Teror Paris, pertarungan antara teroris berakhir tragis!
Pembelajaran penting untuk dunia.
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Kebebasan intelektual dan ekpresi bagian dari kreatifitas
yang perlu dilindungi. Penganut pandangan demokrasi liberal berjuang untuk
melindungi kebebasan berpendapat dalam mengekspresikan dirinya. Kebebasan berpendapat
adalah tanda demokrasi yang
membolehkan opini pribadi dan
kelompok bisa dibahas dalam ruang publik. Ketika pendapatnya harus dibela, dilakukan secara terbuka melalui diskusi
mendalam. Kadang-kadang pembelaan
disampaikan sambil mengejek,
menertawakan dan menghina. Praktek penyampaian pendapat ekstrim seperti ini
bisa menyebabkan konflik dalam ruang publik. Terutama ketika tindakan-tindakan
ekspresi terjadi sebagai representasi kenyataan sosial yang tidak berimbang.
Pendapat yang vulgar mungkin didukung oleh budaya dominan yang perlu dibela dengan
menggunakan materi pembelaan yang
meminggirkan, memojokkan komunitas lain. Ketika perlawanan dengan wacana tidak
bisa dibangun, maka tindakan pembelaan dengan kekerasan menjadi alasan untuk membela
kebanggaan diri yang dihina.
Saat ini dunia sedang terbagi karena, dunia dimana spirit kebebasa
(liberte), kesetaraan (egalite) dan persaudaraan
(fraternite) yang ada dalam lagu nasional Perancis, "La Marseillaise” sebagai motto demokrasi seolah-olah sedang diombrak ambrik. Perancis
sesudah teroris membunuh 12 jurnalis dan
kartunis dari majalah Charlie Hebdo karena alasan menghina nabi Islam, Muhammad
SAW, apakah akan berubah? Kekerasan dipicu karena majalah satire
Charlie Hebdo menggunakan perlindungan kebebasan berekspresi dalam bentuk
kartunis untuk menjadikan nabi Muhammad SA W sebagai bahan satire. Para pembunuh yang adalah warganegara Perancis disebut sebagai teroris apalagi
sesudah ada pengakuan dari jaringan Al-Qaeda yang mengaku berada di balik
serangan pembunuhan para jurnalis dan kartunis ternama dari Charlie Hebdo.
Menurut saya, istilah teroris, bukan saja ditujukan kepada para pembunuh,
tetapi juga mereka yang dibunuh yang menggunakan kebebasan berpendapat dengan
profesionalitas pengekspresian seni untuk membunuh karakter mereka yang berbeda
secara agama dengannya.
Relasi warganegara dalam kehidupan sosial di Paris menjadi
satu tantangan, sebagai hubungan antara mayoritas dan minoritas. Sesudah
tragedi pembunuhan para jurnalis, dunia menyaksikan persoalan mendasar dalam
relasi sesama warganegara. Islam berkembang di Perancis sebagai bagian dari keragaman
di Perancis, dengan jumlah penganutnya kira-kira
4% dari total penduduk yang menganggap dirinya pemeluk Katolik (51%), 30%
agnostik, 3% Protestan, dan 1% masing-masing untuk penganut agama Yahudi dan Budha. Beragama di Perancis harus menyesuaikan kepada ideologi laïcité yang ditetapkan dalam UU tahun
1905 terkait dengan pemisahan antara gereja dan negara. Intinya, kebijakan umum yang terlihat dalam
ruang publik, didukung oleh negara harus
disterilkan dari pengaruh agama. Agama merupakan ruang pribadi yang hanya bisa
berdampak secara privat di balik tembok-tembok institusi keagamaan dan
keumatan.
Umat Islam di Perancis adalah mereka yang berasal dari bekas
negara jajahannya, yaitu dari Afrika Utara, seperti Aljazair, Moroko dan
sebagian kecil dari Turki. Pengaruh Aljazair ke dalam kehidupan Perancis sebenarnya sangat besar membentuk pola kebiasaan
yang baru dalam cara pengolahan makanan yang lebih cerah karena sayuran
berwarna menghiasi ekspresi kuliner Perancis. Pengaruhnya juga terlihat dalam
penggunaan seni geometris dengan
sentuhan arsitektur yang indah dan megah. Keharusan warganegara untuk berbahasa
Perancis dan menyesuaikan dengan cara hidup budaya Perancis, menyebabkan para imigran
yang masuk ke Perancis membawa budaya mereka untuk secara bersama membangun
kebudayaan Perancis yang lebih menekankan kepada ekspresi detial untuk
menyingkapkan kemurnian keindahan.
Tetapi dalam mengekspresikan karyanya, seorang warganegara
melepaskan pengaruh agama dari dirinya sehingga yang terlihat hanya semata-mata
seorang manusia dengan rasionalitas yang membuatnya mandiri dalam berpikir dan
berekspresi. Tradisi filosofis yang
panjang dimulai dari Descartes, telah menghasilkan pandangan tentang pemisahan
kekuasaan antara agama dan negara (Montesquieu), dimana kekuasaan ada dalam
tangan rakyat (Jean-Jacques Rousseau). Manusia
pada dirinya sendiri adalah sumber kekuatan untuk saling menegosiasikan relasi
kekuasaan demi kehidupan bersama tanpa dikendalikan oleh pengaruh keagamaan
yang menyusup dalam status keningratan seseorang. Basis moralitas hidup bersama
tersedia dalam kehendak bebas manusia itu sendiri. Filsuf Voltaire menggali pandangan tentang
kemandirian manusia dalam memenuhi hak-hak masyarakat sipil terkait dengan
perlakuan yang setara di hadapan hukum dan kebebasan beragama.
Sebagai negara dengan penganut agama Katolik yang mayoritas,
Perancis tampil beda dalam mengoperasikan peran agama-agama di dalam negara.
Hirarkis agama Katolik yang dikontrol langsung dari Vatikan merupakan wilayah
kekuasaan yang hanya berpengaruh di sekitar kebijakan dan budaya gereja.
Diskusi tentang penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam ruang publik, seperti
sekolah, makin seru di Perancis karena sejak tahun 2004 sesudah upaya penggunaan jilbab oleh murid-murid muslim ditolak kemudian diikuti dengan penetapan hukum tahun 2010 tentang pelarangan penggunaan “jilbab”, kalung salib dan turban
dalam kegiatan bersama di ruang publik yang didukung oleh negara. Sekalipun
dalam Deklarasi Hak-hak manusia dan warganegara, yang ditetapkan tahun 1789
mencantumkan kebebasan beragama, tetapi negara bebas dari intervensi agama
dalam pembuatan kebijakan umum. Jadi
produk kartun satire yang menghadirkan simbol agama, oleh para seniman jurnalis
lebih dianggap sebagai komoditas budaya yang berangkat dari kebebasan berpikir.
Peniadaan UU penodai agama di Perancis terjadi pada tahun 1791, tetapi pada tanggal 29 Juli 1881 ditetapkan peraturan kebebasan press yang menjaminkan kebebasan berpendapat dan mengekpresikan diri. Pasal 24, 32, 33 dari peraturan kebebasan press mengatur tentang pelarangan pemberitaan publik yang merendahkan, membenci, menyakiti dan menghina perorangan atau kelompok dari dirinya sendiri atau berbeda. Seorang penulis komik Perancis bernama M'bala M'bala dikenakan hukuman karena melanggar peraturan tsb. Ia dituduh menghina agama Yahudi. Sekalipun kecenderungan menggunakan simbol-simbol agama menjadi komoditi dari para seniman jurnalis untuk diperjualkan karena menjadi sumber inspirasi untuk berpikir dengan cara menertawakannya masih terus dilakukan terutama oleh para kartunis Charlie Hebdo yang ternyata bebas dari cengkraman peraturan kebebasan press tsb.
Peniadaan UU penodai agama di Perancis terjadi pada tahun 1791, tetapi pada tanggal 29 Juli 1881 ditetapkan peraturan kebebasan press yang menjaminkan kebebasan berpendapat dan mengekpresikan diri. Pasal 24, 32, 33 dari peraturan kebebasan press mengatur tentang pelarangan pemberitaan publik yang merendahkan, membenci, menyakiti dan menghina perorangan atau kelompok dari dirinya sendiri atau berbeda. Seorang penulis komik Perancis bernama M'bala M'bala dikenakan hukuman karena melanggar peraturan tsb. Ia dituduh menghina agama Yahudi. Sekalipun kecenderungan menggunakan simbol-simbol agama menjadi komoditi dari para seniman jurnalis untuk diperjualkan karena menjadi sumber inspirasi untuk berpikir dengan cara menertawakannya masih terus dilakukan terutama oleh para kartunis Charlie Hebdo yang ternyata bebas dari cengkraman peraturan kebebasan press tsb.
Konteks dan sejarah majalah satire Charlie Hebdo yang
menghasilkan kartun nabi Muhammad SAW
terbit beberapa kali dan telah mendapat kecaman umat muslim dari seluruh
dunia. Masyarakat Perancis juga merasa kebijakan pemerintahnya mengandung "standar ganda". Ternyata sangsi sosial tanpa
sangsi hukum mendorong lahirnya tindakan
kekerasan dari kelompok Islam di Perancis yang sudah lama merasa agamanya
dihina sehingga menghimpun kekuatan untuk menyerang bangunan Majalah Charlie
Hebdo dan membunuh para jurnalis, kartunis terkenal yang sedang berapat. Kemudian
ada pengakuan dari Jaringan Al Qaeda tentang dukungan mereka dibalik serangan
tragedi pembunuhan yang menewaskan 12 orang.
Oleh masyarakat dunia serangan ini dikenal sebagai serangan teroris.
Melihat kronologis dari upaya para jurnalis kartunis untuk mempublikasikan
karya-karya mereka yang menghina simbol agama lain, maka mereka inipun pantas
disebut teroris.
Kebebasan berekspresi telah merampok simbol kesucian agama
untuk dilemparkan sekedar menjadi komoditas yang bisa dipertontonkan secara
publik. Mereka tidak dijerat oleh aturan tahun 2010 yang ditetapkan di Perancis
tentang peniadaan penggunaan simbol agama dalam ruang publik. Kartunis sebagai
karya berpikir dianggap berjarak dari identitas agama yang berpengaruh secara
politik.
Padahal menurut saya, simbol
agama digunakan sebagai produk seni seperti dalam kartun tetap mengindikasikan adanya identitas politik non agama yang
mensandera tanda agama sehingga memicu reaksi pembelaan dari mereka yang
identitas agamanya dihancurkan. Apabila peraturan kebebasan press yang terkait dengan pelarangan penyampaian berita anti kebencian tidak bisa ditegakkan, setidak produk hukum
tahun 2010 seharusnya pantas juga menindak para jurnalis dan kartunis yang secara berurutan dari dalam beberapa tahun
menghasilkan kartunis yang menghina umat muslim di Perancis. Ketika hukum
tidak diterapkan dengan adil, sesama warganegara Perancis dari kelompok yang tidak berdaya yang sedang
dirugikan akhirnya akan mengacaukan tatanan ruang publik itu sendiri dengan
menjadi hakim sendiri. Benar dikatakan
dalam Kitab Suci “gigi dibayar dengan gigi”. Tindakan terorisme secara
intelektual akhirnya bernasib nas di hadapan para teroris agamanis menjadi
sumber ajaran dunia untuk menegakkan keadilan kepada semua warganegaranya
secara adil dan benar.