebencian tidak bisa ditegakkan, setidak produk hukum tahun 2010 seharusnya pantas juga menindak para jurnalis dan kartunis yang  secara berurutan dari dalam beberapa tahun menghasilkan kartunis yang menghina umat muslim di Perancis. Ketika hukum tidak diterapkan dengan adil, sesama warganegara Perancis dari  kelompok yang tidak berdaya yang sedang dirugikan akhirnya akan mengacaukan tatanan ruang publik itu sendiri dengan menjadi hakim sendiri.  Benar dikatakan dalam Kitab Suci “gigi dibayar dengan gigi”. Tindakan terorisme secara intelektual akhirnya bernasib nas di hadapan para teroris agamanis menjadi sumber ajaran dunia untuk menegakkan keadilan kepada semua warganegaranya secara adil dan benar.

1 komentar: