Pengumuman:
Selamat malam sahabat2. Dikarenakan masalah teknis,
artikel berjudul "Peringatan Pembantaian di Biak, Papua", yang
ditulis oleh bung Novel Matinas tidak bisa langsung dishare ke page Petisi
Warganegara NKRI untuk Papua. Karena itu, saya mengutip linknya saya dengan
harapan sahabat2 yang tertarik untuk membaca lebih lanjut tulisan tsb bisa
diakses pada
<http://www.facebook.com/notes/novel-matindas/peringatan-pembantaian-di-biak-papua/10153041824860294>.
Untuk menjaga keterjaminan aksesitasnya, saya juga mendistribusikan tulisan tsb melalui blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua dengan memberikan judul yang menggabungkan gerakan menolak lupa pembunuhan terhadap Munir, aktivis HAM Indonesia, salah seorang Direktur Kontras dan judul yang diberikan oleh bung Novel Matindas. Selamat membaca.
Midnight News:
Petisi Warganegara NKRU untuk Papua menyampaikan selamat dini hari kepada sahabat2 semua. Memasuki tgl 6 Juli 2013 waktu California, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua meneruskan tulisan bung Novel Matindas terkait dengan pembantaian warganegara NKRI di Biak Papua pada tanggal 6 Juli 1998. Artikel ini sekaligus menjelaskan tentang tuntutan dari The East Timor dan Indonesia Action Network (ETAN) dan the West Papua Advcacy Team ( WPAT) sebagai lembaga advokasi di Papua untuk mendesak pemerintah AS meminta pertanggungjawaban pemerintah RI terhadap pembantaian yang dilakukan militer RI. Pemerintah AS mendukung peremajaan persenjataan militer Indonesia karena itu wajib bertanggungjawab tentang tragedi Biak itu,
Petisi
Midnight News:
Petisi Warganegara NKRU untuk Papua menyampaikan selamat dini hari kepada sahabat2 semua. Memasuki tgl 6 Juli 2013 waktu California, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua meneruskan tulisan bung Novel Matindas terkait dengan pembantaian warganegara NKRI di Biak Papua pada tanggal 6 Juli 1998. Artikel ini sekaligus menjelaskan tentang tuntutan dari The East Timor dan Indonesia Action Network (ETAN) dan the West Papua Advcacy Team ( WPAT) sebagai lembaga advokasi di Papua untuk mendesak pemerintah AS meminta pertanggungjawaban pemerintah RI terhadap pembantaian yang dilakukan militer RI. Pemerintah AS mendukung peremajaan persenjataan militer Indonesia karena itu wajib bertanggungjawab tentang tragedi Biak itu,
Petisi
Peringatan
Pembantaian di Biak, Papua!
by Novel Matindas
(Notes)
on Friday, July 5, 2013 at 3:37pm
Sabtu,
6 Juli, 15 tahun lalu adalah salah satu insiden pembantaian terburuk dalam
sejarah Indonesia pasca-Soeharto . Pada hari itu tahun 1998, anggota TNI secara
kejam menembak mati para demonstran pro-kemerdekaan yang secara damai berdemo
di Biak, Papua. Sebagaimana banyak pembantaian di Indonesia, jumlah pasti
mereka yang tewas tidak diketahui secara pasti.
ETAN
dan Tim Advokasi Papua Barat (WPAT) hari ini mendesak pemerintah AS untuk
secara terbuka meminta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia atas
"Pembantaian Biak" dan mengambil langkah yang diperlukan untuk
membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan. Kami menganggapnya bahwa
AS terus melanjutkan hubungannya dengan militer Indonesia yang terus melanggar
HAM yang harus terbuka untuk pembantaian di Biak, Timor Timur, Aceh dan di
tempat lain.
Pada
tanggal 6 Juli 1998, ratusan demonstran yang berkumpul di kota Biak dengan
sengaja diserang oleh anggota militer dan anggota polisi Indonesia. Orang Papua
menegaskan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri setelah lebih dari tiga
dekade mengalami pendudukan militer Indonesia di Papua. Pembantaian itu dimulai
dengan serangan fajar pada perkemahan di menara air kota, saat banyak
demonstran sedang tidur dan berdoa.
Setelah
penembakan itu selesai, mereka yang tewas, sekarat, dan terluka diangkut dengan
truk dan dibawa ke pangkalan Angkatan Laut di dekat situ. Orang Papua yang masih
hidup disiksa dan kemudian dimuat ke kapal-kapal angkatan laut dan dibuang ke
laut. Para perempuan diperkosa di kapal. Banyak korban yang tangan mereka
diikat atau ditikam sebelum dibuang ke laut. Mayat para korban kemudian
terdampar di pantai Biak setelah berminggu-minggu kemudian.
Pada
saat itu, pemerintah demokratis Indonesia, yang baru mengalami transisi, secara
tidak jujur telah membantah bahwa pembantaian itu terjadi. Pemerintah
berpendapat bahwa mayat-mayat itu adlah korban tsunami yang melanda Papua
Nugini (PNG), yang jaraknya lebih dari ratusan mil (dari Biak).
Pemerintah
Indonesia tidak mengakui pembantaian dan melindungi para pelaku. Pemerintah
terus mencegah investigasi kasus ini dan kejahatan HAM lainnya di Papua dengan
membatasi akses ke wilayah ini, terutama wartawan asing, peneliti independen,
serta pejabat-pejabat internasional PBB dan lainnya.
Contact:
Ed
McWilliams (WPAT), +1-575-648-2078
John
M. Miller (ETAN), +1-917-690-4391
---------------------------------------------------------------------
Saturday,
July 6, is the 15th anniversary of one of the worst massacres in Indonesia's
post-Suharto history. On that day in 1998, members of the Indonesian military
ruthlessly gunned down peaceful pro-independence demonstrators on the island
Biak in West Papua. Like so many massacres in Indonesia, the exact number of
those killed is unknown.
The
East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) and the West
Papua Advocacy Team (WPAT) today urge the U.S. government to publicly press the
Indonesian government to acknowledge the Biak massacre and take the necessary
steps to bring those responsible to justice. We regard it as unconscionable
that the U.S. is proceeding to expand its ties with an Indonesian military that
continues to violate human rights and remains unaccountable for massacres in
Biak, East Timor, Aceh and elsewhere.
On
July 6, 1998, hundreds of peaceful demonstrators gathered on a prominent hill
in the town of Biak were deliberately attacked by members of the Indonesian
military and police. The Papuans in Biak were asserting their right to
self-determination after more than three decades of Indonesian military
occupation of West Papua. The slaughter began with a dawn raid on a peaceful
encampment by the town's water tower as many of the protesters slept or prayed.
After the shooting stopped, the dead, dying, and wounded were loaded onto
trucks and driven to the nearby naval base. Surviving Papuans were tortured and
then loaded aboard Indonesian naval vessels and dumped into the ocean. Women
were raped aboard the ships. Many of the victims had their hands bound or were
stabbed before being thrown into the sea. Bodies of the victims washed up on
Biak's shores during the following weeks.
At
the time, the new, nominally democratic government of Indonesia disingenuously
denied the massacre had taken place, contending the bodies washing ashore were
victims of a tsunami that had struck Papua New Guinea more than hundreds of
miles to the east.
No government of Indonesia has acknowledged the
massacre or held the perpetrators accountable. The government continues to
discourage investigation of this and other human rights crimes in West Papua by
limiting access to the territory by foreign journalists, independent
researchers, as well as UN and other international officials.