A student at the private Ob Anggen school, Bokondini, Tolikara by Bobby Anderson
published in
Inside Indonesia 113: Jul-Sep 2013 on the title
Under Papua’s 2001 Special Autonomy Law, the majority of Papua’s natural
resource wealth is returned to the province. The law was meant to address both
the sources of political unrest in Papua, and the challenges ordinary Papuans
experience on a daily basis. For example, it was meant to increase Papuan
access to government jobs and economic opportunities, as well as to health and
education services. A dozen years and billions of dollars later, most Papuans
still live in misery: they have the highest malnutrition, tuberculosis and HIV
rates in Indonesia; they are the poorest; and they have the lowest rate of life
expectancy.
Special autonomy has failed. But the greatest failure has little to do with
the aspects of special autonomy that were implemented by Jakarta. Rather, it is
the parts of special autonomy that were handed over to provincial and district
officials: health and education services.
The autonomy cash cow
Many local officials and elites no longer see special autonomy as a means
of development. For them, it is a way to access greater national subsidies,
which they can take for themselves or spread through their patronage networks.
For the elite, affirmative action is no longer a means to redress the
under-representation of Papuans in official positions; instead, it is another
way of milking the system. ‘No-show’ jobs have proliferated. Papua now has more
than double the number of civil servants that it actually requires. This is an
obvious benefit for those who get the jobs, but it has little value for those
still locked out.
The failings of special autonomy are enhanced by the uncontrolled creation
of new districts, sub-districts and villages under the process known as ‘pemekaran’
(proliferation).. In theory, pemekaran intends to make smaller government
entities more accountable. In reality, it simply allows local elites to access
funds while pushing ordinary Papuans further away from the services that could
improve their lives. Special autonomy has created a dividing line between
Papuan elites who benefit directly from it, and the majority of Papuans, who
receive a pittance.
In previous articles (Living without a
state; The middle of
nowhere; Land of ghosts),
I have explored particular regions in Papua’s highlands and lowlands. I have
tried to bring to light the struggles and concerns of the people who live there
– struggles which are divorced from the political discourses that many
outsiders mistakenly believe are paramount in the lives of most Papuans. Now I
aim to explain how Papuan governments are dealing with their people’s most
pressing concerns in the era of special autonomy. In this article, I will
discuss how and why the educational system has collapsed in the highlands. I will
look at similar failings in healthcare in a later article.
The death of a system
In Papua’s highlands, the interplay of misused special autonomy funding;
pemekaran; flawed human resource management; and local understandings of the
nature of education, have combined to break the educational system. Almost
nobody acknowledges these problems. Instead, a pantomime occurs where many
government officials blame the poor education system, lack of
infrastructure, or even highland children themselves. Because of this
misunderstanding of the problem, the solutions offered are flawed.
Papua’s 2010/11 provincial development plan for basic and secondary
education(RPDP) indicates that school enrolment for children aged between seven
and 12 throughout the province is 73 per cent. In other words, at least 100,000
out of the 400,000 children in the province are not in school. Junior secondary
enrolment is 55 per cent and senior secondary just 37 per cent.
A grimmer and more realistic picture of Papua’s failing educational system
in remote areas can be found in Yahukimo, a pemekaran district in the highlands
(profiled in my earlier articles, ‘Living without a
state’ and ‘The middle of
nowhere’). District Department of Education figures indicate that
only 18 per cent of children complete primary school there. Worse still,
completing primary school is no guarantor of literacy. The majority of highland
high school graduates are barely literate.
to be continued:
to be continued:
Terjemahan:
Kegagalan Pendidikan di dataran tinggi", dipublikasi di Inside Indonesia 113: Jul-Sep 2013 dengan judul The failure of education in Papua’s highlands
Seorang pelajar di sekolah Ob Anggen, Bokodini, Tolikara, oleh Bobby Anderson
Di bawah UU Otsus Papua 2001, sebagian besar kekayaan sumber daya alam Papua dikembalikan ke provinsi. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatasi baik kerusuhan politik di Papua dan tantangan pengalaman sehari-hari yang dihadapi masyarakat di sana. Setidaknya, kebijakan UU Otsus Papua dimaksudkan untuk meningkatkan akses Papua dalam keikutsertaan mengelola pemerintahan, mengakses peluang ekonomi, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Belasan tahun eksplorasi sumber daya alam menghasilkan miliaran dolar tetapi sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kesengsaraan. Mereka mengalami kekurangan gizi, tuberkulosis dan tingkat HIV tertinggi i Indonesia selain mereka juga yang termiskin dengan tingkat terendah dalam harapan hidup. Otonomi khusus telah gagal. Tetapi kegagalan terbesar tidak ada hubungan dengan aspek otonomi khusus yang dilaksanakan oleh Jakarta, sebaliknya adalah bagian dari otonomi khusus yang diserahkan kepada pejabat provinsi dan kabupaten. Sorotan kegagalan tersebut bisa terlihat pada pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Otonomi Sapi Perah
Banyak pejabat lokal dan elit tidak lagi melihat otonomi khusus sebagai sarana pembangunan. Bagi mereka, otonomi khusus adalah cara untuk mengakses subsidi nasional yang lebih besar, yang bisa diambil untuk diri sendiri atau menyebar keseantero jaringan patron klien yang ada. Untuk elit, tindakan afirmatif tidak lagi menjadi sarana untuk memperbaiki keterwakilan orang Papua dalam posisi resmi, melainkan merupakan cara lain untuk memerah sistem. Pekerjaan 'No -show ' (tidak hadir di tempat kerja) telah menjamur. Papua sekarang memiliki lebih dari dua kali lipat jumlah Pegawan Negeri Sipil yang jauh dari kebutuhan. PNS dimanfaatkan dengan sangat jelas bagi mereka yang mempunyai akses untuk mendapatkan pekerjaan tetapi memiliki nilai yang kecil bagi mereka yang masih jauh dari aksesitas tersebut.
Kegagalan otonomi khusus diperkuat oleh kebijakan pengadaan dan pengendalian kabupaten baru, kecamatan dan desa-desa di bawah proses yang dikenal sebagai ' pemekaran. Secara teori, pemekaran bertujuan untuk membuka akses dan mendorong akuntabitas terhadap pemerintahan pada tingkat yang lebih kecil. Tetapi kenyataannya, pemekaran hanya memungkinkan elit lokal untuk mengakses dana sambil mendorong orang Papua yaitu masyarakat biasa makin menjauh dari layanan yang harusnya bisa memperbaiki kehidupan mereka . Otonomi khusus telah menciptakan garis pemisah antara elit Papua yang mendapatkan manfaat langsung dari kebijakan tersebut, dan sebagian besar orang Papua yang menerimanya tanpa kualitas apapun.
Pada artikel sebelumnya (Living without a state: The Middle of Nowhere; Land of ghosts), saya telah mengeksplorasi daerah tertentu di dataran tinggi Papua dan dataran rendah. Saya telah mencoba menunjukkan ke cahaya perjuangan dan kekhawatiran orang-orang Papua yang tinggal di sana, suatu perjuangan yang dipisahkan dari wacana politik tetapi sekaligus oleh orang-orang di luar Papua sangat sulit dipercayai bahwa kondisi kehidupan yang sangat minim sedang terjadi dalam kehidupan kebanyakan orang Papua di sana. Dalam tulisan ini, saya bermaksud untuk menjelaskan bagaimana pemerintah Papua berurusan dengan masalah yang paling menekan rakyat mereka di era otonomi khusus . Pada artikel ini , saya akan membahas bagaimana dan mengapa sistem pendidikan telah runtuh di dataran tinggi. Saya juga akan melihat kegagalan serupa dalam aspek kesehatan pada artikel selanjutnya.
Kematian sistem
Pada dataran tinggi Papua, ada beberapa masalah yang saling tumpang tindih yang memecahkan sistem pendidikan diantaranya penggunaan dana otonomi khusus yang salah, pemekaran, kelumpuhan manajemen sumber daya manusia dan pemahaman yang keliru tentang sifat pendidikan secara lokal. Hampir tidak ada yang mengakui kegagalan pendidikan dengan keterkaitan masalah-masalah yang saya uraikan. Sebaliknya, banyak pejabat yang berpantomim dengan melemparkan kesalahan pada sistem pendidikan yang buruk, kurangnya infrastruktur, atau bahkan memojokkan anak-anak dataran tinggi itu sendiri sebagai penyebab kegagalan pendidikan. Karena kesalahpahaman terhadap masalah ini, solusi yang ditawarkan juga tidak mempan mengubah keadaan.
Pada dataran tinggi Papua, ada beberapa masalah yang saling tumpang tindih yang memecahkan sistem pendidikan diantaranya penggunaan dana otonomi khusus yang salah, pemekaran, kelumpuhan manajemen sumber daya manusia dan pemahaman yang keliru tentang sifat pendidikan secara lokal. Hampir tidak ada yang mengakui kegagalan pendidikan dengan keterkaitan masalah-masalah yang saya uraikan. Sebaliknya, banyak pejabat yang berpantomim dengan melemparkan kesalahan pada sistem pendidikan yang buruk, kurangnya infrastruktur, atau bahkan memojokkan anak-anak dataran tinggi itu sendiri sebagai penyebab kegagalan pendidikan. Karena kesalahpahaman terhadap masalah ini, solusi yang ditawarkan juga tidak mempan mengubah keadaan.
Rencana pembangunan 2010/11 provinsi Papua untuk pendidikan dasar dan menengah ( RPDP ) menunjukkan bahwa pendaftaran sekolah untuk anak-anak berusia antara 7 dan 12 tahun di seluruh provinsi adalah 73 persen. Dengan kata lain, sedikitnya 100.000 dari 400.000 anak di provinsi ada yang tidak bersekolah. Sedangkan pendaftaran untuk sekolah menengah mencapai 55 persen dan sekolah menengah hanya 37 persen. Statistik ini menunjukkan suatu gambaran suram yang dengan sangat realistis sekaligus menggambarkan kegagalan sistem pendidikan Papua di daerah terpencil seperti ditemukan di Yahukimo, di sebuah distrik pemekaran di dataran tinggi sebagaimana bisa dilihat pada artikel saya sebelumnya. ( diprofilkan dalam artikel saya sebelumnya , Living without a state and The middle of nowhere). Data dari Departemen Pendidikan di Distrik menunjukkan angka bahwa hanya 18 persen dari anak-anak menyelesaikan sekolah dasar di sana. Lebih buruk lagi, mereka yang menyelesaikan sekolah dasar terkait dengan program pemberantasan buta aksara yang dilakukan kepada mayoritas dataran tinggi lulusan SMA yang ternyata masih buta huruf. Suatu bangunan baru diselesaikan untuk sekolah di Nalca, Yahukimo, tetapi tidak ada anak-anak yang pernah belajar di gedung sekolah ini.
berlanjut: