Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014 berada pada posisi pertama dalam pencarian Googling
Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014.
Suatu Refleksi Penggenapan!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
“Biarkan lukisan berbicara dan menyentuh hati orang. Kalau mau menulis pisahkan tulisan dari lukisan”, Kata suami saya. Saya ketika itu melukis tanggal 31 Desember 2013 dan memberikan judul Justice for Papua untuk lukisan yang sangat disukai suami sebelum diberikan judul. Hatinya gundah ketika melihat lukisan saya. Semula suami berpikir saya melukis bunga dalam vas. Lama diamati, dia baru sadar lukisan itu adalah turso manusia yang sedang berteriak.
Saya melukis sebagai cara menyuarakan teriakan orang asli
Papua. Justice for Papua sebagai lukisan akhirnya saya publikasikan di blog tanpa
mendengar komentar suami saya. Lukisan itu, dari dekat terlihat sebagai kepala
orang Papua tetapi dari jauh seperti serangkaian bunga dalam vas. Orang Papua
sedang dirantai dengan besi hitam yang terlihat seperti vas bunga. Memang orang
Papua indah, diluar dan dalam. Ketulusan mereka bisa berubah menjadi ganas
ketika tahu sedang diperalat oleh seseorang. Ini ciri manusia di mana saja!
Jadi nasihat suami saya pertimbangkan. Tanggal 1 Januari
2014 hati saya sangat gelisah. Kami sedang menonton Rose Bowl yang American
football yang dimainkan oleh universitas atau college di seluruh Amerika
Serikat. Kemudian saya mulai lihat dalam benak sendiri orang yang berada dalam penjara.
Banyak sekali manusia berada pada satu bilik yang kecil. Mereka berdesak-desakan. Diantara mereka ada yang berteriak-teriak.
Mereka berteriak sampai tertidur. Sipir
tidak datang menenagkan mereka. Saya gelisah dengan gambaran penjara dalam
benak. Sedang menonton, saya menutup mata membaringkan kepada di pundak
suami. Saya tertidur tetapi tubuh saya
terasa sakit tidur dalam posisi sambil menggunakan body brace. Jadi saya mohon permisi dari keluarga untuk
ke studio saya di mana saya mulai melukis gambaran yang ada dalam benak dan
perasaan saya.
Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014 adalah judul
yang saya berikan terpisah dari gambar itu sendiri. Saya putuskan untuk
mempublikasikannya tanpa menulis apa-apa pada lembaran lukisan tersebut. Saya
juga menunda penjelasan lukisan yang sudah saya persiapkan setelah
menyelesaikan tulisan tersebut. Sekalipun saya sangat ingin segera mempublikasikan
tulisan ini bersamaan dengan lukisan tersebut.
Apakah keadaan penjara di mana orang-orang Papua di tahan
seperti yang saya lihat dalam gambaran benak? Saya mempersiapkan kertas dan
perlengkapan lainnya untuk melukis.
Warna yang sudah ada tidak cocok dengan warna dalam perasaan saya.
Kemudian saya mengambil warna dasar kuning dan mencampurnya dengan warna
hitam. Warna kuning juga saya campurkan
dengan warna merah, kuning dengan hijau, kuning dengan coklat. Kuning menjadi
warna dasar karena saya merasa orang Papua adalah wahyu yang diberikan Tuhan
kepada Indonesia untuk merefleksikan dirinya sendiri. Sebagai negara yang
beriman, beragama, Indonesia bisa mencerminkan keimanannya kepada Tuhan dari
caranya memperlakukan orang asli Papua. Mengapa orang Papua harus dipenjarakan karena
tuduhan mereka makar?
Menurut Papuan Behind Bars, pada bulan November 2013, ada
537 kasus penangkapan rakyat bisa yang kemudian 71 orang dinyatakan sebagai
tahanan politik (tapol).
Identifikasi terhadap penahanan mereka dihubungkan dengan
tuduhan makar, yaitu upaya warga masyarakat untuk menunjukkan sikap politik
pemisahan dari NKRI. Tanda makar yang
selalu dipakai sebagai alasan penuduhan adalah upaya pengorganisasian
masyarakat untuk berkumpul sehingga bisa menaikkan bendera Bintang Kejora. Tragedi Biak Berdarah yang melibatkan militer
menembak dari atas kapal ke arah pelabuhan Biak di mana masyarakat sedang
berkumpul menyebabkan puluhan orang meninggal. Sedangkan mereka yang selamat
diangkut ke dalam kapal dan ditenggelamkan di dalam laut.
Link
and
Tragedi Biak berdarah terjadi pada tanggal 6 Juli 1998.
Orang asli Papua menolak lupa tragedi Biak berdarah. Peristiwa Biak berdarah
ini dimulai dari protes yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam protes itu mereka
menaikan bendera yang kemudian menyebabkan pembantaian kepadanya.
Pengakuan pemerintah Indonesia terhadap ketidakadilan yang
dialami oleh orang asli Papua telah mendorong dihasilkannya UU No.21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua (Adeney-Risakotta, 2013). Dalam UU ini pemerintah
Indonesia menetapkan peraturan di tingkat nasional yang terkait dengan upaya
untuk menyelesaikan masalah Papua.
Bentuk penyelesaikan diletakkan dalam perspektif Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang memungkinkan dan mengizinkan negara bersama warganegara
Indonesia, yaitu orang asli Papua terlibat dalam dialog untuk mendudukkan
sejarah intergrasi Papua. Untuk itu, Komisi Kebenaran dan Perdamaian ditetapkan
dalam UU Otonomi Khusus supaya bisa mengatur proses klarifikasi sejarah
tersebut.
Orang Papua juga diberikan kesempatan untuk menaikan bendera
Bintang Kejora bersama-sama dengan bendera Merah Putih. Bintang Kejora diterima
sebagai identitas orang Papua bukan sebagai tanda kedaulatan Papua yang
terpisah dengan NKRI karena secara hukum Papua adalah bagian dari NKRI.
Mengeruhnya konflik Papua diperburuk oleh rendahnya komitmen
Pemerintah Indonesia untuk memenuhi perundangan yang sudah ditetap. Pemerintah
SBY mungkin menganggap bahwa UU No.21 Tahun 2001 adalah produk dari
pemerintahan Presiden Megawati yang menandatanganinya sehingga mengabaikan
kepastian hukum yang ada pada perundangan tersebut. Orang asli Papua dilindungi
oleh UU No.21 Tahun 2001 karena Negara Republik Indonesia mengakui haknya untuk
melestarikan dan menghadirkan identitas suku Papua dalam kehidupan politik
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia bahkan diwajibkan
untuk memfasilitasi upaya klarifikasi sejarah Papua.
Argumentasi lain yang sering muncul dalam berbagai ulasan
media ketika ditanyakan mengapa pemerintah tidak mau melakukan dialog adalah
untuk menghindari orang asli Papua meminta kemerdekaan. Sambil menyinggung
upaya LSM asing yang bekerja sedang mengkampanyekan ketidakadilan di tanah
Papua, pemerintah cenderung memang persoalan Papua yang dicoba dimunculkan di
tingkat nasional terkait dengan strategi negara-negara tertentu yang mempunyai
kepentingan ekonomi untuk mengeksploitasi Papua.
Maka pertanyaan lain muncul adalah apakah selama masa
integrasi Papua ke dalam NKRI termasuk ketika UU No 21 Tahun 2001 yang
memberikan pengalihan pengaturan daerah langsung dilakukan oleh daerah telah
berhasil mensejahterahkan rakyat Papua?
Studi yang dilakukan oleh Centre For Public Policy and Management
Studies dari Universitas Katolik Parahyangan tiba pada kesimpulan bahwa
perundangan Otonomi Khusus yang menyebabkan adanya alokasi dana tambahan kepada
Papua, tidak sedikitpun mengubah kinerja otonomi daerah Papua yang ternyata
berada diurutkan paling terakhir dari seluruh propinsi di Indonesia. Akibatnya,
maksud pembangunan yang harusnya bisa dirasakan oleh orang asli Papua hanya
merupakan kue yang bisa dirasakan oleh para elit Papua dan pejabat pemerintah
di Jakarta.
Saya merenungkan semua ini ketika saya sedang menggambar
Papua dan Penjara. Ternyata penjara untuk menjebloskan orang asli Papua sangat
banyak di seluruh Papua. Tanahnya yang subur adalah milik orang Papua sekarang
seperti penjara, yang dikapling-kapling menurut sel masing-masing. Istilah “penjara” tidak secara literer
seolah-olah terkait penjara di mana
orang-orang ditahan karena dianggap melakukan pelanggaran oleh negara. Orang asli Papua tidak menghendaki grasi dari
Presiden, yang dikendali adalah kejujuran pemerintah Indonesia untuk memenuhi
tuntutan aturan hukum yang dihasilkan oleh pemerintah itu sendiri.
Paling diherankan sesudah tragedi Biak Berdarah, kemudian
berbagai tragedi lainnya bermunculan, seperti Abepura berdarah tanggal 7
Desember 2000, Wasior berdarah tanggal 13 Juni 2001, Wamena berdarah tanggal 6 Oktober
2000 dan 4 April 2003, diikuti dengan pembunuhan Theys Hiyo Eluway serta
penghilangan sopir pribadinya, Aristoteles Masoka pada tanggal 10 November
2001. Pada tanggal 16 April 2006, terjadi lagi tragedi pelanggaran HAM.
Data-data tragedi ini dicatat baik oleh Komisi Nasional HAM yang berhasil
menghimpunnya kemudian menyerahkan kepada pengadilan tetapi sampai saat ini
tidak ditindaklanjutkan oleh pemerintah. Menurut catatan dari KONTRAS,
satu-satunya pelanggaran yang disidangkan adalah tragedi Abepura tanggal 7
April 2000 yang sudah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar. Kasus-kasus
tragedi ini melibatkan aparat keamanan (TNI – Polri).
Seperti dalam lukisan Papua dan Penjara, kebenaran secara
alamiah sedang mengikuti orang Papua. Daun-daun yang adalah napas kehidupan
ilahi bertumbuh ke arah orang asli Papu. Keadilan seperti daun yang tidak
pernah mati karena bertumbuh pada pohon yang berakar mendalam. Daun-daun
menerobos trali besi untuk menyentuh memberikan dorong kepada orang Papua. Orang asli Papua dalam lukisan Papua dan
Penjara menjadi satu untuk meminta keadilan dari pemerintah. Kehidupan dan keadilan
adalah bagian dari iman yang tidak akan bisa diambil oleh siapapun termasuk
pemerintah RI. Maka bersatulah orang asli Papua dan sesama warganegara NKRI
untuk mendesak pemerintah RI memenuhi tuntutan hukum yang ada pada perundangan
negara RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar