Translate

Senin, 11 Februari 2013

Persahabatan, Refleksi Enam Windu





Persahabatan, Refleksi Enam Windu
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Rumah sepi sekarang. Suara tawa riuh masih tertinggal dalam kenangan. Anak-anak makan sampai tertidur. Orang tua mereka memboyong ke kenderaan masing-masing pulang ke rumahnya. Tinggal kami sendiri. Sambil duduk di ayunan di pendopo bersama suami, saya tersenyum karena senang anak-anak gembira mencicipi kreasi baru.

Sudah kebiasaan, saya membuat menu yang aneh, sehingga semua mau coba sampai kekenyangan. Kue aneh itu bukan kue HUT karena tidak diberikan lilin. Kue chiffon yang dilapisi whipping cream dengan potongan melon yang dipotong kecil-kecil bisa ditaburi  sedikit keju kalau suka kombinasi manis asin. Enak sekali! Segar. Terbayang lagi ketika saya menikmati appetizer di Roma, "Prosciutto e melone", yaitu melon dibalut sepotong ham tipis, atau sepotong keju swiss.  Jadi untuk kue itu, saya menyebutnya kue salyu melon. Sebenarnya, kue semacam ini disajikan dengan strawberry, diberi nama snow strawberry cake. Tapi saya tidak ke pasar Patuk di tengah kota untuk mencari strawberry. Saya hanya ke supermarket terdekat sore sesudah kembali dari kantor, mampir membeli melon.

Suami, pak Bernie suka sekali kue lembut ini. Ia bertanya tentang subsitusi melon, dari  mana idenya. Saya menjelaskan tentang ingatan ketika di Roma. Pak Bernie tersenyum, ingat waktu kami tinggal di Amsterdam ketika saya menyelesaikan penulisan disertasi. Perjalanan 10 tahun lalu membekas,  dan bisa dirayakan kembali di sini, melalui modifikasi makanan yang enak.

Sudah jam 23.00 ketika kami masih bersama  bercerita di ayunan sambil kaki panjang pak Bernie mengayuh sehingga ayunan bergerak ke muka belakang. Kami sekarang makin tua. Kami juga bersahabat, teman sharing tetapi sekaligus sangat menikmati melakukan kerja sendiri-sendiri. Kadang-kadang saya harus kerja terpisah, begitu juga pak Bernie, tetapi kami melakukannya dengan bersyukur. Menjadi sahabat adalah membebaskan mereka menjadi diri sendiri. Saya menangkap makna itu!

Sekalipun seolah-olah sudah mengerti, saya meminta pak Bernie bercerita tentang Aristoteles. Aristoteles, filsuf Yunani yang menulis buku tentang Etika Nicodemus. Tentang persahabatan, Aristoteles pernah bertanya: Apa itu suatu persahabatan? Jawabannya: “Persahabatan adalah satu jiwa yang tinggal pada dua tubuh".  Persahabatan bertumbuh. Dimulai dari makna persahabatan yang menekankan saling keuntungan, ke persahabatan sebagai upaya untuk menolong mereka yang lemah, sampai kepada pengertian persahabatan sebagai upaya untuk saling membutuhkan demi persahabatan itu sendiri.

Persahabatan ketiga sangat ideal karena dari kepentingan persahabatan melahirkan ketulusan hati. Pencapaian tahap ke-3 dari persahabatan terjadi apabila karakter seseorang untuk menghargai persahabatan dilatih terus menerus.  Karakter yang diwujudkan ini adalah hasil dari praktek nilai tsb yang dilatih setiap saat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga  nilai yang dipercayai itu menjadi bagian dari kebaikan yang menonjol dalam karakter diri seseorang.

Persahabatan inilah juga yang saya temukan dalam keakraban dengan berbagai orang di mana saya bertemu dan bekerja bersama. Tiga tingkatan persahabatan sering kali tampil saling bergantian. Semakin mendalam saya masuk dalam kehidupan seseorang, semakin terasa kesungguhan persahabatan sebagai komitmen mendasar seseorang yang menyentuh sanubari saya sampai saya bisa melihat seolah-olah Sang Pencipta ada di sana. Saya ingat kata2 Firman: "Kamu adalah sahabat saya apabila melakukan kepada salah satu dari mereka yang hina ini".  Pada tahap ini, persahabatan adalah benar dikatakan Aristoteles, jiwa yang satu dalam tubuh yang berbeda.

Ketika pak Bernie pergi tidur saya menulis perasaan saya ini. Saya ingin menulis kepada teman-teman saya di Facebook, seperti keluarga, masing-masing menebarkan persahabatan yang membuat saya bisa menatap dengan bangga. Saya punya teman-teman sevisi, mereka yang merasakan perjuangan bersama sesama warganegara Indonesia, turut prihatin dengan perkembangan demi perkembangan kehidupan dan pengetahuannya yang dibagikan bersama. Kepiluaan karena konflik-konflik sosial, upaya untuk menegakkan keadilan, kesetaraan di antara sesama anak bangsa, telah menjadikan kami sehati, sejiwa sekalipun kami adalah tetap keunikan dari sistem diri yang terpisah.

Perjuangan kedepan masih panjang. Saya bisa melihat jalan ke sana, dari situasi saat ini. Tidak mungkin kita sekedar merasa “kasihan”, sayang kepada negeri sendiri, sesama manusia. Rumusan kata “sayang", "kepedulian" dan lain sejenisnya perlu menemukan bentuk dalam perjuangan yang lebih konkrit, termasuk keharusan untuk menggali rumusan-rumusan hukum yang sudah baku, menjadikannya relevan dengan persoalan yang dihadapi bangsa saat ini.

Saya bersyukur untuk perjalanan ini yang dibimbing sendiri oleh Tuhan sehingga saya bisa bersama-sama dengan teman2 dan saudara/i berjalan, bersisian meneruskan komitmen untuk terus berjalan, tidak dengan berlari sekenjang-kenjangnya, tidak juga dengan melarikan diri karena ketakutan, tetapi karena kesediaan menghadapinya, tanpa rasa takut. Segala sesuatu ada waktu, dari persahabatan, diberikan ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa rasa takut. Tanpa takut, dalam tangan Tuhan, saya berjalan, berjalan terus menaburkan benih-benih kehidupan di muka bumi ini.

Terima kasih semesta untuk kesediaannya menerima saya, bahkan masih terus mengundang saya untuk melihat keajaiban dirimu. Amin.

Terima kasih teman2. Terima kasih semua untuk komitmen teman2, dan kata-kata bijaksana, doa yang disampaikan di hari HUT saya, enam windu sudah tiba. Salam kasih (Farsijana Adeney-Risakotta)
 
Yogyakarta, 11-2-2013


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar