Translate

Kamis, 13 Juni 2013

Mengakarkan Mawar Hitam!



Mengakarkan Mawar Hitam!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

“Mawar hitam tanpa akar ada” adalah judul dari novel yang ditulis oleh Aprila Wayar  (2009).  Novel ini berkisah tentang sepasang keluarga Papua, pasangan muda dari kelas menengah yang bertemu di Yogyakarta pada saat gerakan Reformasi. Sesudah menyelesaikan studi, mereka menikah dan kembali ke Jayapura meneruskan gerakan aktivisnya bersama dengan saudara/i di tanah Papua. Kisah hidup percintaan mereka diletakkan dalam konteks politik kekerasan yang sedang terjadi di Papua. Ternyata keindahan dari kedalaman cinta kasih hanya bermakna ketika pasangan suami isteri ini dengan cara sendiri-sendiri memberikan dirinya bagi perjuangan bersama rakyat Papua. Perjuangan anti kekerasan dimulai di tengah-tengah kekerasan militer yang terjadi di tanah Papua. Mereka menyaksikan anak-anak terbaik Papua dibunuh, sehingga komunitas Papua tampil seperti “mawar hitam tanpa akar”.  Memandang kekerasan militer yang menarget pimpinan-pimpinan Papua merekapun makin sadar perjuangan melawan tirani ketidakadilan perlu diubah sehingga tidak ada kematian yang konyol. 

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua sengaja mengangkat ulasan sepotong dari novel yang tebalnya lebih dari 400 halaman untuk menjelaskan beberapa hal. Pertama, pencarian identitas Papua yang lebih dikenal sebagai nasionalisme Papua tidak bisa terbentung lagi. Reformasi sebenarnya telah menghadirkan ruang demokrasi kepada setiap individu Indonesia untuk berpartisipasi dalam mengawal kebijakan negara. Kebangkitan nasionalisme Papua harusnya dilihat sebagai bagian dari upaya orang asli Papua mengisi makna demokrasi dalam kehidupan berpolitikan di Indonesia. Tanda-tanda nasionalisme Papua tergambar dari munculnya kebanggaan dari kesadaran yang mendalam tentang perbedaan rumpun etnis yang dimiliki oleh orang asli Papua dibandingkan dengan kerumpunan etnis lainnya di Indonesia seperti Melayu, Mongolia, Yamanisme dan Arabian.  
  
Penguatan etnis menjadi dasar pembentukan identitas yang pertama-tama di dalam teritori Indonesia seperti dimanifestasikan dalam penamaan pulau-pulau yang sekaligus telah meleburkan pendatang dalam kewilayahan penyebaran bahasa  "Austranesia" menjadi bagian kedaerahan yang batasan kewilayahannya tampil menguat secara fisik. Muhammad Yamin menggunakan istilah teritori etnis untuk menggambarkan kewilayahan etnis sejak Indonesia sedang mempersiapkan fondasi ideologi bagi kehidupan bernegara dan berbangsa. Dalam pidato kelahiran Pancasila, Muhammad Yamin mengangkat delapan etnis teritori sebagai kekayaan kerumpunan etnis yang mengisi Indonesia. Kedelapan etnis teritori tersebut adalah Sumatera, Malaya, Brunei, Jawa, Sulawesi, Sunda Lesser, Maluku, dan Papua (Yamin:1945, 1-4). Papua disebut secara khusus dalam perwilayahan etnis yang berdiri sejajar bersama ketujuah etnis teritori lainnya. 

Penerimaan bangsa Papua terhadap UU no 21 Tahun 2001,  Otonomi Khusus Papua, perlu diikuti dengan pemberian ruang untuk orang asli Papua menggali  akar keidentitasan dan kesejarahannya. Politik penyeragaman yang dilakukan semasa pemerintahan regim Orde Baru harusnya sudah bisa ditinggalkan dalam politik  keindonesiaan sesudah gerakan Reformasi. Misalkan penguatan penjagaan identitas Yogyakarta melalui UU no 13 Tahun 2012, tentang Keistimewaan DIY tidak dengan sendirinya menegasikan keragaman yang ada dalam kehidupan sosial politik di Yogyakarta saat ini. Aprila Wayar telah mengambil inspirasi dari keragaman di Yogyakarta untuk bersama dengan saudara-i lainnya di tanah Papua memulai penggalian nasionalisme orang asli Papua. Perjuangan ini harus didorong supaya orang asli Papua bisa berakar di tanahnya sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar